Twenty

LE SSERAFIM (Band)
F/F
G
Twenty
Summary
They were twenty when us become no more.
Note
Sakura = SherinaChaewon = Callista

We were five when we met.

Callista masih ingat dengan jelas, pertemuan pertamanya dengan Sherina. Saat itu, Callista yang bertubuh kecil, dijahili oleh anak-anak lain saat sedang bermain di taman. Sebagai anak perempuan dengan tubuh kecil, Callista tentu tidak bisa membalas perbuatan anak-anak itu. Jadi, yang ia lakukan hanya satu―menangis.

Siang itu, Callista menangis dengan keras. Ia menangis, dan terus menangis, berharap tangisannya mampu membuat ayah ataupun ibunya datang. Atau setidaknya, menghentikan anak-anak yang menjahilinya.

Tentu saja, anak-anak itu tidak berhenti. Alih-alih berhenti, mereka malah semakin mengejek Callista, mengatainya cengeng karena menangis saat dijahili. Hal yang tentu saja membuat air mata kembali meluruh dari matanya.

"Hey, kalian! Pergi sana!"

Callista, yang tengah menangis di tengah-tengah anak-anak nakal itu, mengangkat kepalanya. Matanya menangkap sosok anak perempuan dengan rambut kuncir kuda yang tengah berkacak pinggang.

"Apasih, Sherina! Kita kan cuma bercanda aja! Iya gak, temen-temen?" Anak lelaki yang bertubuh paling besar bersuara. Anak itu menoleh ke yang lain, mencari dukungan. Seruan 'iya, bener!' pun terdengar.

"Gak usah bohong! Aku liat ya daritadi kalian jailin dia!" Anak perempuan yang Callista baru tau namanya itu berucap. Anak itu pun berjalan menghampiri Callista, tas kecil yang tersampir di bahunya bergerak pelan mengikuti langkah kaki si pemilik. "Pergi, sana! Atau kalian mau aku pukul, hah?!"

Mendengar ucapan Sherina, anak-anak itu pun sontak berlari pergi. Meninggalkan Callista dengan anak perempuan yang menolongnya itu.

Sherina menatap Callista lamat, lalu berjongkok di hadapan Callista. "Ada yang luka?"

Callista mengangguk pelan, lalu meluruskan kakinya, menunjukan lututnya yang dihiasi garis lurus berwarna merah. Sherina memperhatikan lutut Callista dengan teliti. Tangannya terangkat, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Lukanya banyak!" Cetus anak perempuan itu. "Handsaplast ku cukup gak, ya?"

Sherina mulai sibuk dengan isi tas kecil miliknya, sementara Callista, yang sudah tak lagi menangis, menatap bingung pada anak perempuan di depannya itu.

"Handsaplast ku tinggal dua!" Sherina menarik keluar dua buah handsaplast bermotif bunga dari tasnya. Ia lalu mendekatkan dua handsaplast itu ke arah lutut Callista, memastikan apakah handsaplastnya cukup untuk menutupi luka di lutut Callista. "Ih, gak cukup!"

Callista kembali memperhatikan Sherina yang kembali menggaruk kepalanya itu. Bibirnya mengerucut, sementara dahinya berkerut. Sebuah ekspresi yang mampu mengundang tawa kecil dari Callista.

"Kamu ketawa!" Sherina berseru senang. "Kamu gak sedih lagi!"

"Kamu lucu soalnya. Bibirnya kayak bebek, terus jidatnya kayak mamaku kalau lagi bingung." Balas Callista.

"Aku tuh lagi berfikir!" Sherina menjawab. "Rumah kamu dimana?"

Callista mengangkat tangannya, menunjuk salah satu rumah besar di ujung jalan. "Yang pagarnya warna hitam!"

Sherina mengikuti arah telunjuk Callista, lalu mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Anak perempuan itu kembali fokus ke tasnya, dan menarik keluar sebuah sapu tangan dari sana.

"Ayo, kamu aku gendong. Nanti, kamu tutupin luka kamu pakai sapu tangan aku."

Callista tak protes. Selain karena kakinya yang sakit, ia juga sudah lelah setelah dijahili terus menerus. Maka, dengan hati-hati, Callista naik ke punggung Sherina yang terlihat agak kesusahan menggendong Callista. Beruntung, tubuh Sherina sedikit lebih besar daripada Callista. Sherina pun menyerahkan sapu tangan miliknya ke Callista, yang langsung digunakan Callista untuk menutupi luka di lututnya.

