
Denting jam dinding kantor menandakan hari genap pukul 5 sore, pertanda selesainya jam kerja untuk pekerja-pekerja pengejar gaji yang untungnya lumayan mencukupi untuk pola hidup ibukota. Meski harus bekerja membanting tulang (secara figuratif, tentunya) setiap hari selama 8 jam, ada gaji double digit idaman anak-anak muda yang menjadi gas untuk memercikkan api semangat para budak korporat.
Tiada bedanya untuk Veronica, karyawan finance yang sudah setengah jalan menjalani tahun keduanya bekerja. Si jelita sarjana akuntansi mendapatkan pekerjaan idamannya (di percobaan pertama pula!) berkat riwayat magang semester 5 dan 6. Lucky for her, atasannya sekarang adalah yang menjadi mentor selama magang, lalu staf HRD yang merekrut dia sudah kenal dari wawancara sebelumnya ketika masuk magang. Hampir semua mantan-mahasiswa iri dengan perjalanan mulus Veronica memasuki jenjang berkarir.
Meskipun begitu–bahkan untuk karyawan terajin sedunia sekalipun–, kalau sudah pukul 5 sore alias jam pulang kerja, tidak mungkin tidak disambut dengan lega olehnya. Atasannya, kak Mindy, yang merupakan pribadi disiplin dan giat bekerja, selalu menghela nafas lapang ketika jam dinding kantor berdentang 5 kali di sore hari. Veronica menutup laptopnya yang sudah dibiarkan beroperasi dari pagi hari untuk beristirahat sejenak, setidaknya untuk beberapa jam sebelum nanti di kamar kost-nya dibuka kembali.
Sembari ia memutar-mutarkan badannya untuk meregangkan otot-otot, ia mengintip pada meja yang paling jauh darinya. Meja punya kantor finance yang biasanya dipakai untuk mengumpulkan dokumen-dokumen hardcopy dari divisi-divisi lainnya. Biasanya kalau jam segini, ada kakak staf HRD yang suka mampir (karena sedang menuju akhir bulan) untuk mengumpulkan laporan payroll karyawan untuk diperiksa oleh staf finance. Sebuah kebiasaan para staf HRD untuk mengumpulkannya di akhir jam kerja, supaya keesokan harinya bisa langsung diproses oleh staf finance.
Biasanya ada satu orang yang kehadirannya ditunggu oleh Veronica, dan secara tidak sadar, kebiasaan mengintip ke meja paling jauh terulang setiap sore hari.
Kak Allesandra, sahabatnya kak Joanne si kakak staf HRD ramah dan baik hati yang mewawancarainya dua kali ketika Veronica ingin masuk untuk magang dan juga menjadi pegawai tetap. Kak Alle, atau Gigi panggilan akrabnya, yang Veronica kenal sebatas informasi dari kak Joanne kalau dia sahabatnya dari kecil.
Kak Alle, yang sudah Veronica taksir semenjak menjadi pegawai tetap dan melihatnya pada akhir bulan mengumpulkan dokumen payroll ke lantai divisi finance. Sampai-sampai kak Mindy suka ikut mengejek dengan menendang pelan kaki Veronica di bawah meja kalau ada yang tersebut masuk ke dalam ruangan.
(Padahal sendirinya sebenarnya bernasib yang sama dengan staf HRD yang satunya lagi, tapi itu cerita di lain waktu.)
Bahkan Veronica pun asal saja memanggilnya kak Alle di benaknya, padahal ia belum pernah sama sekali berinteraksi dengan beliau-nya. Dan asal tahu, semua orang di kantor memanggil kak Alle dengan sebutan Gigi.
