The Wheel of Time

Harry Potter - J. K. Rowling
M/M
G
The Wheel of Time
Summary
Buku kedua dari Courting Destiny.Harry adalah seorang penyihir. Ia akrab dengan istilah sihir waktu. Berbeda dengan muggle yang hanya percaya waktu hanya bisa berjalan maju, dia tahu waktu juga bisa berjalan mundur. Tapi setelah menjejakkan kakinya ke Avalon, sihir Merlin mengajarinya bahwa waktu bergerak dalam lingkaran-lingkaran yang kadang saling berbenturan dan menciptakan realitas baru. Masalahnya, yang dihadapi Harry bukan lagi terbatas di dunia sihir. Ada dunia di antara dunia, dibaliknya dan yang tidak bisa dijangkaunya. Bagaimana bila solusi untuk Marcus berada di realitas lain?
Note
Buku kedua dari buku Courting Destiny
All Chapters Forward

Corvi dan teman-teman anehnya

Sekolah sihir Avalon didirikan sekitar abad ke 8. Ketika sihir masih mentah. Dimana, kemudahan seperti tongkat sihir, sapu terbang ataupun potkey belum ditemukan. Bila kau bilang sihir saat itu masih primitif, Harry mungkin akan menyanggahnya dengan keras. Dari pada primitif, mungkin sebutan yang paling cocok adalah tidak terkekang. Contohnya... tidak akan ada penyihir kuno yang tak berdaya bila kehilangan tongkat sihir mereka. Sihir mereka tak kan terbatas oleh hal-hal seperti kehilangan tongkat sihir, tidak bisa bicara atau buta.

Dan yang paling penting adalah tidak ada perbedaan antara light magic dengan dark magic. Siapapun bisa merasakannya di udara saat melangkahkan kakinya di Avalon. Berbeda dengan udara Hogwarts yang dipenuhi light magic, di tempat ini keduanya berdansa saling melengkapi. Bila tidak ada dark magic, maka tidak akan bertahan sekolah sihir yang berada di dalam dimensi tertutup. Bangunannya yang terbuat dari granit hitam, menyatu dengan alam sebagai pilar-pilar penyokongnya. Memodifikasi makhluk hidup menjadi bagian dari benda mati; suatu praktek yang dianggap sihir hitam di Hogwarts. Mungkin gaya bangunan seperti itu populer pada jaman Avalon dibentuk, mengingat ia berdiri di masa para Druid berada dalam masa kejayaan.

Harry berjalan di koridor panjang yang jendela-jendelanya dipenuhi tumbuhan merambat, menjulur ke bawah dan menjadi sebuah pohon raksasa yang tertanam jauh ke bawah tanah. Jika melongokkan kepalanya keluar jendela, kau bisa melihat sebuah air terjun besar yang deru airnya terdengar hingga puncak kastil. Aliran sungai deras itu bergerak mengelilingi bangunan dan masuk ke dalam hutan. Ujung sungai akan berakhir di danau Avalon, yang terletak di tengah hutan gaib itu. Danau yang juga berfungsi sebagai gerbang masuk Avalon dan dihuni oleh kaum Shide atau yang orang Skotlandia sebut sebagai Aos sí—the people of mound. Makhluk sihir sejenis peri yang menghuni bawah tanah.

Pada hutan yang mengelilingi kastil Avalon, bisa terlihat para penyihir dari keturunan Draconis atau Veela bermain di sela-sela pepohonannya yang rapat. Berbeda dengan sekolah sihir lain, Avalon membebaskan siswanya keluar masuk atau tidur di manapun. Tapi, beda lagi bila mereka keluar dimensi ini. Sama seperti saat kau masuk, kau juga butuh syarat-syarat tertentu untuk meninggalkan dimensi ini.

Mata hijaunya berkilat perak, sihir menunjukkan garis bantu yang bisa diikutinya berdasarkan peta yang sudah diberikan pada seluruh siswa baru. Ada lima belas siswa yang diterima bersama dirinya. Berbeda dengan sekolah sihir lain, kurikulum Avalon tidak terpisah berdasarkan tahun, melainkan berdasarkan jenis sihir dan kebutuhan para siswanya. Hal ini karena sebagian calon murid sudah tahu apa yang mereka butuhkan saat memutuskan untuk mendaftar. Rentang waktu pendidikan di sekolah ini juga beragam. Biasanya minimal dua tahun, tapi juga bisa lebih dari lima belas tahun, jika kau memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupmu melakukan riset sihir. Kurun waktu yang berbeda ini juga yang membuat kualitas lulusan Avalon tak diragukan. Karena sistem pendidikannya seperti kursus, maka tiap siswa bisa dipasangkan dengan guru yang berbeda-beda. Bisa jadi satu kursus ditangani oleh dua guru, bisa jadi lebih atau kurang dari itu.

Hari dimana mereka diterima, adalah hari dimana kemampuan sihir mereka diklasifikasikan sebagai pertimbangan menentukan ke mana arah kursus mereka. Tentunya klasifikasi sihir ini bukan sesuatu yang mutlak. Bahkan bila jenis sihir mu adalah light magic, kau masih diperbolehkan membelajari Necromancy. Hanya saja, trial yang kau hadapi akan jauh lebih beragam dibandingkan mereka yang memiliki core dark magic. Cara klasifikasi itu cukup sederhana. Siswa meletakkan tangannya ke sebuah bola sihir. Bila bola kristal itu bersinar terang maka, ia memiliki light core. Sedangkan, bila menjadi hitam, makai a memiliki dark core. Tapi, bagaimana dengan Harry?

Harry mendorong pintu kayu aula besar dan melangkah masuk. Seketika semua mata tertuju padanya. Entah mata manusia yang menyelidik, ataupun mata reptile Draconis yang memiliki membrane seperti buaya—sungguh menarik. Ia berjalan dengan percaya diri pada buffet yang disediakan pada meja panjang. Berbeda dengan konsep kantin asrama yang dimiliki oleh sekolah sihir lain. Di sini konsepnya seperti menghadiri pesta dansa. Meja-meja bundar berdiri berjauhan satu dengan yang lain, sedangkan kau bisa memilih sendiri makanan apa yang ingin kau makan. Bahkan, kau bisa memasak makanan mu sendiri karena setiap kamar memilik dapur.

