
Disclaimer: all the characters belong to Masashi Kishimoto
Warning: AU. Possible OOC. Typos. Bahasa campur. Banyak capslock. Implikasi sexual jokes.
Charas: Ino Yamanaka, Sai, Sakura Haruno
.
.
Nyangkut?
.
Ino Yamanaka bersenandung merdu di bawah nafasnya.
Kini ia tengah merapikan tumpukan kertas yang berserakan sembarangan di meja. Kedua tangan lentiknya memilah-milah, memasukan printilan kecil ke dalam kotak sesuai perspektifnya dan menata lembaran lembaran itu menjadi satu tumpukan rapi. Tak lupa, ia juga membersihkan permukaannya dari debu lalu mengelapnya dengan kain.
Ngomong-ngomong, Ino ada di apartemen Sai sekarang, meski sang empunya sebenarnya sedang tidak ada di tempat.
Sepertinya Sai masih di kantor karena harus overtime untuk menyelesaikan tugas dan meeting-nya sebagai arsitek. Kalau tidak salah ingat, Sai pernah memberi tahunya di sela salah satu kencan mereka, kalau ia dan biro tempatnya bekerja sedang terlibat proyek besar karena menang tender.
Dan karena kesibukan yang terlampau padat itulah, Ino merasa berkewajiban untuk datang kemari. Tidak ada yang menyuruh, memang. Ini murni keinginan Ino sendiri.
Sai itu terbiasa merasa bisa melakukan apa-apa seorang diri. Dia cenderung independen dan tidak suka merepotkan orang lain, bahkan pada Ino, yang notabene adalah pacarnya selama 5 tahunan ini.
Sai sebenarnya orang yang cenderung terorganisir. Namun jika sudah dibuat sibuk begini, Sai kadang bisa lupa mengurus diri, terutama lupa makan—ini yang paling Ino tidak sukai. Kalau sudah hectic dengan pekerjaan, Sai jadi cenderung agak abai dengan kebutuhan personal maupun tempat tinggalnya.
Dari hal-hal kecil seperti lupa mencuci piring, lantai yang tidak dibersihkan berhari-hari, sampai tumpukan pakaian yang tersampir sembarangan di beberapa tempat. Ia bisa saja minta tolong Ino sebenarnya—pekerjaan Ino sebagai dokter memang membuatnya cukup sibuk, namun ia bisa meluangkan waktu. Tetapi seperti yang dikatakan Ino tadi, kekasihnya itu tidak suka merepotkan orang lain. Padahal Ino tak pernah merasa kerepotan sama sekali.
Selagi Sai terlampau sibuk, Ino ingin berusaha meringankan bebannya. Ino tidak ingin Sai jadi overwork dan jatuh sakit seperti yang dulu kala. Toh mumpung Ino sedang free juga.
.
Lagipula, bukankah ini sudah menjadi tugasnya sebagai calon istri yang baik, huh?
.
…Baiklah.
Mungkin bukan calon istri karena...
.
...Sai belum melamarnya sampai detik ini, sial!
.
Tangannya baru saja meraih jas Armani Sai yang tersampir sembarangan di sandaran kursi hidrolik-nya—niatnya ingin Ino masukan ke mesin cuci. Namun ketika ia mengangkatnya, sesuatu yang padat tiba-tiba membentur lantai hingga menimbulkan suara 'buk' pelan, menggelinding dan berhenti tepat di depan mata kakinya.
Ino mengernyitkan dahi, secara otomatis berjongkok untuk kemudian menjumputnya dari lantai.
.
Itu adalah sebuah kotak.
.
Berbahan beludru.
Kecil dan warnanya serupa batu pirus.
Persis seperti warna sepasang iris mata Ino yang berwarna biru turqoise.
Iris mata yang kebetulan juga tengah memperhatikan benda itu dengan seksama.
Ino bisa membaca sederet aksara bertuliskan—"Tiffany & Co", terbordir cantik di permukaan kotaknya.
.
Sedetik, dua detik, lalu tiga detik—Ino masih terbengong memandangi kotak beludru itu di telapak tangannya.
.
Empat detik, lima detik, enam detik—barulah realisasi itu menghantam.
.
Iris Ino pun spontan membuka lebar-lebar saat ia akhirnya menyadari apa yang ada di depannya kini. OH MY GOD—ini kan Tiffany & Co. Blue Box!
Holy shieeeet!
Ino jelas tahu betul!
Tiffany & Co adalah perusahaan ternama dari Amerika Serikat yang menjual perhiasan mewah. Ino tentu familiar dengan brand ini. Dia selalu mengagumi desain jewelry mereka yang modis dan elegan. Prestise, terutama.
Cincin dari Tiffany&Co tentu menjadi impiannya untuk bisa tersemat di jari.
Benar benar magnifiken. Bahkan kotaknya saja juga punya historinya sendiri. Kotak ini adalah kotak legendaris ciptaan Charles Lewis Tiffany pada tahun 1800 an. Kotak yang dipakai untuk menaruh cincin yang digunakan para royals untuk melamar sang pujaan hati— Oh. Freaking hell.
.
Berarti itu artinya, Sai mau...
.
Ino langsung menjerit.
Histeris.
.
Si pirang seketika bangkit berdiri, nyaris ingin meloncat kegirangan. Sejenak mengabaikan pekerjaan rumah yang dilakoninya. Ia buru-buru mencari keberadaan ponselnya. Saking antusiasnya, dia sempat lupa dimana ia meletakannya—namun matanya sigap menangkap siluet benda elektronik dengan case bunga itu di bed side table ranjang milik sang kekasih.