Tapi hari ini sepertinya tidak ada yang datang berkunjung, Veronica (sumpah, dia nggak kecewa kok!) menghela nafas sedikit, ia tahu kalau kebiasaan staf HRD tersebut tidak setiap hari dilakukan, dan mungkin hari ini merupakan salah satu hari-hari tersebut. Ya sudahlah, masih ada hari esok. Dengan kedua tangan yang sudah hafal betul rutinitas pulang kerja, ia mulai melakukan hal-hal seperti; merapikan mejanya, memasukkan laptop dan segala printilan elektronik ke tas, membawa gelas kopi ke pantry ruangan dan mencucinya bersih, membuang sampah plastik yang tadinya berisi nasi goreng untuk makan siang, berbincang sedikit dengan kak Mindy kalau kerjanya hari ini sudah selesai.
“Aku pulang ya kak,” Veronica melambai tangan pada atasannya yang masih berleha-leha di biliknya seberang bilik Veronica. Baru saja Veronica mau beranjak dari kursinya setelah berpamitan, ia melihat ke jendela luar kantor.
Hujan. Deras banget.
Sialan.
Kok pas banget hari ini dia nggak bawa payung.
Mindy yang melihat Veronica diam mematung melihat keluar membuka suara, “Ver? Bisa pulang kamu hujan begini?”
Veronica terbangun dari bengongnya pada hujan yang lumayan deras, menelan ludah yang sudah mengancam akan mengalir keluar dari mulutnya yang tadi melongo besar.
“Eh hehe, bisa kok kak,” bahkan Veronica tidak terdengar percaya pada dirinya sendiri, menggaruk tengkuknya yang seakan gatal karena alergi melihat hujan deras di jam pulang kerja.
Dalam hati Veronica meringis, budak korporat berbekal transportasi umum sepertinya hanya bisa berpasrahkan diri pada Yang Maha Kuasa.
“Naik grabcar ya, aku pesenin,” Mindy berujar, jarinya yang sehari-hari lincah merevisi laporan keuangan kantor dengan cepat membuka aplikasi berwarna hijau di HP-nya. Kak Mindy yang kadang-kadang suka mengusili Veronica karena sudah seperti adik kandung sendiri, kalau di saat-saat seperti ini ia tentu khawatir adiknya akan pulang sendiri di tengah hujan besar yang menerpa ibukota.
“Eh gapapa kak gak usah, bisa kok aku,” Veronica langsung menghampiri meja Mindy untuk mencegahnya memesankan mobil untuknya.
Sifat kak Mindy yang ringan tertawa tapi peduli sesama adalah karakter atasan idaman, satu hal lagi yang membuat banyak orang iri pada jalan karir Veronica. Tapi, namanya juga bawahan, pastinya rasa sungkan lebih besar daripada insting survival seorang budak korporat.
“Bakal naik apa kamu kalo gitu?” Mindy tanya kepada sang empu yang sudah berdiri di hadapannya. Veronica lidahnya kelu, dia terlalu sibuk memikirkan alternatif kendaraan umum yang bisa ditumpangi untuk pulang (naik motor lebih murah 40 ribu daripada naik mobil walaupun resikonya dia dimandikan semesta oleh hujan deras di perjalanan pulang, tapi naik mobil mahal banget, lebih worth it memesan ayam geprek untuk makan malam nanti) sampai keduanya tidak memperhatikan kalau dari tadi sudah ada orang lain di ruangan yang ikut mendengarkan percakapan.
“Aku anterin aja mau?”
Sebuah suara memecah kereta pikiran Veronica, dua kepala langsung menengok ke arah meja paling jauh dari mereka.
Seorang Allesandra–sudah memakai hoodie di atas kemeja warna putih yang merupakan tipikal baju kantor untuknya–menandakan sang empu sudah siap pulang setelah mengumpulkan laporan payroll ke finance.
Ketika Veronica melirik pada Mindy yang sudah pelan-pelan menyeringai jahil, dia bergumam pada hati, ‘mati aku.’
“Lo bawa kendaraan kak?” Tanya Mindy sambil menahan senyum dan menahan tangan Veronica supaya kakinya tidak ditendang-tendang pelan di bawah meja.
