
Minjeong selalu bertanya-tanya seperti apa rupa dari Kematian itu.
Ratusan tahun ada di dunia, berkali-kali bertemu dengan dewa-dewi Olympus, jutaan kali berhadapan dengan tingkah polah manusia, belum juga Minjeong tahu rupa dari Kematian.
Jelas, dia bukanlah sosok yang bisa kau temui kapanpun dan dimanapun. Kenyataan bahwa dia tidak hidup disini –diatas sini– bersama dengan para penghuni dunia yang lain, sudah cukup menjadi alasan mengapa sulit familiar dengan Kematian.
Dia adalah seorang Dewa Agung –satu diantara tiga dewa penguasa tiga dunia.
Dia adalah penguasa dunia kematian. Dunia yang tak tersentuh oleh kehidupan dan segala sesuatu yang lazim ditemui disini. The underworld.
Lagipula, siapa yang sukarela berkunjung ke dunia bawah, tempatnya para orang mati? Hanya mereka yang putus asa dan kehilangan jiwa –mereka yang mati-lah yang akan pergi kesana.
Minjeong, putri dari salah satu Dewi Olympus. Kepadanya dianugerahkan kemampuan untuk mendatangkan musim semi –salah satu tugas yang diturunkan sang ibu padanya– sudah pasti tidak akan diperkenankan menginjakkan kaki di dunia bawah.
Sebab Minjeong adalah lambang dari kehidupan. Ia diberi tugas untuk memekarkan musim semi, mendatangkan semangat yang baru pasca musim dingin yang panjang. Manusia bersyukur dan bersorak-sorai kepadanya oleh karena musim semi tiba. Minjeong membawa kehidupan baru bagi dunia.
Tidak mungkin dewi yang mendatangkan kehidupan, justru berhadapan dengan kematian.
Namun sedari kecil, Minjeong sudah menjadi sosok yang selalu ingin tahu. Kala ibunya sedang berkeliling dari satu daerah ke daerah lain untuk memberkati panen dan menghadiri festival yang dipersembahkan untuknya, Minjeong akan dengan bebas berlarian sepanjang hari, mengitari setiap taman bunga yang bisa ia dekati, menari, tertawa, bersukacita dengan para nymph. Minjeong suka mengenali dunia luar dengan inderanya sendiri. Hingga kini, petualangan kecil itu masih menjadi kebiasaan yang kerap ia lakukan.
Siapa sangka, kebiasaan kabur dari pengawasan sang ibu akan membawanya ke situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Minjeong selalu penasaran, seperti apakah rupa Kematian? Semua orang selalu membicarakannya. Mulai dari immortal sampai mortal di bumi, semuanya selalu menaruh rasa segan –atau takut– kala bicara tentangnya. Mereka bahkan tidak pernah benar-benar menyebut namanya. Mereka hanya memanggilnya “Dewa Kematian”.
Segala keterbatasan pengetahuan akan dia, membuat Minjeong sungguh penasaran akan dia. Tentu, Minjeong punya terkaan sendiri tentang bagaimana rupa Kematian. Yang terbayang adalah wujud menakutkan, mengerikan dan berbahaya.
Seharusnya seperti itu wujud dari Kematian kan?
Hingga suatu hari –hari ini– Minjeong memiliki kesempatan untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya sendiri.
Ketika ia larut dalam petualangan kecilnya menelusuri anak sungai yang cukup jauh dari kediaman ibunya, sambil memetik bunga-bunga kecil nan cantik di sepanjang sisian, diiringi dengan alunan merdu dari para nymph kesayangannya, di bawah cahaya mentari yang hangat, di tengah-tengah musim semi yang baru saja ia mekarkan.
Minjeong yang sedang dalam semangat membuncah, seketika kehilangan kata kala manik hazel miliknya menangkap sosok yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sosok yang mungkin hanya akan pernah ia jumpai dalam khayalannya.
Sang Dewa Kematian.
Ah, Dewi, lebih tepatnya. Sebab dihadapannya kini, berdiri sosok makhluk abadi yang serupa dengannya. Sekujur tubuhnya yang tertutup oleh pakaian hitam, turut diselimuti oleh bayangan hitam. Rambutnya pun hitam legam, terurai panjang hingga lengan, senada dengan manik matanya yang juga legam.
Warna hitam itu seperti melekat padanya, sangat kontras dengan kulit tubuhnya yang tak terbalut kain yang bisa Minjeong lihat. Kulitnya putih pucat, bagai tidak pernah terkena oleh cahaya.
Minjeong memang belum pernah melihatnya. Tapi secara otomatis, Minjeong bisa tahu dan merasakan. Inilah dia. Sang Kematian – sosok yang selalu menjadi pusat dari rasa ingin tahunya.
Dia melangkah, dua langkah. Jarak diantara mereka dekat. Minjeong semakin bisa mengamatinya dari dekat.
Dan Minjeong semakin kehilangan kata. Sebab tidak pernah ia mengira sebelumnya bahwa Kematian, ternyata berwujud seindah dan semempesona itu.
-------------------------------------------------------------
Ini adalah tempat dan suasana yang tidak lazim –juga tidak nyaman, biasanya– bagi Jimin.
Setelah berabad-abad ada di dunia, jika ada satu hal yang bisa ia pelajari dan yakini dengan pasti, adalah ia tidak cocok dengan tempat yang dibanjiri sinar mentari.
Jimin tidak suka merasa kepanasan atau kesilauan. Maka –meskipun dengan berat hati– ia mengakui kalau keputusan untuk tinggal dan memerintah dunia bawah adalah yang paling tepat baginya.
Bukan keinginan Jimin untuk datang dan menjadi penguasa dunia bawah sebenarnya. Itu hanyalah satu dari beberapa keberuntungan baginya. Jimin suka menyebutkan demikian, sebab mengatakan sebaiknya hanya akan membuatnya terlihat makin menyedihkan.
Jimin dan kedua saudaranya –yang satu memerintah di langit, satu lagi di dasar laut– mungkin adalah Dewa Agung bagi seluruh makhluk di dunia. Merekalah yang mengatur seluruh makhluk yang ada. Tapi apakah mereka yang paling kuat?
Well, iya dan tidak.
Iya, karena saat ini bisa dijamin tidak ada satu makhluk pun yang mampu mengalahkan mereka dalam pertarungan. Ini nyata dan karenanya tidak ada yang benar-benar berani. Bahkan perkelahian remeh antar Jimin dan sang saudara –Sehun si penguasa langit– berefek besar bagi dunia manusia dan pemulihannya butuh waktu yang tak sebentar. Mencari masalah dengan para Dewa Agung sama saja dengan menyerahkan nyawa.
Dan tidak, karena.. Sesederhana tidak. Bukan merekalah yang terkuat.
Tapi yang terkuat dan punya kemampuan untuk menguasai dunia serta seluruh isinya? Hanya mereka.
Jimin adalah salah satu dari mereka.
Memerintah dunia bawah –dunia jiwa-jiwa yang mati– adalah salah satu wujud dari kekuatan Jimin yang tak terukur itu. Selain Jimin, siapa lagi yang mampu menetap di tengah-tengah jiwa mati dan berkuasa atas mereka semua? Tidak ada. Bahkan saudara-saudara yang gagah perkasa itu sekalipun.
Namun, sedahsyat apapun kekuatan Jimin, tentu ia punya keterbatasan. Seperti yang sudah disebutkan, Jimin tidak nyaman berada di bawah cahaya. Dunia yang terang benderang dan penuh kehidupan ini, bukanlah hal yang mampu Jimin atasi.
Bukan berarti kekuatannya menjadi lemah disini, bukan. Jimin tetap bisa menggunakan kekuatannya dimanapun dan kapanpun ia mau. Hanya saja, perasaan asing dan tidak nyaman yang muncul setiap kali Jimin berada di bawah cahaya, seperti membatasi dirinya. Seolah-olah, Jimin bukanlah dirinya. Mungkin itulah efek dari hidup dalam kegelapan selama berabad-abad lamanya.
Jimin sudah terlalu terbiasa akan dunia bawah dan memiliki segalanya yang ia butuhkan disana. Hal-hal yang tidak ia dapatkan disini, ada disana.
Itulah yang Jimin pikirkan sampai seminggu yang lalu.
Perbedaan terjadi ketika Jimin melintas di atas sebuah taman untuk pulang ke kediamannya setelah selesai menjemput jiwa yang mati. Manik legam Jimin secara tak sengaja menangkap sosok gadis di antara bunga-bunga yang tengah mekar. Dari kejauhan wujudnya tak tampak jelas. Tapi Jimin bisa merasakan bahwa sosok itu adalah seorang dewi juga.