Langkahnya cepat, nyaris terbirit saking senangnya. Kotak beludru di genggaman terasa berat seiring ia melangkah mendekat ke tempat ponselnya berada. Pun dengan desir-desir menyenangkan yang menyertainya.
Hanya satu orang yang terpikirkan oleh Ino untuk harus segera dihubungi dan membagi kabar membahagiakan ini, sehingga lalu mereka bisa sama-sama berselebrasi.
Ino menekan password dengan cekatan, kemudian jarinya yang lentik diarahkan ke salah satu aplikasi chatting yang ia punya. Setelah menemukan kontak yang ia cari, ia menekan tombol panggilan via video call.
Tangannya bergerak untuk membenahi posisi ponselnya, sengaja membuatnya berdiri dengan menyandarkannya di depan sebuah figura foto yang diletakan Sai di nakas samping ranjang. Omong-omong, itu adalah foto mereka berdua di kencan yang pertama. Kala Ino mengajaknya pergi ke pasar malam dan mencoba berbagi atraksi seru di sana. Mereka menyempatkan diri mampir ke salah satu photo booth, berpose lucu ini itu—sebenarnya hanya Ino sih, Sai hanya akan mengulas senyum konstan—dengan kepala terhiasi oleh bando telinga binatang yang sedang tren saat itu. Ino menggunakan headband telinga babi, sementara Sai memilih telinga badak.
Merasa posisi ponselnya sudah benar, Ino berlutut tepat di hadapan. Tak lupa ia juga mengubahnya ke mode loudspeaker sehingga suara si penerima panggilan di sana bisa terdengar jelas.
Detik demi detik berlalu, Ino hampir saja ingin berteriak saking tak sabarnya ia menunggu. Hingga akhirnya, sambungan via video call itu pun terangkat. Seseorang di seberang menyapa dengan nada malas-malasan, "Yo, Ino-pig. Aku kan sudah bilang aku tidak terlalu suka video call—"
"SAKURAAAAAAAAAAAAAAAA!"
Orang yang ada di ujung panggilan—Sakura—yang sejatinya baru saja bangun dari tidur siang cantiknya—dibuat kaget. Tubuhnya sedikit berjingit di depan layar, merelakan pendengarannya teraniyaya oleh teriakan seriosa Ino yang sama sekali tak diantisipasinya. Pekikan Ino barusan laksana ultrasonik yang menggema.
Sakura berkedip beberapa kali, berusaha memfokuskan pandangan pada Ino yang berlutut di depan layar, dengan tangan yang mengenggam sesuatu, entah apa. Sakura tidak bisa terlalu jelas menangkapnya.
Namun yang pasti, ia bisa melihat dengan jelas raut muka sahabat cantiknya itu tampak berseri-seri. Senyum lebar menghiasi bibir ranumnya, dan semburat kemerahan natural membersit di kedua tulang pipinya. Sakura jadi penasaran ada apa gerangan.
"Pig? Hei, kau baik-baik saja?" tanya sang sahabat.
Bukannya menjawab, Ino malah menjerit.
Lagi.
Sakura jadi kesal sendiri, "INO! SUARAMU ITU LHO!" omelnya, "Apa yang terjadi sebenarnya sih? Kau ini tiba-tiba menelfonku dan malah teriak-teriak begitu!"
"SAKURAAA!" seru Ino sekali lagi pada sahabatnya di ujung sambungan, mengabaikan pertanyaannya, "Coba tebak apa yang aku temukan di kantong jas Sai!"
Sakura pun mencoba menebak-nebak, kepalanya dimiringkan, "Uang kembalian Sai?"
"Bukan!"
"Kartu kredit Sai?"
"Bukan!"
"Dompet Sai?"
"Bukan! Kali ini bukan soal uangnya Sai! Please deh!"
"Eum..." Sakura mengernyit, suaranya meragu, "...Kondom?"
"Yaelah, Sakura! Kendalikan pikiran cabulmu!" Ino menjerit untuk yang kesekian kalinya hari itu.
Mendengar respon Ino membuat Sakura memutar bola mata jade-nya yang cemerlang, "Ya sudah kalau begitu apa dong?! Segera beritahu aku ada apa atau aku matikan video call-nya!" ancam sang lawan bicara.
Ino mencebik sebagai tanggapan, "Ih, kau ini tidak seru," sepersekian detik kemudian wajahnya yang berseri nampak lagi ke permukaan, dan dia pun berteriak lagi,
"Aku menemukan kotak Tiffany & Co di kantung jas-nya Sai!"
"Tiffany & Co?" Beo Sakura di seberang layar. Nadanya terdengar terheran-heran,
Ino menggeram gemas, kemudian mengangkat satu tangannya yang mengenggam kotak beludru berwarna turqoise itu. Sengaja menggoyang-goyangkanya di depan layar,
"Tiffany & Co, Sakuraaaaaaa!" serunya penuh emphasis.
"Tiffany & Co? Hmmmmm. Tiffany& Co..." gumamnya, lamat-lamat.
Butuh beberapa detik bagi Sakura untuk mencerna, berusaha mengingat-ngingat nama brand itu. Hingga kemudian bola matanya melebar seperti Ino beberapa saat yang lalu. Dan dia pun berganti memekik nyaring—
.
"OH MY GOD, INO! TIFFANY & CO! OH MY GOD. JADI SAI AKAN MELAMARMUUUUUU?"
.
