Couple Outfits

Naruto
F/M
G
Couple Outfits
author
Summary
Sai tak terlalu paham kenapa Ino tiba-tiba mengajaknya membeli pakaian baru untuk dipakai di acara pernikahan Naruto dan Hinata—biar serasi, katanya. "Setelannya dibuat serasi karena..." Ino merona merah muda, wajah jelitanya dipalingkan sengaja, "Karena kita akan datang sebagai pasangan. Secara resmi," saiino light fluff inspired from ep 500.

 

 

disclaimer: semua karakter adalah milik Masashi Kishimoto
warning: canon-setting. OOC. typos. inspired dari Naruto episode 500.


.

Couple Outfits

.

.

Musim semi mulai menyambut singgasananya.

Salju melebur. Dingin yang biasanya hadir mulai hangat berangsur-angsur.

Pohon dan tetumbuhan yang gugur kini bemekaran di sepanjang jalanan distrik Konoha ini.

Musim semi tentunya disambut dengan suka cita. Terlebih karena hari ini adalah akhir pekan.

Sejuknya angin musim semi membuat orang-orang—baik warga sipil maupun para ninja--memilih menghabiskan waktunya untuk mencari udara segar. Salah satu yang ramai disesaki pengunjung adalah distrik perbelanjaan Konoha ini.

Sejauh mata memandang, terdalapat bangunan-bangunan toko dan sebuah mall besar berdiri di sepanjang jalan. Apa yang sekiranya dibutuhkan, bisa dengan mudah ditemukan di dalam deret pertokoan.

Orang tua, muda-mudi—keluarga dan pasangan tampak hilir mudik. Ada yang keluar masuk toko, memborong barang ini dan itu. Sementara sebagian yang lain tampak ngendon di cafe-cafe atau di bangku yang diletakan di tepian jalan.

Tak terkecuali bagi pasangan shinobi yang satu ini.

Satu berambut hitam. Sehitam tinta yang biasanya ia gunakan untuk merapal jutsunya.

Dan yang satu lagi berambut pirang pucat yang dikuncir kuda.

Tangan mereka bersambut, saling bergandeng tangan—ah.

Sebenarnya tidak juga.

Lebih tepatnya si pirang tengah menyeret pasangan di belakangnya itu untuk menyusuri trotoar. Langkah mereka tampak sangat terburu-buru.

Si rambut hitam pasrah diri, bahkan tampak senang-senang saja mengikuti kemana kiranya ia akan dibawa pergi.

Si rambut hitam—Sai—tak berkomentar apa-apa meski ia diseret sesuka hati oleh sang gadis. Ia justru memanfaatkan momen ini untuk mengagumi rambut panjang sang gadis di depannya. Ujung rambut pirang gadis itu berayun-ayun lucu, tatkala mereka harus menembus kerumunan dengan agak tergesa.

Hari ini mereka memang menjadwalkan diri untuk berkencan. Ino bilang dia ingin ditemani belanja. Rencananya ingin mencari outfit untuk dikenakan di pesta pernikahan Naruto dan Hinata yang akan dilaksanakan 2 minggu lagi.

Setelah puas masuk ke toko buku, lalu dilanjut menikmati kudapan dan secangkir kopi di salah satu cafe, mereka tancap gas untuk pergi ke distrik pusat perbelanjaan desa Konoha ini.

Si ninja dari divisi ANBU itu tentu tak keberatan.

Tak seperti pria kebanyakan, Sai suka kok menemani gadisnya berbelanja. Ia akan dengan senang hati melakukannya.

Bukan karena apa-apa. Meskipun kakinya terkadang harus menahan pegal karena Ino sering kali lupa waktu dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih-milih, namun Sai menyukai bagaimana ia bisa mengamati ekspresi Ino ketika memilih barang.

Air mukanya yang gampang berubah-ubah. Dari senang, bingung, berkonsentrasi, lalu tiba-tiba terpesona atau terperangah takjub akan sesuatu.

Sai tahu gadisnya itu memang sangat ekspresif. Ino menunjukkan perasaannya secara terbuka, alih-alih merahasiakannya.

Dan Sai yang masih terus belajar mengenai spektrum emosi manusia merasa terhibur sendiri mengamatinya.

