nggak cuman wangi tapi juga bisa ngomong

Naruto
F/M
G
nggak cuman wangi tapi juga bisa ngomong
author
Summary
Permen yang katanya 'nggak cuman wangi tapi juga bisa ngomong' inilah yang kemudian jadi malapetaka bagi Ino. Ino bahkan tidak tahu apakah ia harus mengutuk atau mengucap syukur pada si pabrik pembuat permen laknat ini.

disclaimer: semua karakter milik Masashi Kishimoto.

warning: canon-setting. indo-konoha (?). contains slangs. jayus.


.

.

nggak cuman wangi, juga bisa ngomong

.

~O-O-O~

.

Langit yang tadinya menjingga kini berangsung menghitam. Hitamnya merajai angkasa. Gugus bintang turut bertaburan, menemani sang bulan yang bersinar megah di singgasana, terang memikat.

Pepohonan tinggi yang mengelilingi hutan bergoyang-goyang, dibelai-belai angin yang datang singgah. Dedaunan yang bergesek menimbulkan suara gemuruh, selaras dengan suara keriket yang saling bersahut-sahutan.

Di salah satu tepian hulu sungai malam itu, berdiri tenda-tenda sederhana. Dua tenda itu dipasang mengelilingi nyala api anggun yang membara. Percikan apinya bersahut-sahut dengan suara gemuruh air yang mengisi kesunyian malam.

Ino Yamanaka kebetulan dapat giliran untuk berjaga malam itu, sementara rekan setimnya yang lain beristirahat di dalam tenda. Ia tidak keberatan, memang sudah jadi aturan tak tertulis bagi para shinobi ketika ada misi yang mewajibkan mereka bermalam di alam bebas. Hanya saja... diantara semua anggota timnya, kenapa juga dia harus berjaga dengan... Sai?

.

Sai. Oh Ya Tuhan.

.

Selain Jidat yang pasti sudah ngorok di dalam sana—Ino mencibir—apakah alam semesta juga berupaya untuk membuatnya mati berdiri? Apakah ini semacam konspirasi.

Bagaimana bisa ia dibuat tenang jika harus berjaga malam-malam, sendirian, berdua saja, bersama dengan Sai?

Sai yang merupakan orang yang dia taksir? Helloooooo?

.

Sai juga tak membuat ini menjadi mudah. Ia duduk di samping Ino sekarang—Kami-sama! kenapa juga ia harus duduk berdekatan dengannya?!—dan sedari satu jam yang lalu pria itu hanya diam saja. Bak sebuah manekin.

Mereka memang sudah berbincang-bincang sejak tadi, berbicara ini itu, dan sejujurnya Ino sangat menikmati itu. Namun sepertinya topik pembicaraan yang bisa mereka bagi sudah kepalang habis, sehingga mereka biarkan saja keheningan ambil kendali.

Tiba-tiba saja semua langsung berubah sunyi.

Sangat sunyi sampai suara cicit jangkrik turut mengiringi.

Secara harfiah.

.

Oke.

Ini sangat... canggung.

.

Gadis jelita itu khawatir saking heningnya keadaan saat ini, Sai bisa mendengar suara jantungnya yang berdebar hebat di dalam sana, mengingat proksimitas dirinya dengan lelaki itu tidak terlalu jauh.

Ah, sial!

Maka ia paksa dirinya untuk mengendalikan diri, mengambil nafas teratur untuk membuat ritme jantungnya normal lagi.

Merasa mulai bisa menguasai diri, Ino menambah relaksasi dengan mengambil permen dari saku roknya. Satu tangannya merambat, mengambil sebuah permen dengan bungkus berwarna merah. Bungkus dia sobek, dan dilahaplah benda bulat bening berwarna kemerahan itu sedetik setelahnya. Rasa manis dan mint langsung bercampur jadi satu di papila.

