Her Hands

Naruto
F/M
G
Her Hands
author
Summary
Sai mengagumi tangan seorang Ino Yamanaka. Tangan yang seyogyanya selalu bisa menghasilkan sesuatu yang indah. Tangan yang berhasil menariknya dari gelap keresahan. Tangan yang mengobati ratusan shinobi yang terluka, yang begitu cekatan dan luwes merangkai bunga. Tangan yang sama—yang saat ini berada dalam dekap genggamnya. Inspired from ep 500 and the last ending scene.

 

disclaimer: karakter milik Masashi Kishimoto

warning: canon-setting. possible ooc. typos. inspired by saiino scenes in Naruto episode 500 and The Last ending.


.

.

Hands

.

OoooO

Pagi ini adalah pagi yang semarak di sebuah tanah lapang di bagian selatan desa Konoha. Tanah lapang itu telah disulap menjadi venue untuk menggelar pesta resepsi pernikahan outdoor dengan konsep garden party.

Mereka mengambil tema warna dominan lavender-putih. Meja dan kursi yang dilapisi kain putih dengan gaya vintage, flower arrangements dari gabungan bunga lavender, mawar putih, dan fresh cedar leaves telah ditata disana sini. Sebuah chandelier cantik tergantung di atas meja makan, dilengkapi dengan ornamen dan pernak-pernik berwarna lavender yang terhias di sepanjang venue.

Dekorasinya meneriakan kesan elegan dan menawan. Ditambah dengan suasana sejuk, khas musim semi yang menyertainya. Bunyi kicau nyaring burung-burung menambah semarak, berikut dengan kelopak bunga sakura yang berguguran tanpa suara. Melayang tertiup angin, tak tahu arah.

Upacara pernikahan itu berlangsung meriah. Tidak mengherankan. Karena ini adalah resepsi pernikahan akbar dari pasangan pahlawan desa dan putri salah satu klan terpandang di KonohaPara tamu undangan silih berganti datang. Ada yang datang dengan kerumunan, ada juga yang datang berpasang-pasang. Ucapan selamat dan doa tak henti mengalir, terlempar bergantian untuk si pasangan baru yang berbahagia di atas atlar.

Sai mengedarkan kedua oniks-nya mengelilingi venue. Matanya yang setajam elang mengamati para tamu undangan yang mulai bergegas menikmati sajian pesta yang telah tersuguh di sebuah meja panjang. Sementara sisanya berkerumun untuk berbagi cerita, canda dan tawa.

Puas mengedar pandang, atensi Sai kembari terarah ke sekumpulan gadis-gadis di depannya yang tengah heboh mengatur kamera untuk bersua foto.

Ino yang kali ini bertanggung jawab untuk mengambil gambar. Satu tangannya terangkat tinggi untuk menyangga ponsel. Setelah memastikan semua yang ikut telah masuk ke dalam angle, gadis itu menekan tombol hingga kilau sinar blitz itu menyapa. Hal itu dilakukannya beberapa kali—merubah gaya dan posisi, mengambil gambar dari sudut sana dan sini.

Bibir Sai tak kuasa mengukir senyum, kala ia melihat Ino lagi-lagi berpose mengerucutkan bibir dengan satu tangan membentuk V.

Kedua mata Sai tak lepas dari gadisnya yang sekarang tengah memberikan direksi kepada teman-temannya, mengarahkan pose dan background mana yang kira-kira bagus untuk dipotret. Mungkin Ino terkesan bossy, tapi Sai tahu bahwa hasil jepretan gadis itu memang bagus.

Sai yang suka mengapresiasi keindahan tentu bisa tahu akan hal itu.

Hal itu dibuktikannya sendiri ketika Ino tadi sempat menawarinya untuk bersua foto beberapa kali—sebutannya sel... eum... sel.. selpi? Atau ya—apalah itu.

Sai yang dasarnya tak biasa berfoto hanya bisa melengkungkan senyum kaku. Sedangkan Ino disampingnya begitu ekspresif dengan pose ini itu. Entah teknik seperti apa yang digunakan, hasil jepretan Ino seolah mampu mengimbangi ekspresi kontradiktif mereka di setiap gambar yang tertangkap. Foto mereka tampak oke-oke saja hasilnya.

