
The Veil
Harry berdiri, mata emeraldnya menyapu sekitar; pada dinding-dinding batu tersusun Stonehenge. Di belakangnya, kedua teman Avalonnya masih memperdebatkan sesuatu yang tidak diperdulikan Harry. Ada rasa tidak nyaman karena sudah diikuti, seolah sebagian privasinya direnggut. Terlebih, oleh orang yang mengira mereka dekat. Harry tahu keduanya tidak akan lama bersamanya, dan guru-guru dari Avalon juga tak kan membiarkan kedua biang kerok ini terlalu lama kabur. Harry berusaha tidak memikirkan lebih jauh demi kesehatan mentalnya.
“Jadi, kemana kita?” tanya Clíona, tapi Harry tidak menimpali.
Harry berdiri diam, menatap ke kejauhan, hingga tak lama kemudian suara Tar! Apparition terdengar. Dari garis Horizon dimana cahaya matahari dan bumi menyatu menjadi garis lurus cahaya, muncul seluet seorang pria, yang tak lama kemudian berjalan mendekat. Rambut hitamnya yang dikuncir tinggi berkibar dan mata emasnya menatap Harry dengan rasa puas, seolah telah menanti-nantikan saat ini. Bola mata itu bergulir sebentar kepada dua orang asing yang mengikuti Harry, sebelum kembali lagi padanya. Saat jarak mereka hanya beberapa langkah, pria itu mengibaskan jubahnya ke Belakang dengan elegan, sebelum merundukkan tubuh dengan satu kaki, memberikan penghormatan bak bertemu raja. Ujung jarinya menyentuh ujung sepatu boot naga Harry. “My Lord,” katanya dengan khitmat, sungguh tipikal Barty.
“Hannibal,” sapa Harry, menatap ke bawah dengan tidak nyaman. “Sudah kubilang berhenti dengan formalitas omong kosong.” Ia bisa merasakan tatapan intens di belakang kepalanya. Harry tidak yakin, apa kelakuan Barty disengaja atau tidak, tapi yang jelas Harry tahu bahwa Barty memang suka pamer—terutama mengenai penghambaannya pada Harry.
Mendengar nada bicara Tuannya, Barty hanya menyeringai lebar, sebelum akhirnya berdiri tegak, “Saya mengira kita akan melakukannya sesuai rencana,” kata Barty sambil memandang ke balik punggung Harry. “Bagaimana dengan tamu-tamu Anda?”
Tamu tak diundang lebih tepatnya, Harry menghela napas, “Bawa saja mereka ke Knightsbridge, tak lama akan ada orang dari Avalon yang datang menjemput mereka.” Harry sudah bisa menebak siapa mereka. Setelah beberapa saat ia menambahkan, “Aku akan menunggumu di makam,” kata Harry sebelum mengambil satu langkah dalam putaran Apparated tanpa suara, meninggalkan kedua temannya tertegun, tak menyangka Corvi tega meninggalkan mereka sendirian.
Mata emas Barty yang misterius kembali menatap kedua orang asing itu, ia tersenyum, membuat bulu kuduk Clíona dan Jack berdiri. “Merry Meet, perkenalkan aku adalah Hannibal Aemillius Cannae. Lord dari House of Crouch.”
Mata kedua siswa Avalon itu seketika melebar begitu mendengar pria yang berdiri di depannya adalah seorang Lord.
Kau kira mudah bertemu seorang Lord dalam kehidupan sehari-hari? Bila kau tidak bekerja di Kementerian, atau tidak memiliki hubungan dengan kaum elit penyihir, bertemu dengan seorang Lord sama langkanya seperti bertemu superstar. Dan seorang Lord menurunkan tubuhnya lebih rendah di depan laki-laki bernama Corvi. Dia sebenarnya siapa? Batin, tidak hanya Clíona, tapi juga Jack. Clíona melirik Jack yang wajahnya sudah pucat pasi—seolah berkata; dan orang seperti itu yang kau tantang berkelahi?
“Marry Meet… Namaku Clíona Ní Chiosáin.”
Clíona menyiku Jack, membuatnya tersentak dan berkata, “Hamish Duncan,” ia berdeham, “Tapi aku biasa dipanggil Jack.”
Barty menaikkan alis, pandangannya beralih pada Clíona, “Chiosáin… nama yang tidak asing dalam kalangan pureblood Irlandia.” Tidak menunggu lebih jauh, ia mengulurkan lengannya, “Aku tidak berencana menggunakan Potkey, jadi ijinkan aku meminta maaf untuk perjalanan yang kurang menyenangkan ini. Mari, kita akan melakukan Apparated.”
