Vocabularies

Naruto
F/M
G
Vocabularies
author
Summary
Ino yang mengemis minta diajari bahasa Inggris, dan Sai yang tak kuasa dengan puppy eyes dan bibir maju-maju. "Aku bingung soal terakhir harus diapakan," "Tentu saja kau harus menjawabnya," saiino high school-AU.

 

 

Disclaimer: semua karakter milik Masashi Kishimoto

Warning: OOC. AU. High School. Bahasa campur. Typos.

.

.


Vocabularies


ooOoo

.

.

"Nol?"

Sai menatap lembaran kertas yang ada di genggaman, mengedip beberapa kali. Nadanya netral, begitu pula dengan air muka yang menghias. Ia lantas mendongak, meminta penjelasan kepada yang bersangkutan.

Yamanaka Ino yang sedang beringas-beringasnya menusuk es krimnya dengan sendok kayu hanya menganggukkan kepala suram, tanpa menjawab.

Sai meletakan kertas hasil ulangan gadis itu di meja. Kemudian tanpa aba-aba mendekatkan wajah, menatap lurus-lurus sang gadis tanpa berkedip. Ino sampai harus terpaksa memundurkan wajah—karena hell, Sai terlalu dekat dan itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

Sai kembali bertanya sekali lagi, "Serius?"

Dahi sang gadis Yamanaka kini terhiasi oleh kerutan samar. Lidahnya berdecak, kesal. "Kau mengejekku ya?" tuduhnya.

Alis Sai mengernyit maksimal, yang diikuti oleh suara helaan nafas halus. "Tidak. Hanya terkejut saja—"

"Hmm—"

"Hanya terkejut bagaimana bisa kau sebodoh itu—"

"HEI!"

Tisu bekas lap meja dilemparkan ke muka, namun pemuda berambut eboni itu lebih gesit menghindar. Sudut bibirnya ditarik. Meski tipis, Ino tahu Sai tengah menyeringai mengejek sekarang. Walaupun sahabatnya—sekaligus orang yang ia taksir—itu lebih suka menampilkan ekspresi di ambang datar, Ino yang sudah mengenalnya tentu terlanjur hafal. Ino bersumpah wajah yang biasanya aktraktif itu saat ini terlihat menyebalkan sekali di matanya.

Kedua lengan Sai terlipat di atas meja, memandang Ino serius, "Bagaimana bisa kau dapat nol? Kalau pelajaran matematika, fisika atau hitung-hitungan, oke lah. Kalau bahasa inggris?" tanyanya, bak seorang interogrator"Kau seharusnya menghiburku yang sedang bad mood ini, tahu. Bukan malah menghakimiku," Ino menggerutu, bibir bersungut-sungut. Ia meletakan es krimnya, kemudian terpekur di meja dengan merana.

Sai yang mengamatinya hanya menghela nafas.

Bahasa Inggris memang bukan mata pelajaran yang mudah, tapi juga tidak sebegitu rumitnya sampai harus terdampar di nilai terendah, pikirnya.

Sai yang mengaku hanya belajar seadanya saja merasa bisa mengerjakan dan memperoleh nilai delapan di ulangan mereka seminggu yang lalu. Kenapa Ino merasa kesulitan sekali?

Bukan. Sai bukan mengatakan Ino tidak pandai. Jangan salah, nona Yamanaka itu termasuk salah satu murid di kelasnya yang selalu masuk peringkat 5 besar.

Sai saja hanya mampu bercokol di peringkat tujuh di semester lalu. Memang benar sih, gadis berambut pirang itu biasanya mampu mendapatkan nilai nyaris sempurna di hampir semua mata pelajaran—tapi tidak dengan bahasa inggris.

Dan sejauh pengamatan Sai-ya, ia memang sering menaruh perhatian berlebih kepada gadis itu—nama Ino sering—ah, selalu, tercantum dalam daftar nama peserta remidial bahasa Inggris yang tercantum di mading kelas.

"Kau tidak belajar?" Sai mencoba menerka-nerka, sembari menepuk-nepuk kepala Ino yang dipenuhi surai pirang panjang, yang kini terpuruk melas di atas meja kantin.

Ino sedikit mengangkat kepalanya, kemudian melempar cengiran lebar ke arah Sai yang duduk di seberang, "Memang tidak. Aku malas."