Ino memang sangat berbeda dengan Sai. Emosinya kompleks, layaknya susunan gradasi warna yang Sai ketahui.

.

Tak lama mereka pun tiba di destinasi. Di depan salah satu toko pakaian yang paling besar di distrik itu.

Masih dengan menggandeng tangan Sai, Ino lekas membawanya masuk ke dalam. Aroma fabrik-fabrik yang masih baru bercampur aroma pendingin ruangan menyambut indra penciuman begitu kaki mereka telah menjejakan diri.

Maka disinilah. Petualangan mereka pun resmi dimulai.

Seperti biasa, Ino akan menghabiskan waktu cukup lama untuk memilah-milah. Terlebih ini adalah event yang cukup besar, jadi ia benar-benar dalam mode bersungguh-sungguh untuk 'perang', mencari manakah outfit yang paling pas untuk dikenakannya nanti.

Sai dengan setia menemani di sisinya. Ino juga akan sesekali meminta pendapatnya mengenai apakah kiranya pakaian-pakaian itu cocok untuk melekat di tubuhnya atau tidak.

Ino tentu tak meragukan selera Sai. Pria itu walau tak terlalu paham fashion, namun ia punya mata yang bagus dalam menilai keestetikaan. Dasarnya seniman, Sai tahu bagaimana mepadu-padankan komposisi warna dengan baik.

Sai menemani saja dengan sabar. Tak mengeluh atau apa ketika mereka harus melewati satu demi satu segmen pakaian dan aksesoris wanita. Mengingat Ino memang sudah berencana dan bertekad membeli outfit dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dari ikat rambut hingga sepasang sepatu yang akan melengkapi.

Ino berkali-kali bolak-balik masuk ke changing room untuk mencoba. Dan Sai yang memilih mendudukan diri di salah satu sofa yang tersedia di butik itu, akan memberikan komentar sejujur-jujurnya ketika diminta Ino menilai pakaian yang ia perlihatkan.

Butuh beberapa puluh set untuk dicoba sampai akhirnya Ino menjatuhkan pilihan.

Tema warna yang ia pilih untuk pakaian pestanya kali ini adalah parpaduan warna ungu dan magenta. Mempertimbangkan wedding theme yang Hinata bilang akan dihias oleh dominasi warna lavender.

Ino memilih untuk pergi dengan setelan formal. Atasan princess line top berkerah warna shade periwinkle, dipadukan dengan tube skirt violet. Aksesoris yang ia pilih untuk menemani adalah ikat rambut—scrunchie berbulu warna magenta, dipercantik dengan gelang-gelang warna serupa. Perfect.

Menyadari Ino yang telah selesai menentukan outfitnya dan memasukannya ke tas belanja, Sai yang sejak tadi duduk santai di sofa—ia bahkan sempat berhasil membuat satu sketsa di buku yang selalu ia bawa kemana-mana—akhirnya bangkit berdiri, berpikir bahwa ini adalah akhir dari sesi belanja mereka hari itu.

Namun dugaannya salah besar.

Karena begitu Ino meraih uluran tangannya, tubuhnya justru kembali diseret masuk lebih dalam, alih-alih menuju ke arah kasir untuk membayar.

Mereka berjalan meninggalkan zona pakaian wanita, dan sekarang telah masuk ke zona pakaian pria.

Kening Sai berkerut semakin dalam, seiring dengan tubuh keduanya yang semakin masuk ke pusat ruangan butik.

Muda mudi itu lantas berhenti di seksi pakaian formal pria. Kemeja dan jas-jas digantung rapi di stand hanger yang berdiri. Beberapa diantaranya di-display dalam rak kaca terbuka. Di sisi selatan, terdapat sebuah etalase panjang terbuat dari kaca yang memajang berbagai macam aksesoris pria dengan dominasi warna-warna gelap. Tampak kontras dengan yang berada di zona wanita.

Kening Sai masih menampakan kerut-kerut samar. Ia masih tidak mengerti kenapa Ino menyeretnya ke bagian pakaian pria.

Ino ingin membeli baju pria? Tapi... untuk siapa?

Sementara Ino sendiri sudah pasang kuda-kuda. Ia sudah berkelana kesana-kemari, menghampiri stand hanger dan almari kaca. Menghampiri satu demi satu dengan pandangan menelisik.