Clíona menelan ludah, memandang lengan yang ditawarkan. “Kalian tampak begitu yakin jika orang-orang Avalon akan menemukan kami. Kenapa aku harus mengikutimu menuju tempat yang aku tidak tahu kemana akan menuju. Aku bahkan tidak yakin orang-orang Avalon bisa menemukan kami bila kami melangkah dari sini.”
Barty mengangkat alis, “Bukankah itu yang kalian lakukan saat mengikuti Lord-ku? Tidak mengetahui kemana tempat yang akan kalian tuju, tapi kalian tetap mengikutinya.”
Clíona merona. “Well…”
Barty mendecak, “Tanpa mempertimbahkan urusan Lord-ku, kalian mengikutinya begitu saja seolah ia sedang menuju taman bermain. Lalu kalian kira tidak akan ada konsekuensi dari tindakan itu?”
Clíona berdiri defensive, rasa malu tampak jelas dari setiap pori-pori tubuhnya, sementara Jack lebih melemparkan tatapan agresif pada Barty.
“Mengenai mengapa kami tahu akan ada utusan Avalon yang akan mencari kalian? Aku tidak tahu apapun soal itu, tapi aku tidak punya kebiasaan mempertanyakan perkataan Lord-ku.” Barty tentu saja tahu alasannya, tapi ia tidak akan menjelaskan apapun pada orang asing. Tanpa menunggu lagi, Barty meraih lengan keduanya, dan melangkah berputar, membawa mereka dalam pusaran apparated.
Mengenai, mengapa Harry tidak meninggalkan saja keduanya di pintu masuk Avalon, menurut Barty memang sudah sangat tipikal Harry. Udara sudah sangat dingin di wilayah ini, dan Harry selalu punya soft spot pada apa yang masuk dalam kategori miliknya, bahkan bila dirinya sendiri tidak menyadarinya. Barty adalah salah satu buktinya. Jadi, untuk menghormati Tuannya, ia akan menjamu kedua tamu asing ini selayaknya bangsawan sebelum Harry berkata sebaliknya.
Mereka berhenti di beberapa tempat, sebelum sedetik kemudian kembali berapparated karena jarak tempuh yang luar biasa jauh. Barty tidak punya kemampuan sihir sebesar Tuannya, sehingga mampu melakukannya dalam sekali jalan, dan ia perlu memikirkan resiko splinching.
Knightsbridge yang dimaksud Harry adalah wilayah tempat kediaman pribadinya berdiri. Cukup cerdas untuk Harry tidak mengungkapkan nama dimana tepatnya ia tinggal. Barty beraparated langsung di dalam ruangan khusus—Harry menyebutnya ruang baca—tapi Barty lebih suka menyebutnya penjara berkedok ruang rekreasi. Ada kutukan-kutukan menjijikkan bila kau berusaha keluar dari ruangan itu secara paksa, tanpa persetujuan pemilik rumah. Sebuah Lokasi yang pas untuk membawa tamu-tamu mencurigakan, tanpa harus membuat mereka curiga.
Barty mempersilahkan keduanya untuk duduk pada sofa indah dan klasik yang berdiri disana, satu dari banyak barang mewah yang diletakkan Marcus Flint untuk memanjakan Harry tanpa diketahui pemuda itu semahal dan seantik apa sebenarnya semua barang itu. Vault keluarga Flint memiliki koleksi besar barang peninggalan Merlin.
Kedua anak muda itu duduk disana dengan kikuk, memandangi Barty yang hanya berdiri menunggu dengan ekspresi berpikir seolah sedang menentukan sesuatu. Tak lama Dobby muncul dengan nampan berisi cemilan dan set keramik untuk tea party. Keheningan itu dipecahkan oleh Clíona, “sebenarnya ini dimana?”
Barty mengamati anak-anak rambut merah yang terlepas dari ikatan tinggi rambutnya. Warna merah rambut itu sedikit banyak membuat Barty sadar apa salah satu alasan Harry mempunyai soft spot pada perempuan ini.
“Ini salah satu kediaman Lord Corvi.”
“Lord Corvi, huh,” sahut Jack.
“Kau bisa melepaskan kami, tidak harus membawa kami ke tempat ini. Kini aku tahu jika keberadaanku tidak diinginkan,” kata Clíona dengan nada seolah mencibir dirinya sendiri. “Lagi pula, tidak ada larangan keras untuk anggota akademi Avalon meninggalkan sekolah Avalon.”
Barty mengerjap, “Oh,” dan sekarang kau menyadari keberadaanmu tidak lebih penting dari sekedar kenalan bagi Harry, lalu kau merajuk? Batin Barty. Ia menelengkan kepala.
