Shin

Naruto
F/M
G
Shin
author
Summary
"Kak Shin tidak punya makam. Bahkan jasadnya dimana pun aku tak tahu," Berbekal dari pengakuan Sai itulah, Ino bertekad untuk membuatkan satu tempat khusus bagi Sai untuk mengenang mendiang sang kakak, meskipun hanya simbolis belaka. "Halo kak Shin, perkenalkan namaku Yamanaka Ino--"

 

OooO

.

Angin sore melambai syahdu. Membelai dedaunan dan rerumputan areal pemakaman desa Konoha sore itu.

Seorang gadis dengan surai platinanya tengah terduduk di hadapan sebuah nisan. Sebuah nisan beraksara Inoichi Yamanaka.

Inoichi Yamanaka.

Ayah-nya yang gugur di medan perang dua setengah tahun yang lalu. Bersama para pahlawan perang lainnya.

Ino tak datang sendirian kala itu. Sai menemani dengan setia di sisinya, memberinya damai dalam kebisuan.

Keduanya bekerja sama membersihkan makam Shikaku dan Inoichi dari semak liar dan daun-daun kering yang berjatuhan. Setelah itu dilanjutkan dengan menuangkan botol sake ke cangkir kecil yang sengaja diletakan di depan pusara. Ino juga meletakan sebuket penuh bunga lili putih yang ia siapkan dari rumah di depan kedua nisan dua pahlawan perang itu. Lili putih yang melambangkan harapan dan ketenangan untuk jiwa-jiwa yang pergi.

Ino menekuk kedua kakinya di satu sisi, sementara Sai memeluk kedua lututnya. Setelah melantunkan doa dengan kedua tangan tertangkup ke dada, mereka menghabiskan sore yang tersisa dengan duduk di depan pusara. Menikmati kesunyian yang merambat diantara jajaran batu nisan.

Keheningan itu akhirnya dipecah Ino dengan membagi kisah. Ino bercerita mengenai kepingan memori yang ia punya bersama mendiang sang Ayah. Ino bercerita bagaimana Inoichi adalah seorang ninja, teman, suami, dan Ayah yang luar biasa. Ia juga tak segan membagi cerita-cerita lucu mengenai Inoichi, tingkahnya yang kadang kekanak-kanakan, fakta yang mana hanya diketahui oleh istri dan putrinya tercinta.

Sai mendengarkan tanpa suara. Tak sekalipun menyela. Ia mendengarkan setiap narasi Ino dengan seksama, menyimak untaian kalimat Ino tanpa alpha.

"Sai..." panggil Ino di suatu ketika, setelah ia selesai membagi kepingan ceritanya mengenai wejangan sang Ayah soal pentingnya legasi InoShikaCho.

Sai yang sedari tadi mendengarkan dengan menghadap ke arah nisan pun mengerling, "Hm?"

"Aku tiba tiba kepikiran ini," gumamnya. Bibirnya yang merah digigiti kecil, nampak ragu-ragu untuk mengutarakan maksud.

Sai yang menyadari ini mengangkat alis, namun tak mengatakan apapun dan membiarkan Ino menyelesaikan kalimatnya lebih dulu.

"Maafkan aku, kalau aku lancang, tapi aku penasaran..." ia mendongak, kini baru benar-benar menatap Sai lurus,

"Aku tidak pernah melihatmu mengunjungi makam Shin..." Ino diam-diam memperhatikan bagaimana tubuh Sai sempat tampak menegang sebagai respon dari perkataannya, "-Apakah kau... apakah kau tidak ingin mengunjungi makamnya? Maksudku, kau selalu menemaniku berziarah ke makam Ayah. Jika kau bersedia, aku bisa menemanimu berziarah juga di makam Shin,"

Sai sesaat terbisu. Lidahnya tiba-tiba saja jadi agak kelu, sehingga ia tak bisa membalas pertanyaan Ino secepat yang ia inginkan.

Angin tiba-tiba berhembus datang, menerbangkan dedaunan dan menyapu ujung rambut keduanya.

Angin yang datang seolah memberi kesempatan bagi Sai untuk menarik nafas dan menyortir emosi yang tetiba hadir bertubi. Hatinya terasa hangat, namun serasa seperti dicekik disaat bersamaan.

Selalu begini setiap ia mengingat kakaknya yang telah tiada.

"Bukannya aku tidak ingin," Sai akhirnya mengakhiri keheningan fana yang ia ciptakan. Suaranya lirih, namun Ino tetap bisa mendengarnya dengan jelas diantara hembus angin yang bersiul, "Aku sebenarnya ingin sekali berziarah di makamnya, namun Shin.. dia tidak memilikinya."

Ino mengganti posisi duduknya, memimikri posisi Sai. Ia meletakan kepalanya di atas lutut, lalu memeluk kedua lututnya dengan lengan. Dahinya terkenyit bingung, "Apa maksudnya?"

"Kak Shin tidak punya makam," ungkapnya, yang membuat Ino seketika tertegun.

"Kakak meninggal di hutan kala itu, ketika Danzo memintaku untuk berduel. Siapa yang menang, dia lah yang akan terpilih. Sementara yang kalah akan dihabisi..." Sai menghembuskan nafasnya yang terasa berat, "Kakak memilih mengalah kala itu, dan dia memintaku pergi meninggalkannya. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya setelahnya.