Dan pada akhirnya kedua wanita cantik yang mengaku frenemies itu sama-sama terlibat dalam kontes seriosa dadakan. Menjerit heboh dan sibuk berfangirling karena—Holy shit! Salah satu dari mereka akhirnya akan naik ke pelaminan!
.
"YA AMPUN, PIG. YA AMPUN! AKHIRNYA SAI BAKA PEKA JUGA!" Ino bisa melihat Sakura jadi heboh sendiri, berdiri berjingkrak dan bertepuk tangan bahagia, "SELAMAT YA, INO SAYANG! PASTIKAN AKU JADI BRIDESMAID-MU OKAY? AKU TIDAK MAU TAHU!"
Ino mengangguk saja, sedangkan matanya berkaca-kaca menatap kotak beludru yang masih ia genggam erat-erat di tangan, "Terima kasih, Forehead!" ucapnya tulus.
Sakura berpindah tempat, menjadi makin mendekat ke arah layar. Sorot matanya berapi-api, "Ayo kita lihat cincinnya!" ajaknya penuh semangat.
Bola mata gadis berambut pirang itu melebar seketika, menatap tak percaya ke arah Sakura, "Apa kau bercanda?! Itu akan mengacaukan surprise yang pasti sudah disiapkan Sai ketika ia melamarku nanti, tahu!"
Dari tempatnya sekarang, Ino bisa menangkap Sakura yang tengah memutar mata, "Apa bedanya? Ketika dia melamarmu nanti kau juga tidak akan terkejut karena kau sudah tahu," ia beragumen.
Benar juga sih. Tapi kan...
Bibir bawahnya ia gigiti kecil, menimang-nimang. Kedua matanya bergeser ke lantai dan kotak di telapak tangannya secara bergantian. Menarik nafas dalam dan akhirnya memantapkan hati, Ino pun mengangguk. Ia memutuskan untuk mengintip model cincin yang akan melingkari jari manisnya kelak.
Jantungnya secara otomotis mulai berakselerasi. Berdegup cepat tak mau henti. Jarinya yang memegangi kotak sakral itu mulai gemetar. Perasaannya campur aduk tak tergambarkan.
Menggigit bibir penuh antisipasi, Ino pun memberanikan diri membukanya—
.
—untuk menemukan sebuah benda berbentuk bulat tersemat disana.
.
Benar saja.
Di dalamnya memang tersemat sebuah cincin.
.
Tangannya makin gemetar tatkala ia menyentuh permukaan cincin itu, membelainya lebih dulu. Sampai akhirnya ia biarkan tangannya mencabut benda itu dari bantalan berwarna hitam yang mengapitnya.
Dua mata Ino membulat, dan mulai berair saking terharunya.
Cincinnya cantik.
Cantik sekali.
Cincin itu white gold, berwarna perak mengkilat dengan sebuah batu permata di tengah, berbentuk segitiga serupa diamond. Dipercantik dengan permata kecil-kecil berwarna putih yang mengelilingnya. Tulisan kecil Tiffany&Co sebagai trademark menghiasi bagian dalam cincin.
Batu permata yang menjadi pusat dari cincin itu terbuat dari batu pirus turqoise. Sewarna dengan kotak tempatnya bernaung.
Sewarna pula dengan kedua netra milik Ino Yamanaka.
Ino tahu dan yakin—lebih ke pede sih—seratus persen alasan Sai menjatuhkan pilihannya ke cincin ini karena permatanya punya warna yang sama dengan iris mata Ino.
Aww. So sweet sekali Sai ini!
Sai selalu bilang kalau ia menyukai mata Ino yang punya warna unik, terletak pada rona bayang-bayang warna hijau dan biru yang tampak hampir menyatu.
Ino akui, kekasihnya itu meskipun kaku, minim ekspresi, dan vulgar, nyatanya diam-diam memang punya bakat untuk jadi romantis juga. Ino memang tidak salah menjatuhkan hati.
Yah, walau romantisnya itu terkadang ia harus dapatkan dari petunjuk manual di buku sih. Tapi kan, ya namanya usaha.
"Inooo!" Panggil Sakura dengan lantang dari ujung sana, seketika menggugah Ino yang dari awangnya yang tengah memandang takjub detail demi detail cincinnya. Suara Sakura berhasil menyeretnya kembali ke dunia nyata. Ino mendongak, dan Sakura pun terbahak,
"Hei, kau jangan menangis dulu dong!" godanya.
"T-tidak kok! Aku tidak secengeng itu!" Sang gadis Yamanaka itu berkilah.
Sebenarnya agak bohong juga sih, karena dia bisa merasakan air mata mulai menganak sungai di pelupuk mata. Habisnya mau bagaimana lagi, ia kan terharu.
"Ya ya, terserah," Gadis musim semi itu mengibaskan tangannya, tak acuh. Ekspresi wajahnya sedetik kemudian berganti, dipenuhi oleh antusiasme berlebih, "Ino, ayo pakai cincinnya! Kita lihat seberapa menakjubkannya cincin itu di jarimu!"
Ino memprotes, "Tapi nanti Sai—"
Sakura mendecak, "Kan sudah kubilang, tidak ada bedanya kan? Kau sudah terlanjur tahu, kenapa tidak sekalian saja?"
Ino masih dibuat bimbang, meskipun sejujurnya ia ingin. "Tapi—"
"Ayolah~ apa kau tidak penasaran?"
"Tapi..." dara cantik itu beralih menggigiti bibirnya, "Bagaimana kalau ternyata cincin ini bukan untukku?"
Sakura menghela nafas, jengah, "Ya berarti Sai selingkuh!"