Barty menyadari sedingin apa Harry sekarang, setelah kehilangan Marcus. Tentu Tuannya tidak lagi banyak memperdulikan hal-hal seperti berusaha menjaga perasaan orang lain, atau mencari teman baru saat nasib belahan jiwanya penuh dengan ketidakpastian. Bila kau mengenal Harry sebelum ia menjadi Corvi, kau akan merasakan jelas perbedaannya. Tapi sebaliknya… Barty tidak menyalahkan kedua anak muda yang telah salah menilai kepribadian Corvi seolah ia seorang dingin di luar, tapi hangat di dalam… tidak Corvi sedingin antartika—diluar atau pun di dalam…
Barty menjawab, “Aku hanya menjalankan perintah. Tapi… andai kata tidak pun, yang kutahu, kebebasan itu hanya dimiliki oleh para siswa Avalon yang mendapatkan ijin khusus.” Tidak seperti kalian, kalimat itu menggantung di udara, membuat keduanya merona. Barty menyadari bahwa umur mereka tidak se-senior yang dikiranya. Mereka bahkan tidak terpoles seperti Harry—Walau, tentu saja Tuannya cukup unik untuk anak seumurannya—Barty menebak kedua anak ini tidak dibesarkan pada lingkungan kaum elit yang terbiasa menyembunyikan reaksi mereka dibalik persona. Mereka terlalu impulsive…
“Kau tampak begitu yakin orang-orang Avalon akan menjemput kami. Kau tahu, kami tidak sepenting itu. Paling-paling mereka hanya akan memberi kami hukuman saat kami kembali.”
“Oh, aku tahu jika kalian tidak sepenting itu,” Barty menaikkan alis. “Masalahnya, kalian melibatkan diri dengan Lord Corvi,” ia berbalik ke arah perapian, “Bukankah begitu, Kepala Sekolah?”
Kaki panjang Alexander melangkah dari api hijau. Beberapa detik kemudian, diikuti oleh dua Vampire yang lain. Seth dan Hacan mengangguk ke arah Barty dengan familiar. Hal yang tidak luput dari Clíona dan Jack.
“Profesor….” bisik Jack ngeri. Ia menelan ludah susah payah.
“Mr. Duncan, Miss Chiosáin.”
Clíona terbelalak ke arah dua Vampire yang mengikuti Kepala Sekolahnya. Siapa yang tidak tahu keduanya. Dibalik status Seth Ravnos sebagai pangeran dari semua klan Vampire dan Hacam Tremere, teman kecil sekaligus pengawal pribadinya, keduanya juga merupakan anggota Dewan Siswa. Bahkan Seth adalah ketuanya. Tapi, yang lebih mengejutkan Clíona adalah kenyataan bahwa perapian di rumah Corvi tersambung dalam jaringan Floo perapian Avalon—atau mungkin suatu tempat antara Avalon dan tempat ini yang cukup familiar untuk Kepala Sekolah dan Corvi.
“Profesor Ravnos… mengapa Anda dan…. ” ia menelan ludah melihat pangeran Vampire menatapnya dengan intens seolah ia makhluk menarik di sirkus, “…yang datang menjemput kami…” tentu saja mereka tahu bahwa Corvi adalah kenalan Alexander Ravnos, bahkan mungkin keluarganya memiliki hubungan dekat atau kerjasama kuno dengan klan Vampire. Tapi tidak ada yang sadar bahwa hubungan itu sedekat, hingga Tetua Vampire itu memiliki akses Floo kediaman Corvi.
“Mr. Ducan. Kebetulan aku juga ada perlu mengantarkan mr. Seth dan mr. Tremere kesini karena tidak ada yang repot-repot mengaitkan sihir mereka dengan key ward tempat ini,” gerutu Alexander. Pria itu mengibaskan tangannya lembut, memberi isyarat untuk Clíona dan Jack menuju ke depan perapian. Bersamaan dengan itu, Seth melangkah dan memberikan pelukan hangat pada Barty, “Hannibal, lama tidak bertemu.”
“Prince Ravnos.”
“Sudah kubilang tidak perlu seformal itu,” katanya sambil melepaskan pelukan. “Corvi sudah menunggu di tempat janjian?”
“Aku terkejut kau tidak langsung kesana.”
“Hm… aku hanya penasaran dengan kedua siswa yang tiba-tiba kabur mengikuti Corvi,” pandangannya kembali ke Clíona yang masih menunggu giliran memakai perapian. Telinganya tampak semerah rambutnya. Rambut merah itu lenyap ke dalam pusaran hijau Floo setelah ia meneriakkan alamat perapian salah satu kedai di Silasbury yang berjarak sekitar 8 mill (13 km) dari Stonehenge. “Sampai jumpa lagi, Profesor.”
“My Prince… mr. Tremere.” katanya sebelum melangkah memasuki perapian yang menyala.