Sherina memastikan kalau pegangannya pada kaki-kaki Callista kuat, lalu berjalan ke arah rumah Callista. Tak ada yang berbicara diantara keduanya. Baik Callista maupun Sherina memilih diam, menikmati semilir angin sore yang menyejukan. Tak perlu waktu lama, Sherina sampai di depan rumah Callista.

"Pak satpam!" Callista yang masih berada di punggung Sherina berteriak nyaring, membuat pemilik punggung itu kaget, nyaris terjatuh jika ia tidak segera menyeimbangkan tubuhnya.

"Jangan teriak gitu, dong!" Protes Sherina.

Callista cengengesan, "kalau gak gitu, pak satpam gak bakal denger!"

Benar saja, tak lama terlihat sosok pria dengan seragam satpam yang berjalan keluar dari pos jaga. Melihat sosok Callista, satpam itu segera berjalan lebih cepat.

"Non Callista! Non gak papa?" Satpam itu bersuara seraya membuka gerbang.

"Callista gak papa, pak! Tadi jatuh sedikit." Jawab Callista. "Untung dia bantuin aku!"

Pak satpam hanya mengangguk, lalu membantu Callista turun dari gendongan Sherina.

"Kalau gitu, aku pulang, ya." Ucap Sherina. "Kakinya langsung diobatin. Kata mamaku, kalau gk langsung diobatin, lukanya bisa infeksi."

"Iya, nanti aku minta mama obatin." Ucap Callista. "Oh iya, aku Callista!"

"Aku Sherina."

Mendengar kalau kedua anak itu baru berkenalan, pak satpam yang sedaritadi memperhatikan hanya menggelengkan kepala, tak mengerti bagaimana dua anak ini bisa saling gendong tanpa tau nama masing-masing.

"Terimakasih ya, Sherina."

"Iya. Yaudah, aku pulang dulu, ya."

"Besok kita bisa main lagi?"

Sherina tak langsung menjawab, "boleh. Aku tunggu di bawah pohon paling besar, ya, Callista."

Callista menganggukan kepalanya dengan semangat, "okay! Aku bakal cari kamu di bawah pohon paling besar di taman!"

"Yaudah, sampai ketemu besok, Callista!"

"Sampai ketemu besok, Sherina!"

Kedua anak itu pun berpisah, tanpa tahu jika sejak saat itu, keduanya akan mendapati sosok teman di diri satu sama lain.

 

 

✿✿✿✿✿

 

 


We were twelve when we had our first big fight.

Sherina menatap marah kearah Callista yang berdiri dengan pandangan tak percaya, menatap kearahnya dengan pandang yang sulit ia artikan.

"Kenapa gak bilang ke aku sih, Cal?!" Sherina berujar dengan nada marah yang terdengar jelas. Wajahnya memerah, urat di sekitar pelipisnya pun terlihat jelas. Callista tau, Sherina saat ini benar-benar sedang marah. Tapi Callista sendiri tak memiliki jawaban atas pertanyaan Sherina, karena ia sendiri tak tau jawabannya.

"Jawab, Cal!" Sherina kembali bersuara, kali ini nada bicaranya lebih tinggi. Hal yang tentu saja membuat Callista berjengit kaget. Sherina menyadari, tentu, tapi perasaan marah juga kecewa yang ia rasakan membuat logikanya kalah.

Tak juga mendapati jawaban dari Callista, Sherina semakin merasa kesal. Ia mengayunkan kakinya, menendang angin, seolah itu bisa meluapkan amarahnya. Callista tak juga bersuara, tak juga ia bergerak dari tempatnya. Ia membiarkan Sherina, paham jika ia mencoba menenangkan sahabatnya itu, perempuan itu malah akan semakin marah.

Callista sadar jelas, kalau alasan Sherina marah adalah kesalahannya. Karena itu, ia tak berusaha mencari pembelaan apapun.

"Sejak kapan, Cal?" Sherina yang sudah mengatur nafasnya kembali bersuara. Amarahnya masih tinggi, meskipun tak setinggi sebelumnya. Nada bicara Sherina yang sudah mulai tenang, tanpa sadar semakin membuat Callista takut.

