Every valentines are about you

ITZY (Band) Aespa (Band)
F/F
G
Every valentines are about you
Summary
Hari kasih sayang adalah momen dimana Karenina mengenal, mengasihi dan melepas seorang Yoanna.

14 Februari 2018.

Karenina adalah siswi yang baru saja pindah ke SD Pelita belum genap dua bulan lamanya.

Hal yang sedikit tidak wajar memang, pindah sekolah di penghujung tahun ajaran saat ia sudah akan lulus dari Sekolah Dasar. Tapi pekerjaan Papanya sebagai kepala cabang sebuah Bank Swasta mengharuskan keluarganya mengikuti setiap kali beliau dipindah tugaskan.

Karena seringnya berpindah-pindah, beradaptasi dengan lingkungan baru sudah menjadi kebiasaan bahkan mungkin keahlian bagi Karenina.

Di dua hari pertama kepindahannya di sekolah baru, Karenina sudah berhasil memiliki lebih dari lima orang teman. Tepat seminggu sejak ia pindah, Karenina sudah berteman dengan keseluruhan dua puluh dua teman sekelasnya.

Ah, kecuali satu.

Si siswi pendiam yang duduk di pojok kiri depan kelas, Yoanna namanya.

Karenina tahu namanya karena dia wakil ketua kelas mereka. Meskipun pengurus kelas, Yoanna jarang sekali berinteraksi dengan teman-teman kelas yang lain.

Selama beberapa hari memperhatikan, Karenina sadar bahwa anak itu cuma bicara sepatah dua kata dengan siswa lain disekitar kala ada tugas, PR, atau ulangan harian. Selain itu, ia hanya akan bicara ketika ditanya duluan.

Kalau kata Lily -teman sebangku Karenina, Yoanna memang sudah seperti itu sejak kelas satu. Mayoritas anak-anak kelas ini yang sudah bersama-sama sejak dulu, sudah maklum dengan sikapnya yang begitu.

Tapi Lily bilang, meski dingin, Yoanna adalah anak yang baik. Dia suka membantu anak-anak lain mengerjakan tugas, selalu menurut perintah guru dan tidak pernah bermasalah. Lily bilang juga, sesekali Karenina harus mengajaknya bicara agar tahu kebaikan hati seorang Yoanna.

Maka hari ini – di hari yang orang-orang sebut sebagai hari kasih sayang, Karenina memutuskan akan menghampiri Yoanna dan mengajaknya berteman.

Mama Karenina selalu punya antusias tinggi dalam merayakan hari-hari spesial. Hari ulang tahun, hari natal, hari ibu dan termasuk hari valentine juga. Kebiasaan sang mama pun menurun pada putrinya. Dengan dukungan seratus persen dari mama, Karenina datang ke sekolah membawa dua puluh dua batang coklat untuk ia bagikan kepada semua teman sekelasnya.

Sebelum bel pulang sekolah berbunyi, Karenina sudah hampir selesai menjalankan misi menebar kasih sayang untuk teman-temannya. Tinggal satu batang coklat lagi yang belum sampai ke tangan orang yang dituju. Dan sekarang Karenina sedang berjalan perlahan menuju bangku Yoanna.

Terus terang, Karenina baru pertama kali merasa segugup ini hanya karena mau menyapa seseorang. Bahkan dengan orang yang lebih dewasa saja, Karenina tidak kesulitan untuk menyapa dan bercakap-cakap. Tapi Yoanna ini seperti punya tembok di sekelilingnya yang membuatnya enggan didekati.

Tapi Karenina sudah membuat tekad. Ia tidak tahu apa tahun depan masih akan berada di kota ini atau tidak, jadi ia harus berteman dengan semua orang disini agar bisa membuat kenangan-kenangan indah.

“Um, permisi..” Karenina menyapa dengan pelan, takut mengganggu konsentrasi Yoanna yang sedang menulis sesuatu.

Anak yang disapa menaikkan pandangan. Karenina menyadari mata sipit milik Yoanna jadi membesar sedikit ketika melihatnya berdiri tepat di hadapannya.

”..ya?” Jawab Yoanna setelah terpaku beberapa detik lamanya.

“Hehe, maaf kalo aku ganggu. Ini.. Aku mau kasih ini. Selamat hari kasih sayang, Yoanna! Diterima ya.” Karena berkata dengan nada ceria sambil menyodorkan sebatang coklat kearah Yoanna.

Lagi-lagi Yoanna tidak langsung merespon. Pandangan matanya berpindah dari wajah Karenina ke coklat ditangannya sambil mengedip-ngedip beberapa kali.

“Ini.. buat aku?” Tanya Yoanna sambil menunjuk diri sendiri.

Karenina merespon dengan anggukan dan senyum yang semakin lebar. Kemudian dengan tangan kiri yang mengusap-ngusap leher, dan tangan kanan yang menerima uluran coklat, Yoanna mengucap terimakasih.

Karenina tertawa kecil karena senang coklatnya diterima dan juga karena ekspresi malu-malu Yoanna terlihat imut.

“Waktu itu kita udah kenalan kan? Saat aku pertama masuk kelas.” Yoanna mengangguk pelan.

“Tapi kalo aku mau kenalan lagi boleh nggak?”
Yoanna menatapnya dengan heran. Seolah mengerti rasa bingung anak itu, Karenina melanjutkan,

“Aku tau nama kamu dan kamu tau nama aku. Tapi sayangnya, kita belum temenan. Aku mau jadi temen kamu. Makanya kita kenalan ulang supaya bisa jadi teman.”

Karenina merasa agak tidak enak melihat keterkejutan di ekspresi Yoanna. Diam anak itu pun tidak membantu sama sekali. Membuat nyali Karenina jadi ciut.

“Um, tapi itupun kalo kamu mau.. Kalo nggak mau, nggak apa-apa kok. Maaf, udah ganggu..” Karenina hendak berbalik pergi ketika tiba-tiba sebuah genggaman menahan langkahnya.

“Tunggu dulu!”

Karenina cukup kaget dengan tindakan Yoanna yang tidak diduga-duga. Ia menatap penuh pada anak itu, membiarkan pergelangan tangannya tetap digenggam.

“Ng.. Y-yah, oke. Ayo kenalan lagi.” Begitu kata Yoanna dengan kikuk gara-gara ditatap penuh harap oleh Karenina.

“Nama aku Yoanna Danielle. Um.. Kamu?”

Karenina menyambut uluran tangan Yoanna dalam sebuah jabat tangan yang erat. Rasa senang membuatnya membalas pertanyaan Yoanna dengan menggebu-gebu.

“Aku Karenina Bernadetha! Senang kenalan sama kamu, Yoanna!”

Yoanna menahan senyum merasakan telapak tangannya yang dijabat kuat bahkan digoyang-goyangkan oleh anak baru itu. Senyum lebar yang menampilkan deretan didi rapi dan mata bulat besar yang tampak berbinar, membuat Yoanna sedikit mengerutkan dahi. Kenapa anak ini senang sekali?

“Anna. Panggil Anna aja.”

“Eh? Boleh?” Karenina pernah mendengar dari cerita Lily kalau panggilan itu hanya untuk orang-orang yang akrab dengan Yoanna, seperti sepupunya yang berada di kelas sebelah.

“Boleh. Kamu mau berteman kan?”

“Mau..”

“Yaudah, panggil Anna aja.”