Suara-suara bisikan terdengar, "Corvi—"

"Itu Corvi—" "Dia tidak terlihat sekuat itu—"

Penyihir perempuan berambut merah panjang, seperti api, menatap Harry penuh selidik. Dia adalah perempuan yang melemparkan mantra sihir pada Harry di Stonehange. Perempuan itu bernama Clíona Ní Chiosáin, penyihir dari garis Irlandia murni. Clíona adalah saksi mata bagaimana bola kristal Corvi terbelah dua; tepat ditengahnya dengan satu bagian berwarna putih dan bagian yang lainnya berwarna hitam. Tentu saja hal ini bukan pertamakalinya terjadi; orang yang memiliki dua core. Tapi, membuat bola kristal itu pecah? Itu tidak pernah terjadi. Itu menunjukkan kekuatan sihirnya yang luar biasa besar dan potensi yang tidak terbatas. Kejadian itu bahkan juga mengejutkan professor Brosnan. Karena hanya ada satu orang dalam Sejarah Avalon yang seperti itu! Yaitu Merlin sendiri!

Tak berhenti disana. Di tengah kekaguman dan rasa kaget itu, Professor Alexander—kepala sekolah Avalon masuk ke dalam ruangan dengan langkah cepat. Memandang ke seluruh ruangan dengan mata vampire-nya yang awas. Melihat bola kristal yang pecah itu, tidak ada tanda kekagetan di matanya. Pria itu berdecak, "Sudah kuduga. Corvi, ayo ikut aku."

"Alex?" bisik Corvi tertegun.
Pria Vampire itu mengulurkan tangannya, yang dengan ragu disambut Corvi. Seketika mereka lenyap dari ruangan.

Dari interaksi itu siapapun bisa tahu jika Corvi—siapapun nama aslinya—bukan dari kalangan biasa. Tidak ada orang biasa yang memanggil nama kepala sekolah Avalon dengan nama kecil. Tidak ada orang biasa yang memilih memakai nama alias saat bersekolah. Walau praktek itu bukan hal baru di Avalon, tapi mereka yang memakai nama alias memang biasanya dari latarbelakang yang tidak biasa. Hal itu banyak memunculkan spekulasi siapa sebenarnya Corvi? Jelas dia adalah manusia, tapi dia juga memiliki aroma Vampire—tapi bukan sembarang Vampire, melainkan pangeran Vampire. Para siswa dan penguji yang sempat berhadapan dengannya pada ujian ketiga menyatakan ia adalah lawan yang tangguh. Bahkan ada desas desus bahwa tehnik sihirnya sudah seperti lulusan Avalon! Well, bisa dibilang Corvi adalah misteri paling populer saat ini. Personanya yang misterius didukung dengan dia selalu menutupi wajahnya.

Harry tidak tinggal lama di Aula itu. Setelah ia membuat Sandwich ia meninggalkan ruangan itu tanpa menyapa seorang pun. Harry mengunyah sambil jalan. Alexander tahu alasannya bersekolah disini bukan untuk mendapatkan izasah, tapi mencari cara untuk menyelamatkan Marcus. Sehingga, pria itu langsung menyuruhnya menemui Ando-Sensei. Orang yang memegang matakuliah dark magic di Avalon, tempatnya sekarang menuju. Harry mengelap tangannya di pakaiannya secara sembarangan dan mengetuk pintu. Tanpa peringatan pintu itu perlahan terbuka. Saat Harry melangkah masuk, ia terhenti beberapa detik saat merasakan kuatnya energi sihir hitam disana. Begitu potent hingga membuatnya seperti berenang ditengah rawa kegelapan. Harry berusaha menguasai dirinya, perlahan ia menyesuaikan core yang ada di tubuhnya. Jika gurunya seperti ini, ia sedikit kasihan dengan mereka yang baru belajar dark magic.

"Sensei?" tidak ada jawaban. Harry memutuskan untuk masuk semakin ke dalam. Kakinya menggema pada ruangan berlantai batu dengan atap tinggi yang tingginya sampai tak terlihat mata. Pencahayaan yang redup membuatnya baru tersadar jika lantai batu itu dipenuhi ukiran simbol seperti pada ruang ritual di Flint Manor. Berjalan-beberapa meter ke dalam, ia baru melihat ada sosok pria yang menutupi seluruh tubuhnya dengan jubah hitam duduk bersimpuh di tengah Pentagram. Kakinya berhenti saat menyadari siapa sosok yang berdiri di depan pria yang tengah bersimpuh itu.

Death menatapnya dan mengedipkan sebelah mata, sebelum akhirnya lenyap dalam pandangan. Harry menghela napas dan memutuskan untuk duduk bersila sambil menunggu pria itu menyelesaikan ritualnya. Ia hampir yakin, pria yang bersimpuh itu adalah Ando-Sensei. Dan ia percaya, pria itu tidak sadar jika Death baru saja menghampirinya. Harry memutuskan untuk bermeditasi. Beberapa detik setelah ia menutup mata, ia merasakan sentuhan kematian di bahunya. Saat menoleh, Death menjulang dibelakangnya. "Apa yang kau lakukan padanya?" bisik Harry.

Death mengerdikkan bahu, "Tidak melakukan apa-apa. Dia memakai mantra yang mengandung namaku. Biasanya aku mengabaikannya. Tapi karena aku merasakan energi keberadaanmu, maka aku putuskan untuk mampir."

Harry menghela napas, "Jadi dia tidak mati?"

"Oh. Dia masih 100% hidup. Hm...60%...tidak... 30% jika kau tidak menghentikan ritualnya sekarang juga. Omong-omong, ia memakai tulang belulang untuk menggantikan kayu Yew. Kau tahu sendiri seberapa sensitifnya death magic. memakai kayu Yew bisa mengantarmu menyeberangi jembatan kematian, apalagi tulang bel—"

"Shit!" Harry tidak memperdulikan ocehan Death. Ia seketika berlari kesisi pentagram itu untuk mengamati simbolnya. Ini jenis sihir yang mengambil energi dari inangnya. Sebenarnya tidak akan berbahaya asalkan kau benar-benar memperhatikan bagaimana simbol itu digoreskan pada bidang ritual. Atau tidak memodifikasi ritualnya. "Apa yang harus kulakukan?"