Menekuk kakinya dan menyandarkan kepala di lengan, sembari mengemut permennya, netra gadis itu terjatuh pada satu titik di depannya. Mengamati api yang menari-nari dan suara percikannya diantara kumpulan kayu dan ranting yang disusun jadi satu.

Angannya membumbung tinggi seperti seperti kepul asap si api. Tinggi, setinggi angkasa luhur.

Ia mencoba memikirkan hal yang lain, tapi tetap saja, jatuhnya pada Sai lagi. Lagi dan lagi.

Memikirkan mau dibawa kemana sebenernya hubungan mereka ini. Ia dan Sai memang menjadi cukup dekat semenjak insiden di Land of Silence beberapa bulan yang lalu. Mereka sering hang out bersama, tetapi tidak pernah hanya berdua saja. Sai memang jadi lebih sering mampir ke toko bunganya, tapi hanya untuk mencari inspirasi untuk gambar saja, sebenarya. Yah walau mereka menghabiskan cukup banyak waktu di sana juga sih. Tapi...

Kalau dibilang sekedar teman, rasanya tidak cukup. Tapi kalau dibilang lebih dari teman, rasanya juga bukan. Lantas apa?

Ino mendesahkan nafas panjang. Sai itu terlalu kompleks, seperti kepingan puzzle yang sedang berusaha ia cari kompatibelnya. Jika dianalogikan, Sai itu seperti bulan di angkasa luas. Terlalu impossible untuk diraih dalam cengkraman. Angan hanyalah sekedar angan.

Tetapi walau begitu, hatinya tetap memilih.

Memilih untuk mejatuhkan asanya pada pemuda di sampingnya ini.

Ino mencoba melirik-lirik dari sudut matanya. Tampak pria itu duduk dengan posisi kedua kaki ditekuk, kedua lengan mendekap lutut, dan kepalanya disandarkannya di sana. Kelopak mata pria itu sesekali terpejam, menutup lalu sepersekian detik membuka lagi—begitu seterusnya. Ino tak bisa menolong dirinya untuk tidak menatap.

Sai punya bulu mata yang cantik—ketika kelopaknya tertutup bulu matanya yang lentik menyapu kulitnya yang putih salju. Ia punya pipi yang tirus dan hidung bangir. Bahkan walau hanya sisi profil wajahnya yang terlihat, ia tetap saja menawan.

Ino menyadari pula bahwa Sai tampak terkantuk-kantuk, maka ia pun angkat bicara pada akhirnya, "Sai..." panggilnya, pelan. Tak ingin membuatnya kaget.

Kelopak mata pria itu secara otomatis terbuka, dan kelerengnya niscaya meliriknya, sorot tanda tanya terpantul di sana. "Ya?" balasnya, dengan volume suara serupa.

"Kamu ngantuk?" tanya Ino, masih dengan mengemut permen di lidah, "Kalau kamu ngantuk, kamu tidur saja sana, biar aku saja yang berjaga," Ino memberi titah, sembari kepalanya bergidik ke arah tenda-tenda yang berdiri di belakang mereka, tempat dimana ada Sakura, Shino, dan Kiba di dalam sana.

Kepala Sai tergeleng, mantap, "Tidak perlu," katanya, "Ini kan memang jatahku untuk berjaga, aku memang mengantuk, tapi tidak masalah,"

"Tapi—"

"Lagipula ada kamu disini," Sai berucap demikian, seketika memghentikan apapun yang hendak Ino layangkan sebagai protesan.

Malahan sekarang pipi Ino dibuat memanas karenanya—terlebih melihat Sai yang kini menatap lurus lurus ke arahnya. Kalimat itu sontak membuat dirinya menelan bulat-bulat apa yang hendak dikatakannya.

Ino bungkam, dan hanya bisa merutuk dalam hati.

Sai dan segala ambiguitasnya, ia bersumpah.