Sai hanya memperhatikan tanpa berkomentar. Oniks-nya mengikuti kemana gadis itu melangkah, melenggang kesana kemari tak tentu arah. Ia mengobservasi bagaimana jari lentik Ino membolak-balik deretan fabrik kemeja dengan telaten, kemudian pindah ke deretan jas dan waistcoat. Begitu seterusnya

Sai tak ingat berapa lama sampai akhirnya Ino mendekat kepadanya dengan menenteng tiga buah gantungan pakaian. Sebuah kemeja putih, waistcoat, dan trouser.

Tatkala Ino benar-benar berada di depannya, Sai pun akhirnya angkat bicara, "Itu untuk siapa?"

Bola mata gadis dengan netra sewarna biru pirus itu melebar, memandangnya tak percaya. Detik berikutnya, helaan nafas itu meluncur dari bibirnya, diikuti oleh decakan, "Tentu saja untukmu, Sai. Masa' untukku sih? Ini kan pakaian pria," jelasnya, menjawab pertanyaan Sai yang menurutnya sangat retoris itu.

"Untukku?" Sai mengulang. Kali ini dia yang berganti terkejut.

"Ya, tentu saja," Ino mengangguk-angguk, menyebabkan ujung rambutnya bergoyang-goyang, "Bukannya tadi aku sudah bilang kalau kita akan membeli outfit untuk dikenakan di pesta pernikahan Naruto dan Hinata?"

Sai mengerjap, berusaha merefleksi kalimat Ino barusan. Sugesti Ino terdengar sangat... aneh di telinganya. Ya memang sih, Ino sudah bilang. Tetapi ketika Ino mengajaknya berbelanja outfit untuk dipakai di pesta pernikahan Naruto kemarin, Sai pikir Ino tentu memaksudkan dirinya saja—bukan termasuk Sai juga.

"Tapi aku kan sudah ada baju di rumah," sahut Sai dengan rasional. Ia memang tidak punya banyak baju formal untuk digunakan ke acara acara besar, tetapi ia masih punya kok di almarinya. Ia sudah berencana untuk mengenakan setelan kemeja hitam dan trouser hitam-nya. Apa Ino tidak suka?

"Kenapa Sai?" Melihat Sai yang masih tampak ragu dan bingung, Ino buru-buru menambahkan, "Tenang saja. Ini aku yang belikan kok—"

"Bukan masalah uang," kilah Sai cepat-cepat. Uang tentu bukan jadi masalah untuknya. Gaji Sai selama menjadi shinobi sudah lebih dari cukup-terlebih ia bekerja di divisi ANBU dan sering terlibat dalam misi tingkat tinggi. Ia bahkan sudah merencanakan akan membayar pakaian gadis itu—seperti saran yang pernah ia baca di buku tuntunannya dalam romansa. Bahwa sebagai seorang lelaki gentlemen dan kekasih yang baik, hendaknya ia yang membelikan barang-barang pasangan mereka.

"Aku hanya heran saja," tutur Sai dengan jujur.

Seulas senyum lalu terbit di bibir Ino, "Aku hanya ingin kita bisa pakai setelan serasi saat menghadiri resepsi pernikahan Naruto. Aku kan tadi sudah memilih bajuku, sekarang ganti dirimu," jelas Ino dengan lembut dan sabar. Wajahnya lantas kembali berseri-seri, menyuruh Sai dengan semangat menggebu, "Sekarang ayo coba dulu pakai ini, Sai!"

Pemuda itu mau tidak mau menurut saja. Ia masuk ke dalam changing room untuk lalu berganti dengan pakaian yang telah dipilihkan Ino untuknya.

Tak butuh lama, Sai lalu melangkah keluar. Sudah lengkap mengenakan trouser hitam, kemeja putih dengan balutan waistcoat hitam.

Ino bertepuk tangan riang, matanya berbinar-binar seiring ia berjalan mendekat ke arah Sai untuk menginspeksinya lebih dekat, "Wah tampan sekaliiii!" pujinya. Tangannya membenahi kerah bajunya, lalu menepuk-neluk lembut dadanya.