Entah mengapa, entah bagaimana. Jimin seharusnya hanya melirik sekilas kala itu, namun menjadi tertarik untuk melihat lebih dekat. Ia penasaran, mengapa gadis itu terlihat begitu.. Berbinar-binar? Sangat jarang ada makhluk di bumi yang memancarkan cahaya sedemikian rupa selain dewa-dewi Olympian.
Dan begitu Jimin menuruti firasatnya untuk mendekat, saat itu jugalah perbedaan itu terasa.
Jimin bersumpah demi seluruh dunia bawah beserta isinya. Selama berabad-abad tak terhitung berapa banyak jiwa yang datang dan pergi di depan matanya, dan gadis itu adalah yang terindah.
Siapa yang menyangka? Ternyata ada tempat dimana cahaya mentari tak terasa meresahkan bagi Jimin. Atau mungkin, ini bukan tentang tempatnya. Tapi tentang siapa yang sedang dipandangi Jimin dengan penuh takjub.
Di hari-hari berikutnya, Jimin selalu menyempatkan diri untuk berhenti di taman itu. Dari jarak yang cukup jauh, ia dengan penuh minat memperhatikan sang gadis. Bahkan saat Jimin tidak sedang ada kepentingan apapun diatas dan sebaiknya beristirahat saja, ia tetap datang hanya untuk bisa melihatnya.
Tentu Jimin tidak buta tentang dia. Jimin tahu ia adalah putri seorang dewi juga. Joohyun, sang Dewi Pertanian dan Agrikultur –salah seorang Olympians dan juga saudarinya.
Jimin tahu Joohyun punya anak. Yang Jimin tidak tahu adalah anak yang tidak pernah dibawa saudarinya ke pertemuan dan pesta-pesta besar itu adalah gadis paling menarik yang pernah ditangkap oleh matanya.
Jimin ingin mengenalnya. Ia ingin mendengar suara tawa gadis itu dari dekat. Ia ingin tahu apakah aromanya sama semerbak dengan bunga di sekitarnya. Apakah tubuh mungil yang bersahaja itu serapuh kelihatannya atau tidak.
Maka dihari ini, di momen ini, Jimin memutuskan untuk melangkah keluar dari tempat ia biasa bersembunyi. Berjalan mendekat tanpa berusaha menutupi aura kehadirannya lagi. Agar sang dewi muda bisa merasakan kehadirannya dan melihat ke arahnya.
Dan terjadilah apa yang Jimin inginkan. Dewi muda itu kini sedang membatu dihadapannya. Matanya membelalak, kentara sekali merasa takjub dan heran. Jimin sempat berpikir mungkin ia akan kabur. Tapi ternyata gadis itu diam saja di tempatnya.
Diamnya membuat Jimin merasa memiliki kesempatan. Maka mulailah ia berucap dengan sangat hati-hati.
“Selamat siang, dear Goddess. Maaf mengganggu waktu luangmu yang menyenangkan. Jika kau berkenan, bolehkah aku lanjut berbicara?”
Minjeong mengedipkan mata tiga kali sebelum mengangguk pelan.
“Terima kasih. Aku Jimin, Goddess of the death, Queen of the underworld.”
Tubuh Minjeong merinding.
“Bolehkah aku tahu siapa namamu?”
Setelah menelan ludah dengan susah payah, Minjeong menjawab,
“A-aku Minjeong, Goddess of Spring. Putri dari Joohyun, Goddess of Harvest and Agriculture.”
Minjeong.
Jimin menganggukkan kepala, sembari memastikan nama itu telah diingatnya dengan benar.
“Aku sudah cukup lama memperhatikanmu di taman ini. Kau tidak sadar, tentu saja. Untuk itu aku meminta maaf, karena memanfaatkan kelengahanmu demi kepentinganku pribadi.”
Minjeong tidak bisa menyembunyikan rasa kaget mendengar penuturan Jimin. Semua terlihat jelas di ekspresi wajahnya.
“Aku sudah lancang dan mungkin membuatmu merasa tidak nyaman kini. Maafkan aku.”
Jimin menjeda sejenak, lalu dengan lembut melanjutkan,
“Aku tidak bisa menahan diri setelah terpesona oleh kecantikanmu yang secara tak sengaja terlihat olehku dari kejauhan. Hari ini, aku memantapkan hati untuk menyapa dirimu, dan menyatakan keinginanku dihadapanmu.”
“K-keinginan apa, Y-Yang Mulia?”
Jimin mengulurkan satu tangan, kemudian berkata, “Ikutlah denganku.”
“Ke..kemana?”
Ragu, takut, takjub. Semua bercampur jadi satu dalam pikiran Minjeong. Tapi ia akui, telapak tangan yang tampak dingin itu.. Ia ingin tahu bagaimana rasanya bila menyentuhnya.
“Ke Istana tempat kediamanku. Hanya jika kau mau.”
Istana? Kediaman? Artinya.. Dunia bawah?
“Memangnya.. Boleh?”
Jimin tersenyum tipis, tipis sekali. Minjeong hampir tidak menyadarinya.
“Di kediamanku, akulah yang menentukan boleh dan tidak boleh, benar dan tidak benar. Aku memintamu ikut, apakah itu berarti aku melakukan sesuatu yang tidak boleh?”
Jantung Minjeong berdetak semakin kencang. Situasi ini terasa makin mencekam. Tapi.. Rasa takutnya tidak membesar. Justru.. Rasa ingin tahunya-lah yang menguat.
“Minjeong.”
“Y-ya, Yang Mulia?”
“Ikut denganku?”
Tawaran itu datang lagi. Entah kenapa, itu terasa seperti tawaran terakhir yang mungkin datang. Minjeong menggigit bibir sedikit keras. Dengan sangat hati-hati, ia arahkan tatapannya lurus ke pada sang Dewi Kematian. Minjeong mencari sesuatu. Tapi ia tidak menemukannya. Tidak ada alasan baginya untuk tidak menerima uluran tangan itu.
Tidak saat manik legam itu menatapnya tanpa ragu, tanpa cela, dan.. Penuh kemauan.
Maka dengan satu gerakan pelan, Minjeong meletakkan telapak tangannya diatas tangan Jimin yang segera membalasnya dengan genggaman erat.
“Terima kasih, Minjeong.”
Jimin berkata dengan nada puas yang terdengar jelas. Senyum lebar terulas di bibir merah pucatnya.
“Sekarang, bila aku boleh meminta, tolong jangan lepaskan genggaman tanganmu ini sampai kita tiba di tujuan.”
Minjeong membiarkan dirinya di tarik mendekat oleh Jimin. Kemudian, ia merasa tubuhnya jadi ringan.
“Mari, kubawa kau berkunjung ke duniaku.”
-------------------------------------------
Mengerikan. Itu adalah kata paling tepat untuk menggambarkan apa yang Minjeong rasa, lihat, dan alami di hari pertama ia menginjakkan kaki di dunia bawah.
Dimulai dari melintasi sungai Styx, perbatasan antara bumi dan dunia bawah. Sungai itu membawa jiwa-jiwa yang telah meninggalkan tubuhnya, menuju alam baka.
Minjeong dan Jimin mengarungi sungai itu dengan sebuah perahu yang dikemudikan seorang pria yang.. Menakutkan.
“Selamat datang kembali, Yang Mulia.”
“Charon. Ini adalah Minjeong, Goddess of Spring. Dia adalah tamu di kediamanku. Perlakukan dia sebagaimana kau memperlakukan aku.”
“Baik, Yang Mulia.”
Perjalanan melintasi sungai Styx adalah pengalaman yang berat bagi Minjeong. Jiwa-jiwa di bawah sana, Minjeong bisa melihat dan mendengar mereka dengan jelas. Teriakan dan erangan penuh sengsara dan keputusasaan, Minjeong hampir tidak bisa menahan diri.
Ia hampir saja mengulurkan tangan, menyentuh permukaan sungai itu dan mungkin menolong salah satu dari jiwa-jiwa yang meminta belas kasihan itu. Tapi tatapan mata Jimin yang tegas memberitahunya agar tidak sembarangan bergerak.
Sesampainya mereka di seberang, Jimin menuntunnya berjalan menuju sebuah gerbang besar. Awalnya Minjeong tidak melihat ada apa-apa disana, hanya gerbang hitam besar yang tampak suram. Namun ketika hanya berjarak beberapa meter, tiba-tiba saja entah dari mana muncul seekor makhluk berwujud mengerikan.
Itu Cerberus, anjing raksasa berkepala tiga, penjaga pintu gerbang istana dunia bawah.
“Cerberus!”
