
disclaimer: semua karakter milik masashi kishimoto
warning: canon-setting. boruto era. terinspirasi dari episode 93. oocs. typos.
.
.
Lap
OoooO
.
Yamanaka Ino menghempaskan tubuhnya yang lelah ke sofa berwarna ungu tua di ruang tamu rumahnya. Ia menghela nafas panjang, merasakan bagaimana sandaran sofa yang empuk dan lembut itu terasa begitu menyenangkan di punggungnya yang pegal. Ia pun memejamkan matanya untuk sejenak, sementara satu tangannya merambat ke atas untuk menangkup tengkuk. Jari-jari itu membuat gerakan memijat, menekan-nekan permukaan leher yang terasa kaku.
Seharian tadi ia dibuat sibuk mengurusi pekerjaannya di toko bunga. Pengunjung yang datang bertambah berkali-kali lipat dari biasanya. Wajar sih, karena hari ini adalah salah satu hari spesial di Konoha.
Hari Orangtua dan Anak.
Hari Orangtua dan Anak adalah hari libur nasional baru yang digagas oleh hokage ketujuh—Naruto—beberapa waktu yang lalu. Hari libur ini dikhususkan agar orangtua dapat menghabiskan waktunya dengan putra-putri mereka. Naruto sengaja meliburkan semua shinobi dan kunoichinya di hari ini. Yah, kecuali posisi posisi urgent seperti penjaga perbatasan desa yang tetap harus patroli.
Naruto mengharapkan dengan hari libur ini, pasangan orangtua dan anak bisa menghabiskan quality time bersama-sama. Terutama bagi mereka yang sering dibuat sibuk dengan pekerjaan dan hanya punya waktu minim untuk keluarga.
Tentunya ide Naruto itu disambut suka cita oleh sebagian besar penduduk Konoha, terlebih bagi shinobi dan kunoichi sibuk seperti ia dan suaminya. Ino diijinkan libur dari pekerjaannya di divisi Intelejensi, Barrier Team, dan rumah sakit. Sehingga khusus hari ini ia bisa memfokuskan mengurusi toko bunga yang telah diwariskan secara turun menurun kepadanya. Meskipun begitu, tetap saja ia harus siap jika seandainya ada keadaan emergency sewaktu-waktu yang memanggil.
Banyak yang memanfaatkan hari libur ini dengan sebaik-baiknya. Sebagian memilih hangout bersama, mengikuti event-event khusus yang diadakan hari ini, atau saling bertukar hadiah. Kalau biasanya Ino banyak melayani pembeli yang ingin mengungkapkan perasaan cinta, memohon maaf, atau mengajak untuk berbalikan kembali.
Untuk kali ini, pelanggannya lebih banyak didominasi orang tua maupun anak-anak yang ingin mengungkapkan perasaan mereka—rasa terima kasih, sayang, dan sebagainya. Menjadi kepuasan tersendiri bagi Ino untuk bisa melihat bagaimana para orang tua dan anak saling mengungkapkan afeksi dengan cara mereka sendiri.
Satu lagi tarikan nafas panjang dari Ino mengudara, seiring dengan dirasakannya dua chakra familiar yang mendekat. Kelopak matanya sontak terbuka, bertepatan dengan suara yang tak asing lagi di telinga Ino selama kurang lebih 12 tahun ini,
"Tadaima!"
Wanita yang masih tampak ramping dan ayu meski di usianya yang telah mencapai kepala tiga itu menarik tubuhnya dari baringan. Meskipun lelahnya belum sepenuhnya hilang, Ino bawa tubuhmna untuk bangkit berdiri dan melangkah menghampiri alley pintu masuk.
Saat Ino menginjakan kaki disana, ia melihat dua orang lelaki kesayangannya itu menutup daun pintu dan bergegas melepas alas kaki mereka. Kemudian diletakannya secara rapi di rak.
"Okaeri!" sahut Ino, yang membuat keduanya serentak mendongak. Ino melemparkan mereka senyum hangat. Kakinya-kakinya yang terbalut sandal rumahan melangkah, ingin menyambut kedatangan mereka lebih dekat,
"Bagaimana kontes makannya tadi?" tanyanya penasaran. Sorot matanya yang awalnya ingin tahu berubah khawatir semakin ia mendekat. Ia baru menyadari sang suami berdiri dengan sedikit disangga oleh putra mereka satu-satunya,
"Anata, kau terlihat sakit. Apa yang terjadi?" rundung-nya dengan pertanyaan. Ia jelas mulai khawatir. Tak biasanya suaminya terlihat lemah begitu. Sai itu tipe yang jarang sekali sakit. Imunnya tergolong luar biasa kuat.