Kepalanya lalu dimiringkan, menimang-nimang dari atas ke bawah. Alisnya berubah terkernyit dalam beberapa saat kemudian, "Ah, tapi sepertinya ada yang kurang deh," komentarnya sembari memandangi waistcoat yang membalut abdomen Sai. Kepala Ino lantas tertoleh kesana kemari. Dengan semangat ia menghampiri stand hanger yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri. Jemarinya menyisir satu demi satu fabrik yang menggantung di sana.

Sesekali ia akan menoleh ke arah Sai, kemudian kembali ke pakaian di tangannya. Begitu seterusnya secara bergantian.

Sampai kemudian ia berhasil menjatuhkan hatinya pada sebuah waistcoat berwarna kelabu. Motifnya polos, dan shade-nya abu-abu purpoise.

Masih dengan antusias yang sama, gadis itu kembali mendekat dan mengangkat gantungan itu di depan wajahnya, "Menurutmu kalau disejajarkan dengan setelanku yang tadi, lebih cocok waistcoat itu—" dagunya menggidik ke pakaian yang sedang Sai kenakan, "Atau yang abu-abu ini?" tanyanya sembari menggoyang-goyangkan pakaian yang ia maksud di genggaman, meminta pendapat Sai seolah Sai ini adalah kritikus fashionista. Lagipula seperti yang ia bilang tadi, Sai itu pintar menilai komposisi warna.

"Kau lebih suka yang mana?"

Sai ikut memperhatikan dengan cermat, tampak menimbang-nimbang. Butuh waktu beberapa detik bagi Sai untuk mengambil keputusan. Ia menunjuk ke fabrik di tangan Ino, "Kalau mempertimbangkan setelan bajumu dengan corak warna ungu tadi, lebih cocok kalau dipadankan dengan abu-abu ini,"

Ino mengangguk setuju. Tampak puas dengan jawaban Sai, "Aku juga berpikir begitu," balas Ino penuh suka cita, kemudian mendorong waistcoat abu-abu itu ke dada Sai. Ia pun tersenyum lebar-lebar, "Kalau begitu coba kau ganti dengan yang ini ya!" pintanya dengan semangat.

Sai menyempatkan untuk membalas senyumnya. Ia suka kalau Ino juga senang. Maka ia pun mengangguk patuh, kembali masuk ke dalam bilik untuk mengganti pakaiannya.

Begitu keluar, Ino lagi-lagi bertepuk tangan senang, beberapa kali memekik "kyaaa", "kyaaaaaa".

Sai tidak tahu jenis suara apa yang Ino keluarkan barusan. Tetapi kedengaran... eum... apa ya sebutannya? Lucu? Imut, mungkin?

Apalagi ditambah dengan ekspresi Ino yang tampak berseri-seri. Membuat Sai jadi tak tahan untuk ikut-ikutan tersenyum senang.

Setelah melakukan inspeksi sekali lagi, Ino pun memberikan approval dengan mengangkat kedua ibu jarinya ke udara. Sebelum mereka check out untuk membayar barang-barang, Ino sempat mengajaknya mampir ke bagian accecoris pria. Ia meminta Sai untuk memilih dan mencoba beberapa aksesoris yang ia suka.

Gadis pemilik jutsu pikiran itu akhirnya memilihkannya sebuah ikat pinggang hitam, arloji hitam, dan sebuah pocket square warna magenta yang serasi dengan yang dibeli Ino.

Barulah setelah itu mereka berjalan bersama-sama ke arah kasir untuk membayar barang-barang mereka. Tatkala penjaga toko sedang menghitung total belanjaan mereka, Sai memutuskan untuk memuaskan rasa penasarannya,

"Ino," panggil Sai dengan suaranya yang dalam namun mengalun lembut. Gadis di sampingnya itu menoleh, menunggu ia melanjutkan, "Memangnya kenapa sih harus memakai setelan serasi seperti itu?"

Bukannya ia mengeluh atau merasa keberatan. Ia hanya penasaran saja.

Ino mengalihkan pandangannya ke depan, enggan bertemu mata, "Karena kau terlihat tampan mengenakannya," tutur Ino dengan volume suara yang lebih rendah dari biasanya. Lalu entah hanya imajinasi Sai saja atau bukan, tiba-tiba pipi Ino mulai memberkas warna merah muda. Mungkin itu ilusi dari blush on yang dikenakannya—tapi yang ini, anehnya tampak lebih pekat dari biasanya.