.

Tangan Ino seyogyanya memang selalu bisa menghasilkan sesuatu yang indah, pikir Sai.

.

'Keajaiban' tangan Ino mengingatkannya akan apa yang terjadi di Shijima no Kuni, hampir setahun yang lalu.

Di kala Sai dibelenggu oleh genjutsu Gengo. Sai yang membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa sepi dan rendah diri. Ia yang saat itu hampir menyerah, namun tiba-tiba ada tangan yang terjulur kepadanya, memintanya untuk pulang dan kembaliTangan yang menunggunya dengan sabar untuk digapai, dan akhirnya berhasil membawanya keluar dari dasar jurang kegelapan.

Tangan yang sama, yang meraih jemarinya ketika ia akhirnya membuka mata begitu genjutsu itu terlepas.

Tangan yang sama, yang mengobati dan menyembuhkan ratusan—atau mungkin ribuan ninja yang terluka.

Tangan yang sama, yang begitu telaten dan cekatan menyusun bunga-bunga menjadi satu tatanan cantik yang mampu memanjakan mata.

.

Tak dinaya, Sai sangat mengagumi tangan seorang Ino Yamanaka.

.

"—ai. Sai!"

Sai sepertinya terlalu tenggelam dalam nostalgia, sampai-sampai dia tak menyadari Ino saat ini sudah ada di hadapannya. Kepalanya miring dan ia tengah mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah Sai.

Sai hanya bisa mengerjap-ngerjap, yang membawa tawa Ino mendendang merdu. Satu tangannya terjulur untuk meraih tangan Sai yang terkulai di sisi tubuhnya. "Kau melamun?"

Sai mengedip sekali lagi, "Ah, maafkan aku," ujarnya dengan nada menyesal, tersenyum lugu. Ino mengibaskan tangan sambil lalu. Sang gadis Yamanaka itu lekas menarik tangannya lebih dekat ke arah kerumunan sahabat-sahabat wanitanya dan pasangan mereka.

Ino langsung terlibat ke pembicaraan asyik dengan gadis-gadis disana, entah membicarakan apa—Sai tidak terlalu mengikuti. Sai justru lebih tertarik menjatuhkan pandangannya sejenak kepada kedua tangan mereka yang kali ini bertautan.

Lagi-lagi tangan itu...

Ada perasaan hangat yang menyusup di sanubari kala Ino menautkan jemari mereka lebih rapat. Tak melepaskan pegangannya sedetik pun dari Sai meski ia sedang asyik mengobrol dengan Sakura dan yang lainnya.

Ia bahkan turut melibatkan Sai ke dalam pembicaraan, menanyai pendapatnya soal ini itu—meski Sai hanya bisa berkomentar dan berpartisipasi ke dalam topik pembicaraan ala kadarnya. Ia sungguh tidak pandai bersosialisasi.

Ino bahkan di beberapa kesempatan mengenalkan Sai dengan kawan-kawan lamanya dari Akademi yang jarang sekali ia temui. Dengan bangga dan lantangnya.

Seperti Sai ini adalah seseorang yang patut dibanggakan—yang menurut pendapat pribadi Sai, jelas tidak demikian.

Ia bukan siapa-siapa.

Itu mungkin hanya hal-hal kecil yang dilakukan Ino, namun meninggalkan impresi yang sangat mendalam di relung hati. Sai bisa merasakan kehangatan membuncah yang mengaliri nadi. Sensasi hangatnya mengingatkannya akan secangkir teh persik hangat di tangkupan jari-jemari yang biasa dibuatkan Ino untuknya di pagi hari.

Ia merasa trenyuh akan usaha Ino untuk mengapresiasi eksistensinya. Berusaha melibatkannya dalam hal sekecil apapun dalam event pesta pernikahan ini. Sama sekali tak meninggalkan sisinya barang sebentar—jikapun harus, maka Ino akan memastikan Sai ada di dalam jarak pandangnya.