...Ketika aku menanyakannya pada Danzo, dia berkata bahwa aku tidak perlu mengurusinya lagi dan hanya fokus pada latihanku saja," kepala Sai tertunduk, kepalanya merosot hingga ia akhirnya memilih meletakan kepalanya di atas lututnya seperti Ino. Matanya memuram durja, dan kalimatnya dipenuhi sendu tak tertahan,

.

"Aku tak pernah lagi melihat jasadnya, dan aku tak pernah tahu ia dimakamkan dimana."

.

Ino menahan air mata yang menggenang di sudutnya mati-matian.

Apa yang diceritakan Sai membuat hatinya serasa dipelintir paksa. Nyeri, rasanya. Dadanya terasa sesak, memikirkan segala kesedihan pilu yang dipikul si pemuda itu seorang diri.

Sebagai respon, Ino beranjak menggeser tubuhnya untuk mendekat ke sisinya, merapatkan dirinya dengan lelaki itu.

Tangannya terjulur, dan kedua lengannya melingkupi tubuh Sai laiknya selimut.

Ino berharap ia bisa memberikan Sai sandaran dan dukungan, walau tanpa hadirnya lantunan frasa.

.

Senja sudah mulai turun, memunculkan semburat kemerahan di hamparan langit yang memayungi.

Sinar senja menghujani, menyelimuti kedua insan yang saling memeluk, berbagi elegi.

 

.

.


Shin


.

.

Sai merasa bahwa hari ini berjalan begitu cepat dan cukup... absurd?

Ia tiba-tiba mendapat summon dari kekasihnya selepas ia menyelesaikan tugasnya di divisi ANBU. Ketika Sai akhirnya menemui Ino di apartemennya seperti yang dititahkan sang gadis di sambungan telepati mereka, Ino segera memintanya untuk menggambar burung Chouju Giga agar bisa membawa mereka ke padang bunga yang ada di kaki bukit.

Sai masih tak terlalu mengerti kenapa Ino tiba-tiba mengajaknya ke padang bunga. Mendadak dan penting sekali sepertinya.

Apakah ia mau kencan?

Namun keranjang yang ditenteng Ino di lengannya membuatnya penasaran setengah mati. Apalagi isi keranjang itu cukup... tak lazim?

Sai sempat tak sengaja melongok ke dalam keranjang untuk melihat ada sengenggam tangkai bunga lili putih, lilin-lilin, sebotol sake, korek api, bingkai foto dan selembar kertas polos.

Otaknya mengabsen asumsi dan posibilitas. Ia teringat tadi pagi Ino sempat menanyainya sebuah pertanyaan aneh kala mereka tengah berjalan bersisian menuju ke departemen T&I.

.

"Sai, menurutmu Shin suka padang bunga tidak ya?"

.

Sai saat itu cukup tertegun menerima pertanyaan yang terlontar.

Tiba-tiba saja. Tak ada angin, tak ada hujan.

Shin sebenarnya bukan topik tabu diantara mereka, memang. Shin terkadang hadir diantara konversasi yang keduanya bagi. Sai sudah mulai membiasakan untuk membuka diri pada Ino soal kakaknya. Ia menemukan dirinya menjadi lebih mudah untuk mencurahkan isi hati. Memanggil fragmen memorinya dengan sang kakak kepada gadis itu, membagi kesedihan yang biasanya ia pendam untuk dirinya sendiri.

Tapi tetap saja, rasanya aneh. Kenapa tiba-tiba Ino membahas Shin?

"Eum... kurasa ia akan menyukainya. Kakak lumayan suka berbaur dengan alam."

Sai ingat ia memberikan jawaban itu untuk Ino pada akhirnya. Dan Ino hanya membalasnya dengan seulas senyum, tanpa mengatakan apapun lagi.

Sebelum Sai sempat menanyakannya lebih jauh, tugas keburu memanggil mereka dan mereka terpaksa berpisah jalan kala itu.

Butuh sekitar 10 menit untuk mencapai padang bunga yang ada di kaki bukit desa Konoha. Lokasinya berada di daerah suburban, cukup jauh dari pemukiman warga. Letaknya berada tepat di samping sungai kecil yang dangkal, mungkin lebih tepat jika disebut sebagai parit. Airnya beriak tenang, mengalir dari hulu ke hilir.

Ino dan Sai turun dari burung artifisial itu, akhirnya menginjakan kaki di padang rumput yang sedari tadi dinanti. Untuk sejenak mereka membiarkan diri mereka diam berdiri, menikmati pemandangan yang tersaji. Sai menarik nafasnya, membiarkan paru-parunya terisi penuh oleh sejuknya udara yang melingkupi.

Padang bunga itu menghampar luas, di bawah kuasa payung angkasa biru dan gumpalan kapas raksasa. Rerumputan yang tumbuh liar bergoyang-goyang sepanjang Sai mengedar pandang.

Jajaran perdu memagari sekitar padang. Sekumpulan bunga matahari yang memenuhi segala aspek periperal itu memberikan ilusi hamparan laut kekuningan. Warna kuning dan hijau yang tersebar di padang itu beradu apik, memberi mereka kepuasan visualisasi saat menikmati.