"Tou-san kekenyangan karena kebanyakan makan ramen, Kaa-san," timpal Inojin santai, menjawab pertanyaan Ino yang sebenarnya ditujukan untuk Ayahnya. Ia merundukan tubuh, membantu Ayahnya untuk memakai sandal rumah mereka, "Katanya sih mual,"
"Benarkah?" Ino tampak terhenyak, menatap suaminya dengab raut penuh khawatir. Ia sempatkan mengerling kepada sang putra yang sedang asyik memandangi Ayah-nya dengan pandangan geli.
Mata Ino yang sewarna dengan milik sang putera menyipit, mengamati Inojin dari atas ke bawah, "Lalu kau sendiri bagaimana? Apakah kau sakit juga?"
Remaja berumur 12 tahun itu menggeleng segera, "Aku baik-baik saja kok Kaa-san,"
"Yakin?"
"Yakin," ulang Inojin, berusaha menyakinkan Ibunya yang memang suka overprotektif.
Sementara Sai yang masih tampak lemah dan belum mengutarakan sepatah kata apapun jua, justru menatap Ino lekat-lekat dengan matanya yang sekelam cakrawala malam. Ino yang ditatap begitu ingin bertanya ada apa—namun sebelum ia sempat bertanya atau memastikan keadaan sang suami, Sai malah bergegas meraih pergelangan tangan sang istri untuk membawanya ke dalam.
Dengan agak terburu, ia menarik Ino untuk berbalik melewati alley pintu masuk, mengarah menuju ruang tamu. Ino yang meskipun masih dipenuhi oleh kebingungan atas tingkah suaminya itu menurut saja kala Sai membawa dirinya melangkah ke ruang keluarga pada akhirnya.
Sai lantas menarik-narik tangannya ke bawah, secara tidak langsung meminta Ino untuk mendudukan diri atas karpet tanpa suara. Ino yang paham akan permintaan non verbal sang suami pun patuh mengikuti. Detik begitu ia telah mendudukan diri dan memposisikan kakinya dengan lebih nyaman, Sai langsung menghambur kepadanya.
Pria yang menjabat sebagai pimpinan ANBU itu langsung mengistirahatkan kepalanya di pangkuan sang istri yang terbuka. Beberapa kali ia membenahi posisi kepala, berusaha mencari baringan nyaman di paha Ino.
Seketika rasa nyaman itu menyeruak, bertambah berkali-kali lipat saat Ino berinisiatif mengelus rambutnya, penuh afeksi dan hati-hati. Jari jari itu menari, menelusuri—bergerak kesana kemari dengan telaten, perlahan tapi pasti. Sesekali Ino berikan pijatan lembut di ubun-ubunnya dengan intensi mereduksi rasa lelah yang kentara tengah melanda pria itu.
Sai tanpa sadar menutup matanya, dan desahan nafas pun terlepas. Lega, ia rasa. Rasanya menyenangkan, seolah berton-ton lelah dan mual yang ia rasakan menguap seketika. Ino memang selalu bisa menjadi obat remedi baginya.
Inojin yang mengikuti kedua orangtuanya dari belakang hanya mendengus tawa melihat tingkah manja sang Ayah. Siapa yang menyangka jika pria usia kepala tiga yang tengah bermanja-manja dengan Kaa-san-nya itu adalah seorang ketua ANBU, Sai Yamanaka yang katanya misterius dan ahli dalam misi rahasia?
Orang-orang di luaran sana pasti tak akan percaya.
Tapi Inojin sendiri sudah terlanjur terbiasa melihat Ayahnya yang lemah kepada sang ibu seperti itu. Sekarang ia bertingkah layaknya kucing, mendekur di atas pangkuannya. Ada ada saja.
"Inojin," panggil Ibu-nya yang cantik itu dengan lembut. Saat ia menoleh, ia melihat Kaa-san-nya itu tengah melemparkannya sebuah senyum hangat, dengan satu tangan masih mengelus surai hitam sang Ayah, sementara satu tangannya yang lain telah berada di perangkap tangan Ayahnya.