Helaan nafas menjadi balasan, "Ino—"

"Karena aku benci bahasa Inggris, makanya aku jadi kehilangan motivasi untuk belajar, toh tetap saja nilaiku bakal jelek pada akhirnya kan?" seloroh Ino dengan santai ketika Sai sudah akan membuka mulut untuk menceramahinya.

Lelaki di seberang hanya bisa menghela nafas untuk yang kesekian kalinya hari itu. Satu jarinya menekan hidungnya, mencoba sabar. Ino kalau sudah bebal begitu memang susah dibilangi. "Ya, terserah."

"Tapi kalau diajari Sai mungkin akan berbeda,"

Sai mengerjap, "Sori?"

Sekarang Ino yang gantian mendekatkan wajah, sementara Sai mati-matian menata ekpresi wajahnya tetap netral meski jantungnya mulai terpompa cepat di balik tulang rusuknya,

"Sai kan termasuk yang pintar bahasa inggris. Di ulangan kemarin saja kau bisa dapat delapan,Alis Sai mengernyit, masih belum memahami, "Hm, lalu?Ino hampir sukses membuatnya jantungan saat tiba-tiba dia menarik kedua tangan Sai dan langsung mendekapnya ke dalam genggaman,

"Jadi Sai, tolong banget ajari aku bahasa inggris ya?"

"H—ha?"

"Mau ya? Please~"

.

Mana mungkin Sai menolak saat Ino menatapnya dengan puppy eyes dan bibir maju maju begitu?

.

"...O-oke,"

.

Maaf, Sai memang lemah dengan yang imut-imut.


ooOoo

.

"Pada dasarnya bahasa inggris itu sama seperti pelajaran linguistik lainnya. Yang paling utama adalah kau harus menguasai kosa kata atau vocabularies dulu. Kalau kau sudah bisa menguasai vocabularies, maka semua akan terasa mudah kok,"

Ino mendesah berat. Satu telapak tangannya menyangga kepala. Dia melirik malas pada Sai yang sedang berbicara lebar dengan tangan yang berkutat pada buku bahasa inggris dan kamus, lagaknya sudah seperti guru. Pemuda itu terlalu mendalami peran sepertinya.

"—jadi begitu. Kau sudah mengerti, Ino?"

"Hmm," Ino bergumam tak acuh, dia rubah posisi duduknya yang semula menyandar di tempat tidur, menjadi lebih tegak. Ya, kali ini mereka memang mengadakan sesi tutor di rumah si gadis Yamanaka, tepatnya di kamar sang empunya dengan posisi duduk bersila, saling berhadap-hadapan di atas karpet samping ranjang Ino. Bukan merupakan suatu pemandangan asing melihat Sai keluyuran di rumah keluarga Yamanaka, lagipula. Termasuk main ke kamar Ino—asalkan mereka berdua tidak macam-macam—begitu titah sang kepala keluarga, Inoichi Yamanaka Hadiningrat.

"Jadi intinya aku harus menguasai vocabularies dulu kan?"

Sai mengangguk mengiyakan, dengan seulas senyum terpatri di wajah. Ia cukup senang akan fakta bahwa meskipun terlihat malas-malasan, ternyata Ino memang menyimak penjelasannya, jadi dia tidak sekedar buang-buang napas percuma.

"Aa. Vocabularies adalah kunci utama."

Ino mengungkit alisnya tinggi-tinggi, mendecak kemudian. " Lalu kau suruh aku apa? Menghafal kamus?" tanyanya dengan nada skeptis.

Sai mendesahkan nafas, sabar, "Ya bukan berarti menghafal kamus juga. Sampai Jiraiya-sensei tobat pun, mana bisa kamus bahasa inggris dihafal?" tanggapnya dengan sarkastik, yang berhasil membawa tawa geli dari Ino.

Sai mau tak mau tersenyum dalam hati. Suara tawa Ino memang selalu berhasil menghangatkan sanubari.

"Kalau mau menambah kosakata bahasa inggris, aku sarankan untuk mulai sering membaca apapun yang berbahasa inggris." Sai mendorong beberapa tumpukan buku dan kertas di sampingnya ke hadapan Ino, "Nih, aku punya beberapa buku berbahasa inggris. Ada buku, novel, artikel, cerpen, macam macam deh."