Sentakan keras Jimin seketika menghentikan laju lari sang makhluk raksasa ke arah Minjeong yang membeku ketakutan.
“Grr!! Grr!!“
“Tenanglah Cerberus. Dia datang bersamaku.”
Raungan kasar Cerberus perlahan mereda. Dia mendekatkan diri pada sisi Jimin dan sang dewi mengulurkan tangan untuk mengelus rahang salah satu kepala makhluk itu.
Minjeong masih terpaku gemetaran. Jimin menoleh ke arahnya sambil memberi senyum kecil,
“Maaf, Cerberus memang cukup sensitif terhadap sosok baru. Tidak perlu takut, dia tidak akan menyakitimu.”
Kemudian ia berpaling lagi pada sang raksasa dan berbisik,
“Jangan membuatnya takut. Bersikap baiklah.”
Cerberus kemudian meraung kencang lalu mundur beberapa langkah, memberi jalan bagi mereka untuk lewat. Jimin memberi gestur agar Minjeong mendekat ke arahnya, dan dewi muda itu menurut.
“Genggam tanganku, Minjeong.”
Minjeong tersentak karena permintaan yang tiba-tiba itu. Jimin menyadarinya dan langsung menjelaskan,
“Kita akan melewati gerbang istana dunia bawah. Itu tidak akan terasa nyaman bagimu. Sebaiknya kita masuk sambil bergenggaman.”
Minjeong mengangguk pelan lalu mengulurkan tangan pada Jimin. Sang dewi pun menautkan jemari mereka lalu menuntunnya mendekati gerbang besar yang secara otomatis terbuka itu.
Dada Minjeong berdebar dengan sangat kencang. Penglihatannya mengabur dan semakin membuat hatinya tak tenang. Minjeong mulai dilanda panik, sekujur tubuhnya merasakan hawa dingin dan tak nyaman yang membuat merinding. Ia ragu melanjutkan langkah. Ia takut akan apa yang ada di hadapannya.
Lalu tiba-tiba sebuah rangkulan terasa di bahunya. Minjeong menegang. Rasa dingin semakin menusuk –tubuh yang berada dekat dengannya itu terasa sangat dingin.
“Tenanglah. Kau baik-baik saja bersamaku.”
Bisikan rendah menyapa telinga Minjeong. Itu suara Jimin. Tak lama tubuhnya menjadi lebih rileks, hawa aneh yang tadi menyelimuti tak terasa lagi. Dingin masih terasa –malah makin terasa, namun Minjeong merasa jauh lebih tenang.
Ia melihat ke samping, wajah pucat Jimin berada dekat. Ekspresinya menenangkan. Minjeong pun mau melangkahkan kaki lagi, masuk lebih dalam melewati gerbang besar itu.
Jimin tak melepaskan rangkulan sampai mereka benar-benar keluar dari kabut. Mata Minjeong mengerjap-ngerjap, lalu mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ekspresinya takjub dan takut. Ia semakin mengeratkan genggaman pada tangan Jimin.
Jimin menahan senyum. Ia tak boleh tersenyum sekarang –ada banyak bawahan yang sedang berdiri menyambut kedatangannya disitu. Maka ia menaikkan dagu, memberi tatapan tegas kepada para bawahannya.
“Yang Mulia!” Kata mereka serentak sambil berlutut takluk di hadapannya.
“Angels. Perkenalkan, ini Minjeong, Goddess of Spring. Ia adalah tamu disini. Perlakukan dia selayaknya kalian memperlakukan aku.”
“Baik, Yang Mulia!”
Jimin mengalihkan tatapan pada Minjeong yang masih berusaha menguasai diri. Di elusnya punggung tangan sang dewi muda lalu berkata lembut,
“Selamat datang di istanaku, my dear Goddess.”
-------------------------------------------------------------
Minjeong kira hari-harinya di dunia bawah akan penuh sengsara. Bagaimanapun ini adalah tempat bagi para jiwa yang mati berkumpul, bukan? Sungai-sungai yang mengelilingi dunia ini dipenuhi raungan tangis dan ratapan penyesalan. Minjeong dapat mendengarnya sepanjang waktu.
Ditambah lagi, dunia ini tidak mengenal siang dan malam, terik dan hujan, ataupun sejuk dan panas. Hanya ada gelap dan hawa dingin yang mencekam –tidak mengagetkan, begitulah dunia orang mati– Suasana yang membuat Minjeong kesulitan menentukan waktu.
Sungguh, ia tidak bisa memastikan sudah berapa hari lamanya sejak ia tiba disini.
Namun semua bayangan liarnya akan dunia bawah dipatahkan hanya dengan dua kalimat yang diucapkan oleh Jimin.
“Tinggallah dengan nyaman disini. Aku akan memastikan semua kebutuhan dan keinginanmu terpenuhi, Minjeong.”
Cukup begitu saja, dan seluruh makhluk di dunia ini memperlakukan Minjeong nyaris sama istimewanya dengan pemimpin mereka.
Satu hal yang paling Minjeong hargai adalah, sang Dewi Kematian sendiri yang memastikan kenyamanannya disini dengan menemaninya, berada disampingnya hampir setiap waktu.
Minjeong sempat bertanya, apakah sang dewi tidak terganggu aktivitas dan tugasnya karena harus menemaninya? Ia tidak perlu begitu apabila jawabannya iya, Minjeong akan tetap merasa baik bila dibiarkan sendiri saja.
Tapi Jimin dengan tegas membantah. Ia menyampaikan bahwa tidak ada tugas besar yang menuntutnya untuk pergi dari kediamannya sekarang. Serta, sudah hal biasa baginya berada disini tanpa pergi kemana-mana. Ia lebih nyaman begitu.
“Dan rasanya lebih baik karena kini ada orang yang bisa menjadi temanku bicara. Dengan sangat senang hati aku memilih untuk menemanimu disini, Minjeong.”
Dewi Kematian, berbeda dengan penampilannya yang terkesan kuat dan mengintimidasi, punya kepribadian yang lembut dan menenangkan hati. Setiap kata yang ia ucap, setiap tindakan yang ia perbuat, semuanya membuat Minjeong merasa tenang.
Seluruh bayangan Minjeong tentang Kematian serta dunia orang mati yang gelap dan suram, perlahan-lahan sirna dan terganti oleh kesan baik –yang semakin lama semakin baik– seiring banyaknya waktu yang ia habiskan disini.
Minjeong sudah tidak lagi ambil pusing dengan suara-suara menyedihkan yang berasal dari luar istana. Jimin telah mengajarkan cara untuk mengabaikan dan tidak terpengaruh olehnya. Para bawahan Jimin –the black angels, malaikat kematian– pada awalnya masih kikuk serta sinis dengan kehadiran Minjeong disini. Tapi dihari-hari setelahnya, mereka mulai meruntuhkan tembok yang ada dan kini Minjeong bisa mengatakan bahwa ia cukup senang karena berteman dengan para bawahan Jimin yang tidak terlalu ramah itu.
Sesuatu yang tidak pernah terbesit bahkan dalam mimpi paling gilanya sekalipun. Datang ke dunia bawah, tinggal dan merasa nyaman dengan situasi serta para penghuni dunia ini. Minjeong tidak menyesalinya. Sama sekali tidak.
“Minjeong.”
“Ya, Yang Mulia?”
“Apa yang kau inginkan untuk makanan penutup hari ini?”
Minjeong terdiam sejenak untuk berpikir. Bagi yang belum tahu, di dunia ini waktu makan hanya ada dua kali. Disebut bukan sebagai makan siang dan makan malam, tapi makan pembuka dan makan penutup –berhubung disini tidak dikenal konsep siang dan malam.
Dunia bawah juga punya menu makanan tersendiri. Menu yang sangat asing bagi Minjeong walaupun tetap bisa ia makan meski tidak begitu ia nikmati. Maka dihari ketiganya tinggal di istana Jimin, sang dewi memastikan agar bawahannya menyiapkan menu makanan yang lumrah bagi penghuni bumi. Minjeong sangat senang akan kemurahan hati Jimin tersebut. Dalam hati, ia bertekad akan berhati-hati agar tidak merepotkan Jimin lebih dari ini dan membalas kebaikannya suatu saat nanti.
“Jadi, kau ingin makan apa, dear Goddess?”
“Aku berpikir tentang kentang dan tomat, Yang Mulia. Apabila mungkin, kita bisa menyantapnya dalam semangkuk sup.”
Jimin mengangguk paham. Ia memanggil salah seorang bawahannya dan menyampaikan permintaan Minjeong barusan. Sang bawahan membungkuk dalam setelah mengerti instruksi Jimin lalu pergi dari ruangan itu.