Setelah hanya ada mereka bertiga di ruangan itu. Barty mengulurkan tangannya dan tanpa banyak bicara, mereka bertiga berapparated ke Little Hangleton. Sudah senja saat mereka sampai disana. Langit berangsur-angsur berubah dari merah menjadi biru tua. Matahari turun lebih cepat saat musim dingin. Barty memimpin jalan menuju tempat sihir Tuannya berdengung penuh kekuatan. Sebagai vasal Peverell, tidak mengherankan bila ia lebih sensitif terhadap sihir Harry. Mereka melihat sosoknya berdiri di ujung ngarai dengan pohon raksasa berdiri di dekatnya. Di bawah ngarai itu, sebuah gereja terbengkalai dan pemakaman tua tampak jelas. Begitu juga kediaman keluarga Gaunt karena sihir yang semula menyembunyikannya mulai memudar. Kehilangan keturunan berbakat akibat pernikahan sedarah, membuat tidak ada lagi orang yang menginfuskan sihir pada ward kuno yang semula melindungi tanah keluarga kuno itu. Perlahan-lahan menghilang, seperti makin menyempitnya tanah keluarga itu, hanya menyisakan sebuah kondo tua dari sisa kejayaan keluarga penyihir. Apa yang dulunya dimiliki oleh Gaunt kini telah dibeli oleh keluarga Muggle yang menguasai sebagian besar wilayah di Little Hangleton. Cukup ironis pula saat mengetahui rahasia bahwa perbukitan itu, tanah pertaniannya yang terbengkalai, sesungguhnya kembali dalam genggaman Gaunt terakhir. Tapi kebencian dan kegilaan Tom Marvolo Riddle Jr membuatnya menghancurkan dan melenyapkan kedua keluarga yang sama-sama tidak menginginkannya. Menyisakan kegilaan dari jiwa yang telah tercabik-cabik menjadi beberapa bagian. Hingga inti dari jiwa itu tidak lebih dari gema dari Tom Riddle yang sesungguhnya. Tapi dari semua pemandangan menyedihkan itu, mata Harry hanya tertuju pada bagian dari pemakaman—tempat jiwa Marcus kehilangan wadahnya.
“My Lord,” sapa Barty. Mata jelinya mengamati jubah hitam kelam yang dipakai Harry. Jubah itu memiliki aksen perak yang tampak seperti pohon dengan sulur-sulur menjalar menjadi bintang-bintang dan akar yang menjulur masuk ke dalam tanah. Bila Merlin melihat aksen dalam jubah itu, pria itu pasti langsung mengenalnya sebagai pohon dunia, pohon yang tiap rantingnya melahirkan daun-daun tempat semua dunia muncul dan gugur—sesuatu yang manusia anggap sebagai kiamat.
Jubah itu Istimewa. Pada awalnya, saat ia hanya disebut sebagai jubah menghilang, bentuknya tidak seperti itu. Tapi setelah Harry menerima misi untuk mengumpulkan relik kematian, jubah itu terkelupas, seperti cangkang dari cahaya yang pecah, menyisakan bentuk asli dari salah satu Relikui Kematian. Jubah itu tidak lagi jubah menghilang saat dipakai. Tentu ia tidak kehilangan fungsinya, tapi jubah itu hanya akan menjadi jubah menghilang saat Harry menginginkannya. Selebihnya ia bisa berfungsi sebagaimana jubah biasa. Mungkin saat Death mendesainnya hanya untuk mengejek lady fate bahwa bahwa Kematian bahkan tak dapat dihalangi oleh waktu.
Benda itu biasanya tersimpan rapi di dalam koper Harry, yang selalu terkalung di lehernya. Namun, saat ia menemukan cincin Gaunt—terkutuk dengan sihir menjijikkan yang mendorong agar orang memakainya dan membunuhnya, serta jiwa Voldemort menggema seperti jeritan bayi putus asa—seketika jubah itu keluar dan menjatuhkan dirinya ke punggung Harry. Seketika, Harry tahu bahwa cincin itu selain adalah Horcrux, juga adalah Cincin Kebangkitan. Death melingkupi cincin itu dengan rasa marah dan menyiksa jiwa Voldemort yang tersimpan di dalamnya. Membuat Harry geleng-geleng kepala sendiri saat mengetahui Tom Riddle tanpa sadar memilih benda paling sakral milik Death saat ia berusaha kabur dari Kematian. Tidak menyadari jiwanya disiksa oleh deity yang kesal. Harry heran apa Voldemort benar-benar tidak bisa merasakan jiwanya sedang disiksa? Paling tidak—paling tidak—ia akan merasa sakit kepala kronis, kan? Well, apapun itu Harry menyebutnya ironi.