Karenina tersenyum makin lebar. Mungkin pipinya sedikit lagi akan terasa nyeri.

“Kalo gitu kamu juga panggil aku Nina aja! Itu panggilan dari papa mama aku. Sahabat aku dari TK juga manggil aku kayak begitu!”

Yoanna mengangkat sebelah alis. Kata-kata polos Karenina terasa janggal baginya.

“Memangnya boleh?”

“Boleh kok!”
Yoanna tidak tega pada wajah penuh keyakinan dan harapan itu. Akhirnya ia mengangguk mengiyakan. Lagipula dia sendiri yang duluan menawarkan dipanggil berbeda kan?

“Oke, Nina.”

Seketika Karenina jadi merinding. Suara Yoanna ketika mengucap nama kecilnya itu terasa menyegarkan di telinga. Karenina menaruh tangan kirinya di atas jabat tangan mereka yang belum terputus lalu berkata,

“Makasih ya, Anna.”

Yoanna sesungguhnya tidak tahu kenapa Karenina mengucapkan terimakasih. Tapi tatapan tulus anak itu membuatnya merasa “ah, udahlah, nggak apa-apa”.

“Terimakasih kembali, Nina.”

Dan siapa sangka senyuman lebar yang mengakibatkan mata kecil milik Yoanna membentuk bulan sabit itu, akan tertanam di pikiran Karenina dan menjadi candu baginya selama bertahun-tahun.

Ya, Karenina yang baru berusia dua belas kala itu telah menemukan hal favoritnya yang baru. Senyum sehangat matahari dari si dingin Yoanna.

------------------------------------------------------------------------------- 

14 Februari 2020.

Hampir tiga tahun lamanya Karenina menjadi penghuni kota ini. Kota yang tidak terlalu padat dan teduh. Mungkin menurutnya kota ini yang paling nyaman ditinggali setelah cukup banyak berpindah-pindah selama ini.

Tiga tahun terbilang sebagai waktu yang lama bagi keluarganya untuk menetap di satu kota. Papa Karenina sukses menjalankan tugasnya memimpin cabang bank yang dipercayakan padanya. Dan beberapa bulan lalu, beliau dibebankan tanggung jawab untuk mengembangkan cabang baru yang belum lama dibuka di kota yang sama.

Sejujurnya Karenina merasa bersyukur. Ia yang sudah betah di kota ini, merasa berat apabila harus pindah lagi. Disini dia sudah punya banyak teman baik, orang-orang yang hingga di tahun terakhirnya di Sekolah Menengah Pertama ini telah melukiskan banyak memori indah bersama-sama.

Ada pula satu orang yang istimewa di antara mereka.

Si anak dingin yang dulu begitu ingin dia jadikan teman, sekarang menjadi salah satu yang paling dekat dengan Karenina.

Yoanna Danielle. Yoanna. Anna.

Gadis yang sekarang sedang sibuk-sibuknya mengurus pergantian kepengurusan OSIS sampai jarang menampakkan wajah di kelas.

“Kareninaaaa.”

Satu panggilan dari Lily, temannya yang bersuara imut, memecah lamunan Karenina.

“Tugas Bahasa Inggris kamu udah dikumpulin belum?”

“Udah Li. Baru aja aku kasih ke Randy.” Jawab Karenina menyebut nama ketua kelas mereka. Oh iya, Lily juga masih menjadi teman sekelasnya di SMP kini. Sesungguhnya, sebagian besar dari teman-teman SD-nya dulu juga masih jadi teman sekelasnya.

“Yahh.. Padahal aku mau minta tolong lihat tugas kamu bentar..” Keluh Lily dengan bibir mengerucut.

“Punya kamu belum selesai?” Lily hanya menggeleng lemah.

“Mau aku bantuin?”

“Mau banget!!” Lily pun segera berlari ke mejanya, mengambil buku dan alat tulis lalu duduk di samping Karenina.

“Sebenarnya aku udah minta tolong sama Yoanna buat dibantu ngerjain ini. Tapi karena dia sibuk terus akhir-akhir ini, jadi belum sempat dan tugasku belum beres deh.”

Karenina menipiskan bibir mendengar penjelasan Lily. Benar, Yoanna memang sangat sibuk akhir-akhir ini. Posisinya sebagai sekretaris OSIS yang akan segera berganti kepengurusan adalah penyebabnya.

Karenina merasa ada yang hampa dari hari-harinya. Tanpa ia sadari kehadiran Yoanna – yang sekarang adalah teman sebangkunya, telah menjadi sesuatu yang esensial dalam hidupnya.

Maka ketika gadis itu tidak bisa memberikan waktu untuk dirinya, meski hanya dalam bentuk interaksi sederhana sekali pun, Karenina merasa sedih.

“Nin?”

“Eh, iya? Sorry, Li, sorry. Aku ngelamun.”

“Hahah, nggak apa-apa. Btw, makasih ya coklatnya. Aku lupa nyiapin sesuatu buat kamu karena kelimpungan mikirin tugas. Besok aku bawain cookies ya!”

Oh, iya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di hari kasih sayang kali ini Karenina juga membagi-bagikan coklat untuk teman-temannya. Ini jugalah yang jadi sumber gelisahnya. Ia belum mendapat kesempatan untuk memberikan coklat untuk Yoanna. Coklat spesial darinya untuk teman yang spesial.

“Sama-sama, Lily. Nggak apa-apa kok. Yuk, kita beresin tugas kamu dulu.”

Dengan suasana hati yang cukup kelabu, Karenina mencoba menjalankan aktivitasnya di sekolah hari itu dengan sungguh-sungguh sambil menunggu keberuntungan menghampirinya.

---------------------------------------------------------------------- 

Proses belajar mengajar sudah berakhir. Karenina kini sedang berjalan menyusuri lorong kelas menuju ruangan kecil diujung sana. Ruang OSIS.

Sampai pulang sekolah pun, Yoanna tidak kunjung kembali ke kelas. Ia hanya mengutus salah seorang adik kelas untuk mengambil ranselnya dan menitipkan pesan untuk Karenina. Katanya Karenina bisa pulang duluan, tidak usah menunggu dia karena urusannya masih lama.

Tentu saja Karenina tidak mau menurut. Ia masih punya satu tujuan yang belum terselesaikan hari ini. Karenina pun menanyakan keberadaan Yoanna pada si adik kelas guna menyusul kesana.

Maka disinilah dirinya sekarang, berdiri mematung di depan ruang OSIS dengan dada berdebar-debar. Entah kenapa tiba-tiba saja Karenina merasa tidak berani untuk mengetuk pintu kayu tersebut. Padahal sedari tadi ia tidak sabaran sekai ingin menjumpai Yoanna. Ia baru merasa bahwa sepertinya ia belum siap bertatap muka dengan temannya itu. Entah kenapa.

Ketika Karenina masih ragu memutuskan untuk mengetuk pintu atau berbalik pergi dari situ, tiba-tiba saja pintu itu terbuka dan seseorang berada di hadapannya.

“Loh? Karenina? Kenapa berdiri disitu?”
Frans si ketua OSIS yang hendak ke kantin membeli minuman, bertanya dengan heran.

“E-eh, um, hai Frans. I-itu.. Aku lagi nyari Yoanna..” Balas Karenina dengan terbata-bata, kaget dengan kehadiran anak laki-laki itu yang mendadak.