"Se--sejak awal sekolah.." cicit Callista. Suaranya pelan, seolah tak ingin Sherina mendengar ucapannya. Sayang, di taman belakang sekolah itu, hanya ada mereka berdua. Hal yang tentu saja membuat Sherina tetap mendengar ucapan Callista.

"Tiga bulan, Cal." Sherina menyugar rambutnya, helaan nafas berat pun keluar dari mulutnya. "Tiga bulan kamu dikerjain sama mereka, dan kamu gak ngasih tau aku. Aku nih, kamu anggap apa sih, Cal?"

Ditanyai seperti itu, Callista gelagapan. Kepalanya yang sejak Sherina meninggikan suaranya itu tertunduk, mulai terangkat. Dadanya terasa sesak saat matanya mendapati sorot kecewa yang terlihat jelas di wajah Sherina. "Gak gitu, Sher.."

"Terus apa, Cal? Kenapa gak ngasih tau aku?" Tanya Sherina. Nada suara Sherina yang tenang membuat Callista semakin takut.

Tidak, ia bukan takut pada Sherina―yang ia takutkan adalah hal yang akan dilakukan Sherina. Berteman sejak kecil, Callista sadar betul kalau tingkat kemarahan tertinggi dari seorang Sherina adalah saat ia masih bisa bersikap tenang. Jika sudah begitu, Sherina kerap kali melakukan hal yang berbahaya.

"Jawab, Cal."

Callista meremat ujung bajunya kuat, namun masih enggan untuk bersuara. Membuat Sherina menggeram marah. Tangan anak perempuan itu terangkat, menyentuh kerah bajunya. Dengan kasar, ia tarik kerah kemejanya yang terkancing itu, membuat kancing nya terlepas begitu saja. Dasinya ia longgarkan, dan ia biarkan dasi biru nya tergantung asal di lehernya.

"Beneran gak mau ngomong apa-apa?"

Sherina kembali bertanya, namun Callista tetap bungkam. Sherina menatap Callista lama, lalu memilih berjalan pergi. Callista sendiri tak mengejar. Ia malah menundukan kepalanya, menahan isakan yang sejak tadi di tahannya. Hingga jam pulang berbunyi, Callista tak juga pergi darisana. Saat matahari mulai menghilang, barulah Callista pergi dari sana.

////

Callista tak tau apa yang Sherina lakukan saat sahabatnya itu meninggalkannya di taman. Sherina tidak menghubunginya sama sekali. Callista pun tidak berani menghubungi Sherina, tak ingin membuat sahabatnya itu semakin marah.

Ia baru tau apa yang Sherina lakukan keesokan harinya, saat ia menginjakan kaki di kelasnya. Nina, teman sebangkunya di kelas, yang memberitahunya.

"Kemarin tuh, tiba-tiba aja Sherina dateng ke kantin terus mukul Amel sama geng nya. Ribut deh mereka di kantin. Gue gak tau sih, seberapa parah. Tapi yang gua liat, Amel sama geng nya pada luka-luka. Sherina juga kayaknya ada luka tapi gak tau gue, gak keliatan soalnya. Pas dipanggil BK, Sherina di skors seminggu. Amel sama geng nya di keluarin, soalnya abis itu korban mereka juga pada ngelapor ke BK."

Mendengar ucapan Nina, tentu saja Callista khawatir. Tapi ia tak bisa berbuat apapun sekarang. Selain karena jam masuk sudah berbunyi, Sherina bisa semakin marah jika Callista nekat membolos hanya untuk menemuinya.

Tidak, membuat Sherina semakin marah hanya akan memperburuk keadaan. Maka, Callista memfokuskan diri dengan sekolahnya, meskipun fikirannya terus mengarah ke sahabatnya.

Begitu jam pulang berbunyi, Callista merapihkan buku juga alat tulisnya dengan cepat. Ia jejalkan buku juga tugas-tugasnya ke tas, melempar asal alat tulisnya ke tasnya. Ia sampirkan tasnya ke pundak, lalu segera berlari keluar.

Jarak antara komplek perumahan tempat ia dan Sherina tinggak dengan sekolah tidak terlalu jauh. Jika berjalan, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Tapi, karena Callista yang memilih untuk berlari, ia sampai hanya dalam 5 menit. Butuh waktu 5 menit tambahan untuknya tiba di rumah Sherina. Tanpa menekan bel, Callista berjalan masuk.