Kak Alle mengangguk, “iya, mobil.”
Hilang sudah muka Veronica.
Mindy kembali menoleh pada adik satu divisinya, dengan mata berkelip iseng dan suara yang sengaja dikeraskan supaya semua orang (mereka tinggal bertiga di ruangan itu) bisa mendengar.
“Tuh dek! Gih sana, pulang sama kak Gigi!” dengan satu gerakan yang sangat mulus, Mindy beranjak dari kursinya dan mendorong bahu Veronica ke arah kak Alle.
Bahkan Veronica saja tidak diberi kesempatan oleh Mindy, kak Alle, atau Tuhan sekalipun untuk membuka mulutnya, karena ketika ia berdiri di hadapan kak Alle, sang empu lebih cepat berujar, “yuk, tasku juga udah di mobil.”
Ya Tuhan, kuatkanlah iman Veronica dan berikan Mindy sedikit sentilan karena ia sama sekali tidak bersiap-siap untuk situasi ini. Jangankan diantarkan pulang, berbicara sepatah dua patah kata pun tak pernah sebelumnya dan tak pernah ia pikir perlu bersiap untuk itu. Semoga kedua pipi Veronica yang mulai merona bisa mereda karena dia salah tingkah banget!
Veronica hanya bisa melihat kak Alle berbalik badan menuju lift, dan ia dengan cepat menyusulnya sebelum melotot pada Mindy yang sedang menahan tertawa. Semoga setelah ini, kak Joanne ikut mengajak kak Mindy pulang bareng supaya ia bisa meledeknya juga.
Suara elevator berbunyi tanda pintu terbuka, dan kak Alle memberi jalan sedikit supaya Veronica bisa masuk duluan (yang kayak begini saja jantung Veronica sudah loncat-loncat). Setelah dipencet tombol ‘B1’, elevator tertutup pintunya dan menuju turun. Tidak ada yang membuka suara, Veronica berharap suara degup jantungnya yang begitu kencang di telinganya tidak sekuat itu memecahkan keheningan mereka berdua.
Kenapa harus hari ini dari semua hari yang ada di dunia ini mereka pulang bersama? Coba kalau Veronica tahu dari kemarin-kemarin, bahkan kalau bisa dari bulan sebelumnya, kalau hari ini ia akan pulang bersama kakak senior yang ia taksir berat semenjak masuk menjadi pegawai. Tahu begini, pasti Veronica akan dandan dan berpakaian lebih sopan dan jelita, bukan dengan pakaian asal ambil dari lemari karena tadi pagi ia bangun telat jadi harus terburu-buru berangkat ke kantor–,
“Nica,” suara pelan kak Alle mengagetkan Veronica dari lamunannya, sampai-sampai tumbler warna ungu kesayangannya jatuh dari genggamannya. Hilang sudah image -nya pada kesan pertama, dasar tumbler sialan.
“Kak! maaf banget aku kaget!”
“Eh, maaf maaf..,”
Kikuk dua-duanya sambil sama-sama berjongkok mengambil tumbler yang terjatuh di lantai lift. Tangan kak Alle lebih cepat meraih tempat minum tersebut daripada yang punya, sehingga tangan keduanya bersentuhan. Veronica berhasil menahan rasa malu, bahkan ketika kak Alle menatapnya sedikit ketika ia terbeku merasakan hangatnya tangan sang empu bersenggolan dengan jari-jarinya. Tapi ia bisa merasa betapa panas kedua telinganya, bisa-bisa berasap saking panasnya.
“Ma-maaf kak,” Veronica cepat-cepat beranjak berdiri dan menyembunyikan wajah meronanya, “kenapa ya kak?”
Kak Alle ikut berdiri, “aku mau tanya kamu tinggal dimana Nica? Biar aku bisa cek maps,” sebutnya sambil merogoh kantong celana untuk mengambil HP-nya.