Barty terkesiap saat Harry berputar menghadap mereka. Melayang di depannya adalah benda dengan kutukan paling gelap yang pernah dilihat Barty. Cincin itu begitu gelap seolah memakan cahaya dan asap hitam menguar darinya. Tapi seolah tidak ada yang salah dengan semua itu, Harry malah berkata dengan nada tenang, “Barty, kenapa kau membawa kedua orang ini kesini. Sudah kubilang aku bisa mengatasinya sendiri.”
“Kau bilang bisa mengatasinya sendiri? Benda itu?” sergah Hacan. “Aku bahkan bisa merasakan taringku linu karena kutukan gelapnya. Benda apa itu?”
“Horcrux milik Voldemort.”
Barty terkesiap. “Itulah mengapa Dark Lord tidak bisa mati!”
“Apa itu bisa dihancurkan?”
“Ya. Aku tahu beberapa cara untuk menghancurkannya. Taring Basiliks, racunnya… hm… tapi aku tidak bisa menghancurkannya.”
“Bukankah kau memiliki taring ataupun racunnya?” tanya Barty bingung.
“Ya. Tapi aku tidak ingin menghancurkan cincin ini. Ini adalah salah satu relik keluarga Peverell.”
“Jadi apa rencana mu? Kalau itu tidak bisa dihancurkan.”
“Hm…” ia menatap ketiga temannya, “mencari cara agar aku bisa menghancurkan Horcrux-nya, tapi tidak cincinnya. Untuk itu aku membutuhkan bantuanmu, Hannibal.”
Barty menatap penasaran, “Aku, My Lord.”
“Aku butuh merebut tongkat Dumbledore. Tolong bawa aku memasuki Hogwarts menggunakan akses yang kau miliki.”
“Aku tahu kau gila Harry,” kata Seth, “Apa itu dampak dari namamu yang selalu dipakai untuk memaki? Oh Janggut Merlin!” pemuda itu merangkulkan lengannya ke bahu Harry, berhati-hati tidak menyentuh cincin yang melayang di depannya. “Tapi, tentu aku juga tidak bisa melewatkan kegilaan ini.”
“Hidup mu sungguh seperti roller coaster. Aku penasaran alasan mengapa harus tongkat Dumbledore, tapi aku takut dengan jawabannya.”
“Well, dibilang merebut tongkat, tapi tongkat itu relik Peverell, jadi…” Harry mengerdikkan bahu.
“Aku tidak mau berpikir, mengapa tongkat dan cincin. Satu benda lagi, maka aku tidak akan tidur nyenyak karena jawabannya,” gerutu Hacan sambil berbalik untuk mencengkeram lengan Barty. “Ayolah Wakil Senior Menteri Sihir. Kita pergi dari tempat ini.”
Harry tertawa kecil, tapi tidak ada humor dalam suaranya saat ia menyentuh bahu Barty.
“Em… My Lord… Anda yakin bisa merebut tongkat itu darinya? Apa kita tidak perlu merencanakannya lebih matang lagi…?”
Harry mengerjap. “Oh. Tidak perlu. Lagian aku cuma butuh menyapa tongkat itu. Dia sudah jadi milikku lagian, entah siapapun yang saat ini membawanya.”
“Aku sungguh-sungguh tidak mau berpikir bila benda ketiga dan terakhir adalah jubah…. Maka itu akan disebut—”
Seth menutup mulut Hacan, menjadikannya pegangan. “Hush.” Lalu mereka lenyap dalam pusaran Apparation.
Mereka muncul di salah satu halaman Hogwarts yang tersembunyi. Anti-Apparation membuat mereka tidak bisa langsung masuk ke dalam kastilnya. Harry segera mengkonjure sebuah bola kaca untuk menyimpan cincin terkutuk itu dan menyerahkannya pada Barty. Meminta pria itu untuk menyimpannya. Lalu, pada kedua Vampire itu, Harry menatap tajam.
“Kau pikir kami akan membiarkanmu pergi sendirian, saudaraku?” kata Seth sambil menepuk pipi Harry. Membuat Harry menyipitkan mata. Seth seketika berubah menjadi kelelawar dan bertengger di bahu Harry.
“Ide bagus,” sahut Hacan sebelum merubah dirinya juga dan mendarat di puncak kepala Harry. Membuat Harry mengibas pergi kelewar nakal itu dan membuatnya hinggap di bahunya yang masih kosong.
Harry memutar bola matanya.