Rahang Ino serasa ingin copot saking lebarnya dia menganga, mata terbebalak horror ke arah buku dan kertas yang menggunung di depannya. Bahkan tumpukan kertas itu sampai menghalangi arah pandang Ino ke Sai sehingga dia pun harus rela bergeser untuk berbicara dengan lelaki berambut hitam itu.

"Yang benar saja, Sai? Kau ingin membuatku mati muda dengan menyuruhku membaca tumpukan buku tebal yang bahkan tak akan bisa kumengerti ini?" seru Ino dengan nada dramatis dibuat-buat.

Sai masih menatapnya dengan air muka tanpa emosi-yang membuat Ino hampir sempat berpikiran bahwa sahabatnya itu punya tendesi sociopat.

"Jangan pesimis dan mengeluh dulu, nanti kau tidak bisa bisa," pemuda itu tanpa diduga menyentil kening Ino, mengabaikan suara gerutuan yang keluar dari bibir ranum itu, "Pokoknya baca saja dulu, saat kau membaca buku-buku ini dan menemui kata kata asing yang tidak kau mengerti, kau tulislah kata-kata itu di selembar kertas, lalu baru kemudian kau cari di kamus artinya."

Kening gadis jelita itu masih tampak menekuk, "Lalu setelah itu bisa hafal sendiri?"

Sai menganggukan kepala, "Biasanya kata-kata asing yang sudah kau tulis di selembar kertas itu akan membuatmu ingat dengan sendirinya. Otak akan merekamnya. Jadi ketika kau menemukan kata-kata asing itu lagi di bacaan lain, kau bakal ingat," Ia memberikan Ino sebuah senyum, menaruh rasa percaya bahwa gadis itu pasti bisa melakukannya, "aku kasih waktu tiga hari untuk menyelesaikan membaca tumpukan buku dan kertas ini bagaimana? Lalu nanti kita akan belajar ke tahap selanjutnya, seperti grammar, texts, dan lain lain?"

Ino seketika itu menganga, "TIGA HARI?" pekiknya nyaring, "Sinting,"

Sai sama sekali tak menghiraukan protesannya, "Tiga hari, deal?"

"Tapi Sai, itu—"

"Kau mau bisa bahasa inggris kan?"

"Iya tapi—"

"Tiga hari. Oke?"

"Tambahin lagi laaaah,"

"Tidak,"

"Saaaiiii~"

Kurangajar.

Bibir Ino mulai maju-maju, suara mendayu-dayu, dan Sai merasa pertahannya mulai retak. Satu demi satu.

Jangan Sai.

Jangan lagi. Kamu harus kuat—

.

"Sai~"

.

Tambah maju.

Dan bagian bawah Sai pun mulai ikut maju.

Kaki, ya. Kaki.

"Sai, please ya. Please please please~"

Apalagi kalau sudah pakai please please begini. Hancur sudah.

"Please~"

Sai menegak ludah banyak-banyak. Maka ia pun mencicit,

.

"Y-ya sudah deh, seminggu."

.
Dasar lemah, dasar payah.

Sai kan tak kuasa.


ooOoo

.

Dan akhirnya, sang gadis Yamanaka itu pun benar-benar mencoba untuk membaca buku-buku berbahasa inggris itu.

Awalnya memang karena terpaksa, tapi lama kelamaan Ino mulai merasa terbiasa dan jujur saja—dia mulai menikmatinya. Meskipun terkesan berat, nyatanya metode Sai memang sangat membantu dalam belajar vocabularies dan lebih memahami pelajaran bahasa inggris yang selalu menjadi batu penjegal baginya.

Ino tak dinaya mulai terlarut dengan bacaan serba bahasa inggrisnya. Dia bahkan menyempatkan diri membaca buku-buku dari Sai pada saat jam istirahat dan jam-jam kosong pelajaran. Usahanya tentu sangat diapresiasi oleh pemuda itu. Ino tak menyadari saja, bahwa ketika ia tengah khusyuk membaca buku, Sai sering mengamatinya dengan sorot mata hangat dan lengkungan senyum lembut.

Sejujurnya, Ino membaca buku-buku itu bukan karena suruhan Sai semata, tapi karena dorongan dari dalam dirinya sendiri. Ia juga menuruti instruksi Sai untuk menuliskan kata-kata asing yang tidak dimengertinya ke satu lembar kertas, lalu barulah ia mencarinya di kamus.