Ino pun melanjutkan, dengan suaranya yang berusaha dibuat senetral mungkin,

.

"Selain itu, setelannya dibuat serasi karena kita adalah pasangan,"

.

Gadis itu dapat merasakan suhu kedua pipinya meninggi sewaktu ia mengatakannya.

Pasangan...

Ya, mereka ini sepasang kekasih kan?

Meskipun mereka sudah sering menghabiskan waktu bersama, namun hubungan mereka memang baru diresmikan sekitar sebulan yang lalu sih. Kalau sudah punya label resmi memang rasanya berbeda.

Dan besok di upacara penikahan Naruto, mereka akan datang sebagai pasangan. Secara resmi.

Membayangkannya membuat pipinya kontan makin memanas. Hatinya ikut berdesir-desir dalam suka cita.

Ah. Dia jadi tak sabar.

.


.

.
Sang pewaris klan Yamanaka itu tampak bediri di depan sebuah cermin panjang yang tingginya hampir menyamai tubuh semampainya.

Irisnya yang biru turqoise menajam, memastikan tak ada satupun yang kurang. Hairdo-nya sudah oke, make up—check, dan pakaiannya juga sudah pas memeluk tubuhnya—memberikan highlight pada lekukan tubuhnya sesuai yang ia inginkan.

Tak terasa ini adalah hari H upacara pernikahan kedua temannya, Naruto dan Hinata yang akan diadakan di salah satu tanah lapang di bagian selatan desa. Ino sudah siap untuk berangkat.

Namun semakin lama ia memandangi cermin, semakin ia merasa ada sesuatu yang kurang.

Ia masih kurang sreg.

Matanya menelusur, mengabsen dari ujung kepala hingga ujung kaki apa yang kiranya kurang dari penampilannya.

Setelah beberapa saat mengamati, ia baru menyadari apa yang sepertinya salah.

Bagian lehernya yang terbuka tampak... kosong.

Ia  butuh sesuatu untuk mengisinya.

Ino berdecak pelan. Padahal kemarin ia merasa semua sudah oke. Kalau begini kan kemarin sewaktu belanja dengan Sai, ia akan sekalian memilih kalung yang cocok juga. Ia pun merutuk dalam hati.

Dia masih punya kalung yang cocok tidak ya?

Bibirnya digigiti kecil, gusar. Tangannya terulur untuk menarik laci meja riasnya, mengambil sebuah kotak beludru dari sana. Ino membuka penutup kotak, dan menemukan 3 buah untai kalung disana.

Ia memungutnya dan mencoba satu per satu—namun sayangnya, di matanya tidak ada satu pun yang cocok dengan outfitnya hari ini.

Yang satu terlalu kecil, yang satu bandulnya terlalu besar—sementara yang satunya lagi ternyata pengaitnya sudah rusak. Ino mendesah berat. Penuh rasa kecewa.

Yah, kalau begini apa mau dikata?

Ia bisa saja mengabaikan ada yang kurang dari penampilannya, namun Ino yang dasarnya memang perfeksionis pasti akhirnya tetap akan kepikiran, sekeras apapun ia mencoba melupakan. Terlebih karena dari awal ia sudah sangat bersemangat menanti hari ini.

Jujur saja, hal kecil seperti ini mau tak mau membuat mood-nya agak anjlok.

"Nona Cantik?"

Bahu Ino berjingit mendengar suara baritone itu tiba tiba merasuki gendang telinganya. Ia mendongak, tak sadar bahwa Sai ternyata sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Mungkin saking gusarnya ia, ia sampai tak mendeteksi chakra Sai yang mendekat. Ia tebak pasti ibunya yang menyuruh Sai untuk langsung naik ke atas saja. Ini bukan kali pertama Sai menginjakan kaki di kamarnya, lagipula. Lelaki ini sudah terlalu familiar di kediaman keluarga Yamanaka.

"Kau baik-baik saja?" lelaki itu bertanya, sembari ia membawa dirinya melangkah lebih masuk ke dalam.

Ino tak langsung menjawab. Bibirnya malah dibuat terbisu, terpana di tempat.