"Selamat siang, Bunda." Callista menyapa ibu dari Sherina yang tengah duduk di ruang tengah.

"Siang, Callista. Sherina di kamarnya, ya."

"Iya, Bunda. Callista ke atas ya Bunda."

Setelah berpamitan, Callista segera berlari ke atas. Menghampiri pintu berwarna putih yang biasa ia datangi. Tapi, bukannya masuk, Callista malah berdiam di depan pintu. Jantungnya berdegup kencang, ia gugup. Aneh, memang, karena biasanya ia akan langsung masuk ke dalam, tak memperdulikan sedang apa si pemilik kamar.

Tapi, 7 tahun mereka berteman, baru kali ini mereka bertengkar hingga tak saling berbicara, meskipun hanya sehari. Tapi tetap saja, mereka tidak pernah ada di posisi ini karena biasanya Sherina akan mengalah saat mereka bertengkar, membuat pertengkaran diantara mereka selesai.

Namun kali ini, tidak ada Sherina yang akan mengalah. Yang ada hanya Callista yang harus menurunkan ego nya.

Maka, setelah 10 menit mengumpulkan niatnya, Callista menggerakan tangannya untuk mengetuk pintu kamar sahabatnya itu. Setelah mendengar sahutan dari dalam, Callista menekan kenop pintu. Dibukanya pintu kayu itu secara perlahan.

Hal pertama yang ia lihat adalah gitar yang tergeletak begitu saja di tengah karpet. Tak jauh dari gitar itu, terdapat sebuah laptop yang masih menampilkan sebuah film. Sementara sang pemilik tengah menunduk di samping meja belajarnya.

"Ngapain?" Sherina bertanya saat ia menyadari kalau Callista lah yang mengetuk pintu kamarnya. Ia membuka botol minum yang sebelumnya ia ambil dari kulkas kecil di kamarnya--alasan kenapa ia menunduk sebelumnya. Sherina mengerung sebentar, sebelum kembali menunduk dan mengambil satu botol lain.

"Maaf," ucap Callista. Kepalanya tertunduk, lebih memilih menatap ujung kakinya dibanding temannya itu.

"Untuk?"

"Sher.."

Di tempatnya berdiri, Sherina menghela nafas pelan. Ia meletakan botol di tangannya ke meja belajarnya, lalu mendudukan tubuhnya di kursi. Tangannya menepuk pelan kedua pahanya, sementara matanya menatap lurus ke arah Callista.

Mengerti maksud Sherina, Callista berjalan mendekati sahabatnya itu lalu mendudukan dirinya di pangkuan Sherina. Ia sandarkan kepalanya ke pundak Sherina, membiarkan tangan sahabatnya itu melingkar di pinggangnya.

Bagi orang lain yang baru mengenal mereka, pasti akan berfikir kalau keduanya memiliki hubungan khusus. Nyatanya, tidak ada apapun diantara keduanya selain persahabatan.

Or so they thought, at this moment, Callista mused a few years later.

Keduanya diam. Sherina yang enggan bersuara, sementara Callista yang tak tau harus berucap apa. Namun, meskipun hening menyelimuti keduanya, perasaan hangat yang muncul membuat Callista maupun Sherina nyaman.

Terlalu nyaman hingga tanpa sadar kelopak mata Callista mulai memberat. Entah kapan ia tertidur, yang pasti saat Callista membuka mata, tubuhnya sudah terbaring di atas kasur, dengan tubuh terbalut pakaian milik Sherina.

Dan meskipun tak ada kata penyudahan maupun kalimat penjelasan, Callista tau kalau pertengkaran antara dirinya dan Sherina sudah berakhir. Sekarang, Callista hanya perlu menyiapkan diri agar bisa menceritakan semuanya pada Sherina.

 

 

✿✿✿✿✿

 

 

We were seventeen when we realize we loved each other.

Siang itu, Callista dan Sherina duduk bersisian di lobi sekolah. Keduanya menatap lurus kedepan, sama-sama menatap rintik hujan yang membasahi bumi. Telinga kiri Sherina tersumpal earset berwarna putih yang tersambung ke ponselnya. Sementara earset nya yang lain menyumpal telinga kanan Callista.

Suara musik yang mengalun ditambah rintik hujan yang berlomba menjumpai bumi, seolah memandu dua remaja itu.