“Oh.. Ada kok orangnya. Itu lagi nulis disitu.” Karenina mengikuti telunjuk Frans yang mengarah ke sudut ruangan. Ada Yoanna yang sedang menulis di antara banyak kertas diatas meja.

“Yoanna, ada Karenina nyariin kamu nih!”

Atensi gadis yang tampak sedang berkonsentrasi itu seketika langsung tertuju pada suara panggilan Frans. Kedua alis matanya naik melihat Karenina yang berdiri kaku di depan pintu.

Yang bereaksi bukan hanya Yoanna saja. Anggota OSIS lain yang sedang di dalam ruangan itu pun turut mengalihkan pandangan dan bergantian menyapa Karenina. Ya, Karenina memang berteman dengan mereka semua. Malah rasa-rasanya, hampir satu sekolah ini adalah temannya. Meski begitu, sapaan yang paling Karenina ingin dengar saat ini adalah dari gadis di sudut ruangan.

Yoanna sepertinya sadar akan keengganan Karenina untuk masuk ke dalam ruangan. Juga, ia melihat totebag merah muda di tangan kanan Karenina dan teringat akan suatu kemungkinan mengapa temannya itu mencarinya sampai kesini.

Yoanna memberi isyarat agar Karenina menunggu disitu saja, lalu berdiri berkata pada teman di sebelahnya,
“Aku keluar sebentar ya. Tolong kamu lanjutin dulu isi daftar ini.” Setelah mendapat persetujuan, Yoanna menghampiri Karenina dan menarik tangannya menjauh dari depan ruangan itu.

“Kenapa nyari aku? Kan tadi pagi kita udah ketemu.”

Begitu tanya Yoanna ketika mereka berdua sudah tiba di teras dekat taman sekolah.

“Tadi pagi kita cuma sempat ketemu semenit doang…” Karenina membalas dengan nada merajuk, wajahnya pun dibuat cemberut.

“Loh, yang penting ketemu kan? Hahaha.” Yoanna mencubit kecil pipi bulat Karenina sambil terkekeh gemas. Temannya ini memang sering bertingkah menggemaskan.

“Ih, bukan gitu Annaaaa!”

“Terus apa Ninaaa?”

Bibir Karenina semakin mengerucut. Sejujurnya ia sedang tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa. Yang dia tahu, pipinya terasa panas.

“Jadi ada apa kamu nyari aku hm?”

Karenina bergerak-gerak gelisah. Beberapa kali ia mencoba untuk bicara, tapi kata-kata tak kunjung keluar dari mulutnya. Yoanna hanya memperhatikan tingkah aneh temannya itu sambil menahan senyum. Kenapa sih dia harus malu-malu begitu?

“Kalo mau kasih coklat, ya tinggal kasih, Nina. Apa susahnya?”

Karenina menatap Yoanna dengan mata membelalak. Bukannya merasa lega, ia justru semakin kehilangan kata-kata. Rona merah di pipinya pun kini bisa dilihat jelas oleh Yoanna.

“A-a.. I-itu.. Um, eh..”

Yoanna akhirnya meledakkan tawa, tidak tahan lagi melihat respon lucu dari Karenina. Sementara yang ditertawakan hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Ia malu sekali. Kenapa sih dia harus bertingkah konyol begitu?

Tawa Yoanna sudah mereda. Melihat Karenina yang membantu, ia merasa agak tak enak hati. Ia pun menepuk samping kepala Karenina sekali lalu meraih totebag dari genggaman Karenina.

“Ini buat aku kan? Makasih ya.”

“Eh, bentar bentar!” Karenina menahan tangan Yoanna yang hendak membuka totebag tersebut. Ia menelan ludah berat lalu memberanikan diri berkata,

“A-aku.. Mau jelasin sesuatu dulu.”

“Oh? Apa itu?” Karenina tidak langsung menjawab. Yoanna menunggu dengan sabar. Salah satu tangannya menyentuh lengan Karenina seolah berkata nggak apa, bilang aja.

“Itu isinya coklat.” Karenina pun mulai menjelaskan. “Ada banyak. Bukan coklat biasa juga. Um, maksud aku, bukan coklat yang biasa aku beli di toko.”

“Hm, okay. Terus?”

“Ngg.. Itu coklat yang aku bikin sendiri.” Karenina berkata sambil mengatupkan mata. Ia diam beberapa saat, menanti respon dari Yoanna. Karena tak kunjung mendengar suara, Karenina pun membuka mata dan langsung bersitatap dengan sorot mata lembut Yoanna.

“T-terus, aku harap kamu suka coklat itu karena aku bikinnya dengan sepenuh hati. Aku bikin coklat spesial cuma empat buah. Buat mama, buat papa, buat Gisella dan buat kamu. Orang-orang spesial di hidup aku.” Terhipnotis oleh mata Yoanna, Karenina akhirnya mengungkapkan semua isi pikirannya dengan lancar.

“Aku spesial?” Yoanna bertanya dengan nada jenaka. Tapi ia serius ingin tahu jawabannya.

“Iya.. Kamu spesial, Anna.”

Karenina kembali terpaku di tempat sebab senyum sehangat matahari yang paling ia sukai di seluruh dunia itu tampak lagi.

“Makasih, Nina. Buat aku, kamu pun spesial. Selamat hari kasih sayang.”

Hari itu Karenina tidak bisa tidur. Kalimat itu terus terngiang-ngiang dibenaknya, membuat pikirannya penuh dan tidak bisa beristirahat.

Spesial. Karenina amat sangat senang. Ternyata bagi Yoanna, dirinya juga adalah teman yang spesial.

-------------------------------------------------------------- 

14 Februari 2022.

Memasuki tahun keenam Karenina menetap di kota kecil yang ramah ini, semakin ia betah dan merasa tak mau pergi lagi dari sini.

Namun yang namanya hidup, selalu ada saja hal-hal yang terjadi diluar ekspektasi. Karenina pikir ia akan resmi menamatkan jenjang sekolahnya di kota ini. Ia selalu ingin menghabiskan masa-masa akhirnya sebagai seorang pelajar bersama dengan teman-temannya sedari SD. Mereka yang sampai sekarang pun masih berada dilingkungan yang sama dengannya, mengukir begitu banyak memori baik.

Karenina tidak menyangka, ketika tinggal hitungan bulan ia akan tamat dari SMA, berita tentang papanya yang di akan diangkat menempati sebuah jabatan penting di kantor pusat di Jakarta datang.

Selama kurang lebih enam tahun ini, papanya memang sudah bekerja sangat keras. Beliau berhasil membangun dua cabang bank swasta tempatnya bekerja menjadi cabang yang memiliki reputasi baik dan berprestasi. Tentu saja, promosi jabatan yang diperoleh sang ayah sangatlah layak dan Karenina bahagia untuknya.

Meski begitu, rasa berat hati tak bisa dipungkiri juga hadir pada Karenina. Bagaimanapun, kehidupan di kota ini telah menjadi bagian besar dari dirinya, membentuknya menjadi seorang manusia yang seperti sekarang ini.

Terlebih, karena Karenina harus meninggalkan teman-teman baiknya disini. Sangat tidak rela rasanya.

Terutama salah seorang yang harus ditinggalkannya bila pindah dari sini adalah Yoanna. Anna. Temannya yang paling spesial.

Memikirkannya saja sudah membuat Karenina ingin menangis.