Sebelum Veronica bisa berujar, kak Alle terburu-buru menyanggah kembali, “Eh, benerkah aku panggil kamu Nica? Aku baru sadar aku nggak tahu nama panggilan kamu.”
‘Ya Tuhan gemes banget deh orang cakep satu ini,’ batin Veronica dalam hati. Seraya mereka berdua melangkah keluar dari lift yang sudah tiba di lantai B1, yang lebih muda menjawab, “sebenernya orang-orang lebih sering manggil aku Vero sih kak.”
Tetapi sebelum kak Alle bisa membuka mulut, kali ini Veronica juga ikut memotong, “tapi kakak panggil aku Nica juga gapapa sih hehe, jadinya beda gitu panggilannya sama orang-orang lain.”
Alis kak Alle naik, sedikit kaget dengan sebuah pernyataan yang berani dari mulutnya Veronica. Sang empu juga baru sadar atas perkataannya yang baru saja ia ucapkan asal dari mulut lemesnya, matanya membelalak sedikit lalu ia pindahkan pandangannya ke tiang lantai parkiran yang tertulis ‘B1-A4’. Sepertinya kombinasi angka dan huruf itu lebih menarik untuk dipandang, menurut Veronica. Yang lebih tua hanya bisa tersenyum kecil, ia bisa melihat telinga merah yang mengintip dari balik surai coklat hitam yang lebih muda.
“Oke Nica,” panggil kak Alle, yang dipanggil hanya menoleh sedikit (takut saltingnya lebih-lebih lagi), “mobil aku yang itu.”
Kak Alle menunjuk kepada sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri, arah pandang Veronica sekarang tertuju pada sebuah mobil Honda Civic warna hitam berjarak sekitar 8 meter darinya. Ia tak banyak berkomentar, hanya menggerakkan kakinya menuju mobil tersebut bersama dengan yang punya. Lagi-lagi Veronica dibuat kaget oleh kelakuan kak Alle yang tiba-tiba melangkah di depannya dan membukakan pintu penumpang. Apakah kak Alle begini ke semua orang yang menumpang mobilnya? Perilakunya terlihat acuh tak acuh seperti ini bukan hal besar bagi kak Alle, tapi perut Veronica isinya kupu-kupu terbang berkeliaran tak terkendali.
Ketika kak Alle sudah ikut masuk ke dalam mobil pada kursi supir dan menyalakan mesin mobil, ia menyodorkan HP-nya kepada Veronica, “ini kamu ketik aja alamat kamu.”
“Oh iya kak,” Veronica mengetik alamatnya pada aplikasi maps di HP kak Alle. Sebenarnya jaraknya tidak jauh dari kantor, tapi kalau dipaksa naik motor dengan keadaan hujan deras begini tetap saja basah kuyup, “ini kak.”
Kak Alle melihat alamat yang tertera pada aplikasi tersebut, mencubit layar untuk men-zoom out tampilan supaya jalannya terlihat lebih jelas.
“Oalah, gak jauh dari tempatku ini,” ujar kak Alle sembari menyolok HP-nya dengan kabel carplay, lalu menginjak gas pelan untuk menggiring mobilnya keluar dari basement.
“Oh ya? kak Alle tinggal di daerah Poltangan juga?” Veronica menyebut daerah kost-nya, matanya terarah pada pemandangan ibukota tersiram air hujan deras. Banyak pengendara motor yang minggir terburu-buru untuk memakai jas hujan, dan beberapa pedagang kaki lima yang sigap membuka tenda oranye untuk melindungi dagangannya dari hujan.
“Kamu panggil aku Alle ya?” kekehnya.
Ternyata tanpa sadar ia menyebut sang empu dengan panggilan yang selama ini ia buat-buat di kepalanya. Leher Veronica langsung memutar melihat kak Alle yang sedang tersenyum ke arahnya, mulutnya hanya bisa cengap-cengap buka tutup mencari alasan yang tepat tapi tidak ada satupun kata yang keluar.