Koridor Hogwarts sepi karena sekarang masih dalam jam makan malam. Seandainya tidak pun, tidak akan ada orang yang berpapasan dengannya karena Harry memilih koridor tersembunyi sebagai jalan pintasnya menuju ruang kepala sekolah. Patung besar dan jelek yang menjaga pintu ruangan itu terbuka dengan sendirinya saat merasakan keberadaan Harry. Hogwarts tidak akan pernah membiarkan anak kesayangannya mendapatkan penghalang dari dinding-dindingnya. Lagi pula, berbeda dengan Tom Riddle, darah Harry tidak hanya mengalir darah founder Hogwarts, tapi juga sihir Death. Tidak ada apapun yang bisa menghalangi Death.
Jubah hitam Harry berkibar saat ia berjalan masuk. Melihat ruangan yang kosong dan duduk di kursi bersandaran tinggi dibalik meja Dumbledore. Phoenix merah yang bertengger tinggi menjerit saat melihat Harry dan terbakar seketika saat bersitatap dengan matanya. Harry tertawa kecil. Phoenix, terutama yang berwarna merah, hewan yang menjadi simbol life magic, seperti halnya Trestral dan Black Phoenix untuk Death Magic. Tidak mengherankan menemukan menemukan Phoenix merah di ruangan Dumbledore. Lady Fate menyukai Phoenix merah dan greater good-Nya.
Harry menunggu sambil memainkan pernak-pernik di meja Dumbledore. Saat bulan bergulir makin tinggi, akhirnya pintu kantor itu terbuka dan Dumbledore melangkah masuk. Betapa kagetnya saat pria itu melihat Harry yang sudang menurunkan penutup wajahnya, duduk di kursi kerjanya. Harry melihat tongkat Dumbledore otomatis meluncur ke tangannya.
“Harry…”
“Selamat malam, Profesor.”
“Harry… kau kembali. Syukurlah… syukurlah anakku…. Kau baik-baik saja.”
Harry mengerjap, menelengkkan kepala.
“Dimana kau selama ini, Anakku?.”
“Sudah Saya bilang, Kepala Sekolah. Tolong jangan memanggil Saya dengan julukan itu. Itu membuat Saya kurang nyaman. Lagi pula hubungan kita tidak sedekat itu.”
“Oh. Harry. Mungkin kau tidak tahu ini. Tapi aku sangat dekat dengan orang tuamu. Aku pernah menggendongmu saat kau baru dilahirkan,” katanya dengan nada kakek yang bijaksana.
“Ah. Itu juga yang membuat orang tuaku menjadi tentara kecilmu di usia mereka yang masih sangat muda? Kudengar mereka menikah begitu lulus Hogwarts dan mendapatkanku setahun kemudian. Bukankah itu membuat mereka hanya berumur 19 tahun? Masih sangat muda untuk mati karena greater good, bukan?” Harry berdecak, kembali berkata tanpa memberikan kesempatan Dumbledore untuk menjawab. “Tapi bukan untuk membahas hal itu aku kesini. Kepala Sekolah, tolong kembalikan tongkatku.”
“Tongkatmu?”
“Seperti yang anda lihat, Saya tidak memiliki tongkat. Tongkat lama saya yang memiliki bulu Fawkes sudah merasa kami tidak memiliki kecocokan dan memilih untuk menghancurkan diri. Jadi, saya membutuhkan kembali tongkat keluarga saya untuk di kembalikan. Tongkat Elder, maksud Saya.”
Tongkat di tangan Dumbledore tampak bergetar, seolah sedang berontak, walau wajah Dumbledore tidak menampakkan ekspresi selain kebingungan, “Aku tidak mengerti, anakku. Apa yang kau maksud.”
Harry mengulurkan tangan. Seketika tangan Dumbledore yang menggenggam tongkat Elder tersentak terangkat, seolah tongkat itu akan meluncur lepas seketika bila Dumbledore tidak memegangnya dengan kuat. Kedua Vampire di bahu Harry mulai bergerak-gerak gelisah saat udara dingin mulai menderu dan cahaya di ruangan itu entah mengapa terasa makin meredup.
“Tongkatnya, Profesor…” bisik Harry. Ia bisa merasakan sentuhan tangan Death di lengannya. Menggema bersama suaranya. Membentuk perintah, “Kembali pada ku Tongkat Elder.”
Dalam pekikan Dumbledore, tongkat itu melesat ke tangan Harry.
“Aku sarankan Anda segera mencari tongkat baru, Profesor. Mengingat hari-hari ke depan semakin berbahaya.” Lalu Harry beraparated meninggalkan ruangan itu. Seketika cahaya kembali terang dan angin misterius itu mereda. Meninggalkan Dumbledore berdiri membeku sambil memegangi dadanya yang berdegup kencang. Tidak ada manusia hidup yang merasa baik-baik saja setelah mencicipi sentuhan Death.