Angin menerjang, menerbangkan serbuk-serbuk halus benang sari di udara. Lebah-lebah berterbangan, hinggap di mahkota satu per satu.

"Ayo kita kesana!" Ino menunjuk ke arah selatan. Mata Sai mengikuti maksudnya, pandangannya terjatuh kepada sebuah pohon besar yang berdiri di sisi seberang hamparan bunga.

Mengangguk setuju, keduanya beranjak dari sana, melangkahkan kaki ke arah sekumpulan bunga matahari itu untuk menyebranginya. Ino dan Sai melewati jalan setapak yang ada, dengan Sai yang memimpin di depan, tangan saling bertautan. Genggaman itu semakin erat semakin mereka mengambil langkah.

Diantara kepungan bunga, ditemani desiran angin yang berhembus dan membuat bunga-bunga itu melambai syahdu, Sai dan Ino membelah hamparan padang bunga. Sesekali mereka harus menyibak beberapa bunga dan rumput tinggi yang menghalangi jalan.

Gerakan buatan itu memaksa beberapa lebah dan kupu-kupu yang hinggap terbang serentak, membuat Ino seketika memekik ceria. Yang tentunya, menstimulus Sai untuk menarik sudut bibir ketika ia memandanginya. Ino tampak begitu natural dan indah, berdiri diantara kepungan bunga.

Tak terasa Ino dan Sai akhirnya mencapai destinasi. Mereka langsung mendudukan diri di atas rerumputan, tepat dibawah payung dedaunan sang pohon rindang. Sai mengamati Ino yang kini tengah meletakan keranjang bawaannya di atas rumput, kemudian menarik selembar kertas dari sana.

Ia mengulurkannya pada Sai.

"Sai, minta tolong gambarkan wajah Shin untukku,"

Sai mengerjap, heran, "Untuk apa?"

"Sudah gambarkan saja," bujuk Ino dengan seulas cengiran, "Nanti juga kau akan tahu sendiri."

Meskipun sebenarnya ia masih penasaran akan dibuat apa gerangan lukisannya nanti, Sai memilih untuk menelan pertanyaannya. Ditambah lagi, Ino tengah menatap penuh harap padanya. Dengan kelereng birunya yang membesar dan berkedip-kedip memohon. Ia sulit menolak jika Ino sudah begitu—maka Sai pun menyerah, dan langsung mengerjakannya tanpa babibu.

Lagipula, Ino itu memang penuh kejutan. Dia suka tak tertebak. Kadang seperti sebuah paradoks yang tersusun kompleks.

Sai menyukainya.

Ia beregas meraih lembar kertas itu dari Ino, kemudian mengeluarkan pensil untuk membuat sketsa Shin sampai ke bagian bust.

Menggambar Shin rasanya tidak sesulit dulu.

Sai bisa mengingat dengan jelas setiap detail paras lelaki itu, meski mereka sudah bertahun-tahun tak bertemu. Shin hidup di dalam memorinya.

Bibirnya tanpa sadar melengkung. Ada perasaan menyenangkan yang hadir kala Sai menorehkan ujung pensilnya untuk membentuk rupa. Perasaan yang nyaris sama, seperti yang setiap kali ia rasakan ketika ia menorehkan kuasnya untuk menggambar Ino. Damai.

Setelah selesai menebali line up nya dengan tinta, Sai menyerahkan hasil gambarnya yang telah selesai itu pada Ino—yang langsung menerimanya dengan sorak suka cita.

Gadis itu lagi-lagi meraih sesuatu dari keranjangnya—kali ini sebuah bingkai foto yang terbuat dari kayu. Ia meletakan bingkai foto itu di pangkuan, membuka pengaitnya dan memasukan lembar kertas itu. Setelah tertata dengan pas, ia pun menjepitnya rapat.

Sai hanya mengamatinya dalam diam, menelan bulat pertanyaan-pertanyaan yang hadir di kepala. Ia masih tak mengerti apa yang akan dilakukan Ino dengan semua ini, sejujurnya.

Gadis jelita itu lalu berbalik. Bangkit berdiri dan memutari pohon untuk mencari spot yang bagus di bawah pohon, katanya—entah spot apa yang ia maksud, Sai masih tidak tahu.

Ino menemukannya beberapa detik kemudian, berseru senang setelah ia mengkritisi setiap sudutnya dengan baik. Ino memilih tempat yang rumputnya tumbuh subur, tidak gersang, dan tak terlalu banyak akar liar.

Sai ikut mendekatinya dengan duduk di sampingnya, memperhatikan Ino yang bergerak cekatan. Sai sigap membantu ketika Ino memintanya melakukan sesuatu, apapun itu.

Gadis itu tengah sibuk menyusun bebatuan sekarang, menatanya menjadi susunan laiknya bukit kecil. Setelahnya ia menyalakan lilin, dan meletakan lilin-lilin itu di kedua sisi susunan batu. Botol sake ia keluarkan juga, menemani tempatnya disamping lilin yang sudah berdiri.

Ino lalu meletakan figura skesta wajah Shin di ujung susunan batu, disandarkannya pada batang kokoh di belakangnya. Ia memberikan sentuhan terakhir dengan meletakan buket bunga lili putih di atas susunan batu itu.