Ino membulatkan mata, lalu buru-buru menggeleng, nadanya meninggi satu oktaf, "Sai tidak mungkin selingkuh!"
"Ya berarti cincin itu punyamu!"
Ino menggigit bibirnya lagi, menimang-nimang. Sembari ia memutar-mutar cincin itu di telapak tangannya. Ia bisa merasakan dirinya mulai terlena dengan bujukan Sakura. Dan jujur saja, ia juga ingin sekali mencoba cincin itu karena—ya Tuhan. Cincin ini pasti akan terlihat indah sekali di jarinya. Dijamin deh.
Menuruti instingnya, ditambah dengan mendapatkan reinforcement dari sang sahabat, Ino pun memutuskan untuk lantas menyelipkan cincin itu ke jari manisnya.
Gadis bersurai pirang panjang itu dibuat mengernyit sedikit ketika ia merasakan cincin itu memeluk jarinya teralu erat—sesak, memang. Namun karena dasarnya dia punya tenaga kuda dan nafsu yang terlanjur menggebu, akhirnya Ino berhasil menyelipkan cincin itu ke jari manisnya dengan sukses setelah melewati perjuangan ekstra.
Sakura yang memperhatikan dari balik layar pun dibuat penasaran, "Ino, perlihatkan padaku seberapa indahnya cincin itu di tanganmu!" pintanya tak sabaran.
Bola mata Ino yang serupa dengan batu cincinnya itu kembali berkaca-kaca memandangi tangannya, terkagum-kagum, "Indah sekali di jariku, Forehead," ucapnya dengan sedikit sesenggukan, terharu. Ia lantas mengangkatnya, memperlihatkan punggung tangannya yang jari manisnya telah terlingkari oleh cincin pada Sakura.
"Ahhh, cantik sekaliiii!" pekik Sakura girang. Namun tak berselang lama alisnya mendadak terangkat naik tatkala ia berhasil mengamatinya lebih baik, "Eh, tapi kok kayaknya kekecilan ya di jarimu?"
"Sedikit sih," Well, memang sebenarnya kekecilan sih. Ia bisa merasakan cincin itu terlalu erat memeluk jarinya. Namun Ino terpaksa setengah berbohong. Karena kalau dia bilang memang kekecilan—si Jidat pasti akan mengejek dia gendutan. Enak saja.
Kalau kekecilan ya tinggal diresize saja nanti. Bukan masalah besar.
"Hah, ya sudah deh," Sakura terkekeh, "Selamat sekali lagi ya, piggy! Kalau aku ada disana aku ingin sekali memelukmu saat ini!" Gadis itu bisa melihat sahabat sekaligus rekan sesama residen-nya itu tersenyum untuknya.
Senyuman itu begitu tulus hingga Ino tak kuasa untuk tak membalasnya, "Terima kasih Sakura. Aku berjanji akan menjadikanmu bridesmaid-ku kelak,"
"Kalau itu sih harus," kelakar Sakura, yang membuat kedua gadis itu lantas mendendangkan tawa.
"Oh iya lebih baik aku kembalikan segera cincin ini ke kotaknya sebelum Sai pulang. Bisa gawat kalau ketahuan," ujar Ino, yang disetujui oleh Sakura di seberang.
Ia meletakan wadah beludru itu di meja, kemudian menggunakan tangan kirinya yang telah bebas untuk mencabut cincin dari jari manisnya.
Yeah, setidaknya dia berusaha. Dengan beberapa kali percobaan.
.
Sampai kemudian Ino mulai menyadari…
Cincinnya—
.
Nyangkut.
.
Kedua mata turqoise Ino membulat.
Ngeri.
.
"Shit!" Ino mengumpat, yang membuat Sakura spontan berjingit.
"Ada apa, pig?"
"Cincinnya nyangkut, Sakura! Nyangkut!" Ino menjerit, panik luar biasa.
Sementara Ino masih berusaha keras mengurut, menarik, menggigit, menggoyang-goyangkan tangannya berharap agar cincin itu melayang begitu saja atau entahlah—untuk sekarang dia tidak peduli. Dia hanya ingin benda ini lepas dan dia terbebas dari masalah besar. "Aduh, Sakuraaaa! Bagaimana ini?! Kalau Sai pulang bagaimana?"
"Bagaimana bisa nyangkut sih? Katamu cuman agak kekecilan?"
Ino mendesis di bawah nafasnya, antara jengkel dan malu ketahuan, "Y-ya mana kutahu! Tiba-tiba tidak bisa dilepas begini! Tadi tidak apa-apa kok!"
Sakura mencibir, "Dasar pig. Jarimu pasti membesar karena kebanyakan dosa,"
"SAKURA!"
"Oke oke. Sori. Mari kita berpikir jernih," ujar Sakura, berusaha menetralkan suaranya agar sahabatnya diseberang lebih tenang dan tidak histeris, "Sekarang coba kau gosok-gosok tanganmu dengan sabun. Siapa tahu nanti lepas?"
"Ah iya, pakai sabun!" Ino berjalan ke kamar mandi yang ada di kamar Sai, keluar dari layar tangkap ponselnya dan meninggalkan Sakura di sambungan video call. Ia masih menyalakan loudspeaker, lagipula.
Dara bersurai pirang itu memutar keran sembari memencet sabun cair yang terletak di pinggirnya. Ino lantas berseru, suaranya sengaja dikeraskan agar Sakura bisa mendengar dengan jelas. "Kau pintar juga. Syukurlah ternyata jidat lebarmu itu ada isinya juga ya, Forehead!"