"Kau bisa melakukan ritual pengorbanan—"

"Selain itu!"

"Well.... Kau ada di Avalon dan kau punya darah Merlin—"

Harry tidak perlu diberitahu dua kali. Ia segera menggigit jarinya dan menuliskan rune kehidupan di lantai. Ia berusaha mengubah anchor energi itu dari individu ke tanah Merlin. Membuat ritual itu mengambil sihir dari lingkungan sekitarnya. Ia hanya pernah membangkitkan sihir perlindungan sekali, saat serangan di Turnamen quidditch, jadi ia tidak tahu dampak dari melakukan ritual ini di pusat kekuasaan Merlin, di tanah Avalon sendiri. "Immolabam facta est ut a somno exsuscitem sanguinem magicae sunt in terra—" Harry mulai membisikkan mantranya dengan cepat. "—da mihi praesidum! AH!" tepat ia menyelesaikan mantranya, ada intentitas asing yang memasuki benaknya, mengambil alih tanpa bisa dicegahnya, menyusupi benaknya ke segala arah, ke setiap sudut kesadarannya tanpa terbendung... menginvasi ingatannya, memilah dan menilai. Jiwanya ditarik ke dalam pohon raksasa yang batangnya bagai poros alam semesta. Puncaknya tidak berujung dengan tiap dahan dan rantingnya menjulur mewakili dunia-dunia, sementara Harry melayang diantaranya. "Temui aku... cari aku..." suara seorang pria dengan nada riang terdengar dalam benaknya. "Kau sudah mengenalinya, sihir ini. Sihir yang berada dalam darahmu. Terima panggilanku. Datanglah."

Saat Harry tersadar, ia kembali ke ruang ritual itu lagi. Ando-sensei mengerang dan mendesah lemah. Perlahan matanya terbuka. Mata hitamnya bersirobok dengan Harry. "Kau..."

"Anda baik-baik saja?"

"Apa yang terjadi? Akh," pria itu mengusap wajahnya. "Aku tahu apa yang terjadi," gumamnya. "Nak, apa yang kau lakukan?" pria itu menatap rune yang masih merah di lantai. Ia terkesiap. "Simbol Merlin..." matanya jatuh ke wajah Harry yang tertutup kain. "Kau, siapa namamu?"

"Corvi."

"Corvi?"nadanya penuh rasa tak percaya. Lalu, ia tertawa pelan. "Corvi kau bilang. Apa kau dipaksa memakai nama alias itu? Sungguh tidak kreatif."

Harry mengerucutkan bibir.

Pria itu mengibaskan tangannya. "Kau. Apa yang kau butuhkan dariku?"

Harrry mengerjap, "Saya disuruh Kepala Sekolah Alexander untuk datang menemui Anda."

"Apa yang dia inginkan aku ajarkan padamu! Dengan kemampuanmu ini—" ia menunjuk rune yang ditulis Harry, "—kau bisa melakukan semuanya sendiri!" sambil berkata begitu, ia perlahan bangkit berdiri. Ia memberikan gestur pada Harry untuk mengikutinya. Langkahnya terseok-seok sembari menarik jubahnya rapat, seolah kedinginan; gejala yang biasa ditemui pada penyihir yang hampir terkuras sihirnya.

Pria itu membawa mereka melewati lorong panjang dan berhenti diambang pintu yang rendah. Perlahan ia mendorong pintu kayunya, menunjukkan sebuah ruangan tinggi, begitu tingginya seolah mereka sedang berdiri di lantai bawah sebuah menara. Cahaya keemasan muncul dari lilin-lilin yang melayang di langit-langitnya. Memberikan nuansa hangat. Rak-rak berisi buku dan perkamen menjulang tinggi hingga menyentuh langit-langitnya. Ada tangga khusus dan lift sihir untuk membantu mengambil buku dibagian yang tak terjangkau tangan. Harry yakin rak-rak ini tidak hanya berisi buku yang sudah dipublikasikan, tapi juga hasil-hasil penelitian dari beberapa generasi terdahulu dari murid-murid Avalon.

"Kau bisa mempergunakan ruangan ini untuk risetmu. Syaratku untuk kelulusanmu hanya satu, kau harus bisa menciptakan sihir baru."

"Sihir baru?"

"Bukan sekelas mantra atau kutukan. Tapi elemen sihir baru. Entah kau mau membuatnya dalam kategori sihir gelap atau terang, aku tidak peduli. Tapi jika kau membuat terobosan pada dark magic, itu akan lebih baik." Pria itu mengibaskan tangannya, seolah melambaikan selamat tinggal dan meninggalkan ruangan sambil menggerutu, "ritual sialan, benar-benar membuang-buang waktuku—" sungguh beruntung guru Avalon. Makan gaji buta, batin Harry.

Maka, seperti yang diminta, Harry menghabiskan sore itu di ruang baca. Ia berusaha untuk tidak memikirkan pengelihatannya yang menunjukkan sosok pohon yang misterius dengan suara yang sama misteriusnya. Tentu saja, Harry punya kecurigaan. Bahkan, bisa dibilang bukan lagi kecurigaan, tapi keyakinan; siapa orang yang memanggilnya itu. Tubuhnya merinding karena bila dugaan itu benar, maka itu sesuatu yang hampir mustahil, semustahil seperti membangkitkan orang yang sudah mati. Tapi, apa yang bisa dikata Harry. Banyak rahasia sihir yang belum terungkap, dan segala kemungkinan bisa jadi keluar dari akal sehat saat menyangkut sihir.