Sai bisa merasakan tubuhnya mengkaku, pikirannya seolah beku, semakin ia menyadari apa yang saat ini tengah dibuat Ino. Tubuhnya sedikit gemetar.

Bentuknya memang tak sama seperti aslinya, tak sebesar aslinya juga dan desainnya ala kadarnya. Namun itu jelas apa.

Ino tengah membuat sebuah replika makam.

"Selesai!" seru Ino, setelah ia menaburi susunan batu itu dengan bunga tabur yang ia bawa. Ia tersenyum, lalu beranjak mendekat pada Sai yang tak mengeluarkan sepatah kata, menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Ia duduk di samping lelaki itu. Bahu dengan bahu saling bergesekan.

Senyum Ino yang ceria berubah melembut, sorot matanya pun begitu,

"Maaf ya kalau lancang," mulainya, dengan nada yang sedikit meragu, "Ketika kau bilang Shin tidak punya makam dan kau tidak punya tempat untuk berziarah, aku semalaman jadi kepikiran,"

Kepala Ino terdongak, menatapi dedaunan yang memayungi mereka bagai sebuah kanopi,

"Dan kemarin aku tiba-tiba berpikir ingin membuatkannya sebuah makam. Sebenarnya aku kepikiran ingin membuatkan makam di pemakaman Konoha, tapi sepertinya kepengurusannya akan memakan waktu lama, terlebih tanpa adanya jasad. Jadi aku putuskan untuk membuat saja di padang bunga ini. Dekat dengan alam. Kau bilang Shin menyukai alam bukan? Jadi yeah..."

Ino lantas mengerling pada Sai, senyumnya masih sama lembutnya, "Kuharap Shin akan menyukai ini,"

"Ino..." suaranya mengecil. Parau dan tersendat, seperti ada sesuatu yang mencekatnya di tenggorokan. Sai merasa tak sanggup berkata-kata sekarang.

Sai dan Ino bertukar pandang, mengunci iris dwi warna itu di tempat. Membagi emosi lewat kontak netra. Saat itu, Ino bisa melihat gelombang emosi menyapu di kedalaman mata hitam Sai yang seperti tiada ujung, hampir tak terselami.

"Meskipun makam ini masih sangat sederhana..." mulai Ino lagi, "dan tidak ada jasad kakakmu dibawah tanah ini, tapi kita bisa jadikan tempat ini untuk berziarah. Semacam simbolis? Kita bisa datang ke tempat ini setiap kita ingin mengenang dan mendoakannya,"

"Ino..." Sai menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak terlarut dalam emosi yang meluap-luap di dada, "Aku—"

Satu tangan Ino terulur untuk mengenggam tangan Sai, menyelipkan jari-jemarinya yang panjang di sela-sela jemari kekasihnya. Senyumnya membayang penuh kelembutan, "Bicaralah pada Shin, Sai. Seperti yang biasa aku lakukan di makam Ayahku," Satu remasan ia berikan di tangan Sai sebagai pendorong, "Aku yakin Shin pasti ingin mendengar suaramu,"

Mengikuti saran Ino, pemuda itu lalu mengadap ke arah nisan yang ada di depannya. Ia menelan ludahnya, susah payah,

"Kakak..." mulainya, ragu-ragu, seraya berusaha menetralisir degupan jantungnya yang tak menentu, "Aku... apa kabarmu? Aku—" ia mengambil waktu untuk menarik nafas dalam-dalam sebelum ia kembali bicara, "Aku...aku sangat merindukanmu... aku..."

Ia melafalkan pengakuan terdalamnya, rasanya lega dan sakit di saat bersamaan di dalam sana. Kepalanya lantas tertoleh pada Ino, seolah meminta bantuan. Ia tampak putus asa, "Aku tidak tahu harus berkata apa,"

Ino memberinya remasan sekali lagi, mengusap-usap punggung tangannya dengan ibu jari, "Aku tahu kau sebenarnya punya banyak hal yang ingin disampaikan, tapi mungkin saking banyaknya sampai kau tidak tahu harus berkata apa?" terka sang gadis, yang mendapat anggukan pelan dari Sai.

Bibir Ino kembali melengkung penuh pengertian, "Tak apa Sai, bicaralah kalau kau sudah siap," katanya, "Kalau begitu, aku duluan ya?"

Sai tak tahu harus berkata apa, maka ia pun mengangguk saja. Ino melepaskan genggaman tangan mereka dan mengganti posisi duduknya dengan menekuk kakinya, menjadi ke posisi berlutut. Kedua tangannya ia tangkupkan ke sebatas dada. Sai tak melepaskan pandangannya ketika akhirnya kekasihnya itu bicara,

"Halo, Kak Shin? Ah—apakah aku boleh memanggilmu begitu?" Ino memulai monolognya, disertai dengan sebuah cengiran, "Maaf ya jika kesannya sok akrab. Perkenalkan namaku Yamanaka Ino, putri dari mendiang Yamanaka Inoichi dan Yamanaka Nako. Aku juga bagian dari Ino Shika Cho generasi ke 16. Aku saat ini bekerja di bagian intel dan rumah sakit. Dan aku juga punya usaha sampingan Flower ShopYamanaka's Flower Shop namanya,"