"Sialan kau. GELUT LAH KITA!"
Ino terbahak puas. Bahkan di saat-saat kritis seperti ini mereka masih bisa bercanda. Sudah jadi hal yang biasa bagi Ino dan Sakura untuk saling melempar ejekan dan sarkas. Tidak ada yang merasa tersinggung karena yeah, mereka sama-sama tahu kalau ini semua hanya canda dan omong kosong belaka.
Anyway, kembali ke permasalahan utama.
Gadis Yamanaka itu kini tengah berkonsentrasi untuk menggosok tangannya dengan sabun dan mengurutnya agar cincin yang memeluk jarinya dengan rapat-rapat itu segera telepas. Kedua alisnya makin menyatu, merengut frustasi saat cincin itu tak kunjung lepas meski ia telah berusaha untuk menggosok-gosoknya. Damn!
Sai beli cincin macam apa sih ini?
Apa karena cincinnya mahal ya makannya susah lepas?
Sial. Lagipula Sai kenapa bisa salah ukuran begini sih? Jari siapa yang dia jadikan acuan ukuran, coba?
"Forehead, masih tidak mau lepas!" erang Ino frustasi, diiringi oleh gerakan tangannya yang makin agitasi dan membuat kulitnya mulai memerah.
"Bagaimana bisa?!"
"Aku juga tidak tahu! Aduh, bagaimana kalau tiba-tiba Sai pulang—"
.
Sedetik setelah kalimat itu terlontar dari bibir merah delimanya, Ino Yamanaka dibuat membeku.
.
Ia bisa merasakan seluruh anggota tubuhnya tiba-tiba mengkaku, kala ia menangkap suara deru mobil yang terparkir di pekarangan, diikuti oleh suara pintu mobil yang terbuka. Ino buru- buru melongokan kepalanya ke arah jendela yang ada di kamar mandi. Aliran darahnya serasa mendingin ketika sosok familiar sang terkasih tampak di pelupuk mata, mengunci mobil dan lantas berjalan menuju pintu dengan satu tangan menenteng tas kerja dan gulungan kertas.
Mampus lah dia.
Layaknya mantra, kalimatnya malah jadi kenyataan.
Sai benar-benar pulang!
.
"-ja. Oi PIG! Dengar tidak?"
Kedua tangannya mulai gemetar ketakutan dan berkeringat dingin. "Matilah aku. Sai benar-benar pulang!" ia berteriak.
Sakura mulai ikut panik, "APA?"
Lengkingan nyaring Sakura lantas diikuti oleh suara pintu yang berkeriet dibuka, dan suara lembut yang mengalun memenuhi ruang udara. Sepertinya Sai sudah mencapai ruang tamu.
.
"Ino? Kau disini?"
…double mampus.
.
"Gawat Sakura! Sai sudah di ruang tamu! Dia pasti akan ke sini sebentar lagi!" Ino mendesis. Ia makin cemas. Gerakan gosokan tangannya semakin menjadi-jadi dan berubah penuh urgensi.
Sedangkan Sakura masih punya hati untuk tertawa di sisi sambungan.
Kurangajar, memang.
"Oke, Sai punya lotion atau apa begitu tidak?"
"Lotion?"
"Yah atau gel apa, begitu? Gel cukur?"
Ino mengerlingkan matanya kesana kemari, berusaha mencari tube atau tempat berisi gel atau krim milik kekasihnya, "Kok aku tidak nemu ya?
"Yaelah pig, cari yang benar! Masa' Sai tidak punya gel cukur? Memangnya dia tidak pernah cukuran apa?"
"Kayaknya sih jarang—"
"Dia jarang cukuran? Bahkan di area yang itu? Wah lebat kayak hutan dong! Kau tidak takut apa?" selorohnya sambil terbahak.
"SAKURA! Jangan membicarakan hal hal memalukan seperti itu!" Ino bisa merasakan wajahnya berangsur memanas, tak percaya bisa-bisanya Sakura malah mengomentari hal privasi seperti itu. Masih sembari mencari shaving cream di kamar mandi Sai, ia lalu menambahkan dengan gumaman rendah,
"..Tapi tidak kok. Tidak lebat. Aku tahu soalnya,"
"…"
"…"
"…Oh, oke. Thanks untuk informasinya yang sangat penting itu, pig,"
Menangkap nada sarkastis Sakura, Ino menghardik, "Kau sendiri yang menanyakan soal itu!"
.
"Ino?"
.
Ia mendengar Sai memanggilnya sekali lagi dan suara langkah kaki yang mendekat makin membuatnya serasa ingin kabur saja.
"SAKURA! Bagaimana iniiiii?!"
"ADUH! BAGAIMANA YA?" Sekarang Sakura pun ikut jadi panik, "Coba pakai minyak deh atau apapun oke? Aku harus mengangkat jemuran dulu! Keburu hujan! Good luck, babe!"
Tut tut tut.
.
Forehead sialan.
Sambungan video call mereka dimatikan secara sepihak.
Kampret.
Lalu apa katanya tadi? Ngangkat jemuran? Bullshit.
Ia akan buat perhitungan dengan Sakura nanti setelah cincin sial ini terhempas—
.
"Ino?"
.
Suara bagai dawai surgawi yang familiar itu pun langsung menyambut indra pendengarannya. Tanpa perlu beranjak dari tempat, Ino tahu Sai sudah berdiri di ambang pintu kamarnya sekarang. Suara itu terdengar sangat dekat.
Batal kawin kau, Ino...