Itulah mengapa, baru setelah ia sendirian di ruangannya di salah satu menara kastil Avalon, Harry memikirkan hal itu. Ia pernah membaca tentang pohon kehidupan. Berbeda dengan yang menjembatani surga dan , pohon kehidupan menghubungkan segala bentuk ciptaan. Akan tetapi keduanya merupakan wujud dari pohon dunia ataupun pohon kosmik, dan digambarkan dalam berbagai agama dan aliran filsafat sebagai pohon yang sama. Jika benar pengelihatannya menunjukkan pohon dunia... apakah itu artinya penyihir telah berhasil menyentuh area keilahian. Harry memejamkan mata, kedua core-nya berputar dan saling bertemu. Seolah membuktikan ucapan suara asing itu, sihirnya mengenali sihir yang menyentuhnya. Sihir Merlin.

Di saat yang sama, Dimana matanya berubah perak, Harry ditarik keluar dari lindungan kamarnya. Menuju dimensi Asing yang aneh. Ia berada di sebuah ruangan putih dengan lantai yang dipenuhi rune-rune keemasan. Garis-garisnya membentuk pola seperti perbintangan. Di tengah ruangan itu, sebuah batang pohon dari cahaya berdiri, Dimana akarnya menembus lantai dan Bersatu dengan garis-garis pola emas itu, sedangnya puncaknya lenyap dilangit-langit yang dipenuhi cahaya.

"Hulo~" sapaan terdengar.

Harry menurunkan tatapannya dan melihat seorang pria sedang berdiri bersandar di batang pohon. Pria itu memakai pakaian penyihir, berupa jubah merah gelap dengan kemeja dan celana kuno. Sepatu bootnya lancip seperti orang-orang jaman dulu. Mata hijau emeraldnya berpendar seperti Harry dan warna rambutnya yang gelap juga memiliki ikal yang tidak teratur. Ia melompat lembut dan melayang ke udara. Seolah mereka berada di tengah-tengah lautan. Pria itu berputar mengelilingi Harry, mengamatinya.

"Halo," balas Harry.

"Kau punya banyak nama," komentarnya. "Kau memilih dipanggil siapa?"

Harry mengerjap, "Kau bisa memanggilku Harry. Apa kau Merlin?"

Pria itu membisikkan kata Merlin seolah sedang meniru logatnya. "Ya. Aku juga dipanggil itu. Kau bisa memanggilku itu."

"Kau itu apa?"

"Maksudmu?"

"Apa kau masih hidup di... tempat ini?" kata Harry sambil memandang sekitarnya.

"Oh itu. Aku masih hidup. Sama seperti Merlin-Merlin yang lain diluar sana. Jika kau tahu maksudku... " Pria itu menunjuk ke langit-langit yang dipenuhi cahaya. Seketika, cahaya itu menjelma menjadi langit malam yang dipenuhi gugusan bintang dan galaksi. Ujung jari Merlin bergerak mengikuti sebuah bintang jatuh yang akhirnya meledak dalam cahaya. Di dalam cahaya itu, Harry melihat Merlin sedang melawan Naga. Lalu, jari Merlin menunjuk bintang yang lain, membuatnya jatuh dan meledak lagi; tampak sosok Merlin yang sedang tertawa bersama Raja Britania Kuno.

Merlin berputar di udara, di antara bintang-bintang. Ia menarik tangan Harry dan membawanya melayang.

"Waktu bukanlah sesuatu yang bergerak searah. Mungkin diriku yang lain mati, mungkin diriku yang lain hidup. Semua berputar dalam pintalan roda waktunya masing-masing. Tapi terkadang bisa juga berbenturan satu sama lain; menciptakan persimpangan dan realitas baru. Jadi, untuk menjawab pertanyaanmu. Ya, aku Merlin. Orang yang sama, yang menciptakan sekolah ini. Tapi sekaligus aku juga bukan Merlin. Aku adalah frekmentasi jiwa Merlin yang ditinggalkan dalam waktu untuk menjadi jangkar agar dimensi tempat ini tetap bertahan dan supaya sekolah Avalon tidak lenyap."

Harry terkesiap. "Jadi kau adalah core... " bisiknya. "Merlin membuat dirinya sendiri menjadi core dan mengikat jiwanya di tempat ini. Membuat dimensi ini terus bertahan selama ribuan tahun..."

"Hei... kau cukup pintar. Tapi tidak diragukan lagi, kau kan keturunanku!" serunya sambil berputar-putar disekitar Harry. "Aku tidak heran jika kau sensitif soal soul magic, mengingat kau juga adalah seorang Necromancer! Aku tidak pernah menduga akan punya keturunan seorang Necromancer!" serunya sambil tertawa lebar. "Sungguh menarik! Morgana pasti akan protes jika mengetahuinya."

"Necromancer?"

"Bukankah kau Necromancer? Aku mencium bau Kematian yang tajam darimu. Lagi pula, kau memegang dua jiwa."

Harry menaikkan alisnya, "Dua jiwa?"

"Ya! Yang satu disini," ia menyentuh lapis Vivus Mortem—living death stone. "dan yang satunya lagi disini!" ia menyentuh bekas luka petir di dahinya.

Tubuh Harry berdiri gamang. Wajahnya tiba-tiba memucat dengan mata terbelalak. "Horcrux?"

Merlin menepuk tangannya sekali dan mereka kembali ke ruangan kosong penuh cahaya. Ia mendorong Harry pada sebuah sofa yang muncul tiba-tiba. Lalu, tangannya yang dingin menangkup pipi Harry, "Ssst.... Stttt...." Bisiknya menenangkan. "Ambil napas perlahan. Bagus. Sssst...." Merlin mengusap rambutnya. Ekspresinya tidak tampak khawatir. Malah lebih ke arah penasaran. Jika mereka dalam keadaan biasa, tingkah Merlin akan membuat Harry merasa sedang berhadapan dengan psiko.

"Tampaknya kau tidak tahu bahwa kau Horcrux hidup. Ku kira itu disengaja, mengingat jiwa itu sudah sangat lama melekat padamu, hingga hampir tidak bisa dibedakan."

"Kau bisa melihatnya? Jiwa itu?"

Merlin menatapnya dengan mata emerald-nya yang misterius. "Tentu saja. Aku memiliki mata yang bisa melihat banyak hal," ia mengerjap. "Bukankah kau juga, Seer muda?" ia menepuk pipi Harry. "Kau menyimpan banyak sekali misteri dalam hidupmu. Apa kau mau menceritakannya padaku? Barangkali aku bisa membantu."