Karena, tanpa mereka sadari, baik Callista maupun Sherina sama-sama memikirkan hal yang sama.

Ah, how good it is to spend the time with someone you love, even if it just looking at the rain while listening some music.

Tapi, tak ada satupun yang menyuarakannya. Mereka hanya diam, sesekali menggerakan kepala atau jari seraya bersenandung pelan mengikuti alunan musik yang mereka dengar.

Callista melirik ke arah sahabatnya yang kini tengah memejamkan mata. Mengamati pahatan indah sang pencipta yang terukir di wajah sang sahabat, sementara dalam hati mengucapkan beribu kata terimakasih karena Tuhan menghadirkan sosok seperti Sherina di kehidupannya.

Ingatannya kembali ke masa kecil, dimana sosok Sherina yang selalu membawa tas kecil berisi banyak hal―Callista lupa apa saja, yang ia sangat ingat adalah selalu ada handsaplast di tas kecil itu―selalu melindunginya dari anak-anak nakal. Juga tentang bagaimana Sherina kecil selalu menemaninya saat ia sendirian.

Sungguh, Callista tak tau bagaimana kehidupan masa kecilnya jika sosok Sherina tidak ada untuk menjaganya.

"Kenapa?"

Suara Sherina membuat Callista yang tengah melamun menjadi kaget. Ia mengerjap pelan, memfokuskan pandangannya pada Sherina yang kini tengah memandanginya bingung.

"Just feeling grateful." Callista tersenyum kecil, matanya kembali menerawang, memikirkan masa kecilnya juga Sherina. "Grateful that god send you to me."

Sherina tertawa. Tidak, ia tidak menertawai ucapan Callista. Yang ia tertawai adalah― "asik banget sekarang mah, kalau ngomong pake bahasa inggris."

Callista berdecih, lalu mengayunkan tangannya, memukul lengan Sherina kuat. Bukannya meringis, Sherina malah tertawa semakin keras saat telapak Callista beradu dengan lengannya yang dilapisi almet sekolah. Merasa sia-sia dan tak ingin membuang tenaga, Callista hanya mendengus lalu kembali mengalihkan perhatiannya ke arah hujan.

Melihat Callista yang seperti itu, Sherina pun meredakan tawanya. Dengan senyum yang menghiasi wajahnya, Sherina mengulurkan tangan. Menyelipkan anak rambut Callista ke belakang telinga. "Im feeling the same way as you do, Cal. Grateful that god sent you to me." And thankful cause my first love comes in the form of you. Kalimat terakhir, tentu saja, hanya Sherina ucapkan dalam hati.

Setelahnya, keduanya kembali diam. Callista masih terus menatap hujan, sementara Sherina menyandarkan tubuhnya ke tembok dibelakangnya dengan mata terpejam. Lagu juga rintik hujan kembali menjadi pengisi suara bagi dua remaja yang tengah gelisah.

Callista dan Sherina larut dalam fikiran masing-masing. Ditengah dinginnya udara, fikiran mereka yang semakin rumit tanpa sadar membuat tubuh keduanya bergerak mendekat. Seperti dua kutub magnet berbeda, Callista dan Sherina bergerak secara perlahan ke arah satu sama lain―seolah mencari sosok pelengkap segala kekurangan.

Dan saat lengan mereka bersentuhan, keduanya menoleh. Pandangan mereka beradu, mata hazel Sherina beradu dengan manik hitam Callista. Keduanya larut dalam pandangan satu sama lain--bak pantomim, suara seolah hilang dari dunia Callista juga Sherina. Segala warna meredup, hanya menampilkan warna dari orang yang ada di depan mereka.

Tanpa sadar, Sherina memajukan kepalanya. Mendekat ke arah Callista yang membeku, dengan mata yang masih terarah pada Sherina. Jarak antara wajah Sherina dan Callista semakin dekat. Namun, Sherina tak berhenti, pun Callista tak menghentikan. Keduanya terlalu larut dalam suasana hujan, ditambah lagu yang mereka dengan seolah memancing mereka untuk bertindak.

DUAAARRRR

Suara petir yang terdengar nyaring, pada akhirnya menyadarkan Sherina juga Callista. Dengan wajah memerah, Sherina menegakan tubuhnya. Wajahnya berpaling, menatap pintu lobi yang mulai berembun. Disampingnya, Callista menunduk dalam. Berusaha menghilangkan perasaan malu yang memeluknya.