Waktu memang terasa berjalan begitu cepat. Semakin banyak momen yang tercipta, semakin erat hubungan antar manusia yang terlibat di dalamnya. Seperti yang terjadi antara Karenina dan Yoanna.

Setidaknya, itulah yang Karenina rasa.

Dulu -beberapa tahun sebelum ini, Karenina tidak merasa bahwa perasaan tidak nyaman yang timbul pada dirinya setiap kali ia jauh dan sangat dekat dengan Yoanna adalah suatu gangguan, atau hal yang penting sekali.

Contohnya, saat Yoanna sedang jauh adalah ketika gadis itu bepergian keluar kota untuk mengikuti lomba atau kegiatan lain sebagai utusan sekolah. Pada saat itu, Karenina akan merasa sangat rindu akan kehadiran Yoanna. Misalnya selama tiga hari Yoanna berada jauh, maka tiga hari itu juga Karenina akan uring-uringan, tidak semangat sekolah, dan pada dasarnya tidak berhasrat untuk melakukan apa saja.

Namun saat Yoanna sudah pulang, Karenina akan sangat bersukacita. Ia bahkan tidak peduli apa Yoanna membawakannya oleh-oleh atau tidak, yang penting Yoanna kembali dan mereka bisa menghabiskan waktu bersama lagi. Main, belajar, jalan-jalan sampai menginap di rumah salah satunya, bersama-sama.

Lalu contoh perasaan tidak nyaman ketika Karenina berada sangat dekat dengan Yoanna adalah, ketika ia sedang menginap di rumah gadis itu sepulangnya dari mengikuti olimpiade tingkat provinsi. Mereka akan menonton film di laptop milik Karenina, lalu ketika sudah mulai bosan, mereka mulai mengobrol tak tentu arah diselingi canda tawa.

Saat sudah kehabisan energi, mereka akan berbaring terlentang di ranjang, mengatupkan mata tapi tidak tidur. Hanya menikmati keheningan yang nyaman di dalam kamar itu. Lalu tiba-tiba kasur bergoyang sedikit. Karenina refleks membuka mata. Disebelahnya, Yoanna sudah memiringkan badan, menghadap ke arahnya.

Jarak diantara mereka dekat. Sangat dekat sampai Karenina bisa merasakan hembusan nafas Yoanna menerpa wajahnya.

“Anna?”

“Hm?”

“Kenapa liatin aku?”

“Nggak kenapa-napa. Aku mau aja.”

“y-ya.. kenapa?”

“Habisnya Nina cantik. Makin cantik kalo dilihat dari dekat begini.”

Wah. Di momen itu rasa-rasanya jantung Karenina hampir mau melompat dari keluar. Apalagi kemudian Yoanna bergeser semakin dekat, merangkul lengan Karenina dan menyandarkan kepala di bahunya.

“Aku ngantuk. Kita tidur ya? Selamat malam Nina.”

Kala itu Karenina belum paham apa arti dari dadanya yang mau meledak itu, rasa gatal di tangan untuk balas merangkul Yoanna tapi takut, serta rasa geli di sekitar perut. Rasa yang belum pernah ada sebelumnya, seperti ingin muntah tapi karena terlalu girang. Yang Karenina tahu, saat itu rasanya sangat tidak nyaman. Tapi bukan tak nyaman yang membuatnya ingin kabur, justru semakin mau berlama-lama di posisi itu dengan Yoanna.

Karenina baru menyadari bahwa perasaan tak nyaman itu punya arti khusus setelah mendiskusikannya dengan Gisella lewat telepon – sahabat kecilnya yang tinggal di Jakarta.

Setelah Gisella mendengar semua curahan hati Karenina tentang teman baiknya yang selalu mengakibatkan rasa rindu, sedih, girang, cemas, bahagia, dan lain-lain di hatinya, sang sahabat mengambil kesimpulan bahwa Karenina tengah mengalami jatuh cinta.

Semua pun jadi masuk akal bagi Karenina.

Rasa tak nyaman apabila Yoanna jauh adalah rasa takut kehilangan seseorang yang disayang. Lalu rasa tak nyaman saat sedang berada sangat dekat dengan Yoanna adalah rasa ingin memiliki dirinya. Orang yang ia cintai.

Sayangnya, Karenina merasa terlambat menyadari perasaannya karena sekarang, ia sudah harus bersiap-siap untuk pindah dari kota ini. Pindah dari tempat dimana ia bertemu, mengenal, dan jatuh cinta pada Yoanna.

“Hei, kok kamu melamun?”

Gadis yang sedari tadi memenuhi pikiran Karenina datang dan duduk di sampingnya.

“Aku dengar guru-guru ada rapat. Dua les ke depan jadi kosong. Mau jajan ke kantin?” Tanya Yoanna pada Karenina yang menatapnya nanar. Lawan bicaranya hanya menggeleng pelan.

“Kalo gitu mau makan coklat aja? Itu coklat bawaan kamu masih ada kan?” Katanya sambil menunjukkan laci meja Karenina yang berisi beberapa coklat batangan.

“Nggak. Nanti aja.” Yoanna mengangguk paham. Ia bisa merasakan aura kelabu dari temannya ini sedari tadi. Akhirnya karena penasaran Yoanna bertanya langsung.

“Kamu kenapa, Nina? Hari ini kamu kayak nggak semangat. Waktu bagiin coklat buat teman-teman juga kurang antusias nggak kayak tahun-tahun sebelumnya. Ada apa?”

Ya, Yoanna benar. Karenina tetap melakukan tradisinya bagi-bagi coklat di hari kasih sayang. Tapi, ada yang berbeda. Kecerian dan antusiasme gadis itu sangat berkurang dan ini disadari oleh teman-teman sekelasnya. Tentu Yoanna juga segera menyadarinya.

Karenina ragu. Sanggupkah dia membagikan kabar ini kepada Yoanna? Ia tidak siap akan reaksi gadis itu, dan lebih tidak siap lagi menghadapi kenyataan bahwa mereka akan terpisah.

Namun, kalau sampai Yoanna mendengar berita kepindahannya dari orang lain, bisa saja gadis itu marah kan? Takut akan menyakiti Yoanna lebih dari yang seharusnya, Karenina pun memutuskan untuk berkata jujur sekarang saja.

“Anna, aku mau ngasih tahu sesuatu..” Mulainya dengan suara pelan sekali.

“Ya? Apa itu, Nin?”

Karenina menelan ludah berat, ia lirik Yoanna yang sedang menatapnya penasaran tapi tetap sabar. Karenina menarik nafas kuat-kuat, setelah ia hembuskan, ia berkata dengan takut-takut.

“Anna, aku minta maaf. Mungkin kabar yang mau aku bilang ini nggak enak sama sekali. Tapi serius, aku juga nggak mau dan nggak tau kalo akan jadi begini.”

“Hei, nggak apa-apa. Aku mau dengar. Ada apa, Nina?” Respon Yoanna sambil menggenggam sebelah tangan Karenina.

“A-aku.. Aku mau pindah ke Jakarta. Papa pindah tugas dan kami sekeluarga harus ikut kesana.”

Bagai tersambar petir, badan Yoanna seketika menegang, ekspresinya mengeras, matanya membelalak lebar dan ia kehilangan kata.

“Maaf, Anna.. Aku minta maaf.”