Harry memejamkan mata. Dan disanalah ia, dalam ruangan yang tidak dibatasi waktu, Harry menceritakan hidupnya pada sebuah frekmentasi masa lalu. Selama ia bercerita, Merlin terus menggenggam tangannya. Kadang ia ikut tertawa, kadang ia mengelus Harry, kadang ada amarah terpendam di matanya yang misterius. Tapi, ia tidak pernah menyusuruhnya berhenti, bahkan bila ia bercerita hal-hal simple, seperti merasakan sinar matahari pagi bersama Marcus.

Saat Harry terdiam, pria itu menjentikkan jarinya, membuat segelas air muncul di tangannya dan memberikannya pada Harry. "Petualangan mu bisa dituliskan pada lembar perkamen dan dijual ke para bangsawan. Mereka sangat menyukai jenis cerita seperti itu. Aku bahkan pernah menjual kisahku yang bertarung dengan Naga," komentarnya, berusaha membuat Harry tersenyum.

"Well... untuk jiwa Marcus, mungkin aku tahu satu dua cara untuk membantumu. Terutama jika kita bisa minta bantuan Death." Kalimat terakhirnya diucapkan dengan gumaman, seolah sedang bicara dengan diri sendiri.

Harry tersentak mendongak dan memandang Merlin penuh harap.

Merlin menggosok dagunya. "Masalahnya.... Selagi Voldy itu tetap ada di kepala mu... kau tidak akan pernah punya cukup sihir untuk menyelamatkan Marcus. Horcrux itu bersifat seperti benalu yang selama empat belas tahun hidupmu ini terus bertahan dengan menyedot sihirmu."

Harry memucat. "Tapi bagaimana caranya? Satu-satunya cara yang kutahu untuk melenyapkan Horcrux adalah dengan menghancurkan Vassell-nya!"

"Kurasa kau perlu bertanya pada Death. Dia intentitas yang tahu banyak hal. Bahkan fate bisa dikalahkan olehnya—bila dia mau."

"Kau bicara padanya seolah mengenalnya dengan baik."

"Oh, Harry... ada alasannya mengapa darah Peverell kental dengan Death Magic... Aku dekat dengan Death. Apa kau tahu cabang sihir yang paling dekat dengan Death Magic."

"Apa?" bisik Harry.

Mata emerald Merlin berpendar. "Waktu. Saat kau mati, waktumu habis. Saat kau hidup waktumu bergerak. Saat Death datang waktu berhenti. Dan aku adalah penguasa waktu," bisiknya, membuat antariksa itu kembali, langit gelap dipenuhi bintang. "aku yang telah menjual jiwaku pada sihir waktu, karena Death tak lagi bisa menyentuhku... kami berjalan beriringan... Panggil Death, Harry," ia menyentuh dahi Harry dengan jari telunjuknya. Angin perlahan muncul dan semakin keras menerpa Harry. "Tanyakan padanya." Tubuh Harry terhempas ke belakang—

—jatuh menimpa lantai batu. Ia mengeluh sambil memegangi kepalanya. Saat ia membuka mata, ia terbaring di dalam kamarnya. Seolah semua yang terjadi padanya hanya ada dalam kepalanya. Tapi saat ia mendongak menatap jendela, matahari sudah tinggi. Agak tidak masuk akal bila ia menghabiskan malamnya hanya untuk mengimajinasikan Merlin.

Harry bangkit berdiri. Menyambar ration bar—nya dan mengunyahnya sambil berjalan menuju ruang ritual prof. Ando. Walau Merlin bilang dia adalah seorang Necromancer, ia tidak merasa seperti Necromancer. Tapi, jika memang itu bisa membantunya untuk mendapatkan kembali Marcus-nya. Maka, ia akan melakukan apapun bahkan bila harus jadi setan.

................

Seekor gagak terbang ke Bulan Purnama pada badai musim dingin

Saat pembawa pesan sudah datang, Kerajaan akan terbakar rata dengan tanah

Penyihir dan Demon datang dan pergi

Pembawa Pesan sudah datang, Raja dari Utara akan bangkit.

Suara berat Firenze, sang Centaurus menggema. Bersama dengannya kelebatan peristiwa bagai potongan film memenuhi benak Harry;

Ruangan yang dinding-dindingnya di bangun dari batu hitam. Seorang pria berjubah hitam membungkuk dibawah cahaya bulan yang masuk melalui lubang iblis. Ia perlahan bangkit, menunjukkan sosoknya yang besar dan bahu lebarnya. Pria itu memiringkan sedikit kepalanya ke belakang, dan berbisik, "Darl—"

Harry terkesiap sambil membuka mata. Pipinya menempel pada kertas kuning dari tumpukan buku yang dibacanya. Ia bangkit sambil mengusap wajahnya. Tak terasa ia sudah menghabiskan waktnya hampir tiga bulan di ruangan ini. Jika bukan karena sihir dan house elf, ia sudah mati sejak lama. Ia beruntung Avalon menyediakan banyak akomodasi bagi mahasiswanya yang sedang melakukan riset. Jadi, ia hampir tidak perlu melangkah keluar untuk memenuhi kebutuhannya. Sayang sikap dimanjakan ini tidak mengurangi berat beban yang harus ditanggung tubuhnya. Ia menenggak ramuan, membuat kepalanya yang pening berangsur-angsur kembali normal.

Harry mulai Menyusun lembaran-lembaran perkamen di meja menjadi satu skema besar. Runes yang ada disana penuh dengan simbol kematian. Semua pekerjaan ini tidak ada hubungannya dengan syarat kelulusan Ando-sensei. Ia bahkan tidak pernah memikirkan syarat kelulusan itu. Dalam benaknya hanya bagaimana cara menghancurkan Horcrux dan menyelamatkan Marcus. Ia mengamati simbol-simbol itu sejenak, mengambil kapur dan dengan terseok-seok menuju ke ruang ritual di sebelahnya.