Dan kini, lembar kertas itu telah penuh dengan coretan dan tulisan tangannya. Dari sekian buku yang diberikan padanya, novel adalah yang paling berat, menurutnya. Karena di dalamnya banyak terdapat kata-kata yang kurang familiar dan sulit dipahami. Belum lagi jika memang penulis novel itu menggunakan bahasa tingkat dewa dan artistik, Ino jadi ingin membenturkan kepalanya ke dinding saja.

Namun Ino tidak akan menyerah. Ia benar-benar beniat untuk belajar bahasa inggris.

Sembari ia meningkatkan vocabularies-nya, Sai juga membantunya belajar tahap demi tahap. Grammar misalnya, lalu naik ke berbagai macam jenis kalimat, seperti kalimat aktif-pasif, lalu ke jenis-jenis texts, dan sebagainya.

Kemudian setiap akhir pulang sekolah, Sai akan selalu memberinya latihan soal yang diambil dari berbagai sumber untuk Ino kerjakan. Kadang mereka akan memilih tempat di perpustakaan, kadang di rumah Ino. Pernah juga study session itu diadakan di coffee shop—ingin ganti suasana, katanya. Yah, sekalian juga serasa nge-date—batin Ino dalam hati.

Dan perlahan demi perlahan, nilai bahasa inggrisnya pun berangsur-angsur membaik. Ino yang biasanya hanya bisa mendapat nilai maksimal 6 pun, mulai bisa meraih angka 7. Memang hasilnya tidak langsung drastis, tentu saja. Kata Sai, semua itu membutuhkan proses. Dan sebuah proses jika ditekuni pada akhirnya akan mengantarkan kesuksesan.

 

Sai akan memberinya senyum dan dua acungan jempol saat guru mereka membagi hasil ulangan dan kuis bahasa inggris. Dan setiap sahabatnya melakukan itu, bagaimana ia memandang Ino dengan sorot bangga—ia tak akan pernah bisa menahan sesuatu yang tiba-tiba serasa menggelitik perutnya. Hangat, dan seperti ada kupu-kupu yang terbang kesana-kemari di dalam sana. Tapi anehnya, rasa menggelitik itu justru terasa menyenangkan.

Ino menyukai sensasi itu.

Sangat.

Gadis itu lantas mengambil ponselnya dari saku celana saat merasakan benda persegi panjang ramping itu bergetar. Ada sebuah pesan masuk.

Ino mengetikan password dan menggeser layar.

Dari Sai.

Ino mendengus geli, kepalanya langsung tertoleh, membuat kuncir kudanya sedikit berayun.

Padahal Sai sedang duduk persis di samping mejanya. Pura pura tengah memperhatikan penjelasan Kakashi-sensei di depan kelas tang tengah menghitung kelajuan buah kelapa ketika menyentuh tanah setelah terlepas dari tangkainya selama tiga detik.

.

From: Sailuvluv

Nanti sepulang sekolah ke perpus ya. Kita latihan soal lagi.

.

To: Sailuvluv

-_- kenapa nggak bilang langsung aja sih?

.

From: Sailuvluv

Males.

.

To: Sailuvluv

Kok ada ya manusia kayak kamu.

.

From: Sailuvluv

Lagipula aku juga lagi kaya raya pulsa sih :))
.

to: Sailuluv

Fak yu :))

.


ooOoo

.

Dan disinilah mereka berdua, di sebuah meja yang berada di paling selatan perpustakaan, hampir tak terjamah siswa.

Duduk berhadap-hadapan dengan Ino yang masih tekun mengerjakan soal, sementara Sai sibuk menggoreskan pensil di atas buku sketsa dengan khidmat. Mereka seakan sedang dibelenggu oleh dunianya masing-masing sekarang.

Sai juga akan sesekali mengangkat kepala dari sketsa hitam putihnya yang masih setengah jadi, menjawab pertanyaan Ino jika dia merasa bingung dengan kata atau kalimat dari soal-soal yang tersaji di depannya.

Kini Ino sudah berhasil menyelesaikan 20 soal dari 25 soal pilihan ganda. Barulah nanti jika sudah selesai, Sai akan mengoreksinya dan memberinya nilai juga. Begitulah rutinitas yang terjadi diantara sepasang sahabat itu—setidaknya selama sebulanan ini.

Ino lantas membalik lembaran soal, dan untuk lima nomor terakhir, ada sebuah bacaan yang cukup panjang. Ia mendesah rendah dibuatnya, kemudian berusaha memfokuskan dirinya untuk membaca teks yang tertera di kertas.