Keduanya kembali diam. Namun, jika sebelumnya diam mereka menimbulkan perasaan hangat, kali ini hanya kecanggunan yang terasa. Lengan mereka yang masih bersentuhan, membuat suasana canggung itu semakin kuat.

Tak ingin rasa canggung itu semakin menggerogoti, pada akhirnya―

"Aku suka kamu, Cal."
"I think i love you, Sher."

Keduanya berucap secara bersamaan, yang sontak membuat wajah mereka semakin memerah. Callista semakin menunduk, sementara Sherina tak mau menolehkan kepalanya ke arah Callista.

Meski begitu, jemari mereka yang tersembunyi di balik lipatan rok keduanya, saling bertaut. Mengisi kekosongan di sela jemari mereka.

Siang itu, diiringi musik juga rintik hujan, pada akhirnya Callista dan Sherina menyuarakan isi hati mereka yang terdalam.

 

 

✿✿✿✿✿

 

 


We were twenty when 'us' become 'you' and 'I'

"You better shut up, Sherina!"

Callista membentak marah pada Sherina. Wajahnya memerah, air mata membasahi pipinya. Matanya menatap Sherina sayu, sorot kekecewaan terpancar jelas di kedua matanya.

"Cal--"

"Apa, Sher? Apa yang mau kamu jelasin? Kurang jelas apa soal kamu yang mau pindah Zurich? Not to mention, you're not even telling me!"

"Cal, d--"

"Udah, Sher. Cukup. Apapun alasan kamu, dengan kamu yang gk ngomong soal ini ke aku, itu sama aja kamu ngecewain aku, Sher. And you know how much i hate dissapointment."

Sadar akan arah ucapan Callista, sontak Sherina panik. Ia berjalan mendekat, berusaha meraih tangan Callista, hanya untuk ditepis oleh sang wanita. Namun, Sherina tak menyerah. Ia masih berusaha mendekat, sesekali membujuk Callista agar kekasih sekaligus sahabatnya itu mau mendengarkan ucapannya.

Sherina memang keras kepala, tapi Callista jauh lebih keras kepala. Ia tidak memperdulikan Sherina, dan lebih memilih untuk berjalan pergi. Tentu saja, Sherina tak tinggal diam. Ia mengejar Callista, mengabaikan tatapan mahasiswa lain yang memandang keduanya aneh.

"STOP IT, SHERINA!" Bentak Callista, pada akhirnya rasionalisme yang ia miliki kalah akan emosi. Ia meninggikan suaranya, membuat Sherina membeku di tempatnya.

"From now on, theres no us anymore. Theres only Callista and Sherina. Do not ever show your face, Sher. Hope you happy with your new life."

Setelah berkata demikian, Callista berlari pergi. Meninggalkan Sherina yang bahkan tak bergerak sedikitpun dari tempatnya.

/////

Malamnya, Callista berbaring di kasurnya. Matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya. Otaknya memutar ulang kejadian siang tadi, dimana ia memutuskan secara sepihak segala hubungannya dengan Sherina.

Saat perasaan marah yang menyelimutinya hilang, segala rasionalisme yang ia miliki pun kembali. Detik itu juga, ia menyesal. Ia menyesal karena tak mendengarkan penjelasan Sherina. Ia menyesal membiarkan dirinya larut dalam emosi.

Ia menyesal melontarkan segala kalimat jahat pada orang yang selalu ada di sisinya.

Memang, penyesalan selalu datang terlambat. Dan kini, rasa sesal itu menggerogoti hatinya dengan kuat. Yang ada difikirannya sekarang hanyalah menemui Sherina. Namun, egonya yang tinggi berhasil mengalahkan rasa sesal yang ia miliki.

Meskipun ragu, pada akhirnya Callista memutuskan untuk tidak menelfon Sherina. Ia juga tak berniat menemui perempuan itu. Karena, Callista tau dengan sangat. Egonya yang tinggi hanya akan memperburuk keadaan. Jadi, ia akan memberikan space baginya dan Sherina selama beberapa saat, membiarkan api padam lebih dulu sebelum abu yang tersisa dibersihkan.

Betapa terkejutnya Callista ketika ia mendengar kabar kalau Sherina sudah mengundurkan diri dari kuliahnya, sesaat setelah ia menginjakan kaki dikelas. Fikirannya berkecamuk, dengan hal negatif mendominasi.