Dengan konsentrasi tinggi yang membutakan, Harry mulai menggambarkan runes yang telah dibuatnya itu dalam skema besar di lantai ritual. Perlahan ia menyeka keringatnya agar tidak menetes dan mengotori pola-pola yang Di gambar dengan kapur putih itu. Setelah selesai ia melemparkan kapurnya jauh-jauh dan berdiri di tengahnya. Ia menyayat tangannya dan membiarkan darahnya menetes dan mengaliri sepanjang simbol kapur; membuatnya bersinar merah. Ia merasakan darah merembes keluar dari hidungnya saat sihir sedikit demi sedikit mulai terkuras. Saat kesadarannya mulai hilang timbul, ia merasakan rengkuhan dingin di bahunya.

Death memeluknya dari belakang, "Silly, Master... kau tidak perlu melakukan ini untuk memanggilku..." ia mengusap darah di hidung Harry.

"Death..."

"Hm....?" Deity itu memainkan rambutnya.

"Mengapa kau tidak pernah bilang kalau aku menyimpan jiwa Voldemort?"

"Kau tidak pernah bertanya, little Master... tidak ada bedanya bagiku antara kau menyimpan jiwanya atau tidak," Death mengerdikkan bahu.

"Apa kau tahu bagaimana caranya melenyapkan Horcrux tanpa membunuhku?"

"Mustahil!" serunya dengan nada ceria. "Jiwamu sudah terlanjur menjadi satu kesatuan dengannya. Kau harus menyeberang bila ingin melenyapkan Horcrux itu. Kau harus bunuh diri untuk melakukannya~"

"Death..." Harry menghela napas. "Berhenti menggodaku."

Deity itu tertawa keras. "Apa yang membuka kartuku?"

"Kau tidak akan membiarkan jiwa Voldemort tetap di tempatnya bila sudah waktunya dia mati. Kau bicara begitu karena belum waktunya."

"Hm... tidak ada yang bisa mencurangi kematian. Sekalipun fate suka bermain-main untuk membuat pekerjaanku makin rumit, semua jiwa akan kembali padaku. Well.... Ada satu cara."

"Apa?"

"Kau harus mengumpulkan Deathly Hallow."

Harry menutup mata. "Sudah kuduga itu jawabanmu."

"Tentu saja aku tidak akan memaksamu. Tapi, satu-satunya cara untuk menghancurkan Horcrux adalah dengan menjadi Master dari Deathly Hallow sehingga kau memiliki kuasa untuk menyeberang sendiri ke alam kematian dan mengirimkan jiwa itu padaku."

"Oke," bisik Harry. "Aku mengerti. Kau bisa membantuku memberitahu kemana aku harus pergi mencarinya."

Death melayang ke depan Harry. Wajahnya yang tertutup tudung tepat di depan wajahnya. Ia bisa merasakan hawa kematian yang dingin menyentuhnya. "Pada realitas yang lain aku tidak akan bisa melakukan ini. Tapi kau berbeda, kau menciptaan Harry Potter yang berbeda. Harry Potter yang memiliki identitas lebih dari Anak Yang Bertahan Hidup. Kau membuatku terlibat, Lord Peverell. Dan perjanjian lama kita membuatku tidak bisa mengelaknya. Ya. Aku akan membantumu. Aku akan memastikan kau mendapatkan warisanmu dengan benar." Bersamaan dengan kalimat itu, sosok Death memudar dari hadapannya.

"Apa yang sebenarnya barusan kualami," bisik Harry.

Suara ketukan menarik kembali kesadarannya. Ando-sensei tidak akan mengetuk dan ia tahu untuk tidak mengganggu Harry saat melakukan ritual. Jadi Harry bangkit, mengibaskan tangannya untuk melenyapkan sisa ritualnya. Sebelum akhirnya membuka pintu itu sambil menyipitkan mata. Ia mengerjap kaget saat mendapati perempuan berambut merah berdiri di depannya.

"Clíona Ní Chiosáin."

"Huh?"

"Itu namaku. Sudah hampir 3 bulan kita menjadi murid Ando-Sensei, tapi tidak pernah sekalipun kau menyapaku."

Harry mengerjap, "Kau juga muridnya?"

Perempuan itu bersedekap, ia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba mengendus. Alisnya mengerut dan ia menutup hidungnya. "Kenapa bau mu sangat tajam dengan sihir hitam?" ia mendorong Harry minggir dan masuk ke dalam ruangan ritual. Jejak ritualnya sudah lama lenyap, tapi aura Death yang kental tidak segampang itu hilang. "Apa yang kau lakukan. Kenapa Ando-sensei sudah mengijinkanmu melakukan ritual?" ia berbalik sambil menyipitkan mata, "Atau kau melakukannya tanpa ijin dari Ando-sensei?"

Harry menaikkan kedua tangan sebagai tameng. "Hei, tenang. Apa maksudmu? Kau tidak diijinkan melakukan ritual?"

Perempuan itu terkesiap. "Apa maksudmu? Itu ranah dark magic. Tidak segampang itu untuk melakukan ritual—" kesadaran muncul dibenaknya, "Ando-sensei sudah mengijinkanmu?!"

"Dia tidak pernah melarangku."

Perempuan itu mengeluarkan rangkaian bahasa asing yang terdengar seperti Kumpulan makian abad ini. Lalu, ia menarik tangan Harry, "Ajari aku."

"Apa?"

"Dark Magic."

Harry menghela napas. Mengusap pelipisnya yang berdenyut. "Aku tidak punya waktu. Tolong jangan mengangguku. "

"Kau pikir aku akan menyerah dengan satu penolakan!" serunya sambil menarik lengannya, meninggalkan pintu terjelebam menutup dibelakangnya.

Harry berakhir di Aula Avalon. Duduk disalah satu meja bundar, bersama empat orang murid yang di terima bersama dirinya. Clíona memperkenalkan dirinya secara serampangan, dan menunjuk setiap orang yang ada sana sambil memanggil nama mereka. Seorang pemuda dengan sisik biru yang berkilat di sekitar matanya, yang mana menunjukkan ciri Draconis, tersenyum pada Harry. "Selama kenal, Hamish Duncan, panggil saja Jack."