“Sebenernya temen-temenku manggil aku Gigi,” ucap kak Alle pelan, mulut Veronica terbungkam malu, “tapi kalo kamu mau panggil aku Alle juga gapapa, Nica,” selesainya Alle dengan senyuman manis.
Di titik ini, Veronica yakin satu wajahnya sudah merah padam seperti tomat.
“And to answer your question, apartemenku di Pejaten. 14 menit dari kost-mu, asal kamu tahu,” imbuh sang supir dengan nada datar tapi lembut, seakan informasi terakhir tersebut wajib disampaikan kepada sang penumpang yang sibuk menahan salah tingkah di sebelahnya.
Ya Tuhan, selamatkan Veronica dari situasi yang tidak aman untuk hatinya ini.
Setelah hampir setengah jam mengarungi macetnya ibukota di jam pulang kerja, dan juga beberapa menit menunggu kak Alle yang melipir ke warung nasi goreng langganannya untuk makan malam, akhirnya Veronica sampai rumah diantar kak Alle.
“Tunggu ya,” imbuh si supir sambil membuka pintu mobil dan meregangkan payung yang selalu disimpan di setiap bawah jok di mobilnya. Si penumpang hanya bisa menautkan alisnya bingung, kenapa ia disuruh tunggu padahal sudah di depan kost-an. Ternyata kak Alle berjalan sampai ke sisi kursi penumpang, membukakan pintu untuk Veronica dan memiringkan payung supaya ia tidak kehujanan.
Veronica merasa seperti tidak diberikan kesempatan untuk bernafas dan mengatur tenangnya supaya tidak meledak hatinya karena salah tingkah, ia beranjak keluar dari mobil secepatnya kak Alle membukakan pintu.
“Kak, pundak kakak keujanan itu,” tunjuk Veronica pada pucuk pundak kiri kak Alle yang sudah basah karena tersimbah air hujan yang mengalir dari atas payung. Kak Alle hanya melirik sejenak, lalu membalas dengan senyuman manis, “gapapa, yang penting kamu ngga.”
Tak ingin yang lebih tua melihat pipinya merah merona, Veronica mengangguk kecil lalu mempercepat langkahnya menuju pagar, membuka gembok dengan tergesa-gesa (sialnya hari ini ia menaruh kunci pagar dan pintu kost di dasar tasnya yang paling dalam) lalu berjalan sampai depan pintu kost.
Ketika Veronica akhirnya berhasil memasukkan kunci pada lubang pintu depan, ia berbalik menghadap kakak senior sekantor yang sudah mengantarnya dengan aman dan kering sampai rumah. Menghela nafas sedikit, ia berucap, “makasih ya kak, nanti-nanti aku traktir makan siang deh as a thanks.”
Kak Alle terkekeh, “gapapa santai, kan Mindy juga tadi minta tolong.”
Veronica mengangguk lagi, besok-besok ia akan mencubit kak Mindy sambil berterima kasih beribu-ribu kali karena sudah membuatnya menghabiskan waktu bersama kak Alle.
Baru Veronica membuka mulut untuk mengucap terima kasih sekali lagi pada sang empu di hadapannya, tiba-tiba kak Alle berseru, “eh sebentar Nica.”
Lalu kak Alle berlari kecil menuju mobilnya kembali, membuka pintu belakang untuk mengambil sesuatu yang terlihat seperti kantong plastik, sama seperti yang Veronica lihat tadi kak Alle tenteng seusai membeli makanan dari warung nasi goreng langganannya. Kak Alle berjalan kembali ke hadapan Veronica, lalu ia sodorkan kantong plastik bening itu kepadanya.
“Tadi aku beli seporsi buat kamu, cobain ya? enak loh,” Kata kak Alle enteng, sambil ia lirik sejenak kantong berisi nasi goreng yang dibungkus dengan kotak plastik.