Ah Ayah. Pintar sekali cari-cari kesempatan.
"Kaa-san boleh minta tolong Inojin untuk membuatkan teh chamomile? Itu bisa membantu mengurangi mual Ayahmu," matanya yang sebiru lautan memandang Inojin penuh harap. Bola matanya membesar, berkilauan. Uh-oh, Inojin tahu apa arti tatapan itu— "Sebenarnya Kaa-san bisa buatkan, tapi kau lihat Ayahmu kan," Ino meringis sembari menggidikan dagu ke arah Sai yang masih berbaring nyaman di pangkuan.
Inojin menghela nafas, pura-pura berat hati, "Iya Kaa-san, aku yang buatkan saja,"
Wajah Ino berubah berseri-seri, "Terima kasih baby flower, kau memang anak Kaa-san yang terbaik,"
Inojin hanya menanggapinya dengan gerutuan, sembari ia berjalan ke arah dapur. Ia tahu ibunya memang suka memuji-muji kalau ada maunya saja. Apalagi ia tahu kalau baik Sai dan Inojin tak bisa menolak sorot matanya yang penuh harap itu. Nyatanya tak hanya Ayah-nya, Inojin juga sebenarnya suka lemah dengan ibunya itu.
"Ya benar terbaik. Kan aku satu satunya anak Kaa-san," ia menggurutu, cemberut. Realisasi perlahan menghampiri, dan pipinya yang putih pucat memerah pekat bagai buah persik, "d-dan jangan memanggilku baby flower, Kaa-san. Itu memalukan. A-aku kan sudah besar!" protesnya tidak terima dari balik dapur.
Ino hanya terkekeh merdu. Gemas sendiri membayangkan putranya yang pasti sekarang tengah tersipu imut setiap kali Ino memanggilnya begitu. Ia kembali berseru, "Inojin tahu tempat tehnya kan?" tanyanya, ingin memastikan.
"Tahu, Kaa-san," Inojin menjawab balik. Detik setelahnya, Ino bisa mendengar suara air mengalir dari keran yang, diikuti oleh suara klik dari kompor dari balik dinding, "Ada di cabinet atas sendiri kan? Wadah warna putih?"
"Iya betul," Sementara Inojin sibuk di dapur, kepala Ino tertunduk kepada Sai yang masih beristirahat di pangkuannya. Kelopak matanya masih terpejam, seiring dngan alunan nafas yang mengalun ritmis.
Sudut bibirnya terangkat. Seulas senyum lembut datang membayang mengamati suaminya. Satu tangan Ino masih saja betah mengelus rambut legam Sai yang lembut serupa sutra. Sementara yang satu lagi ia biarkan diperangkap oleh dekap tangan lelaki itu di atas dadanya.
"Jadi apa yang terjadi?" Ino akhirnya bertanya penasaran. Satu tangannya ia lepaskan dari kegiatannya yang sedari tadi mengelus rambut Sai untuk lalu diletakannya di perut pria itu. Dia memfokuskan chakra-nya baik-baik. Lalu hanya butuh segala kedip, sebuah cahaya kehijauan yang beriak tenang bagai air hadir melingkupi. Ia mempraktikan medical jutsu ke perut Sai yang tadi dikeluhkannya terasa tidak enak, berharap ini bisa mereduksi mual-nya.
Sai meresponnya dengan mendesahkan nafas. Semakin nyaman karena kehangatan yang dibawa oleh jutsu medical Ino di perutnya. Ia masih belum sudi membuka mata.
Sembari Ino mengobatinya, Sai pun menceritakan apa yang terjadi. Dari bagaimana kontes makan ramen sebanyak-banyaknya itu berjalan.
Bagaimana Sai dan Inojin kesulitan mengimbangi lawan, namun berhasil melenggang setidaknya sampai ke semi final. Bagaimana Chocho dan Chouji bertarung melawan duo ayah dan anak Dotonburi. Bagaimana ia dan Inojin harus menghadapi serangan dari seorang wanita tua yang tiba-tiba menyerang arena, sebisa mungkin melindungi para warga sipil yang ada disana.