Selama beberapa menit, keheningan menyelimuti mereka. Yoanna masih terlalu kaget sehingga tidak sanggup memberikan respon. Karenina hanya diam menunggu di sebelahnya dengan rasa sedih yang semakin besar.

“Nggak perlu minta maaf, Nina.”

Itulah kata-kata pertama yang diucap Yoanna ketika sudah pulih dari keterkejutan. Setelah menjilat bibir sedikit, ia melanjutkan,

“Kamu nggak salah apa-apa, kenapa minta maaf?”

Karenina menatapnya dengan bola mata yang sudah berkaca-kaca. Yoanna menyadari itu, lalu mengeratkan genggaman tangannya sambil mengelus pelan punggung tangan Karenina.

“Aku nggak apa-apa. Aku memang kaget banget. Aku pikir kamu bakal terus disini sampai tamat dan kita mungkin bisa kuliah bareng juga di luar kota. Tapi kayaknya nggak bisa ya?”

Hati Karenina terasa diremas-remas mendengar kalimat Yoanna. Mereka memang pernah bicara tentang rencana untuk kuliah ditempat yang sama. Kini, rencana itu terlihat semakin jauh dari pelupuk mata.

“Nggak apa-apa. Kamu pindah dan kita jadi jauh, bukan berarti pertemanan kita selesai sampai disitu kan? Tenang aja, kita masih bisa komunikasi kok.”

Kata-kata Yoanna yang bertujuan menenangkannya malah membuat hati Karenina semakin gelisah. Bibirnya gatal ingin menanyakan sesuatu.

“Kamu.. Beneran nggak apa-apa kalo jauh dari aku?”

Mata mereka saling mengunci tatapan satu sama lain selama hampir setengah menit, sebelum Yoanna memberi satu anggukan sebagai jawaban.

Oh..
“Oke. Makasih, Anna.” Ucap Karenina dengan senyum tipis dan hati yang tercabik-cabik.

"Ternyata aku nggak diinginkan. Yoanna nggak menganggap aku sespesial dirinya untuk aku." Begitu kata hati Karenina yang semakin menghancurkan perasaannya. Air matanya sudah diujung tanduk sekarang.

Karenina mengulurkan tangan ke dalam laci dan menarik sebuah kotak kecil keluar.

“Kado valentine buat kamu. Semoga kamu suka.”

Yoanna menerimanya, ia goyangkan kotak itu dan ada bunyi yang muncul.
“Bukan coklat?”

“Ada coklat dan barang lain. Nanti buka di rumah aja ya.”

“Oke. Makasih ya, Nina. Selamat hari kasih sayang.”

Yoanna mengucapkan terimakasih dengan senyum lebar. Karenina membalasnya dengan senyuman yang sama. Tapi ada yang berbeda. Saat itu, Karenina tidak menemukan kehangatan matahari di senyuman Yoanna.

Sampai bel pulang sekolah berbunyi dan mereka berpisah ke rumah masing-masing, kehangatan itu tetap tidak terasa.

----------------------------------------------------------- 

Keesokan harinya, Karenina merasakan hampa yang tidak biasa sebab ketiadaan Yoanna disampingnya.

Bukan, Yoanna bukannya sedang tidak masuk sekolah atau tiba-tiba harus mengikuti kegiatan diluar sekolah. Bukan itu.

Yoanna mengabaikannya.

Yoanna hanya menyapanya satu kali pagi tadi dan tidak mengajaknya bicara sama sekali setelah itu.

Ketika Karenina berusaha mengajaknya bicara duluan, Yoanna hanya akan membalas dengan singkat dan tampak tidak minat.

Ini belum pernah terjadi selama enam tahun mereka berteman. Dan ini menyakiti hati Karenina. Sangat sakit.

Karenina pun tidak tahu harus berbuat apa. Kepalanya terlalu penuh dengan pikiran-pikiran negatif sampai tidak bisa berpikir jernih. Ia memang tidak bisa berbuat apa-apa juga. Ia tahu ia sudah membuat Yoanna kecewa. Dan adalah hak gadis itu untuk menjauhinya. Ia tidak bisa protes.

Aksi diam-diaman itu berlangsung selama berhari-hari dan disadari oleh teman-teman mereka. Karenina hanya bisa berkata “nggak ada apa-apa” setiap kali ada yang bertanya apa yang terjadi diantara mereka.

Yang tidak Karenina sangka-sangka adalah, sikap acuh Yoanna terhadap dirinya berlangsung sangat lama. Sampai beberapa hari sebelum keberangkatannya menuju Jakarta, Yoanna belum juga kembali mau bicara dengannya.

Rasa sedih Karenina tidak bisa digambarkan lagi dengan kata-kata. Hatinya patah, hancur tak berbentuk.

Yoanna adalah temannya, sahabatnya, cinta pertamanya. Ia sama sekali tidak siap apabila semua keindahan yang terjalin diantara mereka berakhir menyedihkan seperti ini. Karenina tidak akan pernah rela.

Maka dengan sisa-sisa asa di sudut-sudut hatinya, Karenina nekat menghubungi Yoanna lewat chat. Mengapa hanya chat? Karena Karenina belum berani menerima respon dingin lagi dari Yoanna. Jika sampai Yoanna membalas perkataannya dengan nada sedingin kutub utara, mungkin asa Karenina yang tinggal seujung kuku ini akan musnah seluruhnya.

“Halo Anna, apa kabar? Maaf kalo aku mengganggu. Ada hal penting yang mau aku bicarain sama kamu. Tolong kasih waktu aku sebentar aja buat bicara besok di sekolah. Terima kasih, Anna.”

Begitulah isi pesan chat-nya untuk Yoanna. Sebelum ia tidur malam itu, Karenina berdoa lama dan sungguh-sungguh kepada Tuhan untuk melembutkan hati Yoanna sehingga mau bicara dengannya esok hari.

------------------------------------------------------------------ 

Tuhan tidak mengabulkan doa Karenina.

Pagi itu, ketika Karenina masuk ke ruang kelas dan melihat Yoanna sudah duduk manis di bangkunya, ia segera menghampiri gadis itu dengan langkah besar dan keyakinan bahwa sapaannya akan disapa.

Chat-nya kemarin malam telah tertanda dengan dua centang biru. Artinya, Yoanna telah membacanya. Walau tidak dibalas, tapi Karenina punya keyakinan kalau Yoanna akan memberikan kesempatan untuk bicara. Bagaimanapun, pertemanan mereka sudah berjalan lama dan erat. Yoanna pasti tidak akan setega itu padanya kan?

Nyatanya keyakinan itu adalah angan semata. Saat Karenina mengangkat sebelah tangan dan hendak melontarkan kata sapaan, Yoanna dengan cepat memalingkan wajah. Padahal, sudah jelas-jelas ia melihat keberadaan Karenina.

Karenina bersumpah, tidak pernah ia merasakan sakit yang lebih hebat dari ini. Andai memungkinkan, ia sudah pasti akan luruh ke tanah lalu menangis tersedu-sedu meluapkan semua rasa perih dan sesak di dada. Tapi Karenina tidak mau menimbulkan masalah. Maka akhirnya ia memilih untuk menggigit kuat-kuat bibir sendiri sampai sedikit mengeluarkan darah, dan menjalani kegiatan di sekolah yang hari itu terasa bagai neraka.

--------------------------------------------------------------- 

Besok.