Matanya memandang takjub Sai yang tampak sangat tampan dengan setelan yang dipilihkannya dua minggu yang lalu. Ia memang sudah pernah melihat Sai mengenakannya saat itu, tetapi yang kali ini berbeda. Aura dan tampilannya berbeda.

Setelan itu sangat cocok membalut tubuh proporsionalnya. Dari celana hitam, kemeja putih, waistcoat abu-abu, bingga square pocket warna magenta yang menghias bagian dada. Satu pergelangan tangannya dibalut arloji hitam, kemudian bagian kakinya tertutup sepatu kedunya yang dipoles mengkilat dengan warna serupa. Begitu pas.

Setelannya membuat kulit Sai yang putih pucat tampak hidup dan lebih bercahaya. Ia tampak sempurna. Terlebih ia sepertinya juga menyisir poni-nya yang memulai memanjang ke satu sisi.

Sai tampan luar biasa, jaminan dunia akhirat.

Penampilan mengesankan lelaki itu sejenak mampu membuat Ino melupakan masalah kecilnya.

Ya ampun Yamanaka Ino cukup! Nanti kamu ngiler! 

Ino akhirnya menarik dirinya dari lamunan, memaksa dirinya kembali ke realita. Senyum secara otomatis terkembang di bibirnya untuk menyambut Sai yang berangsur mendekat ke sisinya.

"Aku baik kok," katanya. Tangan Ino kontan terangkat untuk merapikan kerah kemeja Sai, menepuk-nepuk bahu lalu merambat turun ke dada sang pria. Mengistirahatkan kedua tangannya di dada bidang pria itu yang tertutup kain abu. Ino lalu tersenyum,

"Kau terlihat sangat tampan," pujinya dengan tulus.

Semburat merah muda terbit di kedua pipi Sai yang seputih susu--yang tentunya berhasil ditangkap oleh mata jeli Ino. Ino pun jadi terkikik geli. Ia memperhatikan lelaki itu membuat sebuah gerakan, menarik satu tangannya dari balik punggungnya—Ino bahkan sampai tak sadar akan fakta itu.

Tangan Sai terulur, mempersembahkan padanya setangkai Amaryllis merah yang masih segar. Ino tersipu. Ia jelas tentu tahu apa artinya.

"Kau cantik"-kata bunga itu.

Ino sama sekali tak mengharapkan Sai untuk memberinya hadiah. Sungguh, itu diluar ekspektasi. Mungkin saja lelaki itu membaca soal protokol ini di salah satu buku petunjuknya dalam berkencan-entah buku yang mana. Mungkin dari bukunya yang berjudul "1001 Cara Menyenangkan Wanita" atau "Trik-Trik Sukses Pacaran"—entahlah. Sejatinya lelaki itu memang suka penuh kejutan. Ino tak bisa menahan gemas.

"Kau baru saja membelinya di ibuku ya?" tebak Ino sembari telunjuknya mendorong dada Sai main-main. Ia menggodanya untuk menutupi malunya, sekaligus mendistraksi sensasi menggelitik yang hadir di dasar perutnya. Namun tangannya tetap terjulur untuk menerima sekuntum bunga itu dari tangan Sai, kemudian menutup matanya untuk menghirup kelopaknya dalam-dalam.

Sai hanya tersenyum misterius, "Aku punya sesuatu lagi," ujarnya.

"Eh apa?" Ino mengerjap, penasaran.

Kedua bola matanya yang semula keheranan, sedetik kemudian membulat saat Sai kembali menarik tangannya untuk mempersembahkannya hadiah yang lain—kali ini kotak beludru berwarna merah.

Ino terkesiap kaget.

Pertama, kotak itu jelas familiar—dan pasti di dalamnya berisi perhiasan. Lalu kedua—

—lelaki itu tentu tidak akan melamarnya sekarang kan?!

Duh, Ino belum siap!

"Sai-i-ini apa?"

Sai menggidikan dagu, "Buka saja,"

Ino menerimanya walau masih dengan agak ragu. Ketika ia mengangkat tutup kotaknya—benar saja tebakannya. Isinya memang perhiasan—jenis kalung.

Talinya berwarna perak, sementara bandulnya terbuat dari permata batu pirus, berwarna turquiose berkilauan.