"Y-ya sudah kalau begitu," Memalingkan muka untuk menetralkan wajahnya, Ino lantas memilih kesibukan lain. Ia punya ide. Dijumputnya sebungkus permen yang dari saku roknya, menyerahkannya tanpa sungkan pada Sai, "Nih makan permen saja biar tidak terlalu mengantuk,"

Sai memberinya senyum, tipis dan hanya sepersekian senti, tapi mampu membuat jantungnya di dalam sana berdesir-desir geli. Manis—seperti rasa manis peremen yang menyergap perasaanya.

Terima kasih," ujar lelaki itu, sambil menjulurkan tangan untuk mengambil permen dari telapak tangan Ino.

Ketika permen itu sudah ada di genggaman, Ino bisa melihat bagaimana netra Sai justru tertuju pada bungkus permen itu, memperhatikannya dengan seksama. Ino tidak tahu apa yang tengah lelaki itu pikirkan. Apa yang begitu menarik dari sebungkus permen sih?

Sai terkadang bisa menjadi begitu sulit untuk dibaca. Ketika hanya Tuhan dan dia seorang lah yang mengetahui apa sebenernya isi kepalanya itu.

Setelah sepersekian detik hanya memandang, Sai akhirnya menyobek pembungkusnya, menaruh benda bulat itu ke dalam mulut, dan meletakan bungkus plastiknya di rerumputan.

Sai lantas memanggil,

"Ino,"

"Hm?"

"Aku juga,"

"Hah?"

.

Ino memiringkan kepala, kedua mata mengerjap karena bingung harus membalas apa. Kenapa tiba-tiba Sai berkata 'Aku juga', tanpa fafifu. Tanpa was wes wos.

Apanya yang "Aku juga"?

Perasaan... dia tadi kan tidak bilang apa-apa.

"Aku juga," ulang pria itu sekali lagi, kali ini dengan memandangnya benar-benar. Hitam menyita biru, membuat Ino sontak terbisu. Sorot mata Sai begitu... begitu menghipnotis dan—

"Aku mau ambil kayu bakar lagi, sepertinya apinya sudah akan padam,"

Sai tiba-tiba saja berkata begitu, menarik pandangannya dari Ino dan bangkit dari tempat duduknya. Meninggalkan si dara jelita yang hanya bisa mengerjap, dan masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi barusan.

Belum sempat dia meminta klarifikasi, Sai sudah keburu pergi.

Sungguh ia masih penasaran dengan kata-kata ambigu Sai.

Aneh. Aneh sekali.

.

Mendengus kesal, ia lantas menyandarkan kepala di atas lututnya, membiarkan irisnya tak sengaja bertumpuk pada bagian belakang bungkus permen yang diletakan Sai di rerumputan. Tertulis jelas disana, dengan font berwarna putih terang—

.

Aku suka kamu.

.

Aku suka—

Sebentar.

.

Aku suka kamu—

—Aku juga.

.

Bola mata Ino sontak membulat.

Jadi maksudnya Sai bilang begitu berarti dia juga—EH?!

EEEEEEEEHHH?

Ino bisa merasakan wajahnya berangsur memerah padam saat realisasi perlahan menamparnya.

Apa benar itu yang dimaksud Sai? Apa benar itu adalah respon dari kata-kata di balik bungkus permen itu? APA BENAR ITU BERARTI SAI JUGA—

Ino tidak punya maksud apapun kok, apalagi pingin confess. Ia bahkan tidak tahu kalau ia memberikan permen dengan sebaris kata itu. Ia hanya asal mengambil saja—Demi Tuhan!

.

Ino tidak tahu apakah ia harus berterima kasih atau mengutuk pabrik permen ini karena membuat bungkus dengan tulisan-tulisan memalukan nan alay seperti ini.

Tapi yang terpenting kan—

.

"OH MY GOD! SAI BENERAN SUKA AKUUUUUU!"

"INO YAMANAKAAAAA! KAU MEMBANGUNKAN KAMI SEMUA, TAHU!"

.

...Oops.


FIN.