Ino menarik nafas panjang, masih dengan senyum lebar yang bertahan di bibir, seolah ia benar benar tengah berbicara dengan subjek bicaranya, "Kak Shin, kita memang belum pernah bertemu sebelumnya ya? Namun meskipun kakak tidak ada disini, kakak hidup dari cerita cerita yang Sai bagi soal dirimu untukku. Kalian itu bukan saudara kandung, tapi dari gambar Sai, kurasa kalian sangat mirip, hahaha," Ino tertawa, "Seperti kakak adik sungguhan,"

Ino menyempatkan diri untuk mengerling pada Sai yang tak sekalipun sudi melepaskan pandang darinya. Ino menyempatkan diri melempar Sai sebuah senyum. Ia memulai kembali ceritanya, tanpa memutus rantai netra yang mereka cipta.

Tiba tiba angin bertiup, menerbangkan dedaunan dan helai-helai rambut Ino yang panjang. Pemandangan itu sesaat membuat Sai menahan nafas.

Ino tampak seperti jelmaan seorang dewi.

Dengan segala semesta keindahan yang ia miliki.

Memberinya seulas senyum pamungkas, Ino kembali menoleh ke arah pusara, dan melanjutkan narasinya, "Sai itu suka sekali lho menceritakan soal dirimu. Matanya seolah berbinar dan senyumnya begitu lembut ketika ia membicarakan dirimu,"

Ino pura-pura memberengut kemudian, "Ah, aku jadi iri," ujarnya, hiperbolis. "Dan dari ceritanya, aku tahu kau orang yang sangat baik. Kak Shin... terima kasih ya sudah menjaga Sai dengan baik, ketika aku belum bisa dulu. Kakak telah begitu banyak membantu dan menjaga Sai sejak kecil, dan aku sangat berterima kasih untuk itu. Kasih sayang dari kakak berhasil membawa Sai hingga sampai seperti ini,"

Senyum Ino melembut dengan sendirinya. Sorot matanya membawa kehangatan tiada tara,

"Kak Shin, sekarang adikmu sudah dewasa. Dia sudah berulang tahun yang ke 20. Dia juga telah tumbuh sebagai pribadi dan ninja yang luar biasa. Banyak orang yang mencintai dan dicintai olehnya sekarang. Apa Kak Shin tahu, Sai sekarang sudah terlepas dari jerat keparat Danzo, eh—maafkan aku berkata kasar," Satu tangannya spontan membekap mulutnya. Ino lalu nyengir lebar, malu karena kelepasan.

"Tapi sungguh, dia memang pantas menyandang kata itu," gumamnya dengan bibir mencebik, yang sepersekian detik langsung terganti oleh senyumnya yang berseri-seri,

"Lalu kami juga memenangi perang besar, dan saat ini Konoha sedang dalam masa pemulihan perang. Banyak hal yang telah berubah di dunia ninja. Perubahan yang aku harap dapat membawa kebaikan yang lebih lagi. Aku harap kak Shin ada disini dan bisa merasakannya juga, namun aku tahu kau bisa melihat dari atas sana kan?"

Ino mendongakan kepala ke arah langit-langit cerah, dengan awan putih yang mengarak. Ia kembali menunduk, dan senyumnya yang lembut makin terkembang, "Oh iya Kak, Sai saat ini sudah jadi orang penting di desa loh," beritahunya dengan semangat, "Dia jadi bagian penting di pemerintahan Konoha. Sering dilibatkan dalam program recovery pasca perang. Dia juga sesekali mengajar di akademi, dan kau pasti terkejut kalau Sai ternyata ahli menangangi anak anak, haha," kekehnya merdu, "Ah, dan kakak juga harus tahu kalau Sai baru saja diangkat sebagai ketua ANBU. Bukankah dia hebat? Kak Shin pasti sangat bangga padanya,"

Ino berhenti untuk menarik nafasnya sekali lagi, "Oh ya kak, maafkan aku kalau aku lancang, tapi aku juga ingin memperkenalkan diriku sebagai kekasih Sai," bibirnya digigiti kecil, gugup. Seolah ia benar-benar tengah menghadap Shin dan meminta restu untuk mengencani adiknya, "Aku tahu mungkin masih ada gadis yang lebih layak untuk Sai. Mungkin cintaku juga tidak sebesar cinta kak Shin untuk Sai, tapi aku..."

Mendadak Ino menyadari degupan jantungnya sendiri, diikuti sensasi menggelitik di dasar perutnya yang membuat wanita itu sedikit tersipu. Sai di sampingnya ikut menahan nafas dalam bisu. Jantungnya ikut berdentum mendengar kalimat demi kalimat yang mengalir dari bibir Ino,

"Aku... mencintainya, Kak," akunya, tulus. Mantap. Tanpa setitik pun ragu, "Aku ingin mendampinginya. Dan sebagai seseorang yang sangat berarti untuk Sai, aku... aku ingin meminta izin sekaligus restu darimu,"

Gadis itu lantas membenahi posisi duduknya menjadi lebih tegak, gestur menaruh hormat, "Izinkanlah aku untuk mencintai adikmu. Aku mungkin tidak bisa berjanji akan selalu membahagiakannya, namun aku akan berusaha. Aku akan berusaha membuatnya selalu bahagia dan tersenyum manis sehingga kakak bisa melihatnya juga di atas sana,"

Ino tanpa sedikitpun keraguan membungkuk dalam-dalam, menganggap bahwa Shin kini benar-benar seperti tengah berdiri di hadapannya,

.