Berbeda dari yang mungkin disangka Dumbledore, Harry tidak berapparated sejauh mungkin dari Hogwarts. Harry muncul tanpa suara khas Apparated di dalam ruang pribadi Barty di Hogwarts. Mengagetkan pria itu, hingga ia jatuh terduduk. Kedua Vampire di bahu Harry tidak menunggu untuk kembali ke wujud asli mereka dan mengambil jarak dari Harry sambil mengusap lengan seolah kedinginan.
“Kau bisa beraparated di dalam Hogwarts…” bisik Barty.
Harry memandang dengan dingin ke arah langit gelap di balik jendela. Setelah mengumpulkan Deathly Hallow, tidak ada lagi pengekang yang bisa menghalanginya. Secara, ia menguasai Relik kematian yang menjadikannya Master of Death. Tapi bukan kepuasan akan hidup abadi seperti dongeng yang dicari Harry. Menjadi Master of Death hanya satu syarat terakhir agar Death mau membantunya mengembalikan jiwa Marcus. Mau ia hidup abadi atau tidak, Harry tidak peduli. Mungkin seharusnya ia memikirkan hal itu lebih jauh lagi, tapi itu bisa ditunda saat ia menemukan kewarasannya kembali.
“Barty, berikan cincin itu.”
Cincin itu melayang ke atas tangannya. Bola kacanya terpecah jadi dua, meninggalkan cincin yang diselimuti kegelapan. Harry menusuknya dengan ujung tongkat terkuat di muka bumi. Tongkat yang sesungguhnya tidak diciptakan untuk mereka yang masih hidup. “Finite Incantatem,” Kutukan itu lenyap dalam sedetik, “Avanda Kadarva,” tekanan sihir mematikan itu terfokus pada satu titik, begitu sinar hijau itu melesat mengenai cincin itu, lantai dibawah kaki Harry retak dengan suara keras, dengan Harry berada di pusatnya. Menunjukkan tekanan sihir yang bahkan bisa mendistorsi ruang. Disaat yang bersamaan, debu yang melayang diudara berhenti dan Death muncul dengan jubah kebesarannya. Melayang di depan Harry, hanya ujung kakinya yang menyentuh lantai.
“My Dear,” sapanya singkat. Lalu pada cincin itu, ia berkata, “Mari Tom Riddle, kau bisa bersamaku sambil menunggu waktu mu untuk mati dan berkumpul dengan jiwa-jiwamu yang lain,” bola cahaya yang redup dan kecil, seperti kunang-kunang diambang kematian—sangat berbeda dengan milik Marcus—meluncur ke tangan Death. Pada Harry ia berkata, “Serahkan sisanya padaku, dear.”
“Jangan lupa janji mu, Death. Kau bilang akan membantuku menemukan cara untuk mengembalikan jiwa Marcus ke tubuhnya dan membuatnya hidup, begitu aku berhasil mengumpulkan Deathly Hallow.”
“Tentu saja, Little Master. Death tidak pernah melanggar janji. Temui aku di ruang Veil.”
“Ruang Veil? Maksudmu Ruang Veil di Kementerian?”
“Tentu saja, dimana lagi tempat paling tua di muka bumi, tempat dimana rantai dunia yang menciptakan dimensi ini saat pertama kali dibuat, sebuah penghubung terakhir dengan pohon dunia.”
Harry merinding saat mendengar itu. Pengelihata itu, dimana tubuh Marcus tergeletak tanpa suara di depan Veil akhirnya menjadi kenyataan.
“Sampai bertemu di tempat itu, Little Master…” seketika ia lenyap, bersamaan dengan waktu bergulir kembali.
Harry menangkap cincin Kebangkitan itu sebelum ia jatuh dan memasukkannya ke jarinya, bersebelahan dengan cincin Lord-nya. Ketiga temannya yang melihat itu hanya bisa membeku. “Sudah? Begitu saja?” kata Barty.
“Hm… ” Harry mengangguk. “Ini Tongkat Elder, lagi pula. Di tangan Peverell tidak ada yang bisa menggantikannya selain Death sendiri.” Lagi pula, tongkat Elder jatuh ke tangan orang selain Peverell bukan dalam pertarungan, tapi dicuri. Tidak ada cara selain dicuri karena dalam pertarungan, tongkat ini tidak pernah kalah. Tapi tentu saja, di luar Peverell, tidak akan pernah ada yang bisa membangkitkan potensi sesungguhnya tongkat ini, Dumbledore sekali pun.
“Lalu, apa rencana selanjutnya?” tanya Barty.
“Selanjutnya, huh…” Harry melangkah dan berputar dalam lingkaran Apparated, meninggalkan ketiga temannya tanpa penjelasan.