"Dia membenci namanya," jelas Vampire perempuan bernama Finley, bersebelahan dengan saudara kembarnya, Rory Sinclair, yang mendengus saat diperkenalkan. Saudarinya menyodok perutnya. "Yang sopan. Dia tercium seperti Vampire, jadi dia berhak duduk diantara kita."

"Dia manusia."

"Begitu juga Clíona."

Rory mendungus lagi, "manusia dari mananya—"

"Hei! Aku hanya sepertiga Veela!" seru Clíona kesal sambil menendang kakinya.

Harry mengerjapkan mata.

Jack tiba-tiba memeluk Harry dari belakang. "Hei. Ingin duel?" tangannya yang ada di bahu Harry memercikkan api. Rune disisi tubuh Harry menghangat, seketika seolah dalam gerakan lambat, Harry menangkis tangan itu, mendorong mejanya dan menarik taplak putihnya, melemparkannya ke udara sebagai perisai sihir saat Jack menyemburkan api biru dari mulutnya. Harry mencabut dagger-nya dan memulai tarian perangnya.

Tidak ada seorangpun di Aula itu yang menghentikan pertarungan brutal mereka. Para Profesor yang ada disana hanya ikut melihat. Beberapa bersedekap dengan pandangan penuh penilaian, beberapa mengeluarkan video kamera—jika itu memang benda yang dimaksud. Beberapa, seperti Alexander bahkan melanjutkan menyesap wine bloodnya seolah sedang menjalani makan malam yang normal. "Mau bertaruh kira-kira siapa yang menang?" kata seorang Profesor yang memiliki warna rambut ungu terang. Ia berpicara pada semua orang dewasa yang ada di mejanya, bahkan walau sesekali ada lesatan sihir yang meluncur ke arahnya, ia hanya menjentikkan jari untuk membuat portego.

"Bukankah itu sudah jelas," sahut yang lain. "10 Galleon untuk Jack."

"20."

"50!" tidak ada satupun yang percaya diri dengan kemenangan Harry saat bertarung dengan manusia berdarah Naga. Tapi tiba-tiba saja, saat mereka sedang seru berdebat seberapa besar yang harus dipertaruhkan, Alexander melemparkan sekantung uang ke tengah meja. "Semua itu untuk Corvi."

Keheningan muncul diantara mereka. Tak lama, beberapa bahkan ada yang menarik kembali uang taruhannya.

"Hei!"

"Aku tidak mau rugi. Gajian masih lama! Siapa yang mau menjadi lawan taruhan Alexander!"

Ya, seperti yang diprekdisikan sang tetua Vampire. Harry memenangkan pertarungan itu. Walau harus mengorbankan sebagian dari wilayah Aula hancur dan sihir hitam yang menguar disana. Harry duduk diatas kepala Jack sambil membersihkan dagger-nya. Tampak sama sekali tidak berkeringat. Semua orang membentuk lingkaran di sekitarnya, meneteskan keringat dingin. 

Alexander menepuk tangannya sekali dan berkata, "Nah, sudah. Mari kita akhiri makan malam yang... cukup penuh semangat ini. Corvi," katanya sambil mengulurkan tangan. "Ada yang ingin kuceritakan padamu. Ayo ikut aku."

Harry melompat dari tempat duduknya yang keras, dan tanpa berpikir dua kali, seolah itu selalu dilakukannya, ia menggenggam tangan sang kepala sekolah sihir. "Mau kemana? Aku masih lapar."

"Aku akan memanggil house elf. Kamu bisa minta apa saja," suara sang kepala sekolah masih bergaung saat mereka lenyap dalam putaran sihir.

Finley menepuk pipi Jack yang masih tergeletak di lantai sambil tersenyum. "Apa kubilang. Dia bukan orang biasa."

Jack hanya mengelembungkan pipinya. Finley menepuk pipi itu beberapa kali. "Jika belum sampai seperti ini memang kalian tidak akan puas, hm..." kata Finley ke saudara kembarnya yang hanya membalasnya sambil mengerdikkan bahu.

"Kan aku hanya memastikan rumor," gerutunya.

"Dasar bocah," komentar Clíona.

Di sanalah di mulai pertemanan yang tidak wajar antara Harry dengan kelompok aneh ini. Dibilang persahabatan, hubungan mereka juga tidak tepat disebut seperti itu. Terutama dengan Clíona. Sikap pantang menyerah Perempuan itu membuat Harry mau tidak mau memberikan saran disana sini dan menjawab pertanyaan-pertanyaan liar Clíona mengenai sihir.

Tidak lebih dari itu.

Tapi dibandingkan dengan hubungan pertemanannya dengan murid lain, Clíona memang bisa dibilang paling dekat dengan Harrry, layaknya nyamuk yang selalu ada disekitarnya. Ia mentolerir perempuan itu karena Clíona tahu batasan pada saat seperti apa ia mengganggu Harry. Ia tidak pernah mencampuri urusan Harry dan tidak pernah memburu pada pertanyaan yang tidak ingin dijawab Harry. Hubungan mereka setimpang itu.

.................

Rupanya, Alexander memanggilnya untuk memberikan gulungan perkamen pada Harry. Nama Hannibal tertera disana. Ia membisikkan kode sihirnya dan membuat gulungan itu terbuka sendiri. Alexander menuangkan teh di cangkir Harry, sementara ia sibuk membaca laporan Hannibal.

"Ada beberapa penyerangan oleh Pelahap Maut di desa-desa Muggle yang dekat dengan pemukiman sihir," kata Harry. "Juga, Lucius Malfoy menyembunyikan Manornya dengan fidelius Charm." Harry mengerjap. Tampaknya Lucius memutuskan untuk tidak memberikan kesempatan sedikitpun bagi Pelahap Maut untuk masuk ke dalam rumahnya. Harry perlu memastikan seperti apa posisi pria itu sekarang.

Apakah dia berada dalam posisi yang masih aman? Dalam artian ia mampu memberikan alasan pada para pengikut Voldy mengapa ia menyembunyikan rumahnya... ataukah Harry perlu memasukkannya ke dalam daftar orang-orang yang diberi 'perlindungan rumah'. Jika Lucius berada diposisi yang terakhir, maka itu sebuah kemunduran bagi Harry, karena tidak ada yang bisa leluasa mengawasi Kementerian untuknya... kecuali Hannibal tentu saja. Tapi, Lucius punya koneksi dan pengalaman yang jauh lebih banyak dari Hannibal...