Ino yang menyimak cerita Sai pun meringis, antara geli sekaligus merasa bersalah. "Maaf ya, anata. Aku yang tadi memaksamu ikut kompetisi makan itu. Aku pikir itu akan jadi kesempatan yang bagus untuk bonding dengan Inojin,"
"Tidak masalah," Sai menampik. Ia akhirnya berkenan membuka kelopak matanya, memandang Ino tepat di mata dari tempatnya berbaring di pahanya. Ujung bibir Sai berkedut, melengkungkan sebuah senyum simpul, "Meskipun banyak ruginya, namun aku tidak menyesal ikut kok. Disana seru juga," ia lalu menambahkan,
"Lagipula, aku selalu menyukai waktu yang bisa aku habiskan bersamamu dan Inojin,"
Sai yang berkata dengan penuh kesungguhan itu mau tak mau mendorong Ino untuk tersenyum. Hatinya tak kuasa menghangat karena kalimat suaminya itu.
"—Oh, dan Ino?" panggil Sai,
"Ya?"
Satu tangannya yang sedang tak mengenggam tangan Ino menunjuk-nunjuk ke arah rambutnya, "Tolong lakukan yang tadi lagi. Rasanya menyenangkan," pintanya kepada Ino dengan senyum polos yang terkembang, hingga kedua pipinya tertarik sempurna dan matanya menyipit tenggelam. Layaknya seorang anak kecil yang meminta afeksi dan ingin dimanja.
Ino tertawa geli melihatnya. Satu tangannya buru-buru merambati, menyisir rambut Sai dengan jari-jemarinya sekali lagi.
"Kau sendiri bagaimana?" Sai pun bertanya, memandang Ino ingin tahu, "Ini kan hari Orangtua dan Anak. Pasti toko ramai sekali kan? Apa kau kesulitan?"
Biasanya kalau ada hari libur besar begini, Sai akan ikut membantu Ino untuk melayani pelanggan. Setiap hari dia memang membantu Ino mengurusi toko bunga mereka. Namun kalau di hari biasa, Sai hanya membantu mengurusi bagian stock dan perlengkapan, sementara Ino berkutat di bagian sales dan penataan buket.
Sai kebagian mengerjakan pekerjaan yang berat-berat, misalnya menurunkan pot-pot dari truk yang mengangkut stock kiriman bunga mereka. Menata dan menggotong barang-barang yang dirasa berat. Baru setelah beres, di setiap jam 9, dia akan berangkat menjalankan tugasnya sebagai ANBU. Sedangkan Ino akan mengurusi toko bunganya hingga di jam 11, kemudian istrinya akan menutup toko dan menjalankan tugasnya di divisi Intelenjensi, Barrier Team, dan Rumah Sakit setelahnya.
Rutinitas itu sedikit berbeda ketika weekend atau ada event-event besar seperti ini. Biasanya pengunjung yang datang secara kuantitas akan lebih banyak.
Agar sang istri tak terlalu kewalahan, Sai tanpa perlu diminta akan turut membantu mejalankan peran sebagai florist. Sementara Ino melayani, Sai akan berkutat dengan tataan buket dan parsel. Terkadang Inojin juga akan membantu kalau memang pelanggan dirasa sangat membludak. Jika mereka bertiga menjadi tim, maka Inojin akan mendapat tanggung jawab melayani pembeli, sementara Ino dan Sai bertanggung jawab membuat buket-buket bunga sesuai pesanan.
Pengalamannya bekerja di toko bunga selama beberapa tahun membuat Sai makin mahir menata bunga. Mereka juga punya style merangkai bunganya masing-masing. Ino biasanya memilih bunga-bunga besar untuk ditonjolkan di dalam buket, untuk kemudian dikombinasikan dengan warna-warna cerah. Sedangkan Sai menawarkan style yang lebih simpel. Ia cenderung suka mempercantik buket dengan bunga-bunga kecil dan dedaunan, seperti fresh cedar leaves, misalnya.
Ia tadi sebenarnya sudah bersiap membantu Ino mengurusi toko menyambut hari Orangtua dan Anak ini, namun istrinya itu malah memintanya untuk mengikuti kontes makan ramen yang diadakan di pusat desa. Jadilah hanya Ino seorang diri yang mengurusi toko.