Besok adalah hari keberangkatan Karenina sekeluarga menuju Jakarta. Hari ini ia sudah tidak masuk sekolah karena kemarin orang tuanya sudah menyelesaikan segala urusan kepindahannya.

Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa murid kelas dua belas SMA seperti Karenina masih bisa pindah sekolah? Jawabannya adalah karena ia sudah mengurus izin khusus. Untuk keluarga yang sering berpindah-pindah seperti mereka ini, tentu sudah tahu cara agar mungkin untuk secara mudah dan cepat pindah dari satu sekolah ke sekolah lain. Ditambah lagi, sekolahnya adalah sekolah swasta. Pengurusan hal-hal seperti ini jauh lebih sederhana.

Karenina pun sudah mengucap perpisahan dengan teman-teman sekolahnya, orang-orang yang sangat berarti dalam perjalanan hidupnya selama bertahun-tahun di kota ini. Tangisan mengiringi kata-kata pamit yang disampaikan Karenina. Semua orang menyukai dia, semua orang akan mengingatnya sebagai teman yang baik dan menyenangkan. Semua orang ada disitu.

Kecuali satu orang.
Kecuali Yoanna Danielle. Yoanna. Anna.

Karenina tidak tahu kemana pastinya gadis itu pergi. Tapi ia dengar dari teman kelasnya, Yoanna sedang ada keperluan di luar sekolah. Karenina hanya menanggapi dengan senyum. Ia berkata bahwa itu tak masalah, ia bisa menemui Yoanna setelah ini.

Tapi itu bohong. Sampai beberapa jam lagi sebelum Karenina meninggalkan kota ini, ia belum juga berjumpa dengan Yoanna. Bertukar sepatah kata lewat chat pun tidak.

Karenina sudah ada di titik pasrah. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak air mata yang telah ia keluarkan di setiap malam ia menangisi Yoanna. Ia sudah coba berusaha, tapi penolakan yang ia dapatkan. Ia pun sudah tidak bernyali untuk mencoba lagi, terlalu takut dengan penolakan-penolakan lain yang bisa jadi akan menghancurkan seluruh jiwanya.

Karenina hanya bisa berharap agar suatu hari, bila keajaiban itu ada, ia bisa bertukar senyum hangat lagi dengan Yoanna. Hanya itu saja.

Karenina sudah bersiap untuk tidur ketika tiba-tiba handphone-nya berbunyi nyaring. Ada satu panggilan masuk dari Hansel.

Hansel adalah teman sekolah Karenina sekaligus sepupu laki-laki yang sangat dekat dengan Yoanna. Entah kenapa hati Karenina tiba-tiba gelisah. Nama Yoanna yang terlintas di pikirannya ketika mengetahui Hansel-lah yang menelepon, membuat dadanya berdebar kencang.

“Halo?”

“Halo, Karenina?”

“Iya Hansel, ada apa?”

“Sorry ganggu malem-malem. Aku mau tanya, besok kamu berangkat jam berapa?”

---------------------------------------------------------------- 

Hari keberangkatan tiba.

Papa dan mama Karenina sedang sibuk mengecek barang bawaan mereka di teras rumah, sementara ia sendiri sudah siap dengan satu koper di tangan dan ransel kecil di punggung.

Karenina terdiam di posisi memperhatikan kedua orang tuanya yang sibuk berjalan kesana kemari. Pikirannya terlempar ke belakang, ke momen semalam ketika Hansel yang tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba menelponnya.

Setelah menanyakan jam keberangkatan Karenina dan mendapat jawaban, Hansel hanya menambahkan, “Oke, makasih, Nin. Aku nanya karena ada yang perlu. Kalo kamu penasaran, lihat besok aja saja. Hati-hati di perjalanan, good luck, Nin!”

Setelahnya telepon mati dan meninggalkan Karenina dalam tanda tanya besar. Hansel bilang ada yang perlu. Apa? Siapa? Mengapa?

Pikirannya otomatis tertuju pada Yoanna. Bisa saja ia bertanya tentang keberangkatan Karenina lewat Hansel kan? Tapi, apa iya? Kalau mau tahu, kenapa tidak tanya langsung saja? Apa mungkin Yoanna sudah tidak punya kontaknya lagi?

Apa boleh Karenina berharap meski nyaris mustahil?

Karenina menghela nafas berat. Ah, sudahlah. Dia kan sudah memutuskan untuk pasrah saja. Apapun yang terjadi dan akan terjadi, Karenina sudah enggan untuk berandai-andai. Karena jika nanti jatuh, sakitnya akan luar biasa sekali.

“Nina, barang kamu udah semua sayang? Mama mau kunci pintunya nih.”

Karenina tersadar dari lamunan karena panggilan dari mamanya. Ia membalas dengan anggukan. Sudah, barang bawaannya sudah siap semua. Siap pergi bersama raga dan hatinya dari kota yang membuatnya jatuh cinta ini.

Keluarga Karenina satu persatu meninggalkan teras rumah menuju mobil dinas sang ayah yang sudah terparkir rapi siap mengantarkan mereka ke bandara. Supir papanya dengan sigap membantu mereka memasukkan tas dan koper di bagasi mobil.

Karenina melihat ke belakang sekali lagi, memandangi rumah yang selama enam tahun ini ia tinggali. Perasaan sedih dan tak rela itu kembali muncul, namun dengan susah payah berusaha ia abaikan. Tidak apa. Semua akan terlewati. Semua akan terasa baik saja di masa depan.

Karenina hendak masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah mamanya di bangku tengah ketika tiba-tiba sebuah suara meneriakkan namanya lantang. Suara yang sangat familiar.

“KARENINA!”

Yang dipanggil refleks menoleh kebelakang. Jantungnya terasa berhenti berdetak kala matanya menangkap sosok gadis yang amat ia rindukan, gadis yang telah mencuri dan mematahkan hatinya.

“Anna…”

Yoanna datang ke arahnya dengan berlari lalu berhenti tepat beberapa langkah dari hadapannya. Nafasnya berhembus tak teratur. Seragam sekolahnya basah oleh keringat. Ekspresi wajahnya tak terbaca.

“Nina…”

Waktu terasa berhenti. Dalam sekejap, Karenina lupa bahwa ia sudah harus masuk ke dalam mobil, pergi menuju pesawat yang akan menerbangkannya jauh dari kota ini. Kehadiran Yoanna disini membuat ia lupa akan segalanya.

Maka panggilan lembut sang ibu yang menyadarkannya akan kenyataan itu.

“Nina? Kita udah mau berangkat loh.”
Karenina menelan ludah berat. Bola matanya bergetar menatap sang ibu.

“Atau kamu mau bicara dulu sama teman kamu? Itu Yoanna kan?”
Karenina mengangguk pelan. Dialihkannya pandangan pada Yoanna yang ternyata sedang menatapnya dengan penuh harap. Tanpa suara bibirnya berkata “please..”.

Yah, hati Karenina memang lemah dan akan selalu mengalah kepada Yoanna.

“Ma, pa, boleh Nina bicara bentar sama Yoanna?”

“Boleh, sayang. Tapi jangan lama-lama ya. Kita bisa telat check-in nanti.”

“Iya ma, pa. Makasih.”

Kemudian Karenina melangkah lebar menuju Yoanna, menarik tangan gadis itu mengikutinya ke taman samping rumah.