.

This text is for questions 21 to 25.

There is me, who's fallen hard for his best friend who's weird in someway, but still endearing and make my heart beat go like crazy.

I told myself everyday that I can't hold out forever.I told myself that there is no reason for my fear. Fear of losing her as my bestfriend. The feelings is just too consuming to hold on forever.

I love my bestfriend from head to toes. She is really beautiful, inside and out. She is patient with me, eventhough I have difficulities to understand and express my emotions sometimes. She always by my side when I need her the most.

I love her energetic self. Her cheery voice and meloudious laugh. I love when her lips turns into pout when she is upset or wants something to go her way. I feel lost in her aquamarine eyes - more than I should be.

But my favourite of all is her smiles. It seems that everytime my bestfriend smile, the time slows down. I love how her bright eyes would crinkle when she smiles. She looks so beautiful like that.

I know and I understand, that I can't fight this feelings anymore.

.

21. What is the writer's problem based on the text above?

a. He is confused.

b. He wants to tell his bestfriend that he loves her

c. The writer doesn't undestand love

d. The writer's bestfriend doesn't feel the same way

e. The writer's bestfriend is scared.

.

Ino mengeluarkan suara 'ahhh' pelan dan melingkari jawaban pilihan B.

.

22. What's the colour of the writer's bestfriend's eyes based on the text above?

a. Green
b. Red
c. Blue
d. Violet
e. Black

Setelah memeriksa bacaan di atas, tangannya bergerak untuk melingkari pilihan jawaban C. Blue—berdasarkan dari kata aquamarine yang ditemukannya di paragraf 4.

.
23. What are the things the writer love about his bestfriend?

Terdapat lima pilihan jawaban, dan Ino menjatuhkan penanya pada jawaban E, 'The writer loves her energetic self, her voice, her laugh, her pouts, and her eyes.

.

24. What's the writer love the most about his bestfriend?

Dari lima pilihan jawaban yang tersedia, Ino tak ragu untuk langsung melingkari pilihan jawaban, C. Her smiles

.

25. Would you be my girlfriend?

.

Ino mengerutkan kening dalam-dalam ketika dia membaca soal terakhir.

Hah? Apa maksudnya?

Apa Sai ada salah ketik atau bagaimana sehingga pilihan jawabannya tidak ada? Lagipula, pertanyaannya juga aneh.

 

Dia mendongakan kepala pada Sai yang masih terlarut dalam sketsa-nya. Ia mengulurkan tangannya, menjentikan jari lentiknya di depan wajah Sai untuk merebut atensi.

Berhasil, Sai pun akhirnya mendongak. Kepala dimiringkan,

"Apa?"

"Coba kau lihat soal nomer 25,"

Ino menggidikan dagu, sekaligus menyodorkan lembar soalnya pada Sai agar sahabatnya itu bisa membacanya juga.

Untuk beberapa saat Sai menggerakan obsidiannya di bacaan nomer dua puluh lima, memperhatikannya dengan seksama. Kertas diturunkan dari pandangan, dan alis hitamnya lantas terangkat, "Apa masalahnya?"

Ino mengerutkan dahi. Bagaimana bisa dia tidak menemukan keganjilan di soal yang dibuatnya? Dia baca sungguh-sungguh tidak sih?

"Soalnya nggak nyambung, nggak esuai konteks," keluhnya, "Aku bingung pertanyaan terakhir ini harus diapakan."

Sai hanya menjawab santai, "Tentu saja harus dijawab,"

"Tapi—"

"Kau hanya tinggal menjawabnya—"

Kalimat Sai yang terputus membuat Ino berangsur mengangkat kepala, menahan nafas saat menyadari Sai yang tanpa aba-aba datang mendekat.

Wajah mereka berada dalam proksimitas dekat—terlalu dekat.

Sampai bahkan Ino bisa melihat pantulan dirinya di netra hitam itu. Layaknya sebuah cermin dengan refleksinya. Netranya yang hitam bagai sebuah danau gelap, tiada ujung, yang mempersuasi Ino untuk menyelaminya hingga ke dasar.

"Kan pertanyaanya jelas," kata Sai,

.

"...Would you be my girlfriend?"

.