"Yah memang ramai sih. Tadi sempat agak repot, tapi teratasi dengan baik kok," Ino memberinya reasuransi, bahunya terangkat santai.
"Kau lelah?" tanya Sai, sambil berinisiatif memberikan pijatan-pijatan di tangan Ino yang ada di genggaman. Ia sengaja memberikan pressure di beberapa titik diantara sela-sela jemari Ino.
Ino membalasnya dengan terkekeh, "Lelah sih, tapi lelahnya terobati setelah melihat kalian pulang," timpalnya, masih dengan mengusap-usap rambut suaminya, "oh iya, tadi ada Himawari dan Naruto juga loh yang berkunjung. Himawari imut sekali. Dia tampak senang sekali bisa menghabiskan waktu dengan Ayahnya setelah sekian lama. Aku berharap Naruto bisa lebih banyak menyempatkan waktunya,"
Sai hanya menggumam sembari mendengarkan Ino berceloteh riang. Menceritakan mengenai apa yang ia temui di hari ini.
Ia selalu suka suara Ino yang mendendang masuk ke telinganya. Perasaan nyaman selalu datang menyelimuti setiap ia mendengar suara wanita itu. Terlebih ketika ia berbaring di pangkuannya seperti ini. Merasakan gelombang afeksi tiada ujung dari wanita yang dicintainya itu. Dengan sentuhan jari-jemarinya diantara ruas-ruas rambutnya.
Pangkuannya—adalah tempat favorit Sai untuk melepas penat dan rindu.
Ada saat dimana Ino tengah menyisir rambutnya, Sai jadi tak sengaja merasakan sensasi dingin logam yang bergesekan mengenai pelipisnya. Sai tersenyum dalam diam, terjebak nostalgia.
Satu tangannya terangkat untuk mengenggam tangan Ino yang sedari tadi sibuk memberikan usapan di surai mahkotanya. Tangan itu ia bawa juga ke dalam genggaman. Kini dua tangan Ino telah ia bawa dekap ke dada.
Sai mengamati jemari lentik Ino, atensinya teralih ke salah satu jarinya yang tersemat sebuah cincin putih, sedikit berkilauan tersiram cahaya lampu. Cincin itu sudah melingkari jari manis Ino semenjak 13 tahun yang lalu. Semenjak Sai akhirnya memberanikan diri untuk meminta selamanya.
"Sebentar ya, Inojin sedang membuatkan teh chamomile," suara itu menarik Sai kembali ke realita. Dihadapkan pada Ino yang menunduk kepadanya dengan bibir yang melengkung hangat, "Teh chamomile akan pas untuk mengurangi mualmu," bertepatan dengan Ino yang berkata begitu, Sai bisa mendengar suara teko yang mendesis nyaring dari arah dapur, diikuti oleh suara denting keramik yang terbentur.
"Apakah masih terasa mual?" Ino bertanya.
"Hmm, sedikit," Sai membalas dengan gumaman. Sebenarnya perutnya sudah jauh lebih baik marena jutsu medis Ino tadi. Namun Ino dan Inojin sudah repot-repot menyiapkannya secangkir teh chamomile, maka ia akan tetap dengan senang hati menegaknya.
Sebuah ide tiba-tiba terbersit di kepala. Kedua matanya terbuka, menatap Ino serius, "Aku rasa aku tahu obat yang manjur untukku saat ini,"
"Apa itu?"
"Cium," Sai tak segan menyuarakan keinginannya. Ekspresinya dan nadanya pun datar, seolah ia tengah membicarakan hal normal—seperti perkiraan cuaca, misalnya, "Beri aku ciuman,"
Ino tampak sedikit gelagapan. Pipinya yang putih susu menyembulkan rona kemerahan karena permintaan Sai yang diutarakan secara kasual barusan. Sudah lebih dari 13 tahun mereka bersama-sama—bahkan Ino dan Sai tentu sudah sering melakukan yang lebih dari yang diminta Sai. Namun efeknya masih sama. Lelaki itu masih mampu membuat Ino jadi suka suka malu-malu kucing ketika ia memamerkan kasih sayang seperti ini.
"Kau pikir kau itu snow white yang harus dicium?" Ino mendelik, menggurutu sendiri, "Jangan aneh-aneh,"
"Kau tidak mau?" Sai mengubah ekspresinya menjadi sedih.