“Ada apa?” Karenina bertanya cepat. Ia tidak mau menatap Yoanna.

“Aku butuh bicara sama kamu. Aku tau waktunya cuma sebentar, jadi tolong kamu dengerin aku ya.”

Yoanna menarik nafas dalam-dalam lalu dihembuskan kuat-kuat. Tangannya bergetar tapi ia tahan dengan genggaman super erat.

“Nina, aku minta maaf. Aku udah jadi orang brengsek selama beberapa minggu ini. Aku tahu itu dan aku melakukannya dengan sadar. Aku minta maaf.”

Karenina tidak bereaksi banyak, hanya meliriknya dengan ujung mata. Yoanna tahu Karenina tidak akan serta-merta menerima tapi ia sudah bertekad dan melanjutkan,

“Aku tahu perbuatanku bodoh banget. Kamu nggak pantas diperlakuin kayak gitu. Aku salah dan aku minta pengampunan kamu untuk itu.”

“Tapi Nina, aku melakukannya bukan tanpa alasan.”

Kali ini Karenina menaikkan pandangan sedikit. Sorot matanya penuh tanya ke arah Yoanna.

“Nina, mungkin kamu nggak pernah menyadari ini. Buat aku kamu adalah orang yang sangat berharga. Kamu, adalah orang pertama yang aku sayang selain keluargaku sendiri.”

“Dulu aku nggak punya teman. Aku tertutup dan nggak tau bagaimana caranya berinteraksi sama orang lain. Mereka bilang aku dingin, jadi mereka enggan dekatin aku.”

“Kamu yang pertama, Nina. Kamu orang pertama yang datang menghampiri aku, bukan hanya untuk meminta bantuan atau menanyakan hal-hal penting, tapi untuk mengajak aku berteman.”

“Hari dimana aku memilih untuk menjadi teman kamu, adalah hari yang mengubah duniaku. Kamu mengubah duniaku, Nina.”

Karenina merasakan bibirnya bergetar. Momen enam tahun lalu terbayang jelas dibenaknya, mengingatkannya akan rasa bahagia karena Yoanna mengabulkan keinginannya.

“Waktu berjalan cepat, Nin. Sangat cepat. Kamu pernah cerita, kalo keluargamu bisa aja pindah sewaktu-waktu. Aku udah siap untuk kamu tinggalin kapan aja. Tapi waktu berlalu dan kamu masih ada di samping aku.”

“Aku pikir itu artinya kamu akan menetap. Seenggaknya, sampai kita udah nggak dibangku sekolah lagi. Ternyata, aku salah kira.”

“Kamu memang akan pergi, cepat atau lambat. Yang nggak aku sangka, kamu pindah di bulan-bukan terakhir kita sekolah. Rasanya.. Kenapa harus? Kan tinggal sebentar lagi. Kenapa harus pergi lagi?”

“Tapi kemudian aku ingat, kamu itu anak satu-satunya. Papa mama kamu nggak akan mungkin bisa biarin kamu sendiri disini, jauh dari mereka. Aku paham, mau nggak mau, kamu harus ikut mereka pindah.”

“Makanya aku berusaha menerima. Hari saat kamu kasih tahu soal kepindahan kamu, sejujurnya aku udah ikhlas. Aku nggak masalah kamu pergi asal kita masih saling berhubungan.”

“Tapi, ketika aku buka hadiah valentine dari kamu. Yang kamu bilang di dalamnya ada coklat dan barang lain, hati aku berubah, Nina. Aku jadi nggak bisa biarin kamu pergi begitu aja. Aku nggak rela, tapi aku juga nggak bisa berbuat apapun buat nahan kamu pergi. Aku.. Hati aku hancur, Nina.”

Tubuh Karenina menegang. Hadiah valentine. Benar, hadiah! Ia sama sekali tidak teringat dengan hadiah yang ia berikan kepada Yoanna hari itu. Hadiah penting yang secara tidak langsung mengungkap perasaan terpendamnya pada Yoanna

Sebuah gelang logam dengan ukiran “Mi amor” di permukaannya. Hadiah yang disiapkan Karenina dari jauh-jauh hari, dan memang telah ia rencanakan untuk diberi pada Yoanna di hari kasih sayang.

Karenina lupa, karena beratnya beban hati dan pikirannya akhir-akhir ini, ia benar-benar lupa keberadaan benda itu dan makna yang tersirat di dalamnya. Makna yang sangat mungkin dipahami oleh Yoanna.

“Nina.. Aku nggak tahu pasti, tapi kalo tebakanku benar, hadiah dari kamu itu adalah penanda isi hati kamu, benar? Kamu mau bilang kalo kamu sayang sama aku kan?”

Mata Karenina berkaca-kaca. Kalimat Yoanna disampaikan bersama senyum getir. Suaranya bergetar sekali, terdengar sedih sekali.

“Kalo itu benar, berarti kita sama. Aku pun udah dari dulu selalu ingin bilang ke kamu, Nina.. Bilang kalo aku sayang sama kamu, lebih dari teman. Lebih dari apapun.”

Setetes air mata jatuh mengalir di pipi Karenina.

“Sadar akan perasaan kita yang sama, hatiku berontak. Kenapa, Nin? Kenapa? Kenapa saat kita punya kesempatan untuk bersama, kita malah harus terpisah? Otak kecilku ini nggak habis pikir dan malah menuntun aku menuruti egoku. Aku mengabaikan kamu karena aku mau lari dari kenyataan bahwa aku bisa kehilangan kamu.”

Tangisan Karenina semakin jelas. Suara tersedu mulai terdengar. Yoanna pun demikian, ia sedang berusaha untuk bicara di sela-sela isak tangis.

“Aku merasa bodoh banget, Nina..”

“Aku pikir aku bisa terbiasa tanpa kamu, nyatanya aku malah nyiksa diri sendiri dan tanpa sadar juga menyiksa kamu. Maaf, Nina.. Maafin aku.”

“Aku sadar hal ini waktu Hansel datengin aku ke rumah. Dia marah-marah, katanya kenapa aku nggak ada pas kamu pamitan sama temen-temen sekolah. Terus aku cerita.. Aku ceritain semuanya. Perasaan aku, kondisi kamu, situasi ini.. Semuanya.”

Yoanna menyeka kasar air mata yang mulai menutupi pandangan dengan punggung tangan. Ia ingin melihat jelas wajah Karenina walau rasanya berat.

“Lalu Hansel.. Dia mukul kepala aku keras-keras. Dia maki-maki aku selama setengah jam lebih. Aku.. Dimarahin habis-habisan tapi juga dibuat sadar.”

“Aku.. Aku nggak bisa kehilangan kamu, Nina. Seengaknya, bukan dengan cara konyol kayak gini.”

Yoanna meraih kedua tangan Karenina untuk ia genggam sangat erat. Karenina tidak menolak, ia merasa sudah sangat lemas dan tidak tahu harus bagaimana.

“Nina, sekarang aku udah benar-benar merasa nggak apa-apa kalo kamu pergi. Sungguh.”

“Kamu berhak mengambil jalan kamu sendiri. Kamu pindah, bukan berarti kamu ninggalin aku begitu aja. Juga bukan berarti rasa sayang kita nggak ada artinya. Aku udah paham tentang itu semua sekarang.”