"Sai kau tidak perlu begitu," katanya, masih dengan nada tidak percaya memandangi kalung di dalam kotak. Jantungnya berdentum cepat, "—dan ini pasti mahal sekali—"

"Tidak apa," Sai segera menampik, "Aku memang ingin membelikannya untukmu. Minggu lalu saat aku berkunjung ke toko perhiasan untuk menduplikasi lukisan cincin untuk hadiah pernikahan Naruto dan Hinata, aku melihat kalung yang permatanya mengingatkanku pada kedua matamu," ia mengulum senyum—membuat jantung Ino makin bertalu-talu.

Satu tangan Sai terangkat untuk menggaruk pipinya yang lagi-lagi memerah muda, "Kau suka?"

"S-suka kok..." gumamnya terbata, "Suka sekali," ulangnya lebih mantap, lengkap dengan senyuman yang merekah ayu.

Benar-benar kebetulan sekali.

Apalagi warnanya tampak pas sekali untuk dijadikan sentuhan terakhir, melengkapi penampilannya hari ini yang tadi masih dirasa kurang. 

Sempurna.

"Terima kasih ya," ucap Ino dengan penuh kesungguhan. Ia lalu menggigit bibir, memandang Sai dengan penuh harap, "Kalau begitu, boleh minta tolong pasangkan?"

Tanpa menunggu jawaban, Ino lantas memutar tubuhnya, mempersembahkan punggungnya pada Sai.

Sai dari balik punggungnya hanya merespon dengan mengedipkan mata.

"Memangnya kau tidak bisa pasang sendiri?" tanyanya, retorik.

"Kan biar romantis gitu," Ino menggurutu, menoleh kepada Sai lewat pundaknya yang ramping, "Memang bukumu tidak pernah bilang begitu?"

Meskipun Sai masih tampak setengah bingung dan setengah sangsi, pemuda berambut hitam itu tetap melakoni. Sesaat kemudian, Ino bisa merasakan chakra lelaki itu mendekat—sangat dekat. Berikut dengan suhu tubuhnya yang hangat yang berada tepat di balik punggungnya. Jarak mereka hanya terpaut beberapa senti saja, lagipula.

Ino jadi membayangkan yang... agak ngawur. Terlebih dada dan perut Sai yang bagus tak sengaja menyentuh punggungnya di beberapa kesempatan. Yah, walaupun masih dibatasi kain sih—tapi kan tetap saja.

Sai meraih kalung itu dan membuka pengaitnya. Ino yang peka mengangkat kuncir kudanya tinggi-tinggi agar memudahkan Sai untuk memasangkannya.

Bisa dirasakannya Sai makin merapat. Jemarinya memegang masing-masing ujung dari rantai kalung itu. Pria itu memakainnya dari depan dada, dengan kedua lengan di sisi kepala Ino-membuat jantungnya makin berdebar tak karuan karena proksimitas mereka yang begitu dekat. Saking dekatnya, ia bahkan bisa mencium aroma parfum yang dikenakan oleh Sai. Wanginya seperti campuran antara iris, musk mallow dan pear. Memabukkan.

Begitu merasakan Sai telah memasangkan pengaitnya, Ino pikir jantungnya akan diuji sampai disitu saja.

Namun seperti yang dia pernah katakan, pemuda itu memang penuh kejutan.

Sai justru bertindak di luar perhitungan.

Ia tiba-tiba saja menyandarkan tubuhnya ke punggung Ino lebih dekat, menghapus jarak yang ada.

Jari itu mulai merambat, menelusurkan jemarinya diantara surai pirangnya yang menjuntai. Ino bisa merasakan hidung bangir lelaki itu lalu menempel di sisi belakang kepalanya, menghirup rambutnya dalam-dalam. Ino tak sadar, ia menahan nafas karenanya.

"Rambutmu wangi mawar," bisiknya di telinga Ino.

Sai lalu sengaja menyibakan untaian rambut panjang Ino yang dikuncir rapi ke depan, meletakannya dengan lembut di satu bahunya. Niatnya ingin melihat kulit tengkuk Ino tanpa penghalang.

Nafas Ino seakan masih tertahan di tenggorokan, kala desah nafas lelaki itu merambat, perlahan-lahan ke bawah. Turun, dan turun—hingga akhirnya mencapai tengkuknya. Tangannya terasa dingin menelusuri kulit Ino yang memanas.