Pertanyaan nomor dua puluh lima itu diutarakan tepat di hadapannya, dengan suaranya yang berat dan pandangan serius. Bola mata hitamnya memaku, menatap lurus-lurus. Saat itu, Ino bisa melihat gelombang emosi menyapu di kedalaman sepasang mata kehitaman milik Sai.

Would you be my girlfriend?

Kata-kata itu tersampaikan dengan penuh kesungguhan. Diutarakan dengan menatap lekat-lekat ke arahnya. Seolah memang ditunjukan untuknya.

.

Ditunjukan untuknya—

.

Bola mata Ino membulat.

Realisasi perlahan menghampiri, dan seolah semua yang ada disekitar mereka melebur tanpa arti.

Jantung seolah ingin meledak dengan cepatnya organ itu menggedor di balik tulang rusuknya. Semakin menggila saat Sai mendekat lagi, berbisik untuk meminta reaksi,

.

"...Jadi jawabanmu?"

.

Ino masih belum mampu merespon. Ia hanya bisa mengedip dalam kebisuan. Mau bicara pun rasanya susah karena nafasnya seolah tertahan di tenggorokan.

"Ino?"

Ia masih berusaha memproses apa yang terjadi. Apakah ini sungguhan realita atau hanya sekedar ilusi.

Teks di nomer dua puluh lima sekali lagi berputar-putar di otaknya tak terkendali. Ia baru sadar Sai tengah mendeskripsikan dirinya-mengungkapkan apa yang ia rasakan untuknya. Itu artinya...

"...Ino?"

Sai memanggil sekali lagi—yang akhirnya berhasil membawa Ino keluar dari fantasi. Kelopak matanya mengedip-ngedip, bersirobok dengan Sai yang mulai tampak cemas akan sikap diamnya yang tak kunjung henti.

"Eum..." Ino menggigit bibirnya. Mulutnya terkatup lalu terbuka. Begitu seterusnya.

Dengan tangan sedikit gemetar dia lantas meraih bolpoin yang masih ada di genggaman-menuliskan sesuatu disana.

Ia membanting bolpoin-nya ke meja, yang membuat Sai jadi sedikit terkejut karenanya. Sai hanya bisa bengong menatap Ino yang tiba-tiba mulai bergegas membereskan barang bawaannya dan berdiri dari kursinya,

"Aku sudah selesai! Aku duluan ya—"

"Lah, loh Ino-"

"Duh, aku lupa ngangkat jemuran nih. Keburu hujan hehe. Aku duluan ya, Sai. Jaa ne—"

"I-ino tunggu dulu—"

Tak menghiraukan Sai, Ino bangkit berdiri dan menyambar tas, berlari secepat kilat dari perpustakaan. Bahkan sampai menjatuhkan kursinya hingga menimbulkan suara debam keras. Untung saja perpustakaan cukup sepi saat itu.

Sai yang masih kaget hanya terduduk di tempatnya, masih berusaha mencerna apa yang terjadi barusan.

Detik demi detik berlalu, dan air mukanya perlahan demi perlahan mulai berubah mendung, seiring kenyataan datang menyapa.

Kalau melihat reaksi Ino yang kabur begitu—apakah itu artinya dia ditolak?

Sahabatnya itu jelas kabur, yang pertama dia berlari terbirit seperti dikejar maling begitu. Lalu kedua, mana mungkin hujan kalau saat ini Konoha sedang menyambut musim panas dan matahari sedang bersinar terik-teriknya?

Senyum kecut pun hadir di bibir.

Seharusnya ia tidak punya ide nembak cewek seperti itu. Mungkin seharusnya ia menuruti saja saran di buku romansa yang ia punya. Nembak Ino di restoran mewah, taman, dan sebagainya. Atau meneriakan perasaanya saat upacara kelulusan—seperti saran dari Naruto dan Kiba.

Kenapa pula dia sok ide begini?

Sai menghela nafas panjang, merasakan hatinya mulai memberat. Jadi begini ya rasanya patah hati?

Dengan perasaan kacau, ia menarik kertas Ino, matanya menangkap sebuah tulisan tepat di bawah soal nomor 25.

.

Wajahnya yang kusut sedetik kemudian merekah sempurna, tatkala ia membaca apa yang tertulis disana.

.

.

25. Would you be my girlfriend?

Yes, I would.

.

.

Memang tidak sia-sia Sai rela begadang buat soal.

.


fin


A/N: ini jelas ooc kan ya hehe. Terima kasih sudah membaca :D