Mungkin ini ada hubungannya dengan percakapan mereka beberapa saat yang lalu. Tatkala ia dan Ino berjalan menuju ke tempat pesta bersama-sama.

Mereka berjalan bersisian, tangan saling mengenggam. Sai ingat ia sempat mengungkapkan insekuritasnya kepada Ino ketika mereka hanya tinggal beberapa blok lagi sampai ke destinasi.

"Ini sejujurnya adalah pengalaman pertama bagiku hadir di pesta pernikahan," aku Sai kala itu. Pandangannya masih lurus ke depan, enggan bersirobok dengan netra Ino yang menatap penasaran, "Jujur... aku agak... takut..? Tapi bukan takut yang seperti itu. Rasanya aku ingin kabur saja, tapi tidak bisa. Batinku terasa tidak tenang. Aku merasa..."

"Gugup?" sambung Ino, "Jantung berdebar? Agak gemetar? Merasa tegang?"

"Jantung berdebar iya, merasa tegang juga iya. Tidak sampai gemetar sih, tapi aku merasa tidak tenang," koreksi Sai, satu tangannya yang tak mengenggam tangan Ino mengetuk-ngetuk dagu, tampak berpikir. Ia lalu menambahkan, "Tapi ya, kurasa memang perasaan yang paling mendekati adalah gugup,"

Gadis yang kali ini sengaja menata hairdo-nya dengan model ponytail sederhana itu mengangguk-angguk, ujung rambutnya sedikit berayun, "Tenang saja, Sai. Kau tidak perlu gugup,"

Ia meremas tangan Sai yang ada dalam genggaman, menawarkannya sebuah senyum lembut yang membuat Sai hampir kehilangan nafas akan rasa takjub.

.

"...Kan ada aku di sampingmu,"

.

Kala itu Ino mengucapkannya dengan nada ringan, namun penuh akan kesungguhan.

Dan benar saja, Ino memang memegang janjinya.

Ia tak meninggalkan sisi Sai barang sejenak. Mungkin ingin memberikan reasuransi pada Sai bahwa ia ada disini— disampingnya.

Ino bahkan tak melepaskan tautan tangan mereka sewaktu mereka akhirnya menginjakan kaki di venue tempat pesta pernikahan akbar itu digelar. Lagi-lagi tangan itu. Tangan indah yang selalu berhasil menawarkan rasa nyaman dan aman untuknya.

Ino sama sekali tak gentar, meski banyak orang memandangi keduanya dan tangan mereka yang saling bergandengan dengan sorot penasaran.

Ada yang juga turut bisik-bisik, merasa bahwa ini adalah gosip hangat yang perlu diperbincangkan. Mungkin mereka tak menyangka si Putri dari kalangan salah satu klan ternama di Konoha itu akan datang menggandeng mesra seorang mantan anak buah Danzo.

Ino begitu percaya diri melenggang bersama Sai disisinya meski ada berpasang-pasang mata yang memandang. Atmosfir positif dan kuat yang dibawa kunoichi berambut pirang itu pelan-pelan mampu mengusir kabut ragu dalam hatinya. Maka ia tegakkan bahu dan dagu, mengabaikan orang-orang disekitar mereka yang berlomba-lomba memandang ingin tahu.

Tiba-tiba suara musik mulai mengalun—diikuti oleh pembawa acara yang mengumumkan dengan suaranya yang menggelegar ke seantero venue, "Para hadirin, ini waktunya berdansa!"

Semua tamu kompak memberi ruang, berdiri mengeliling. Atensi mereka lekas tersita ke arah pasangan pengantin yang beberapa saat lalu telah selesai mengucap ikrar janji suci—mengikat mereka secara resmi dalam bahtera rumah tangga. Mereka bersama-sama melihat Naruto yang menggenggam tangan sang istri untuk menuntunnya turun ke ballroom. Tangannya diletakan di pinggang mungil sang putri Hyuuga yang dibalut shiromuku putih dengan motif bunga teratai yang cantik.

Keduanya berdansa mengikuti lantunan musik yang lembut. Pipi sang pengantin wanita tampak merona delima di kala Naruto mengeratkan pelukan di pinggangnya, atau ketika Naruto berhasil menangkap dirinya setelah mereka melakukan gerakan memutar.