Minjeong dan Jimin sedang berada di sebuah ruangan yang menurut Jimin dipergunakan untuk bersantai saat sedang tak mengurusi jiwa-jiwa orang mati. Di ruangan itu ada sebuah sofa besar dan lebar –yang sekarang sedang mereka duduki sambil bersandar. Didekatnya ada meja kayu tempat dimana berbagai macam buah dan manisan diletakkan. Ada juga cawan-cawan berisi anggur dan air putih. Semua itu adalah cemilan yang biasa disantap oleh Jimin.
Ia mengizinkan Minjeong untuk duduk bersamanya disini dan menikmati semua sajian yang ada. Ia bahkan mengizinkan Minjeong untuk duduk di singgasananya –tentu saja tidak pernah Minjeong lakukan– serta keluar masuk kamar pribadinya –ini pernah Minjeong lakukan, beberapa kali.
Jimin memperlakukannya dengan sangat baik. Daripada seorang tamu, mungkin lebih tepat dikatakan sebagai seorang ratu, seorang tuan rumah sama seperti dirinya.
“Mengapa kau memakan buah ceri itu seperti seekor anak kucing? Cairannya meleleh keluar dari mulutmu, Minjeong.”
“Eh?” Minjeong segera menegakkan badan dan meletakkan buah ceri yang belum habis ia makan itu.
“Mohon maaf, Yang Mulia. Aku cenderung makan berantakan apabila sambil berpikir. Maaf.” Dengan malu-malu Minjeong berusaha membersihkan sekitar mulutnya.
“Tidak perlu minta maaf. Aku tidak merasa ada yang salah.” Jimin ikut menegakkan badan lalu mengambil sebuah kain bersih dari atas meja. Ia raih dagu Minjeong dan mengelap sisa-sisa ceri dengan kain tersebut. Minjeong membatu.
“Apa pula hal yang kau pikirkan sampai melamun seperti tadi?” Kali ini Jimin meraih kedua tangan Minjeong, membersihkan tangannya dari noda-noda ceri. Minjeong masih membantu.
“Minjeong?”
Masih belum ada respon.
“My dear Goddess?”
“Ya?” Jawab Minjeong tersentak.
Jimin tersenyum simpul. Ia selesai menyeka jari-jemari Minjeong lalu meletakkan kain ke tempat semula sambil berkata,
“Aku bertanya, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun dan mengotori pakaianmu begitu?”
Minjeong baru menyadari ternyata cairan ceri menetes sampai ke kain putih penutup tubuhnya. Tambah saja ia merasa malu. Ia pun menundukkan kepala dalam-dalam.
“Apakah kau tidak akan menjawab pertanyaanku?” Tanya Jimin dengan nada jenaka. Pipi Minjeong memerah.
Penguasa dunia bawah itu tertawa tanpa suara. Ini menyegarkan, belum pernah ia bertemu dan berinteraksi dengan sosok yang menggemaskan seperti Minjeong. Jimin bisa merasakan hatinya menjadi ringan. Keberadaan Minjeong di kediamannya memberi banyak efek baik dan menyenangkan.
Kini Jimin menatap wajah samping Minjeong yang masih menunduk malu itu lekat-lekat. Ia menyukainya. Paras cantik menawan, tingkah natural nan polos, tutur kata lembut dan halus. Jimin rasa keputusannya untuk mengundang Minjeong datang kemari adalah tepat.
Walau itu tindakan yang beresiko tinggi sebenarnya, tapi Jimin tidak mau ambil pusing. Yang terpenting, ia puas karena ada Minjeong di dekatnya. Bila hanya terus-terusan melihat dari jauh, pasti akan sangat menyiksa. Jimin menyukai keadaan ini dan ingin lebih dari ini.
“Hei, Minjeong.”
“Y-ya, Yang Mulia?”
“Angkat kepalamu.”
Meskipun masih dikuasai rasa malu, Minjeong tak bisa bila menolak permintaan itu. Maka ia angkat kepalanya dan mengarahkan pandangan pada sang Dewi Kematian.
Tangan kanan Jimin bergerak, membelai pipi mulus Minjeong dengan punggung tangan.
“Sudahkah aku mengatakan bahwa kau sangat indah?”
Minjeong menggeleng. “Tapi seingatku kau pernah menyanjungku dengan kata cantik, Yang Mulia.”
“Dan aku telah keliru. Kata cantik saja tidak cukup untuk melukiskan keindahanmu. Bahkan kata indah sekalipun.. Tidak cukup.”
“Minjeong, my dear Goddess. Aku telah diberkati. Aku dibiarkan bertemu denganmu, dan kau bersedia ikut denganku di dalam kegelapan ini.”
“Sama sekali tidak ada yang salah dari kegelapanmu, Yang Mulia. Aku tidak merasa takut.”
“Hm.. Pada awalnya, iya. Tapi sekarang tidak lagi. Denganmu, segala yang gelap, yang kelam, yang suram.. Tidak lagi tampak menakutkan.”
“Aku mendapat pengetahuan baru. Terima kasih untukmu, Yang Mulia. Karena telah membawaku disini dan mengenalkanku pada duniamu.”
Jimin menatap Minjeong dengan mata berbinar-binar. Dewi muda itu benar-benar membuatnya takjub. Jimin rasa, ia telah jatuh.
Dengan sadar, Jimin mendekatkan diri kepada Minjeong yang tidak bergerak ataupun menolak.
Jarak semakin terkikis. Mereka sadar, intensi merasa jelas. Hanya beberapa detik kemudian, mereka berciuman.
Ciuman itu lembut. Sangat lembut –pada awalnya.
Lalu timbul hasrat yang menginginkan sesuatu yang lebih. Lebih dekat, lebih intim, lebih berani. Jimin menuruti hasrat itu dengan mulai menggerakkan bibir tak beraturan di atas milik Minjeong. Menyentuh setiap sisi tanpa jeda.
Sang dewi muda hanya bisa menerima –pada awalnya. Ketika permukaan kulit Jimin yang dingin bergesekan dengan miliknya, sensasi seperti sengatan menjalar ke seluruh tubuhnya.
Minjeong tak lagi hanya diam. Ia ikut menginginkan lebih. Ia merasa butuh. Entah apa, ia tak tahu. Bagaimanapun, ini adalah kali pertama baginya.
Maka ia biarkan Jimin yang menguasainya. Menuntunnya untuk berbuat hal yang sama kepada dirinya. Mulai dari dari ciuman yang semakin besar intensitasnya, hingga menjelajah bagian-bagian tubuh yang bisa ia jangkau dengan kedua tangannya.
Jimin jelas lebih berpengalaman. Tidak ada keraguan sedikitpun kala ciuman itu merambat ke bagian selain bibir Minjeong. Ceruk lehernya yang putih halus terlalu menggoda untuk tak ditinggalkan bekas.
“Shh.. Ahh..“
Hanya satu desahan yang lolos dari mulut sang dewi muda, mampu menaklukkan segala kewarasan Jimin yang tersisa. Ia raih pinggang Minjeong dengan kedua tangan. Ia bawa tubuh mungil itu duduk dipangkuannya.
“Minjeong..”
“Y-ya.. Yang m-mulia..”
“Aku akan melakukan sesuatu kepadamu, yang mungkin akan kau sesali nantinya. Jika kau berpikir aku benar, maka berdirilah dan menjauh dariku.”
Jimin mengatakan itu dengan nafas berat, manik legamnya bergetar. Kentara sekali tengah berusaha mengontrol diri.
Sementara Minjeong berada dalam dilema. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang sebaiknya ia pilih?
Minjeong tahu, ada di tahap ini saja sudah salah. Tidak, berada di dunia ini saja, sudah sangat salah. Satu-satunya langkah masuk akal adalah pergi, menjauh entah bagaimanapun caranya.
Tapi, Minjeong tidak bisa menyangkal bahwa ada dorongan besar di dalam hatinya untuk tetap tinggal. Dan mungkin, mungkin apabila ia menyerah pada hasratnya, melanjutkan apa yang telah mereka mulai ini.
Tiba-tiba hari-hari yang sudah ia lalui sejak kedatangannya disini sekelebat muncul di benak Minjeong. Seharusnya dunia bawah adalah tempat yang berbahaya. Seharusnya ia merasa ada di tengah-tengah alam baka yang ganas dan sengsara.
Tapi Minjeong tidak merasakan hal-hal itu. Tidak dengan Jimin disisinya. Dunia ini, walaupun merupakan dunia orang mati tapi terasa aman, nyaman, bahkan menyenangkan karena Jimin membuatnya merasa demikian.
Minjeong telah memutuskan.