Tanpa fikir panjang, Callista berbalik, berlari dengan kecepatan paling tinggi yang bisa ia keluarkan menuju parkiran. Ia ingin cepat sampai di rumah Sherina, memastikan dengan jelas keberadaan perempuan itu.

Segala perasaan sesal itu semakin menyelimuti Callista begitu ia tiba di rumah besar Sherina yang sudah tak berpenghuni. Dari satpam yang berjaga, Sherina dan keluarganya pergi subuh tadi. Hal yang tentu saja mengundang rasa marah dalam diri Callista, tentang kenapa Sherina tak memberitahunya. Rasa marah yang akan muncul jika saja ia tak segera mengingat jika ia memblokir semua akses bagi Sherina untuk menghubunginya.

Dengan perasaan tak menentu, Callista pulang kerumahnya. Saat ibunya bertanya, yang bisa Callista lakukan hanyalah menangis di pelukan sang ibu, menggumamkan kata maaf yang tak akan terdengar oleh sang penerima.

Yeah, they were twenty, when everything about them crumbling, turn into ashes. All it takes just a lil bit of anger and a dissapearance of rationalism.

 

 

✿✿✿✿✿

 

 


We--no, I am thirty when i finally let you go.

Callista tersenyum lebar menatap kedua mempelai yang tengah tersenyum bahagia di altar. Nuansa putih yang ada membuat suasana siang itu terasa semakin suci. Dan saat pendeta meresmikan pernikahan kedua mempelai, suara tepuk tangan yang menggemuruh terdengar di taman yang menjadi venue pernikahan itu.

Callista tak bergerak dari duduknya―tidak bertepuk tangan, tidak berdiri, tidak melakukan apapun. Ia hanya duduk di kursinya, tersenyum lebar menatap mempelai yang tengah berciuman di altar.

Ah, tidak. Ia tidak menatap kedua mempelai―fokusnya tertuju pada salah satu mempelai, yang memakai tuxedo berwarna putih. Rambut silvernya yang diikat kuda, membuat wajah sang mempelai terlihat tampan namun juga cantik.

Seketika, sebuah memori muncul di fikirannya.

"Kalau kita nikah nanti, aku mau pakai tuxedo. Warna nya bebas, sesuai mau kamu."

"Kenapa gitu? Kenapa gak gaun aja? Pasti lucu, deh."

"Pernikahan impian kamu tuh yang kayak disney itu, kan? Well, aku gak bisa jadi pangeran, tapi aku bisa bergaya seperti pangeran."

"Dengan pake tuxedo?"

"Iya."

Mengingat itu, Callista tertawa hambar. Matanya yang masih memandangi sang mempelai mulai berair, dalam hati masih tak menyangka jika ucapan konyol mereka menjadi kenyataan.

Bedanya, bukan ia yang berada di altar.

Bukan Callista Anastasia yang berdiri disamping Sherina Valeria. Bukan pula nama Callista Anastasia yang disebutkan oleh Sherina Valeria dalam sumpah pernikahannya.

Ya, pernikahan yang Callista datangi sekarang adalah pernikahan dari mantan kekasih sekaligus sahabatnya, Sherina.

Tujuh tahun setelah kepindahan Sherina yang begitu mendadak, tiba-tiba saja perempuan itu kembali menghubungi Callista. Diusianya yang duapuluh tujuh tahun, Callista banyak mengalami perubahan. Egonya sudah tidak lagi seperti dulu. Ia lebih pandai menggunakan rasionalitasnya untuk menekan egonya.

Maka, tak ingin kesempatan untuk kembali berhubungan dengan Sherina hilang, Callista menekan egonya dalam-dalam. Komunikasi antara keduanya pun dimulai kembali, dengan Sherina yang menjelaskan secara detail soal alasan kepindahannya yang mendadak.

Sherina, orang yang selalu Callista anggap kuat, didiagnosis menderita tumor otak, beberapa hari sebelum kepindahannya. Dokter yang menanganinya menyarankan agar Sherina dibawa ke Zurich untuk mendapatkan perawatan dengan teknologi lebih canggih, yang tentu saja disetujui oleh Sherina juga kedua orang tuanya.