Para hadirin memberikan kesempatan kepada Naruto dan Hinata sebagai raja dan ratu hari itu untuk menguasai lantai dansa. Sampai kemudian di 3/4 lagu, satu demi satu pasang mulai menyusul.

Pertama dimulai oleh Rock Lee yang menarik Tenten dan memaksanya untuk berdansa dengannya, mendampingi Naruto dan Hinata. Tindakan mereka seolah menjadi pemantik, mendorong pasangan-pasangan yang lain untuk menghambur mengikuti. Bahkan sampai Temari dan Shikamaru yang air mukanya tampak ogah-ogahan tetap ikut berpatisipasi.

Sai yang mengamati teman-temannya menikmati waktu mereka di lantai dansa mau tak mau jadi ikut tersenyum. Kepalanya lantas tertoleh pada Ino disisinya yang hanya berdiri di tempatnya, memandangi pasangan-pasangan di lantai dansa dengan seulas senyum serupa.

Sai sempat mengira Ino juga akan langsung menyeretnya ke lantai dansa detik itu juga. Namun hingga beberapa detik berlalu, Ino tak kunjung melakukan apapun jua.

Sai jadi bertanya-tanya,

"Kau tidak ingin berdansa?"

"Hm?" Ia menoleh, kepalanya dimiringkan. Masih dengan senyum yang terkembang, Ino pun menggeleng, "Ah... tidak kok,"

Sai masih tak melepaskan pandang, mengamati Ino dalam-dalam.

Ino mungkin bisa bilang begitu. Namun Sai yang diam-diam suka menghabiskan waktu mengobservasi gadis itu pun tahu.

Ia tahu kalau Ino berbohong.

Ia tahu gadis itu pasti sebenarnya sangat menantikan segmen ini—ia ingat Ino pernah bilang di sesi kencan mereka yang ketiga, bahwa ia memiliki keinginan untuk bisa berdansa dengan Sai di bawah sinar rembulan. Dia tahu Ino ingin berdansa. Namun mungkin karena dia tak ingin merepotkan Sai atau bagaimana, Ino mengurungkan niatnya.

Sai tentu tak bisa membiarkan itu. Dan meskipun saat ini mereka juga tidak sedang berada di bawah siraman sinar rembulan, Sai memiliki tekad untuk bisa mewujudkan harapan gadisnya itu.

Gadis itu telah memberinya banyak hal. Maka izinkanlah dia untuk menebusnya.

"Ayo,"

"Ayo apa?" Kelopak mata Ino berkedip, tampak bingung. Terlebih saat Sai secara tiba-tiba mengulurkan tangannya, menunggu genggamannya untuk disambut.

Sai bisa merasakan pipinya mulai merona. Satu tangannya yang tak terulur, secara impulsif menggaruk pipi. Bukan karena gatal, namun lebih disebabkan oleh sensasi panas yang menjalar, "Aku..." mulainya, "aku belajar dengan Naruto bagaimana berdansa yang benar," gumamnya lamat-lamat.

Sesaat Ino bisa merasakan dagunya mengkaku. Jantungnya dengan cepat berpacu. Efeknya, ia jadi hampir tak bisa berkata-kata.

 

"Tapi...kenapa?"

"Aku ingat kau pernah bilang kalau kau ingin berdansa denganku suatu saat nanti," Sai menundukan kepalanya untuk menghindari sorot penasaran sang kekasih. Ia malu. "Dan saat Naruto bilang akan ada sesi berdansa, aku jadi teringat dirimu, makanya aku menawarkan diri untuk menemani Naruto jadi aku bisa belajar juga,"

Ino terperangah, "Sai..."