Yang dilakukan Minjeong berikutnya cukup mengejutkan karena Jimin tidak menduga. Ia pikir Minjeong akan cepat-cepat kabur. Meskipun nyaris tidak mungkin, ia akan pergi meninggalkan dunia bawah.
Tapi dewi muda itu malah meletakkan satu tangan di atas dada Jimin. Sementara tangannya yang satu lagi ia gunakan untuk melepas ikatan kain yang menjadi penutup tubuhnya.
Adrenalin Jimin kian terpacu. Hasratnya membara, kekaguman melonjak tajam. Bila Minjeong meminta, Jimin bahkan bersedia bertekuk lutut di hadapannya sekarang juga.
“Aku tidak kuasa untuk menolak. Lakukanlah apapun yang ingin kau lakukan terhadapku, Yang Mulia.”
“Jimin.”
Minjeong terdiam karena heran.
“Mulai sekarang panggil aku dengan namaku, Minjeong. Panggil aku Jimin.”
Minjeong tersenyum tipis, paham akan permintaan Jimin. Ia mengangguk dan membalas, “Dengan senang hati, Jimin.”
Dan Jimin tidak lagi membuang waktu. Satu persatu kain terlepas, milik Minjeong dan miliknya sendiri. Ketika tidak ada lagi penghalang di antara tubuh mereka, Minjeong bisa merasakan sengatan-sengatan kecil berevolusi menjadi setruman dahsyat. Ia tersentak, seperti ingin berontak namun malah bergerak semakin lekat dengan tubuh Jimin.
Sang dewi pun tidak jauh berbeda. Ribuan malam telah ia lewati sejak terakhir kali ia berada di keadaan yang seintim ini dengan orang lain. Harusnya ia sudah terbiasa. Tapi mungkin kesendirian telah memelihara rasa sepi dalam dirinya. Ia seperti enggan bertahan sendiri dalam dinginnya dunia ini.
Atau mungkin dewi muda yang berada di rengkuhannya kini memang sangatlah luar biasa. Mampu membangkitkan sisi paling manusia sekaligus paling iblis yang Jimin miliki.
Dan Jimin ingin memilikinya, seluruh dari dirinya. Minjeong adalah miliknya. Inilah langkah pertama Jimin untuk mengklaim kepemilikannya atas sang dewi muda. Jimin tidak akan menahan diri sama sekali.
Begitulah ikatan antara kedua dewi yang berbeda dunia itu terjadi. Mereka dengan rela saling menyerahkan diri untuk satu sama lain, untuk dimiliki sepenuhnya oleh satu sama lain.
-----------------------------------------------------------
Minggu kesekian Minjeong berada di dunia bawah, dan kini semuanya terasa berbeda.
“Jimin.”
“Ada apa, my dearest?”
“Kemanakah kau pergi besok? Apakah jauh? Akankah lama?”
Jimin yang sedang berbaring di pangkuan sang dewi muda merespon dengan kecupan di permukaan perut Minjeong.
“Aku akan mengunjungi sebuah daerah di utara. Cukup jauh, tapi tidak akan makan waktu lama. Aku akan menyelesaikannya dengan cepat.”
“Sungguh?”
“Sungguh. Aku juga tidak mau berada jauh terlalu lama darimu.”
“Aku tidak berkata seperti itu..”
“Tapi kau merasa begitu. Jika tidak, mengapa bertanya demikian?”
Minjeong diam saja. Ekspresi wajahnya yang mengerut menjadi jawaban. Jimin tertawa jenaka.
“Aku memang tidak suka bila kau pergi. Disini, hanya kau satu-satunya yang sungguhan menemaniku dan membuat aku merasa paling nyaman. Bukan berarti para bawahanmu tidak baik. Mereka semua baik, tapi kau berbeda.”
Jimin tersenyum lembut. Ia meraih sisi wajah Minjeong lalu membawanya mendekat. Ia kecup bibir sang kekasih satu kali.
“Aku tahu. Karena itu aku berkata aku akan kembali secepat mungkin. Berada di sisimu juga merupakan hal yang paling nyaman bagiku, my dearest.”
Setelah itu Jimin bangkit. Kembali ia beri ciuman di bibir Minjeong. Perlahan ia rebahkan tubuh sang kekasih di atas ranjang miliknya, tempat mereka berdua bersantai sedari tadi.
Jimin memposisikan tubuhnya di atas Minjeong. Dihujaninya tubuh sang kekasih dengan ciuman demi ciuman, dari atas hingga bawah. Minjeong tersenyum menikmati. Sentuhan Jimin –dengan jari maupun bibir– adalah hal kesukaannya kini. Lebih dari rasa sukanya pada bunga-bunga yang mekar.
“Minjeong.”
“Mhm..”
“Jangan rapatkan kakimu.”
Minjeong menggigit bibir mendengar perintah itu. Dengan perlahan ia lemaskan kakinya, membiarkan tangan Jimin menghilangkan jarak di antara kedua pahanya. Dengan cepat, Jimin menempelkan pipi kanannya di paha kiri Minjeong, sambil pelan-pelan memajukan kepala guna menyentuh bagian paling inti dari kewanitaan sang dewi muda.
“Hhh.. Mhh.. Ahh!”
Di sela aktivitasnya, Jimin tersenyum senang. Setelah berulang kali memadu kasih dengan Minjeong, ia menemukan kesukaannya selain mengecap bibir Minjeong yang manis. Ia suka suara desahan tertahan milik sang dewi muda. Melodi yang indah sekali di telinga.
Jimin menahan paha Minjeong dengan kedua tangan. Kala permukaan tangan dingin itu bergerak atas tubuh Minjeong, dipadu dengan permainan mulut Jimin – yang adalah satu-satunya organ Jimin yang terasa hangat– disana, sensasi aneh tapi nikmat itu tak tertahankan.
“J-jimin.. Uhh.. Ahh!”
Jimin memperkuat remasannya di paha Minjeong, bersama dengan gerakan lidahnya yang juga makin cepat. Tubuh Minjeong berkali-kali terangkat dari kasur karenanya. Sampai ketika Jimin memusatkan seluruh usahanya di titik kecil paling sensitif milik Minjeong, tubuh sang dewi muda melengkung naik keatas, mencapai awang-awang kenikmatan sekali lagi, karena Jimin.
“Minjeong.. Oh.. My dear Minjeong.”
Jimin kembali menciumi sekujur tubuh Minjeong sampai tiba di depan wajah yang merah dan penuh peluh itu.
“Terima kasih karena sudah membiarkanku memiliki keindahanmu. Kau sungguh, sungguh yang terindah dan teristimewa di sepanjang usiaku.”
Minjeong tertawa kecil. Dengan nafas yang masih terengah-engah, ia meraih leher belakang Jimin dan menguncinya dalam ciuman penuh kasih.
“Kau pun sama.. Bagiku, kau pun yang terindah dan teristimewa, Yang Mulia. My Goddess, My Jimin.”
Kedua dewi itu menikmati kehadiran masing-masing dalam suasana penuh intim dan suka cita, tanpa menyadari benih kekacauan yang tumbuh dan meradang di permukaan bumi yang ditinggalkan oleh Minjeong.
-----------------------------------------------------------------
Di bumi, Joohyun sedang marah. Benar-benar marah.
Sudah sangat lama ia tidak merasakan emosi sebesar ini. Hampir tidak pernah ia berada di ujung tanduk pengendalian diri begini.
Amarah dan rasa frustasi Joohyun sampai bisa dirasakan oleh semua makhluk di sekitarnya. Sisi emosionalnya yang tak biasa ini sampai-sampai membuat bumi kering kerontang. Musim panen yang seharusnya sudah berlalu, malah tidak pernah datang.
Dunia menjadi kacau. Manusia kehilangan mata pencaharian, makanan, kehidupan, bahkan nyawa.
Amarah Joohyun juga menyebabkan perkara bagi dewa-dewi lain. Dengan Joohyun yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, dunia menjadi tidak stabil. Ada banyak kekurangan dan kelemahan yang seharusnya tidak terjadi. Dunia manusia yang kacau sama dengan bencana bagi para penghuni Olympus.
Situasi yang diluar kendali itu pun sampai ke telinga Sehun, sang penguasa langit, pemimpin dari seluruh dewa dan dewi.
Sudah lama tidak ada kegaduhan di bumi. Sehun pun menaruh minat khusus pada masalah ini sebab, beberapa bawahannya yang setia melaporkan bahwa ada kemungkinan salah seorang saudarinya terlibat dalam inti masalah ini. Mereka menyebutkan tentang putri yang hilang, musim yang tak berganti, dan semacamnya.