Ia bisa merasakan tubuhnya menegang, kala dirasakannya Sai merunduk. Nafasnya yang hangat menyapu tengkuk.

Dan seolah ingin membuat Ino makin jantungan, pria itu lantas membubuhkan satu kecupan ringan di sana. Ringan—seringan kupu kupu di angkasa.

Hanya samar dan berlangsung secepat kilat, tapi efeknya luar biasa.

Sapuan lembut bibir pemuda itu di tengkuknya seolah membawa jutaan aliran listrik mengaliri nadi. Ino bisa saja dibuat mati berdiri.

Tindakannya yang singkat itu terasa begitu intim hingga Ino hampir kehilangan pijakan.

Butuh beberapa detik bagi Ino untuk mengambil nafas, berusaha menetralisir kerja jantungnya yang terpompa lebih cepat. Setelah dirasa ia telah menguasi dirinya kembali, barulah ia berani berbalik.

Pandangan mata Sai secara otomatis terjatuh pada kalung yang melingkari leher jenjang itu. Kemudian matanya berpindah, menelusur dari atas ke bawah. Ia dibuat terperangah, "Kau terlihat..." ia mendesahkannya, takjub,

"...cantik,"

Panas langsung menjalari pipi sang gadis, "Kau sudah mengatakan itu dengan bungamu tadi," Ino membalik badannya untuk menutupi wajahnya yang serasa terbakar. Rona panasnya seakan ingin berlomba-lomba mengalahkan blush on yang telah ia poles di tulang pipi,

"Tapi terima kasih," tambahnya kemudian, "Ayo kita berangkat. Nanti kita terlambat,"

Memastikan sekali lagi bahwa penampilanya dan Sai masih rapi sempurna, setelah meraih strap bag-nya, Ino lantas mengajak Sai keluar dari kamarnya yang terletak lantai dua. Menuruni anak tangga satu per satu dengan beriringan. Keduanya lalu memberi hormat kepada ibu Ino dan melangkah keluar dari toko bunga Yamanaka.

Mereka baru berjalan beberapa langkah saat Sai mendadak menghentikan langkah, yang mau tak mau membuat Ino berhenti juga.

"Ino?"

"Ya?" Kepalanya tertoleh, menunggu Sai untuk mengatakan ada apa gerangan.

"Kau melupakan sesuatu,"

Ino terhenyak, mulai panik. "Eh apa?" Ia meraba-raba isi tasnya, mengabsen barang bawaannya. Seingatnya dia sudah membawa semuanya kok.

Kepanikannya baru benar-benar berhenti tatkala Sai tanpa diduga meraih satu tangannya, untuk lalu menyelipkan jemarinya di sela ruas jemari Ino. Gadis itu memberinya sorot tanda tanya, namun Sai hanya tersenyum,

"Kau melupakan ini," Sai mengangkat tautan jari jemari mereka, "Kita ini datang sebagai pasangan kan?" tanyanya memastikan, "Kalau dari bukuku, pasangan itu datang ke sebuah perayaan dengan bergandengan tangan seperti ini," ujarnya, menekankan maksud perkataannya dengan memberi remasan sekali di tangan Ino, untuk kemudian digenggamnya tangan itu lebih rapat.

Ino hanya bisa tergugu, memberi respon ala kadarnya atas perlakuan pria itu, "O-oh begitu..."

Tak berhenti disana, Sai tiba-tiba mencium punggung tangan Ino, yang kontan membuat Ino tambah gelagapan. Semburat kemerahan di pipi makin menjadi-jadi karenanya.

"I-itu tadi diajarkan juga di buku?"

"Tidak," kata Sai enteng, membawa Ino untuk akhirnya melangkah bersama dan beranjak dari sana. Tautan tangan mereka mengerat seiring mereka mengambil langkah. "Hanya ingin saja,"

Ia pun menambahkan,

.

"...Habisnya aku tidak tahan,"

.

Oh Tuhan.

Doakan Ino masih dalam keadaan selamat dan tidak pingsan di jalan karena perlakuan tidak terduga Sai yang rasanya tak ada habisnya.

.


fin.