"Jadi kak Shin, aku memohon restumu ya,"

.

Sembari mengatakannya, Ino membungkukan tubuhnya, cukup lama.

Sebelum akhirnya ia kembali mengagkat badannya, dan bergeser mendekat pada Sai yang masih diam tanpa kata.

Ino menyengir, tiba-tiba saja merasa sungkan. Pipinya merona merah muda, "Maaf ya Sai, jadi lama sekali tadi. Aku cerewet sekali. Habisnya tadi aku terbawa suasana," ia memilin ujung rambutnya dengan jari, tampak gugup, "Oh, dan maaf juga ya Sai, makamnya masih ala kadarnya. Suatu saat, kita akan buatkan makam yang lebih layak untuk Kakak. Mungkin aku bisa meminta tolong—Eh?"

Kata-kata Ino terputus begitu saja, detik kala Sai tiba-tiba merengkuh tubuhnya dalam hangat peluknya.

Rengkuhan itu lemah, namun terasa kuat di saat bersamaan.

Sai mendekapnya. Erat dan lebih erat. Seolah tak ingin melepaskan.

Rasa cintanya untuk gadis itu seketika datang bertubi, meletup-letup dalam nadi. Ia tak mau menahannya lagi.

Kepala Sai lalu merunduk, dan ia memilih membenamkan wajahnya di perpotongan leher Ino yang hangat.

Di tempat ternyamannya itu, ia melepaskan segalanya.

Sai pun menangis.

Membiarkan dirinya lepas.

Bibir Ino melengkungkan sebuah senyum. Hangat dan sendu disaat bersamaan.

Ia mengulurkan tangan untuk mengusap sisi kepala Sai, menyisir rambutnya dengan jari-jarinya yang lentik. Gerakan ritmis yang diciptakannya mampu membawa ketenangan bagi Sai, hingga ia akhirnya bisa mengutarakan apa yang ia rasakan, diantara isakan-isakan yang tak bisa ia tahan lagi.

"Ino..." mulainya dengan suara parau, akibat tangis dan atas segala perasaan yang berkecamuk. Rasa kagum, sedih, haru, dan emosi lain yang bercampur tak karuan jadi satu.

"Terima kasih banyak. Terima kasih banyak untuk segalanya," ia lagi-lagi terisak pelan, bulir air matanya satu per satu jatuh mengenai permukaan kulit Ino, namun keduanya tak menaruh peduli, "Kau telah melakukan banyak hal untukku. Kau... kau sangat...," Sai menarik nafasnya, "Aku tidak tahu apakah aku bisa membalas semua kebaikanmu—"

"Gampang kok," sela Ino, menunduk kepada Sai dengan wajah berseri dan sebersit cengiran jahil,

"Hanya tetaplah berada disisiku, ya?"

Senyum Ino mendorong sudut bibirnya untuk turut berkedut. Sai tersenyum dan mengangguk dalam diam. Pasti.

Keheningan itu menyusup, diisi oleh suara isakan lirih, deru nafas berat dan sesekali ditemani oleh desisan angin yang berhembus menyapa. Tangan Ino masih bergerak naik turun menyisir rambutnya, membiarkan Sai menangis di bahunya sampai puas.

Di sela tangisnya, Sai menggulirkan matanya ke arah makam Shin yang dibuat Ino.

.

Potret sketsa Shin yang ia buat tengah menatap ke arahnya lurus-lurus, memberinya senyum simpul, seolah kakaknya itu memang ada di depannya sekarang, tengah memandanginya saat ini juga.

.

Ia berharap itu nyata, dan Shin memang sedang menatap bangga padanya.

Matanya kembali berkabut, dipenuhi air yang menganak. Satu air matanya lolos, jatuh begitu saja membersamai ia yang membisikan pengakuan terdalamnya,

.

.

"...Kakak, namanya Ino Yamanaka. Dan aku...

.

.

... aku sangat mencintainya,"


.

.

.

Sebidang padang luas.

Sehampar langit biru yang dihias oleh awan-awan putih besar.

Bunga bunga matahari berwarna kuning cerah hadir di setiap sudut pandang. Hamparan perdu dan rumput liar bergoyang-goyang diterpa angin yang berhembus menyejukkan. Kupu-kupu dan lebah terbang berlarian kesana-kemari tak tentu arah.

Tak banyak yang berubah.

Bahkan pohon yang ada di tepi padang itu tetap berdiri gagah, meski mulai tua dimakan usia.

Basah rerumputan pemuda itu biarkan menyentuh fabrik pakaiannya. Ia memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam untuk memanjakan paru-parunya dengan hijau dan asri suasana yang ada.

Ketika ia membuka mata, ia kembali dihadapkan pada sebuah pusara di hadapan.

Satu hal yang berubah dari tempat ini hanyalah bentuk dari makam itu.