Sehun gelisah. Apabila kabar itu benar, maka konflik antar dewa-dewi bisa saja terjadi. Hal terakhir yang Sehun inginkan adalah harus repot mengurus pertikaian diantara saudara-saudarinya yang tidak bisa diatur itu.
“Bersiaplah. Aku ingin pergi menemui Joohyun.” Titahnya pada salah seorang bawahan.
Kepala Sehun berdenyut-denyut. Sudah tiga hari istrinya, Soojung, tidak mau menemui dirinya. Tuduhan-tuduhan tentang wanita lain, keturunan yang disembunyikan, kutukan-kutukan yang tidak semestinya, masih saja jadi perkara yang tak kunjung usai diantara mereka. Yah, meskipun tuduhan itu tidak seratus persen salah, tapi tetap saja. Sehun lelah.
Kini malah ada perkara genting yang terjadi di bumi. Ia tidak mau buang-buang waktu. Siapa pun yang terlibat, saudara atau anaknya sekalipun harus segera diadili apabila benar menyebabkan kekacauan. Sehun hanya ingin semua masalah ini cepat selesai.
------------------------------------------------------------------
“Selamat menyambut hari yang baru, my dearest.”
Minjeong membalas sapaan Jimin dengan senyum lebar. Ia menarik selimut untuk menutup tubuh polosnya lalu bangkit berdiri dari ranjang guna mendaratkan satu kecupan manis di bibir sang kekasih.
“Mengapa kau sudah rapi? Apa kau akan pergi?” Minjeong bertanya dengan suara serak.
“Ah.. Ya. Baru saja aku mendapat kabar dari atas. Aku diminta untuk datang.”
Minjeong mengerutkan alis tak mengerti.
“Aku harus ke Olympus.”
“Eh? Ada apa?” Saat itulah Minjeong menjadi paham dan sedikit panik. Ia tahu itu berarti kekasihnya harus datang menghadap Sehun, raja para dewa.
“Bukan apa-apa. Sepertinya saudaraku sedang rindu berdebat denganku.”
“Jimin.. Yang serius..”
“Aku serius. Tidak ada apa-apa.”
Jimin melihat kekhawatiran di mata Minjeong lalu merangkul tubuh dewi muda itu.
“Ada apa dengan reaksimu itu? Kau cemas karena aku akan bertemu dengan saudaraku sendiri?”
Minjeong menggeleng kecil. Ia memang masih muda dan belum banyak berpengalaman di dunia para dewa –tidak seperti Jimin. Tapi Minjeong tahu, Sehun sangat jarang meminta seseorang datang ke hadapannya kecuali untuk hal-hal yang sangat penting. Apalagi, ini adalah pertemuan antara dua dewa-dewi penguasa dua dunia. Minjeong tahu ini pasti ada sesuatu.
“Kau tahu alasan mengapa aku bereaksi begini.”
“Tenanglah. Aku hanya akan pergi sebentar menemui saudaraku yang cerewet. Sebelum kau merasa bosan, aku sudah akan kembali.” Kata Jimin sambil membelai sisi wajah Minjeong.
“Sungguh?”
“Tentu. Apa aku terlihat seperti pembohong bagimu?”
Minjeong menggeleng keras. Ia melingkar lengan di leher Jimin dan bergelayut manja di tubuhnya.
“Aku percaya padamu. Aku akan menahan rindu untukmu disini. Jadi, jangan lama-lama.”
“Pasti, my dearest. Pasti.”
Jimin menutup percakapan itu dengan ciuman yang dalam untuk Minjeong. Dalam diam ia bersyukur karena berhasil mengendalikan diri dan tidak memperlihatkan kegundahan hatinya di hadapan sang kekasih.
-----------------------------------------------------------------
“Kau gila! Kau benar-benar gila!”
Jimin tidak terkejut jika hal pertama yang ia hadapi saat tiba di Olympus adalah amarah. Hanya saja, ia tidak berpikir bahwa Joohyun sendirilah yang akan menyambut kedatangannya.
“Apa yang membuatmu berpikir kau bisa membawa putriku begitu saja?! Siapa kau sampai berani menghinaku dan putriku seperti itu?! Hah?!”
Jimin tidak memberi respon apa-apa. Ia tidak masalah diteriaki seperti itu, tapi sebagian harga dirinya terusik oleh pertanyaan dengan nada meremehkan itu.
Jimin melirik ke arah lain, pada saudaranya yang duduk tidak nyaman di atas singgasananya sambil menatap Jimin dengan sorot mata menghakimi.
“Kembalikan putriku! Aku tidak mau tahu bagaimana caranya, kau harus segera mengembalikan putriku padaku!!”
Joohyun berteriak tepat di depan wajahnya kali ini. Jimin mengencangkan kepalan tangan, menahan diri untuk tidak balas membentak sang dewi yang juga adalah saudarinya itu.
“Cukup, Joohyun.” Sehun membuka suara.
“Keluarlah. Aku yang memanggil Jimin kemari, jadi akulah yang berhak untuk berbicara dengannya.”
Jelas sekali Joohyun tidak menyukai itu. Namun semarah apapun ia sekarang, ia tetap harus patuh pada perintah Sehun. Ia memberi satu tatapan tajam yang sarat amarah dan ancaman kepada Jimin sebelum berjalan cepat menuju pintu keluar.
“Jimin. Bagaimana bisa kau seceroboh itu? Ini bukanlah kau yang biasa.” Sehun memulai ceramahnya.
Sejujurnya Jimin sendiri juga bertanya-tanya. Ini memang bukanlah hal yang akan ia lakukan, apapun kondisinya. Tapi dewi muda itu, Minjeong-nya, tidak perlu berbuat banyak untuk membuatnya melakukan hal gila.
“Tindakanmu yang membawa Minjeong ke dunia bawah adalah kesalahan besar. Bukan hanya karena kau telah menghina Joohyun, tapi karena itu juga menyebabkan terjadinya krisis di bumi.”
Ya, Jimin tahu. Atau lebih tepatnya, terlambat tahu dan sadar. Hasratnya untuk bersama dengan Minjeong membuatnya tidak bisa berpikir jauh.
“Jimin, kau harus mempertanggung jawabkan ini.”
Jimin terdiam beberapa detik sebelum dengan tegas membalas,
“Kau sendiri tahu bahwa satu kali saja menyebrangi sungai Styx, makhluk manapun tidak akan keluar lagi. Dia telah menjadi milik dunia bawah. Milikku.”
Jimin menjawab penghakiman dan tuntutan Sehun dengan sebuah fakta. Ia mengangkat dagu tinggi-tinggi. Memang benar, ia telah melakukan kesalahan, tapi satu kesalahan tidak akan membuatnya kehilangan pijakan. Jimin pastikan itu.
Sehun menghela nafas panjang dan berat. Sang Dewa Agung kini tengah mengusap-usap kening, seperti seorang ayah yang tidak habis pikir dengan kelakuan nakal anaknya.
Cukup lama ia larut dalam pikiran sendiri, sampai akhirnya ia kembali menatap Jimin lurus dan tegas.
“Aku memiliki cara. Dan kau Jimin, mau tidak mau harus setuju.”
Di dalam kepalanya, Jimin sudah merutuk puluhan kali karena ia tahu, apapun yang Sehun rencanakan bukanlah sesuatu yang akan ia sukai.
------------------------------------------------------------------
Minjeong sudah selesai menyantap makanan penutup seorang diri. Seharusnya ada Jimin yang menemani, tapi sudah cukup lama waktu berlalu dan sang Dewi Kematian belum kembali ke istananya.
Minjeong tahu, pertemuan Jimin dengan Sehun sudah pasti tentang hal penting dan wajar apabila menghabiskan banyak waktu. Namun tetap saja ia tidak bisa mengenyampingkan rasa gelisah.
Jimin adalah salah seorang dari Olympians yang paling kuat dan agung. Tidak ada alasan bagi Minjeong untuk berlebihan mencemaskannya. Tapi, ada suatu perasaan dalam dadanya yang membuat ia merasa tak tenang.
Ada yang tidak beres –rasanya seperti ia telah melewatkan sesuatu– tapi Minjeong tidak bisa menyebutkan apa.
Ditambah lagi, rasa rindu akan kehadiran Jimin disisinya mulai berkembang. Padahal belum terlalu lama waktu berlalu, tapi sepertinya kebersamaan mereka selama berminggu-minggu ini membuat Minjeong telah ketergantungan pada Jimin.
Minjeong suka, sangat suka, dengan rasa nyaman, aman, tenang, antusias, senang, bergairah, rindu, sedih –dan masih banyak lagi– yang Jimin sematkan di hatinya. Bahkan di bumi pun, di tempat dimana kehidupan berasal, Minjeong tidak pernah merasakan hari-hari yang penuh warna begini. Ia tidak pernah sehidup ini.