"B-bukannya tidak mau, tapi kan ada Inojin," cicitnya, sembari melirik was-was ke arah dapur.
"Inojin kan di dapur," Sai memberi argumentasi, "Lagipula Inojin kan beberapa kali sudah melihat kita berciuman,"
"Y-ya sudah deh," Ino sedianya pun mengalah, "T-tapi kecupan saja ya," tambahnya buru-buru.
Ino lalu menunduk, mendekatkan kepalanya ke kepala Sai di pangkuannya. Rambutnya yang digerai jatuh memenuhi sisi kepala pria itu, menutupinya layaknya sebuah tirai.
Detik selanjutnya, Ino pun menyentuhkan bibirnya ke bibir Sai.
Kecupan itu lembut. Hanya sapuan yang sangat lembut. Selembut satin. Ringan. Seringan kapas.
Niat Ino hanya sebentar dan satu kecupan saja, namun saat ia akan menarik diri, tangan Sai tiba-tiba sudah merambat di belakang kepalanya—tanpa bahkan ia mengetahuinya. Sai menahannya untuk melepaskan tautan. Pria itu bahkan ikut mengangkat kepalanya untuk balik menawan dan memperdalam pagutan.
.
"Kaa-san sedang apa?"
.
Suara Inojin yang tiba-tiba mengalun, membuat Ino kaget bukan kepalang. Ia buru-buru menegakan tubuhnya. Panas menjalari seluruh wajahnya detik itu juga,
"E-EH! Kaa-san sedang mengobati Tou-san-mu, tentu saja,"
Inojin berjalan mengantarkan cangkir teh chamomile-nya kepada Ino, yang diterima dengan penuh terima kasih. Ia menatap kedua orangtuanya secara bergantian. Ibunya dengan wajah memerah, berusaha menutupi kegugupannya. Sedangkan Ayahnya balas menatapnya dan tampak santai-santai saja. Sama sekali tak terpengaruh.
"Hmmm..." Alis pirang Inojin naik beberapa senti, "Tapi kan yang sakit perutnya Tou-san, bukan bibirnya,"
Belum sempat Ino mengutarakan sanggahan apapun, putra mereka satu-satunya itu pun berkelakar,
"Bilang saja kalian habis berciuman,"
"Memang," Sai menyahut, santai.
"SAIIIII!"
Inojin mendenguskan tawa, melihat sang Ibu yang mendelik nyalang pada sang Ayah yang hanya berekspresi kasual, "Hah ya sudah teruskan saja sana. Aku mau mandi dulu. Dadah Kaa-san dan Tou-san," putra mereka yang tampan itu mengibaskan tangan sambil lalu.
Ino yang melihat Inojin berlalu dengan menaiki anak tangga menuju kamarnya hanya mendesahkan nafas panjang. "Kok dia bisa peka juga ya," Ino bersungut-sungut sembari ia membantu Sai untuk duduk dan memberikannya cangkir teh yang telah disiapkan Inojin tadi di tangannya,
"Dia sudah remaja, Ino. Dia tidak akan menjadi Inojin kecil kita selamanya," Sai berkata sambil lalu menyeduh tehnya yang masih panas, sedikit demi sedikit.
"Iya sih, aku tahu dia sudah remaja," Ino tampak sedih mengingat kenyataan itu, melenguh tak terima, "Hah tapi tetap saja. Aku masih ingin dia jadi bayi kecilku,"
"Itu tidak mungkin," tanggap Sai impasif.
Ino mendelik ke arahnya dengan sebal, "Biarkan aku berandai-andai dengan tenang, Sai,"
Meneguk tehnya sekali, Sai kemudian menatap Ino lurus-lurus.
Nada suara dan ekspresinya begitu serius kala ia berkata,
.
"Hmm... daripada berharap Inojin jadi bayi kecil lagi, kenapa kita tidak buat bayi kecil yang lain saja?"
.
.
.
.
Sementara Inojin yang ada di kamar mandi sempat menghentikan kegiatannya membasuh rambut ketika tiba-tiba ia bisa mendengar suara pekikan nyaring—lalu diikuti oleh suara-suara benturan—entah apa.
Inojin bergidik, ngeri.
.
Dia hanya bisa diam-diam mendoakan keselamatan sang Ayah di bawah sana.
.
.
fin.