"Kau sudah melakukan banyak hal untukku," kali ini Sai mengangkat kepalanya. Bola mata hitamnya menatap lurus-lurus ke arah Ino yang memandangnya takjub. Sorotnya penuh determinasi, nadanya mengalun tegas,

"Aku ingin melakukannya juga untukmu,"

Ino bisa merasakan gelombang afeksi yang membuncah akibat dari kata-kata Sai barusan. Relung hatinya menghangat tak karuan. Sungguh, ia trenyuh. Ia bisa saja menangis saat ini juga kalau saja ia tidak ingat tempat dan waktu,

"Terima kasih," ucap gadis Yamanaka itu dengan tulus. Senyum serupa mengurva, dan kedua pipinya ikut memerah delima.

Ia lalu menerima uluran tangan Sai, dan mereka pun berjalan ke lantai dansa untuk bergabung dengan pasangan lainnya.

Ino diam-diam mengamati bagaimana Sai dengan lugas memposisikan diri, meletakkan satu tangannya di pinggangnya, dan satu tangannya yang lain memerangkap tangan Ino dalam genggaman. Ah, Sai memang sungguhan belajar ya, batin Ino sembari terkikik geli.

Ino mengikuti, secara otomatis meletakan satu tangannya di pundak kokoh dan lebar milik pemuda itu.

"Semua orang melihat kita," bisik Sai kepada sang gadis dalam dekapan.

Ino memberikan remasan menenangkan di bahunya, "Sejak kita datang, mereka juga melihat kita kan?" ucapnya dengan santai, "Abaikan saja, mereka memang terkadang suka ikut campur urusan orang,"

Sai mengangguk saja. Ia berharap Ino tidak menyadari degup jantungnya yang menggila atau tangannya yang mulai berkeringat karena—eum.. gugup? Ah iya, ia rasa ia sedang dilanda gugup setengah mati saat ini.

Ini adalah pengalaman pertamanya berdansa. Langsung dihadapan orang banyak pula.

Sai mulai merasa percaya diri bahwa ia telah mahir dari sesi latihannya dengan Naruto tempo hari.

Namun menampilkannya di publik seperti ini, nyatanya tidak semudah yang dibayangkan.

Sensasi dan atmosfirnya jelas sangat berbeda.

Ini berkali-kali lipat lebih mengerikan.

Sai bertanya-tanya bagaimana Naruto bisa melakukannya dengan baik—yah, meskipun beberapa gerakannya masih terlihat kaku tadi.

Ino menawarkan senyuman. Lagi-lagi memberinya remasan menenangkan, "Santai saja. Tidak perlu takut salah, oke Sai? Aku akan membimbingmu juga. Dan jika misalnya kau menginjak kakiku pun, aku tidak akan marah,"

"O-oke," Sai menyahuti, ssbisa mungkin membalas senyum tulus Ino yang tertuju padanya, diantara degup jantungnya yang bertalu-talu, "Aku juga akan berusaha untuk tidak menginjak kakimu," tambahnya, laksana mengundang derai tawa dari si gadis Yamanaka.

Memberi aba-aba, sedetik kemudian kaki mereka mulai bergerak. Menghentak, mengikuti alur musik yang ada. Mereka memulai perlahan-lahan untuk menyesuaikan diri. Beberapa kali Sai sempat salah langkah. Sepatu kedu-nya yang mengkilat bahkan tak sengaja menginjak jari kaki Ino beberapa kali. Sai mulai panik sendiri, namun Ino hanya meringis, terkekeh geli setelahnya. Ia berusaha menenangkan Sai dengan membimbingnya untuk kembali ke ritme dansa mereka.

Seiring dengan musik yang mengalun, lama-kelamaan mereka mulai terbiasa. Langkah mereka sudah mulai bergerak selaras. Sai bahkan sudah berani untuk mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk karena was-was memperhatikan kemana kakinya melangkah.

Sai dan Ino bertukar pandang dalam diam. Sepasang iris yang punya warna kontras itu menjalin kontak, memanggil-manggil untuk dijelajah. Terbius akan apa yang ada di depan mereka, seakan tak pernah habis untuk dipuja.

Semesta seakan melebur. Meninggalkan mereka yang seolah menjadi satu-satunya pasangan di tempat itu.

Keduanya bergerak mantap, menyesuaikan dengan iringan lagu. Melangkah, mengenggam, mendekap, berputar, lalu melangkah lagi.

Begitu seterusnya.