“Apa-apaan—”
“Kemana dia pergi!”
Keduanya memandang Barty.
“Aku tidak bisa merasakan sihirnya lagi,” bisiknya ngeri. Antara Harry sudah berada di tempat yang sangat jauh, atau ia bisa dengan sempurna menutup jejak sihirnya.
Harry muncul dalam pusaran di ruangan berlantai ubin hijau mengkilap yang memantulkan cahaya. Ia mengerjap. Cukup terkejut bahwa ia bisa beraparated ke tempat yang tidak pernah di datanginya selain dalam ingatan Seer-nya. Antara ia telah memecahkan salah satu kelemahan dalam teori sihir apparated, atau Deathly Hallow memiliki kekuatan untuk membengkokkan hukum-hukum sihir. Apapun itu, kenekatan Harry membuatnya mampu menjebol sistem pertahanan Kementerian. Ia bisa merasakan semua alaram sihir diaktifkan, ia yakin Auror sudah membanjiri Kementerian, berusaha mencari tahu penyebab ward dari Kementerian sihir telah jebol. Tapi, siapa yang menyangka bahwa penyebabnya berada di lantai paling dasar Kementerian, di ruangan paling tersembunyi dan paling dalam, ruangan Veil yang misterius.
Saat Harry membuka pintunya, di ujung jauh ruangan itu, tepatnya di depan Veil yang selalu mendesiskan bisikan-bisikan tak beraturan, berdiri deity paling di takuti oleh mereka yang masih hidup. Death berdiri agak membungkuk di depan Veil itu, mengamati kuku hitam tulang belulangnya dengan tatapan bosan.
“Ah, Little Master.”
“Death, apa kau sudah mau menjelaskannya padaku? Mengapa disini?” Harry mengambil beberapa langkah, tapi berhenti karena aura dari Veil yang sihirnya seolah menolak siapapun mendekatinya.
“Aku pernah menjelaskan padamu mengenai ritual dari Vivus Mortem—living death membuat yang mati bisa kembali. Seperti mati suri. Asalkan syarat-syaratnya terpenuhi. Harus dilakukan saat tubuh orang yang mati masih hangat. Harus dilakukan oleh Necromancer yang kuat sebagai jembatan meraih dunia kematian. Harus atas ijinku. Maka sesunggunya ritual itu dibuat oleh Peverell untuk Peverell. Menariknya, kelanjutan dari ritual itu adalah untuk menciptakan Dementor. Tapi bukan itu yang kau inginkan, kan?”
“Jangan berbelit-belit.”
Death terkekeh pelan, “Hm… hm… apa kau pernah mendengar legenda mengenai Drakula?”
“Vampire pertama?”
“Please, hibur aku.”
Harry bergerak gelisah, “Drakula sesungguhnya merupakan gelar dari Vampire murni pertama yang diciptakan oleh kutukan sihir karena keinginannya untuk hidup abadi.”
Death tertawa kecil. “Drakula pertama adalah penyihir, muggleborn dari generasi ketiga dinasti Vlad yang kini menjadi Rumania Selatan. Tahukah yang menarik dari kisah ini?”
Harry terdiam sejenak, “Kenyataan bahwa tidak ada bukti sama sekali tentang mitos itu.”
Death mengangguk, “Kau tahu alasannya?”
Harry menggeleng.
“Karena sesungguhnya Dracula tidak berasal dari dimensi ini. Keturunan dari Dracula, yang kini kita sebut Vampire berdarah murni inilah yang membawa darah terkutuk itu ke tempat ini. Dracula tidak muncul karena kutukan seperti mitos. Dracula adalah satu-satunya manusia—pada semua dunia—yang terlahir dengan darah Death. Dracula adalah keturunanku langsung dan kau hanya bisa menemukannya pada satu dunia diantara jutaan dimensi. Sama seperti keturunan Dracula yang datang lewat Veil ini, kau juga bisa pergi melaluinya. Kunci untuk mengembalikan jiwa Marcus adalah dari darah Dracula. Temukah itu.”
Harry menga-nga, “Kau gila.”
Death mengerdikkan bahu.
“Aku benar-benar harus pergi kesana?”
Death mengangguk. “Apa kau siap, Little Master?”
Harry menelan ludah, “Aku tidak akan pernah siap. Tapi bugger,” Harry meraih tangan Death dan dengan dorongan keras, tubuh Harry meluncur ke dalam Veil.
“Oh ya. Aku lupa bilang, di tempat itu tidak ada Harry Potter, tapi bukan berarti tidak ada Marcus Flint,” Deity itu mengerdikkan bahu, menatap ke arah lenyapnya Harry. Jika ia ada rambut, mungkin ia akan menggaruk rambutnya.
Bersambung.