Ino memejamkan mata dan menghembuskan nafas dalam-dalam. Ia mematikan keran washtafel dan keluar dari kamar mandi untuk menyambut kedatangan Sai. Sebisa mungkin memasang senyum termanisnya dan menyembunyikan tangannya yang masih tersangkut cincin ke dalam saku celana jeans-nya.
"O-oh hai, babe. Sejak kapan kau pulang?" Ino menyapa dengan nada yang dibuat ceria, dilengkapi dengan tawa sumbang yang dipaksakan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu kamar mandi, satu tangan masuk ke kantung celana—berusaha menampilkan gaya sekasual mungkin.
"Daritadi sih. Kau tidak mendengar aku?" Sai mengangkat alis. Lelaki tampan itu lantas menolehkan kepala kesana kemari, obsidian-nya menelisik.
Ino yang mengerti apa arti tatapan Sai yang bergulir kesaba kemari pun menjelaskan, "Yah, aku tadi bersih bersih sedikit. Kebetulan aku sedang tidak ada schedule hari ini," bahunya terangkat, acuh tak acuh. Berusaha memberikan impresi bahwa tak ada yang abnormal disini.
Sai hanya mengangguk, senyum teduh yang jarang diperlihatkannya pada orang asing itu akhirnya muncul ke permukaan. Senyum untuk gadisnya seorang. "Terima kasih banyak ya,"
Ino mendengus, setengah geli. "Senang ya rumahmu sudah kubersihkan secara gratis?"
"Tentu saja, aku kan jadi lebih hemat karena tidak perlu repot-repot memanggil layanan cleaning service," Sai menjawab dengan jujur, terkekeh singkat saat ia menangkap ekspresi merengut kekasihnya yang masih anteng berdiri.
Sikap Ino agak aneh. Sebenarnya ia cukup heran kenapa kekasihnya itu tidak menyambut kepulangannya dan hanya berdiri di depan kamar mandi begitu. Biasanya gadis itu selalu menerjangnya duluan untuk meminta cium atau pelukan setiap ia pulang. Tumben sekali.
Sai mengangkat bahu, memutuskan tak memikirkannya lebih jauh. Ia lalu berjalan ke depan dispenser yang ada di sebelah meja kerjanya, mengambil air dingin untuk mereduksi rasa hausnya.
Sementara Sai sibuk dengan air minumnya di seberang ruang, Ino tak patah arang. Ia mengambil kesempatan untuk diam-diam melepas cincin dari balik fabrik celana jeans-nya. Ia berusaha menekannya dengan jarinya yang lain sekuat tenaga—yang sialnya, masih tidak mau lepas juga! Asdfghjkl—
Terlalu sibuk dengan kegiatannya, Ino sampai tidak menyadari lelaki pucat itu masih memperhatikan tingkah anehnya sedari tadi.
"Kau kenapa, Ino?"
Gadis bersurai platinum itu gelagapan, namun buru-buru dia menata ekspresinya menjadi setenang mungkin. Tubuhnya ditegakan dan ia pun terpaksa menghentikan gerakan agitasi tangannya yang ada di balik kantung celana,
"Ah aku?" tanyanya dengan lagak inonsen, "Aku baik-baik saja kok,"
Sepertinya usahanya untuk mengelabui Sai berhasil, meski tadi pria itu sempat memandangi Ino dengan sanksi selama beberapa saat. Sai tak mendesaknya lebih jauh.
Sai justru berjalan mendekat, meletakan gelasnya di nakas dan mendudukan dirinya di pinggiran ranjang. Ia meletakan jas yang sedari tadi ia tenteng itu di samping tubuhnya. Satu tangannya terangkat untuk kemudian mengendurkan dasinya dari leher, berlanjut dengan melepas dua kancing teratas kemejanya.
Ino menghela nafas lega.
Ingin mengalihkan perhatian kekasihnya barang sejenak, ia mencoba membuka percakapan.
Sayangnya, topik pembicarannya dengan Sakura tadi yang justru terlintas di kepala.
"Sai, kamu tidak punya selingkuhan kan?"
Sai yang baru saja kembali menegak airnya pun otomatis tersedak. Ia terbatuk-batuk kecil setelahnya.
"A-apa?"
"Kau…" Ino menyipitkan matanya yang cantik dan setajam belati, "Kau... tidak main mata di belakangku kan?"
Pemuda berambut eboni di seberang hanya berkedip menatap kekasihnya yang merapat di depan pintu kamar mandinya yang terbuka. Mulut Sai sedikit menganga, jelas terkejut, "Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"
'Dia bahkan tidak menyangkalnya.' Ino menggigit bibir gemas. 'Jangan-jangan cincin yang nyangkut di jarinya ini juga bukan untuknya...'
HAH. Miris sekali.
Pantas saja cincinnya tidak muat. Pasti karena diameter cincinnya didasarkan pada ukuran jari gadis lain.
Terlebih lagi, akhir-akhir ini Sai lebih sering pulang malam.
Mau tidak mau dia kan jadi curiga.
'Kenapa dia beli cincin tapi tidak segera melamarku.
Atau mungkin karena cincin ini yang nyangkut di jarinya ini benar-benar bukan untukku'
Ino meringis dalam hati, namun berusaha ia tutupi setengah mati. Matanya masih menatap curiga, maka dia pun kembali mengintogerasi, "Bagaimana dengan kantor?"
"Kantor baik," Sai menjawab ragu, kini kaget akan perubahan topik yang tiba-tiba.
"Kau sungguh sungguh tidak selingkuh dengan sekretaris barumu itu kan?"