Lagu kemudian berubah, dan tempo pun melambat. Ino langsung insiatif mengalungkan kedua tangannya di leher Sai, sementara tangan pria itu balas bergerak untuk merengkuh punggungnya, membawanya mendekat. Gerakan mereka juga turut melambat.

"Terima kasih, Sai. Kau mau belajar berdansa untukku," ucap Ino dengan tulus—yang mau tak mau membuat Sai membalasnya dengan senyum lembut,

"Tidak. Aku yang justru berterima kasih," tampiknya. Ia berterima kasih untuk hari ini. Berterima kasih untuk segalanya juga.

Atas segala yang Ino berikan di hidupnya.

"Kau memang selalu penuh kejutan," Ino mendesahkan nafas panjang, menatap Sai lekat-lekat, "Kau tak pernah gagal mengejutkanku. Dan aku... aku merasa beruntung memilikimu,"

Pipi Sai merona tanpa bisa dicegah. Ia tersipu, malu, "Kau pun juga begitu," bisiknya.

Kehadiranmu semata bahkan adalah kejutan di hidupku—tambahnya dalam hati.

Ino datang ke dalam hari-harinya tanpa aba-aba.

Gadis jelita itu hadir begitu saja dalam hidupnya dan mengguncangnya. Mengacaukan rutinitas monoton yang ia punya.

Namun Sai sama sekali tak menyesalinya.

.

Ino Yamanaka adalah kejutan dalam hidupnya yang dengan senang hati ia terima dengan tangan terbuka.

.

Tiba-tiba sang MC sebagai pengatur acara membawa distraksi, mengumumkan ke seluruh tamu undangan, "Saatnya berfoto! Bagi yang ingin berfoto dengan pengantin, mohon bisa berkumpul di depan atlar. Nanti akan kami bantu untuk menata posisinya,"

Para tamu undangan langsung berceceran. Ino dan Sai mau tak mau harus ikut melepaskan dekapan mereka di lantai dansa, walau dengan agak berat hati.

Kloter pertama adalah untuk kerabat-kerabat dekat mempelai pria dan wanita. Dari tim 7 sampai ke para kage yang datang. Seperti janji sang MC, mereka dibantu untuk membuat barisan sejajar, memposisikan diri di samping kanan dan kiri Naruto dan Hinata.

Ino dan Sai kebetulan mendapat posisi depan, berdiri berdekatan, tepat disamping pasangan Shikamaru dan Temari yang tampak tersipu-sipu—Ino baru menyadari itu dikarenakan posisi tangan Shikamaru yang ada di bagian bawah punggung kunoichi Suna itu. Wow, bagus juga modusnya, batin Ino dengan seringai jahil.

Setelah dirasa barisan tertata secara rapi dan proporsional, para fotografer yang telah disewa klan Hyuuga itu menempatkan diri tepat di hadapan.

"Siap-siap ya—" aba-aba sang photographer. Satu orang menyangga kamera di tangan, sementara satu orang lagi mengangkat ketiga jarinya ke udara untuk memberi aba-aba.

Di sela momen itu, Ino bisa merasakan tangan Sai merambat untuk mencari tangannya. Menawan tangan Ino dalam dekap tangannya.

Ino seketika menoleh, bertatapan langsung dengan Sai yang sama-sama menoleh kearahnya.

"Satu—"

Ino balas tersenyum, yang dibalas tanpa ragu oleh pria itu. Ia menyelipkan jari-jemarinya di sela-sela jemari lentik Ino—mengenggamnya lebih rapat dan mantap.

"Dua—"

Ino menghadap ke depan, tersenyum lebar karena tak bisa menghianati kebahagiaan yang kini membuncah dalam dada. Ia membaginya dengan memberi remasan pada tangan mereka yang saling bertaut erat.

"Tiga—"

.

Remasan tangan itu pun berbalas, diiringi oleh sorak sorai yang mengiring,

.

.

"Cheers!"

.


fin.


.

yang ini terisnpirasi dari scene saiino yang gandengan tangan di pernikahan Naruhina, seperti yang ditampilin di episode 500 dan The Last ending scene, hehe.