“Jadi, Nina.. Kalo aku boleh memohon, tolong maafin kebodohanku yang udah nyakitin hati kamu. Tolong, jangan lupain keberadaan aku.. Dan tolong.. Tolong, terima perasaanku.”

Kalimat terakhir Yoanna berhasil meruntuhkan segala pertahanan Karenina dan membuatnya menjatuhkan diri ke dalam pelukan gadis yang dicintainya itu.

Ajaib. Luar biasa ajaib bagaimana satu pelukan berhasil menghapus semua sakit di hatinya, semua hal buruk di pikirannya dan mengisi dadanya dengan bahagia tak terkira.

Kedua gadis itu berpelukan sangat erat. Bersama dengan tangis yang makin keras, lengan mereka berusaha menjangkau seluruh yang mereka bisa, merasakan seluruhnya keberadaan satu sama lain serta membiarkan diri masing-masing melebur bersama.

Dalam lega, bahagia, dan cinta.

Beberapa saat berlalu, Yoanna yang merasa satu bongkahan batu besar telah terangkat dari pundaknya, sadar akan waktu yang terbatas lalu melepas pelukan mereka berdua.

“Nina..” Yoanna menangkup wajah Karenina dengan kedua tangannya lalu menghapus air mata di wajah gadis itu dengan ibu jarinya.

“H-hm..?” Jawab Karenina pelan sekali. Suaranya serak.

“Apa aku boleh dengar jawaban kamu sekarang? Bukannya nggak sabar atau nggak tau diri, tapi bentar lagi kamu mau pergi dan aku nggak tau kapan lagi bisa bicara kayak gini sama kamu jadi ak-”

“Iya.” Satu kata dari mulut Karenina berhasil mendiamkan Yoanna dari racauan panjangnya.

“Iya, Anna. Aku terima. Perasaan kamu, keberadaanmu, semuanya.”

“Kalo boleh, aku juga minta hal yang sama ke kamu ya, Anna?”

Yoanna segera mengangguk cepat. Ia mulai menangis lagi, tapi kali ini isakannya bercampur dengan tawa. Tawa yang sangat, amat lega.

Tangan mereka masih saling bertaut. Kening pun saling menempel, bersandar satu sama lain. Perlahan tangisan mereka, berganti dengan senyum lebar dibibir masing-masing.

Karenina berterima kasih pada Tuhan di lubuk hati. Ternyata keajaiban memang benar adanya.

“Anna, aku harus berangkat..”

“Oh ya, ya. Kamu benar.”

Yoanna menjauhkan badannya dari Karenina. Meski masih merasa berat, tapi kekasihnya itu harus pergi. Orang tuanya sudah menunggu cukup lama.

“Dah, sana kamu ke depan. Papa mama kamu udah nungguin.”

Karenina tidak segera melangkah pergi. Ia memposisikan badan tepat di depan Yoanna, gadis yang baru saja jadi kekasihnya itu.

“Anna?”

“Iya Nina?”

“Kita.. bakalan baik-baik aja kan? Maksud aku, kita akan terpisah cukup jauh jadi.. Kamu..um, k-kamu..”

“Aku janji nggak akan mengabaikan kamu lagi.” Potong Yoanna karena tahu apa yang menjadi keraguan sang kekasih.

“Aku juga janji akan selalu ngabarin kamu, cerita sama kamu, dengerin cerita kamu juga, dan selalu ada di setiap kamu butuh. Aku janji akan berusaha keras jadi pacar yang baik buat kamu.”

Kata “pacar” yang baru saja diucapkan Yoanna membuat seluruh permukaan wajah Karenina memerah. Rasanya seperti mimpi, sebutan yang sudah sangat ia idam-idamkan tersemat antara dia dan Yoanna, akhirnya terwujud juga.

Yoanna menyadari gelagat salah tingkah yang Karenina tunjukkan lalu terkekeh geli. Ia pun berpikir untuk sedikit menggoda gadis kesayangannya itu.

“Hei, Karenina Bernadetha.”

“Nina sayang.”

Deg. Kali ini warna merah padam semakin menyebar luas sampai ke leher dan telinga Karenina. Ia menunduk dalam-dalam, jarinya saling ia tautkan guna menahan rasa ingin berteriak kencang sekencang-kencangnya.

“Hei, sayang.. Lihat aku dulu, boleh?”

Dengan sangat pelan, Karenina menaikan pandangan. Kepalanya sudah lurus, tapi matanya masih bergerak-gerak gelisah, menghindari tatapan mata lembut dari Yoanna. Ketika akhirnya ia berani mendaratkan tatap di wajah sang kekasih, ia terpesona dengan senyum lebar sehangat matahari yang sudah sangat lama tidak ia lihat di wajah Yoanna.

Matanya tak berkedip lama. Dan entah mengapa dan bagaimana, fokus tatapannya terhenti pada bibir indah Yoanna. Ia menelan ludah.

Yoanna menyadari gestur kecil itu, lalu memasang senyum miring. Timbul niat untuk menggoda Karenina lebih jauh.

“Nina, lihat deh.” Yoanna mengangkat jari telunjuk dan meletakkannya di depan bibir.

“Mau?”

“YOANNA!”

“HAHAHAHA!”

Tawa keras Yoanna memenuhi taman kecil itu, menambah rasa malu yang dirasakan oleh Karenina. Ugh, ia lupa kalo kadang-kadang gadis ini bisa jadi sangat jahil.

“Tapi serius, Nin.” Ucap Yoanna ketika tawanya sudah mereda.
“Mau?”

Oke. Karenina mengerjap beberapa kali. Pandangannya jatuh lagi pada bibir Yoanna dan, well, kapan lagi kesempatan emas begini ada, ya kan?

Kemudian Karenina maju selangkah, mendaratkan satu kecupan di bibir pink Yoanna. Tinggi mereka yang sepantaran memudahkan kegiatannya itu.

Yoanna terpaku sejenak sambil memejamkan mata. Perlahan bibirnya tersenyum tipis. Lalu ketika ia membuka mata, hal pertama yang ia incar adalah bibir penuh dan kemerahan milik Karenina.

Lalu ciuman pun terjadi. Sebuah ciuman yang benar-benar ciuman. Penuh dengan kecup, kecap, dan basah.

Ciuman penuh perasaan yang akhirnya tercurahkan itu, tidak akan terputus bila seandainya suara klakson mobil tidak berbunyi nyaring dan memisahkan tautan bibir mereka.

“Hahahahah!!” Tawa lepas bergema ke segala penjuru tempat itu. Seolah menandai bahwa kini, sebuah lembaran baru yang penuh bahagia siap untuk dimulai.

“Iya ma! Nina mau kesitu!” Karenina meneriakkan pemberitahuan pada orang tuanya lalu kembali menghadap Yoanna.

“Hm.. Aku pergi dulu kalo gitu.”

“Iya. Kamu hati-hati ya.”

Yoanna menyampirkan rambut legam Karenina ke belakang telinga lalu mengelus pipinya dengan sayang.

“Jangan khawatir, kita akan segera ketemu lagi. Bulan Juli, di Jakarta. Sampai jumpa disana, sayang.”

Karenina dan Yoanna -yang adalah pemilik dari semua kisah cintanya di setiap hari kasih sayang; pemilik cinta pertama dan semoga juga terakhirnya; saling melempar senyum hangat penuh bahagia untuk satu sama lain.

“Hm. Aku tunggu kamu disana, sayang.”

End.