Dan segalanya itu berasal hanya dari satu orang –sosok yang tak pernah ia duga akan hadir dalam hidupnya– hanya Jimin.
“Dewi Minjeong.”
Minjeong mengalihkan perhatian pada salah seorang malaikat hitam yang berdiri di dekat pintu ruang makan.
“Ya?”
“Yang Mulia sudah kembali dan tengah menunggu anda di beranda istana.”
Rasa senang Minjeong tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ia berdiri dan bergegas menuju beranda istana. Ia berlari menaiki tangga, melintasi lorong-lorong panjang hingga tiba di lokasi dimana Jimin sedang menunggu dirinya.
“Jimin!”
Tubuhnya otomatis melompat ke dalam pelukan Jimin yang sudah merentangkan tangan untuknya. Minjeong merasakan tubuhnya terangkat serta berputar beberapa kali dalam rengkuhan sang kekasih.
“My dearest, aku sudah kembali.” Bisik Jimin tepat di telinga Minjeong.
“Selamat datang kembali, my Goddess.” Satu kecupan diberikan Minjeong di bahu Jimin.
Mereka berpelukan seperti itu selama beberapa saat, sampai Jimin meregangkan lengan. Ia angkat dagu kecil Minjeong lalu menempelkan dahi mereka.
“Aku merindukanmu.”
“Aku lebih rindu. Kau lama sekali.”
Jimin terkekeh kecil lalu mengecup ujung hidung Minjeong yang lancip.
“Maaf, saudaraku yang rewel memang sulit untuk ditangani.”
“Tapi kau baik-baik saja kan?”
“Tentu, kau bisa lihat sendiri.”
Minjeong tersenyum puas. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan daripada keberadaan Jimin disisinya.
“Kalau begitu beri aku ciuman. Aku sudah menjadi kekasih yang baik yang menunggumu dengan sabar hari ini.”
“Hahaha! My dear Minjeong memang selalu menjadi kekasih yang baik bagiku. Yang terbaik.”
Dan bibir kedua insan yang dimabuk asmara itu kembali bertaut dalam melodi penuh kasih.
---------------------------------------------------------------------
Ini sudah penghujung hari. Di permukaan bumi, ini adalah tengah malam.
Minjeong dan Jimin berbaring di ranjang besar milik Jimin, di kamar pribadinya. Mereka masih saling merangkul, sebisa mungkin tidak ada jarak diantara mereka seolah mereka tidak pernah merasa cukup akan satu sama lain.
Ketenangan kembali meliputi jiwa Minjeong. Rasa tenang yang hanya ia dapatkan dari Jimin. Begitu pula Jimin kembali merasakan kehangatan di dalam dirinya. Dan hanyalah Minjeong yang menjadi sumbernya.
Jimin berniat untuk menikmati sisa hari ini dalam sukacita kebersamaan mereka seperti ini, tanpa ada hal yang menjadi distraksi. Namun, pikiran logisnya terus-menerus berkata bahwa ia tidak boleh menunda-nunda. Lebih cepat ia menyampaikan ini pada Minjeong, maka lebih cepat pula masalah terselesaikan. Ia tidak bisa terus menempatkan Minjeong dalam situasi sulit tanpa sepengetahuannya.
“Minjeong.”
“Mhm?”
Jimin bisa merasakan irama nafas Minjeong yang teratur. Kekasihnya ini sedang berada dalam suasana hati yang sangat baik dan Jimin tidak tega untuk merusaknya.
“Ada apa, Yang Mulia?”
“Berhenti memanggilku seperti itu.”
Minjeong terkekeh kecil. Entah kenapa ia suka mendengar protes Jimin karena ulahnya.
“Maaf. Maksudku, ada apa my dear?”
Jimin tidak bisa menahan diri untuk tidak melumat bibir cantik sang kekasih.
“Aku ingin membicarakan sesuatu. Bolehkah?” Katanya setelah tautan bibir mereka terlepas.
“Tentu. Apa itu?”
Jimin bangkit duduk dan menyandarkan punggung di kepala ranjang. Minjeong mengikutinya.
“Apa ini ada kaitannya dengan pertemuanmu dengan Dewa Sehun?”
Jimin tidak menjawab dan malah mengalihkan muka. Minjeong tidak salah, terkaannya bahwa ada sesuatu yang tidak beres memang benar.
“Jimin, ada apa? Ada masalah? Kau bisa mengatakannya padaku.”
“Aku memang harus mengatakan ini padamu. Tapi.. Tapi aku ingin minta maaf lebih dulu. Maafkan aku, Minjeong..” Jimin berkata lirih.
“Maaf untuk apa?”
“Karena aku telah menyebabkan masalah. Aku telah membawamu ke dalam masalah. Maafkan aku..”
Minjeong masih sangat bingung kemana arah pembicaraan ini. Maka ia menangkup wajah Jimin dengan kedua tangan dan berkata,
“Aku tidak mengerti. Aku tidak merasa kau membuatku berada dalam masalah sama sekali, jadi tidak perlu minta maaf. Tapi tolong jelaskan apa yang kau maksud.”
Jimin meletakkan tangan kanan di atas tangan Minjeong yang tengah menangkup sisi wajahnya lalu ia kecup dengan lembut sekali.
“My dearest, ini adalah salahku karena membiarkanmu buta dengan apa yang terjadi di atas sana. Tujuanku hanya untuk membuatmu merasa nyaman dan betah disini. Tapi tindakanku salah.”
“Buta.. dengan yang terjadi.. di atas?” Minjeong mulai merasa cemas.
“Apa yang terjadi disana?”
Jimin menyatukan kedua tangan Minjeong dalam genggaman di depan tubuh mereka. Dewi itu tahu kekasihnya mulai gelisah, maka ia harus menenangkannya lebih dulu sebelum lanjut berbicara.
“Tenanglah, Minjeong. Aku akan menjelaskan semuanya, tapi tolong jangan panik. Dengarkan semua penjelasanku sampai akhir, lalu kita akan mendiskusikannya bersama-sama. Ya?”
“Iya..”
“Good girl.” Jimin beri satu kecupan di dahi Minjeong dan dewi muda itu tidak lagi gelisah.
Kemudian Jimin mulai berbicara. Tentang situasi di permukaan bumi setelah Minjeong datang bersamanya kesini. Minjeong yang belum terbiasa dengan dunia bawah, tentu tidak bisa mengenali sudah berapa banyak waktu yang ia habiskan disini. Mungkin Minjeong merasa baru sebentar, tapi sesungguhnya sudah berbulan-bulan ia meninggalkan bumi.
Menghilangnya Minjeong membuat keadaan menjadi cukup kacau. Di atas sana seharusnya sudah beberapa kali terjadi pergantian musim, namun dengan ketiadaan Minjeong, otomatis hal itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Musim semi yang tak kunjung datang menimbulkan kegelisahan di dunia manusia. Kegelisahan itu lama-kelamaan berubah menjadi kerusuhan dan kekacauan. Manusia banyak kehilangan. Tenaga, harta, bahkan nyawa.
Ditambah lagi, Joohyun, ibu Minjeong yang juga adalah dewi mulia yang mengatur pertanian –salah satu sumber kehidupan manusia– benar-benar kalut karena putrinya menghilang. Joohyun pun tidak bisa melaksanakan tugas seperti biasa. Musim tidak berganti, pertanian tidak membuahkan hasil, keadaan dunia semakin tidak terkendali.
Jimin sebenarnya sudah menyadari permasalahan ini cukup lama, karena tiba-tiba saja ada banyak jiwa-jiwa mati yang datang bersamaan ke dunia bawah. Ia tahu pasti ada kekacauan di atas sana dan mengutus bawahannya untuk mencari tahu. Dan benar saja, kekacauan meluas hingga ke seluruh penjuru.
Jimin akui, keegoisannya yang membuatnya menahan kabar ini dari Minjeong. Tadi ia mengatakan, itu untuk membuat sang dewi muda betah tanpa harus memiliki beban pikiran apapun. Tapi sebenarnya, ia hanya ingin menahan Minjeong lebih lama di kediamannya. Ia sadar bahwa lebih cepat Minjeong tahu akan apa yang terjadi, lebih cepat pula mereka harus berpisah. Minjeong harus kembali ke dunianya.
Namun, disinilah letak permasalahannya. Sudah menjadi aturan yang berlaku abadi bahwa semua makhluk –siapapun dia– yang telah melintasi sungai Styx guna memasuki dunia bawah, telah menjadi bagian dari dunia itu dan tidak akan bisa kembali lagi ke tempat sebelumnya. Hanya Jimin serta para malaikat hitam yang bebas keluar masuk dunia bawah. Sehun sekalipun, tidak bisa masuk kemari lalu berharap kembali duduk di tahta Olympus.