Tak lagi hanya tersusun dari batu ala kadarnya, melainkan sudah dibuatkan nisan dari semen seperti pusara yang biasanya ia lihat di pemakaman Konoha. Bidang permukaan semen itu menampakan satu nama, aksara kanji bertuliskan-

Shin.

Seperti janjinya dulu, Ino meminta salah satu kerabat dari klan Yamanaka untuk membuat batu nisan di tempat ini.

Tempat yang mereka buat sendiri. Tempat yang dia dan Ino anggap sebagai tempat peristirahatan abadi Shin.

"Kakak, bagaimana kabarmu?"

Sai memulai setelah sekian lama ia habiskan dalam hening, "Maaf 3 bulan terakhir ini aku belum berkunjung lagi. Ada hal yang membuatku sibuk akhir akhir ini," ia terkekeh, pelan.

"Oh iya Kak, aku membawa seseorang yang ingin aku kenalkan padamu,"

Ia menoleh pada Ino disampingnya, yang memberinya sebersit senyum dan anggukan. Sai lantas merunduk, tangannya terjulur untuk mengambilnya perlahan-lahan dari dekapan Ino.

Sai membawanya ke dalam gendongan, pelan dan hati-hati.

Ia lalu memutar tubuh mungil itu dengan penuh kelembutan, menghadap ke arah pusara, menyangga kepala dan tubuhnya yang masih ringkih. Tubuh mungil itu bergerak-gerak aktif, tangannya yang chubby berkibas kesana kemari, dan kaki-kakinya yang terbalut kaus kaki hangat menendang-nendang semangat.

Senyum lembut terbit di bibir Sai mengamati tingkah menggemaskannya. Ia lantas mendongak, menatap potret sketsa Shin yang dibuatnya beberapa tahun yang lalu—tak berubah, meski telah dimakan usia. Potret Shin yang berdiri di atas pusaranya. Yang kini tengah menatap lurus-lurus ke arahnya.

"Kakak...ini adalah alasan kenapa akhir akhir ini aku sibuk dan belum bisa berkunjung selama 3 bulan ini," ia menunduk, bertukar kontak mata dengan bola mata besar dan biru milik Inojin yang seolah tengah menatap penasaran kepada sang Ayah.

Tiba-tiba saja Inojin tersenyum, menampakan giginya yang belum tumbuh dan dipenuhi sedikit liur. Bayi 3 bulan itu mendadak memekik nyaring dengan bahasa bayinya, membuat Ino dan Sai terkekeh gemas,

"Aku dan Ino telah resmi menjadi orang tua. Kami memiliki bayi laki-laki. Namanya Inojin, Kak. Inojin Yamanaka. Usianya genap 3 bulan Desember nanti. Rambutnya pirang dan matanya biru, meskipun warna kulitnya menurun dariku,"

Ia tersenyum simpul, "Dia mirip Ino sekali, dan aku bersyukur akan hal itu. Aku jadi punya 2 orang yang memiliki perpaduan warna yang aku sukai, yang tak akan lelah aku pandangi,"

Sai menyempatkan diri untuk menoleh pada Ino disampingnya. Sai bisa melihat rona merah muda muncul di kedua pipi sang istri, diiringi oleh gerutuan semacam, "Sai sekarang sudah pintar menggombal, Kak," gerutu Ino pada pusara Shin, seolah ia tengah melaporkan kelakuan tak patutnya.

Sai hanya memiringkan kepala, tak paham kenapa Ino jadi malu-malu begitu. Ia kan cuma berkata sejujurnya.

Ino kemudian merundukan tubuhnya, meraih satu tangan Inojin dengan lembut, lalu menggoyang-goyangkan tangan mungil itu pelan, "Inojin, ayo bilang hai pada Paman Shin,"

Inojin hanya merespon dengan ocehan tak jelas, dan kemudian malah berusaha untuk memasukan kepalan tangannya ke mulut—yang membuat Ino seketika cemberut.

"Paman Shin?" gumam Sai lembut, yang membuat kepala Ino sontak terdongak.

Ino mengangguk, wajahnya berseri-seri, "Tentu saja. Dia kan kakakmu, jadi Inojin adalah keponakannya,"

Paman Shin...

Hati Sai tiba-tiba terasa... penuh.

Membayangkan bagaimana kelak ketika sudah lancar bicara, Inojin akan memanggil manggil mendiang kakaknya itu dengan sebutan 'Paman Shin! Paman Shin!' dengan antusiasnya.

Paman Shin...

Sai adalah seorang Ayah, dan Shin adalah seorang Paman sekarang.

Mereka berdua yang dulunya tak punya siapa-siapa, kini telah sama-sama punya keluarga. Sekarang mereka sudah menjadi bagian dari sebuah keluarga. Keluarga Yamanaka.

Andai kakaknya ada disini.

Menikmati setiap momen ini bersamanya. Di sisinya. Ia ingin membagi kebahagiaan ini bersama kakaknya.

Sayang, itu hanya sebuah angan belaka.

Sai kembali menoleh ke arah pusara, mengeratkan pelukannya pada Inojin di pangkuannya, menyandarkan balita itu di dadanya yang kokoh. Inojin yang seolah menjadi pegangan dan kekuatannya saat ini. Inojin yang juga merupakan anchor-nya di dunia ini.