Sai berkedip sekali lagi, "Sori?"
Alis Ino bertaut, menukik tajam, "Sekretaris barumu itu. Yang bohay dan seksi kayak gitar spanyol."
Sai menggeleng linglung, "Aku berani bersumpah aku tidak selingkuh dengan Shiho, Ino," Ucap Sai, menambahkan cepat-cepat ketika ia menangkap raut tidak percaya Ino, "—atau siapapun selain dirimu. Kau tahu itu."
"Habisnya akhir akhir ini kau hanya bicara sepatah dua patah kata padaku," Ino menggurutu, masih melanjutkan tuduhannya. Kalimat demi kalimat yang meluncur terdengar ofensif.
"Tidak kok—"
"Iya!" kekeuh Ino, "Wajahmu juga emotionless saat bicara denganku!"
Sai mengerjap, polos. Atau pura-pura polos kalau menurut negative thinking Ino saat ini.
"Tapi wajahku dari dulu bentukannya kan memang begini Ino—"
"Tapi feel-nya beda!" Ino masih saja bersikeras,
Sai menghela nafas, "Kau tahu kalau pun aku sampai menyelingkuhimu, aku pasti sudah mati sekarang—" entah mati di tangan Inoichi, si calon kakak ipar Deidara, si sahabat Sakura, atau di tangan Ino sendiri.
Intinya sama.
Sai pasti mati.
Selingkuh dari Ino is a big NO untuk Sai.
Dan dia memang tidak mau. Dan tidak akan pernah.
"Kalaupun aku punya wanita lain yang saat ini aku pacari, kemungkinan ya hanya kepribadianmu yang lain itu, Ino"
Mendengar candaan Sai barusan membuat Ino hanya bisa mendengus keras-keras, lalu memalingkan muka.
"Sekarang kenapa kau pikir aku punya selingkuhan, hm?" Sai menyangga dagunya, menatap Ino masih dengan sorot mata penuh kesungguhan, "Katamu dulu kita tidak boleh saling cemburuan—"
"Iya, aku tahu—"
"Dan menurut buku yang aku baca, cemburu itu sebenarnya karena kita sedang insecure," Sai melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih lembut, "Apa benar?"
Ino menundukan wajahnya, kini tampak lebih tertarik untuk mengamati ujung-ujung jaribkakinya yang bercat ungu muda, "Aku kan cuman tanya…" suaranya pun berubah menjadi lirih, "Aku hanya penasaran saja—"
"Ino," panggil Sai dengan nada yang masih sama lembutnya,
.
"Aku mencintaimu. Hanya kamu,"
.
Kalimat itu membuat atensi Ino sepenuhnya terarah pada Sai yang kini menatapnya tanpa berkedip.
Penuh dengan keteguhan yang memancar. Ino sama sekali tak menemukan setitik pun keraguan di air muka dan sorot mata Sai di seberang sana.
Meskipun kekasihnya itu tak terlalu ekspresif, Ino yang sudah berpacaran dengannya selama lima tahun ini tentu tahu bila Sai saat ini tengah serius dan tidak main-main dengan apa yang dikatakannya.
Menyadari itu membuat pipi Ino memerah sempurna tanpa bisa dicegah. Lengkungan senyum perlahan merambat ke bibir, walaupun ia mencoba menahannya sekuat tenaga. Tak pelak, ucapan Sai membuat hatinya serasa menghangat dan berkali lipat menjadi lebih ringan sekarang.
Huahahaha.
Sekarang ia baru yakin jika cincin yang nyangkut di jarinya ini memang benar-benar milikinya.
Yah, setidaknya tedengar tidak miris-miris amat.
"Oke, itu bagus," ujar Ino, kini terdengar lebih percaya diri. Ino Yamanaka 'yang biasanya' pun telah hadir kembali, "Tapi semalam kau kemana? Kenapa telfonku tidak diangkat?"
"Oh itu. Saat itu aku sedang ada meeting dengan partner. Maaf ya,"
"Dengan Sabaku Group itu?"
Sai mengangguk, menegak air minumnya sekali lagi, "Ya. Aku sudah memberitahumu di chat kan?"
"Bareng sekretaris ganjenmu itu juga?" Ino memiringkan kepala, tersenyum puas mengingat chat Sai waktu itu yang berkata bahwa setidaknya mereka tidak akan berduaan saja disana, "Ah. Tapi kalian tidak pergi berduaan kan?"
Sai tampak ragu-ragu untuk menjawabnya, "Err…sebenarnya akhirnya kami jadinya pergi berdua saja sih,"
Ino mendelik. Refleks, ia mengeluarkan tangan kanannya dari kantung dan menuding Sai dengan jarinya. Penuh amarah.
.
Dan ya,
.
Ino khilaf.
Seketika lupa.
.
"TUH KAN! Kau memang selingkuh!"
Sai mencoba memberi pengertian, "Itu karena terpaksa, Ino. Atasanku tiba tiba membatalkan jan-"
Tetapi sesuatu yang berkilat-kilat di jari manis Ino nampaknya lebih menarik perhatiannya,
"Ino… di jarimu itu apa?"
Ino mengerutkan kening.
.
'Memangnya di jarinya ada ap—'
Holyfuckingshitomaigad-
.
Cincin!
.
Ino buru-buru menyembunyikan kembali tangannya ke dalam kantung celana, nyengir gugup.
'Tamatlah riwayatmu.'
Sai segera beranjak dari kasur, berangsur-angsur mendekat.