Begitu pula Minjeong. Dan ini menjadi masalah yang sangat serius karena satu-satunya cara untuk meredakan kekacauan di atas adalah dengan Minjeong kembali kesana.
“Terus terang, aku maupun Joohyun, tidak punya jalan keluar dari permasalahan ini. Walau begitu Joohyun tetap menuntut kau untuk kembali, bagaimanapun caranya. Dan memang kau harus kembali, Minjeong. Hanya itu cara agar dunia kembali seimbang.”
Minjeong tidak bisa berpikir jernih. Ia tidak menyangka permasalahannya jauh lebih rumit dari yang ia duga. Tubuhnya mulai bergetar, ia ingin menangis. Ia merasa sangat bersalah, sangat tidak berguna, dan sangat bodoh.
“A-aku.. J-jimin aku..b-bagaimana ini..”
“Sst, jangan menangis my dearest. Tenangkan dirimu.” Jimin merengkuh tubuh Minjeong yang bergetar makin kuat. Ia terus-menerus membisikkan kata maaf di telinga kekasihnya itu.
Jimin menunggu sampai dewi muda itu lebih tenang, menghapus air matanya lalu membisikkan kata-kata cinta kepada sebelum lanjut menyampaikan hal paling penting yang harus kekasihnya ketahui.
“Tadi aku telah bertemu dengan Sehun yang memanggil karena mengetahui kesalahanku. Ada Joohyun juga disana. Pada akhirnya, kami kami bicara tentang jalan keluarnya bersama-sama.”
Minjeong membulatkan mata mendengar itu. “Ada.. Jalan keluar?”
Jimin mengangguk. Diam-diam ia menelan ludah berat, ia masih sangat berat hati mengatakan ini pada Minjeong.
“Menimbang situasi yang terjadi, dimana kau sudah menjadi bagian dari dunia bawah dan tidak bisa kembali lagi, tapi disisi lain kau tetap harus kembali untuk menjalankan tugas dan membuat dunia menjadi seimbang lagi, maka Sehun menyarankan ini.”
“Minjeong, kau akan kembali ke atas selama enam bulan. Melaksanakan segala tugas dan tanggung jawabmu disana dalam kurun waktu tersebut, dan setelahnya kau akan kembali lagi kesini. Menjadi penghuni dunia bawah bersamaku, juga selama enam bulan lamanya sebelum kembali lagi ke atas. Seperti itu terus-menerus. Itulah jalan tengah untuk memecah kebuntuan kita, my dearest.”
Minjeong kehilangan kata. Maksudnya, ia harus hidup bergantian di dua dunia, masing-masing selama enam bulan?
Bukan, Minjeong bukannya tidak sanggup menjalani hidup di dua dunia berbeda. Tapi ia takut. Sangat takut dan tidak rela. Enam bulan berpisah dari Jimin? Dan bukan hanya sekali, tapi berkali-kali dan seterusnya? Tidak. Itu terlalu berat.
“J-jimin.. Aku.. A-aku.. Hiks.. Hiks!”
“Oh, my dearest.. Minjeong.. Jangan menangis. Aku minta maaf. Maaf kau harus menjalani hal seberat ini karena aku. Maaf..”
Minjeong menggeleng kuat-kuat. Ia mengangkat kepala Jimin yang tertunduk dalam karena rasa bersalah. Sang dewi yang selalu penuh kekuatan dan ketegasan itu kini tengah menangis tak kalah deras darinya.
“Bukan.. B-bukan itu. A-aku.. Yang tak bisa adalah.. Hiks.. Hiks.. Meninggalkanmu.. J-jimin.. Aku tidak bisa.. Hiks!”
Hati Jimin patah. Sudah berabad-abad ia ada didunia, sudah ia saksikan dan alami hampir segala jenis rasa sakit. Tapi ini, kali ini, Jimin bersumpah inilah yang paling mematahkan hati. Melihat kekasih yang ia cintai luruh dalam rasa sakit.
“My dearest.. Dengar, dengarkan aku.”
Jimin menangkup wajah sang kekasih yang banjir air mata, menyejajarkan mata mereka berdua.
“Aku pun tidak sanggup. Berpisah denganmu semenit saja rasanya berat sekali, apalagi sampai berbulan lamanya. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Sehun mengharuskanku melakukan itu, Joohyun pun sama. Diatas semuanya itu, aku tidak bisa membiarkan kekacauan terus terjadi di dunia kita karena itulah tanggung jawabku sebagai dewi kepada para manusia dan jiwa-jiwa yang mengandalkanku.”
“Aku mohon maafkan aku.. Ini semua kesalahanku. Aku telah menyakitimu. Seharusnya aku lebih bijak. Seharusnya aku tidak menuruti hasratku saja dan sembarangan membawamu kesini. Seharusnya kita tidak pernah bertemu..”
“JANGAN BILANG BEGITU!!”
Dalam kelemahannya saat ini, Minjeong mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membantah pernyataan tak masuk akal Jimin.
“Jimin.. Kau.. K-kau tidak salah.”
“Aku bahagia disini bersamamu. Lebih dari yang kurasakan saat aku berada di duniaku. Kau.. Membuat aku merasa tidak ada lagi yang aku inginkan selain kasih sayangmu.”
“Aku tidak pernah menyesal menerima uluran tanganmu hari itu. Aku tidak pernah menyesal menyeberangi sungai Styx bersamamu. Aku juga tidak pernah menyesal telah menyerahkan seluruh diriku padamu, seluruh hatiku untukmu.”
“Aku tidak menyesal, dan malah sangat bersyukur atas pertemuan kita, Jimin. Jadi jangan bilang begitu.. Itu.. jauh lebih menyakitkan bagiku.”
Jimin menangis semakin keras. Ada bagian hatinya yang merasa lega, ia senang Minjeong tidak menyesali apapun tentang mereka. Tapi tetap, rasa perih itu masih berkuasa. Semakin ia tahu kebenaran perasaan sang kekasih, semakin sulit untuk menerima kenyataan yang tersaji di depan mata.
“My Goddess, Jimin.. Akulah yang harus minta maaf padamu. Aku telah menjadi beban bagimu. Padahal yang kuinginkan adalah menjadi penawar rasa sakitmu, serta rumah tempat pulang bagimu. Sama seperti arti dirimu untukku..”
“Kau memang sudah menjadi obat dan rumah bagiku, my dearest. Lebih dari itu, kau telah menjadi segalanya bagiku.” Jimin lalu mencium bibir Minjeong dalam-dalam, begitu lama dan penuh perasaan.
“My dear, My Minjeong.. Aku mencintaimu. Lebih besar dari apapun. Aku akan memberimu apapun, melakukan apapun, untukmu. Cintaku, aku milikmu sampai kapanpun.”
Minjeong tersenyum, meski dengan berurai air mata. Dadanya seperti mau meledak. Ia bahagia. Jimin membuatnya menjadi yang paling bahagia di seluruh semesta. Ia tidak akan mau menukar perasaan ini dengan apapun.
“Aku juga mencintaimu, Jimin. Dengan seluruh jiwaku. My Goddess, aku milikmu sampai kapanpun.”
Mereka kembali menyatukan ciuman. Itu adalah ciuman paling indah sekaligus paling menyesakkan yang pernah mereka lakukan.
Minjeong pun telah memutuskan lagi. Ia akan menuruti kata hatinya lagi, seperti sebelum-sebelumnya.
Ia siap melakukan apapun untuk Jimin. Demi mempertahankan cinta mereka meski harus menahan sakit.
“Tunggu aku disini. Setelah musim semi disana berakhir, aku akan datang kepadamu. Bisakah aku meminta itu?”
“Tunggu aku sampai waktunya aku pulang kepelukanmu, My Goddes.”
Air mata kembali mengalir jatuh di pipi Jimin. Ada keyakinan baru yang tumbuh di hatinya.
“Pasti. Aku akan selalu menunggu sambil menikmati rindu akan kehangatanmu. Lalu akan menyambut kepulanganmu dengan cinta yang lebih besar lagi dari sebelumnya.”
“Selalu. Selamanya. My dearest.”
Sebelum hari berganti, dua dewi yang telah takluk oleh kebesaran cinta itu, larut sepenuhnya dalam perayaan cinta mereka yang membara, dan mereka yakini akan terus menyala abadi.
Hingga tiba waktu untuk bertemu lagi dan cinta mereka akan mekar kembali di musim yang berikutnya.
Selamanya.
Fin.