Lalu ia melanjutkan membaca, "Voldemort sudah mulai menggerakkan fraksi-fraksi hitam, terutama makhluk sihir?"

"Hm... ya... aku mendengar ada beberapa kelompok makhluk sihir yang berkeinginan untuk mendukung Dark Lord. Tapi, aku sudah mengirim orang untuk menyelidikinya. Mereka masih belum benar-benar bergerak, dan masih mempertimbangkan tawaran Dark Lord."

"Apa kau bisa menarik mereka ke pihak kita?"

"Jika kau ikut campur, tentu."

Harry menarik napas. "Ya. Pakai saja namaku sesuka hati. Buat mereka mendukung kita."

"Terima kasih, Heir Merlin."

.........................

Selama hampir setengah tahun ia berada di Avalon. Semenjak pertemuannya dengan Death, Harry mencoba berbagai cara untuk menguasai sihir yang dibutuhkannya. Ia melahap semua catatan Merlin. Bahkan, ia beberapa kali memasuki ruang dimensi tempat core Avalon berada dan bertemu Merlin. Pria itu memberinya banyak PR, lebih banyak dibandingkan Ando-sensei. Selama itu ia mempersiapkan dirinya untuk perburuan ini.

Harry menjentikkan jarinya, membuat tumpukan pakaian di atas ranjang menyusut seperti dadu dan memasukkannya ke kantong kainnya. Semua barang pribadinya berada dalam kantong kain itu—sebuah kombinasi sihir ruang yang akan membuat mata Hermionie terbelalak andai ia mengetahui serumit apa aritmatikanya.

Ia mengambil bluestone dan mengibaskan tangannya untuk menghapus seluruh jejak keberadaannya di ruangan ini. Ia membuka jendela dan melompat ke bawah, sihir membawanya meluncur ke pinggiran hutan Gaib Avalon.

Ia melemparkan pandangan terakhir pada kastil itu sebelum masuk ke dalam kegelapan hutannya, mengikuti aliran Sungai untuk menuju ke danau yang berada di tengah hutan. Di tangannya, bluestone berpendar lemah dengan cahaya sihir biru. Benda ini adalah kunci keluar masuk Avalon. dipinjamkan padanya oleh Alexander setelah ia menyatakan keinginannya untuk kembali ke Britania. Kepala sekolahnya itu hanya memandangnya sejenak, mengamatinya dengan mata penuh penilaian sebelum akhirnya mengangguk. "Apa kau menemukan cara untuk mengembalikan jiwa Marcus?"

Harry mengerjapkan mata, "Bila aku berhasil, aku akan punya harapan untuk itu."

"Hm.... Aku akan mengijinkanmu. Tapi, ingat. Walau kau berada diluar sana, identitasmu sebagai murid Avalon tidak lenyap. Terus waspada dan kembalilah jika urusanmu sudah selesai."

Harry tersenyum mengangguk dan menerima bluestone dari tangannya. "Benda ini akan membawamu pulang dan pergi dari Avalon. Jaga baik-baik, Heir Merlin."

"Terima kasih, sir."

Harry meninggalkan Hogwarts tepat pada tanggal 24 Juni, saat turnamen Triwizard terakhir berlangsung. Sekarang sudah bulan Maret, jadi sudah hampir setahun lebih ia meninggalkan tanah Hogwarts. Tapi, kini ia harus melangkah pergi lagi. Dan Harry yakin ia akan terus melangkah, sejauh apapun itu, asal bisa kembali dalam pelukan Marcus.

Harry melangkah menyusuri danaunya yang berkabut, setiap langkahnya, air menyibak membelah memberinya jalan. Saat ia tiba di pulau kecil yang berada di tengah danau, portal biru terbuka.

"CORVI!" Clíona berlari menuju ke arah Harry, Jack mengikuti di belakangnya. Mereka dikejar aliran air yang mulai menggulung saat sihir yang membelah danau perlahan memudar.

"Apa yang kalian lakukan?!"

"Kau sendiri apa yang kau lakukan, mau meninggalkanku!!"

"Shit!" Harry mengibaskan tangannya untuk mencegah airnya menggulung dan menenggelamkan Clíona dan Jack. Lalu, tangannya yang lain membuat gerakan menarik. Bersamaan dengan tubuh mereka bertiga saling berbenturan, portal Avalon melahap mereka dalam pusaran sihir.

Mereka dimuntahkan ke bumi. Harry menggelengkan kepalanya karena telinganya berdenging. Mengeluarkan mantra bersamaan dengan menggunakan portal dimensi membuat sihirnya menjadi aneh. Kedua temannya mengerang tak jauh dari sana.

"Apa yang kalian pikirkan? Itu sangat berbahaya."

"Kau sendiri? Tiba-tiba pergi tanpa berpamitan," sahut Clíona.

"Aku punya urusan."

"Yeah. Seolah kami tidak tahu itu. Kami sudah tahu sejak kau mulai bersiap-siap. Tidak ada orang normal yang dengan sengaja mengukirkan rune perlindungan disekujur tubuh—"

"Hanya disisi tubuh," sergah Harry.

"—jika bukan karena alasan penting. Aku tidak akan membiarkanmu pergi ke medan perang sendirian."

"Kalian bahkan tidak tahu apa perangku."

"Aku tidak peduli. Kau teman kami. Ya, kan Jack."

"Aku tidak peduli. Aku hanya ingin jalan-jalan."

"Tsundere."

Harry menghela napas. "Aku tidak mau tahu kalau kalian terluka saat mengikutiku."

"Aku suka duel. Berikan aku duel," gerutu Jack sambil melangkah mengikuti Harry. "Omong-omong, kita mau kemana."

Harry menghela napas putus asa. Cobaan apalagi.... Yang diberikan lady fate padaku, batinnya. Andai saja telinga Harry bisa mendengar suara tawa pelan dari alam semesta.

Bersambung.

Forward
Sign in to leave a review.