Ino mencoba menghindar dengan berjalan mundur ke dalam kamar mandi. Namun sebelum ia sempat menutup pintu dan menghalangi Sai masuk, Sai lebih dulu bergerak cekatan untuk menahan pintu dengan tubuhnya.
"Aku tanya apa yang ada di jarimu itu,"
Entah perasaanya saja atau bukan, suara Sai kini terdengar berkali lipat lebih berat dan penuh dominansi.
Meski suaranya saat ini terdengar amat sangat seksi, Ino tahu ini bukan waktu yang tepat untuk kehilangan kontrol diri. Ia bisa menyimpan rasa terpesonanya nanti.
Ino kembali mencicit, "T-tidak ada kok," sementara ia berusaha menelan ludah susah payah dan menyembunyikan tangannya dari jangkau pandang Sai.
Sai sekarang makin mendekat. Mereka berdua sama-sama berada di dalam kamar mandi sekarang.
"Jangan bohong, Ino,"
"Aku tidak bohong!" sahutnya balik, berjalan semakin mundur hingga hampir membentur dinding di belakangnya. Pikirannya kalut, terlebih akan fakta Sai yang semakin melangkah mendekat kepadanya. Ia tahu lelaki itu tak akan menyakitinya, tentu saja. Tapi—
"OKE, OKE. Aku mengaku," Ino tiba-tiba berseru, yang membuat Sai sekejap menghentikan langkah kakinya di tempat.
Menggigit bibir bawahnya dalam-dalam, Ino memberanikan diri untuk mengeluarkan tangannya dari kantung celananya. Gerakannya patah-patah, pelan namun pasti ia membawa tangan kanannya itu ke hadapan wajah rupawan lelaki pucat itu.
Kini satu tangan Ino terjulur ke depan, menggantung di udara—mempersembahkan apa yang sedari tadi berusaha ia sembunyikan darinya.
Dara Yamanaka itu hanya bisa berjingit menyadari kedua bola mata Sai membulat saat ia melihat benda apa yang kini melingkari jari manis sang kekasih. Sorotnya tampak tidak percaya melihat apa yang ada di depannya.
"Darimana kau dapat itu?"
Ino buang muka, takut-takut, "Waktu aku mengambil jasmu, lalu tiba-tiba kotaknya menggelinding sendiri," ia mencoba membela diri, suaranya melirih. Gadis itu kemudian menunduk penuh penyesalan, "Sai, maaf. Aku mengacaukannya. Aku tidak bermaksud,"
Ia tidak mendengar apapun keluar dari bibir Sai setelahnya.
Dan Ino makin dibuat mengkerut dengan segala keheningan mencekam ini.
Apa lelaki itu sedang murka sekarang?
Mau memastikan pun, Ino belum berani. Dia hanya bisa tertunduk dalam-dalam untuk saat ini.
Mungkin sampai sekitar tiga puluh detik lamanya, Ino akhirnya mendengar helaan nafas panjang keluar dari bibir lelaki itu. Hela nafasnya terdengar agak berat, mengisi keheningan yang menurut Ino mencekik ini.
Barulah setelah itu, Ino memberanikan diri untuk mendongak,
"Yah, karena kau sudah menemukannya, mau bagaimana lagi?" kata Sai dengan nada pasrah yang kentara.
Lelaki itu meraih tangan kanan Ino dan menautkan jemari keduanya. Kepalanya tertunduk untuk sesaat, memandangi lantai tempat mereka berpijak. Menarik nafas, pemuda itu lantas menegakan kepala. Dari sini, Ino bisa melihat permukaan kulit sang kekasih yang putih pucat mulai menyembulkan rona merah muda,
"Jadi aku anggap ini sebagai iya?" Sai bertanya, ragu-ragu.
Bola mata Ino bergulir, memandangi cincin itu sekali lagi, sebelum kembali menatap Sai yang tengah menggigiti bibir gugup dengan wajah bersemu.
Walau ingin sekali menertawakan ekpresi manis yang jarang muncul dari wajah kekasihnya itu, jujur saja, Ino akhirnya lebih memilih untuk membenturkan bibirnya dengan bibir ranum itu.
Mengecup, melumat bibir bawahnya dengan penuh gairah. Berharap ia akan bisa mentransmisikan perasaan suka citanya.
Kedua tangannya merambah, kini berakhir mengalungi leher Sai. Ino tersenyum kecil ketika ia merasakan lengan kokoh pria itu langsung melingkar di pinggang rampingnya, membawanya lebih dekat.
Sai tampak terengah ketika tautan bibir itu akhirnya terlepas, namun senyum manis itu bertahan di sana,
"Aku anggap itu sebagai iya," simpulnya secara mutlak. Kedua pipinya yang pucat makin tersipu merah delima.
Ino tersenyum, menggoda, "Perlukah kau bertanya?"
Sudut bibir Sai turut berkedut, perlahan membentuk kurva sempurna di bibir. Kedua pipinya tertarik ke atas hingga matanya menyipit tenggelam. Ia tampak begitu atraktif di mata Ino saat ini.
"Kurasa tidak," Sai sudah akan memajukan wajah untuk kembali menyambut bibir gadisnya di hadapan, sebelum yang bersangkutan menahan bibirnya dengan jari. Sai memandangnya bingung.
"Ada satu lagi…"
"Apa?"
"Habis ini bantuin aku ya,"
Sai masih mengerutkan dahi, tidak mengerti. "Bantuin apa?"
"Bantuin ngelepasin ini," Ino mengangkat punggung tangannya, nyengir merana,
.
"Cincinnya nyangkut...ehehe... he."
Fin.