Di hari yang sama Callista tau soal kepindahannya, sebenarnya Sherina ingin memberitahu Callista. Sayang, perempuan itu terlalu diselimuti emosi sehingga Sherina tak bisa menjelaskan apapun. Terlebih, Callista menutup semua akses untuk menghubunginya, membuat Sherina beranggapan jika Callista tak lagi mau menemuinya. Karena itu, Sherina pergi tanpa pamit.

Mendengar penjelasan Sherina, tentu saja Callista semakin diselimuti rasa bersalah. Namun, ia tak bisa melakukan apapun selain meminta maaf. Sejak itu, hubungan Callista dan Sherina membaik.

Namun, tentu saja. Segala hal yang hancur, tidak akan kembali ke semula meski di perbaiki seapik apapun. Hubungan dekat keduanya berubah menjadi teman biasa―mereka saling bertukar pesan, dan saling berbagi cerita. Bedanya, jika sebelumnya mereka leluasa berbagi hal pribadi, kali ini mereka hanya berbicara soal hal hal yang umum.

Sementara status percintaan keduanya, Callista tak bisa berharap apapun karena saat Sherina kembali menghubunginya, perempuan itu sudah berhubungan dengan Jennifer Smith, perempuan asal Amerika yang bersekolah di Zurich, yang senantiasa menemani Sherina kala perempuan itu menjalani pengobatan.

Perempuan yang sama yang berdiri disamping Sherina diatas altar.

Kalau boleh jujur, Callista merasa semua ini tak adil. Seluruh skenario what if terputar dengan apik di kepalanya.

Namun, saat matanya menangkap sorot kebahagiaan yang terpancar dari wajah Sherina, seluruh fikiran buruk di kepala Callista hilang, digantikan perasaan lega karena orang yang paling ia sayangi setelah orang tuanya nampak bahagia.

Karena itu, saat ia berdiri di depan Sherina juga Jennifer, Callista bisa memberikan senyum tulis bagi sang mempelai.

"Selamat ya, Sher."

Sherina menatap Callista dengan senyum terukir di wajahnya. "Makasih udah dateng, Cal. It means a lot."

Keduanya saling berpandangan, menyuarakan isi hati mereka lewat tatapan. Membuat Jennifer, yang sejak tadi memperhatikan keduanya dari samping Sherina, berdehem pelan.

"You guys go and talk with each other. I will great my friends."

Jennifer melangkah pergi tanpa menunggu balasan dari Sherina maupun Callista. Membuat dua sahabat itu saling melempar senyum canggung.

"So," Sherina bersehem pelan. "Thanks again for coming all the way here."

"Well, might as well take my vacation." Callista tertawa kecil. Ia jujur soal itu. Pernikahan Sherina memang diadakan di Amerika, karena itu Callista memutuskan untuk sekalian berlibur dari pekerjaannya.

"Maaf karena gak dengerin kamu waktu dulu." Callista kembali meminta maaf, yang tentu saja mengundang tawa kecil dari Sherina.

"We were twenty by then, of course we do something stupid."

Callista terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya tersenyum ke arah Sherina. "Yeah. We were twenty."

Sherina balas tersenyum. Hubungan keduanya memang tak sedekat dulu, tapi ikatan yang terbentuk selama bertahun-tahun masih ada disana, sehingga ia tidak perlu waktu lama untuk paham maksud Callista.

Tanpa menjawab ucapan Callista, Sherina menarik tubuh sahabatnya itu ke pelukannya. Memeluk perempuan itu erat sebagaimana yang ia lakukan saat dulu. Callista balas memeluk, membiarkan memori masa lalu keluar dari ingatannya yang terdalam.

Mereka berpelukan selama beberapa menit, sebelum akhirnya saling melepaskan diri. Keduanya saling melempar senyum, senyum yang sama yang biasa mereka berikan pada satu sama lain sebelum percintaan menyelinap diantara keduanya. Setelahnya, keduanya berjalan ke tujuan masing-masing; Sherina menghampiri Jennifer, dan Callista mendatangi meja yang berisi minuman.

Sembari tangannya meraih segelas wine yang tersedia, ia kembali tersenyum.

Yeah, she might be twenty by then, but now, in her thirty, she finally can let all the past wound to heal.

"Mind if i join?"

Callista menoleh, menatap perempuan bertubuh tinggi yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya. Ia menaikan sebelah alisnya, sebelum tersenyum.

Well, might as well find her own happiness. With that, she said; "why not?"