Veronica hanya bisa termenung sedikit melongo, ia pening diserang segala macam love languages dari kak Alle. Ia bahkan yakin bukan hanya wajahnya yang merah padam, tapi seluruh tubuhnya juga menunjukkan semburat tersipu. Dengan kuat, ia menahan untuk tidak berteriak gemas karena perhatian kakak seniornya yang cantik ini.
“Makasih kak,” ucap Veronica dengan nada tinggi dan volume kecil (malu banget suaranya pecah!), “makasih juga udah anterin aku pulang.”
“Sama-sama Nica,” kak Alle masih dengan senyum manisnya yang mulai membuat Veronica sebal karena kok ada ya manusia sebaik dan secantik ini di dunia??
“Aku pulang dulu ya,” pamit kak Alle sambil berjalan mundur sedikit, lalu berbalik badan menuju mobilnya. Veronica yang sudah tidak tahan menahan nafas karena malu, buru-buru ia masuk ke dalam kost-nya. Ketika ia menutup pintu depan, ia menyandarkan sebagian berat tubuhnya pada pintu sambil satu tangan mengusap wajahnya.
“Why are you so cute sih kak, astaga..” gumam Veronica sambil menggenggam erat kantong plastik nasi goreng sialan itu yang membuat detak jantungnya berderap seratus kali lipat lebih cepat.
Ia menghela nafas kasar, apa yang akan ia lakukan nanti ketika ia melihat kak Alle lagi di kantor? Pura-pura akrab?? Selama perjalanan menuju pulang tadi aja diajak ngobrol saja ia masih kikuk kalau menatap matanya langsung, bagaimana besok-besok ketika bertemu di kantor dan kak Alle menjadi lebih sering menyapa dan mengobrol dengannya??? Selesai sudah, hilang image Veronica.
“Aduh gabisa nih kaya gini..” omelnya pada dirinya sendiri sambil ia membuka sepatu dan bergegas naik ke lantai atas menuju kamarnya. Ia akan spam ruang chat-nya dengan kak Mindy untuk melepas rasa salah tingkah. Dasar kau, kak Alle.
Selesai mandi dan menenangkan dirinya dari segala macam hal yang ia alami dalam beberapa jam terakhir, Veronica menghangatkan kotak nasi goreng dalam microwave lalu membuka HP-nya yang kotak notifikasinya berisi empat pesan tak terjawab dari sang dalang handal dari skenario hari ini, kak Mindy tercinta.
kak mindy mentor kantor
veroo udah sampe rumahh?
haloo
eh kamu ngga diculik kan sama kak gigi
veroooo
kakakkkk
kak mindy bener bener ya
muka aku mau ditaro dimana besok besok iniii
WKWKWKWK
santai aja kali
kan kak gigi emang baik orangnya
lo nya aja kebaperan
siall
emang lo diapain aja
ga kenapa kenapa kan
ya nggak lahh emang bakal ngapain
wkwkw soalnya lo ga bales bales dari tadi
takutnya dibawa kemana gitu
tadi diaa ke warung nasgor dulu kakk
beli buat makan malem ternyataa
…terus aku dibeliin juga
WKWKWK CIEEEE
saltingnya sampe koprol ga tadi
YA GAK LAHHHH
tapi emang salting banget gakuat
gila ya semua love languages aku kena banget tadi kak
wkwkwkw lucu banget sih
ini bentar lagi juga lo bakal salting lagi
jangan marah sama gue yaaa
hah kenapa emang
kakkk
Belum sampai Veronica menginterogasi kakak seniornya, tiba-tiba ada lima pesan dari nomor yang tidak tersimpan.
+62-1030-xxx-xxx
halo Nica, ini Gigi
eh Alle maksudnya
aku izin tadi minta nomor kamu dari Mindy
aku mau kabarin aku baru sampe rumah
save nomorku ya Nica, hehe thanks!
Senyum Veronica merekah kembali seperti remaja yang baru menemukan cinta pertamanya, tanggung jawab ya kak Alle.