"Awalnya Ino ingin menamai bayi kami dengan namamu. Shin. Namun kupikir, nama Shin telah melekat padamu, dan biarkan kau abadi dengan nama itu," ujar Sai, menarik nafas sebentar untuk melanjutkan,

"Nama Shin yang kau sandang... meskipun itu hanya sebuah kode nama, seperti nama Sai pada diriku, tapi sebuah nama memberimu identitas. Membentuk siapa dirimu, mendefinisikanmu, pencapaianmu. Kupikir, kau juga ingin putraku bisa hidup dengan nama yang bisa ia bentuk sendiri dan membuatnya bisa mendefinisikan siapa dirinya kelak,"

Matanya bersirobok dengan netra biru laut milik Ino yang menawarkan kehangatan tak hingga. Ino memberinya sesimpul senyum. Senyumnya begitu tulus dan menular, hingga Sai tak kuasa membalasnya.

"Namun kami ingin kau tetap hadir diantara kami, jadi kami memberikan nama Inojin," lanjut Sai setelah beberapa saat, "Ino tentu saja dari Ibunya, tradisi ino-shika-cho, kau tahu kan? Dan Jin, adalah homofon dari namamu—Shin. Terdengar tidak buruk kan? Aku harap kau menyukainya, Kak,"

Inojin tiba-tiba mulai bergerak-gerak gelisah di gendongan Sai setelah itu. Sai berusaha menenangkannya, mengelus kepalanya dengan lembut, biasanya gestur itu bisa langsung membuat bayinya tenang, namun Inojin malah makin merengek keras.

Ino cekatan menggambilnya dari dekapan Sai, menimang-nimang Inojin yang mulai menangis. Sai juga sudah akan ikut berdiri untuk membantu Ino mendiamkan bayi mereka, namun Ino keburu mencegahnya duluan.

"Tidak perlu," kata ibu muda itu, sembari menepuk-nepuk punggung mungil bayi di dekapannya, "Aku yakin Inojin hanya lapar. Aku akan menyusuinya disana," dagunya menggidik ke arah seberang, "Kau disini saja. Aku yakin Kakak masih ingin banyak mendengar ceritamu,"

"Kau yakin?" Sai bertanya, masih tampak ragu.

"Yap," Ino mengangguk mantap, lengkap dengan senyum terkembang.

"Kalau kau butuh bantuan, jangan ragu memanggilku, oke?" Ia mewejangi. Setelah memberi usapan lembut di pipi tembam Inojin yang kemerahan dengan punggung tangannya, Sai kembali duduk seperti yang diminta sang istri.

Sedang Ino membawa bayinya ke tempat yang ia maksud. Sai mengamati kemana Ino pergi, memperhatikan kedua orang terkasihnya dengan bola mata hitamnya yang tajam dan protektif. Ia melihat bagaimana Ino mendudukan berdiri di bawah naungan teduh pohon, kemudian membuka kancing atasannya dan membiarkan Inojin menyusu, sembari ia mengayun-ayunkan Inojin dalam gendongannya dengan penuh keluwesan. Suara tangis Inojin mulai terdengar samar-samar, sampai akhirnya benar-benar surut ditelan udara.

Setelah memastikan mereka benar-benar aman dan ada dalam jarak pandangnya, Sai kembali menoleh untuk meletakan atensinya kembali kepada sang kakak.

"Kak Shin... andai saja kau ada disini," ungkapnya, dengan sebuah desah nafas pilu yang tak bisa ia tahan, "Aku yakin Inojin pasti akan menyukaimu. Aku sangat berharap kau ada disini, sehingga aku bisa membagi kebahagianku denganmu," sekali lagi ia enarik nafas dalam-dalam,

"Maafkan aku dan... terima kasih atas segalanya. Atas semua yang kau lakukan untukku. Atas rasa sayangmu. Pengorbananmu," Sai mengulas senyum, "Terima kasih kau telah membuatnya menjadi mungkin. Kau yang membuatku ada disini. Membiarkanku hidup, membiarkanku mempunyai ikatan dengan orang orang disekitarku. Memberiku kesempatan untuk menjalin ikatan. Memiliki sahabat, guru, senpai, istri, dan seorang putra—keluarga. Terima kasih,"

Ia memejamkan kedua matanya, lagi-lagi menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Ketika ia melepaskan nafasnya, bibirnya sedikit demi sedikit melengkung, membentuk sebayang senyum tulus.

"Kak, aku sangat bahagia. Aku tak pernah membayangkan bisa sebahagia ini sebelumnya, tapi disinilah aku," ungkapnya dengan kesungguhan tiada tara, "Dan aku harap kau juga bahagia disana. Sebahagia aku saat ini. Kau bahagia disana kan, Kak?"

.

Tepat setelah itu angin datang berhembus, membelai raga Sai dengan lembut.

.

Senyum Sai bertambah lebar, menyakini bahwa hadirnya angin itu menjadi jawaban bagi Sai dari Shin bahwa ia juga bahagia di tempatnya disana.

Sekali lagi desiran angin menyerbu, menerbangkan dedaunan di sekitarnya tanpa arah.

.

Sai lantas berbisik, diantara hembus angin yang bersiul merdu,

.

"...Aku merindukanmu juga, Kak,"

.

.


fin.