Oake

Harry Potter - J. K. Rowling
F/M
G
Oake
Summary
Tentang Lupin yang diam diam jatuh cinta pada seorang gadis metamorphmagus muda; Nymphadora Tonks, dan Marauders yang setia memberinya 'dukungan'.

Apa lagi yang ditunggu murid Hogwarts selain masuk sekolah dan bertemu kawan sesama wizard ? Setelah penantian panjang selama dua bulan libur musim panas, para siswa Hogwarts akan kembali ke asrama; memulai tahun ajaran baru dan rutinitas mereka sebagai calon wizard muda. Berkutat dengan buku dan mantra, praktik dan kemampuan analitik, serta hal-hal tak terduga yang menanti mereka.

 

Selepas musim panas pula, siswa baru datang menggantikan senior mereka yang telah lepas landas ke dunia para wizard yang sesungguhnya; mengambil alih posisi sebagai penerus para wizard yang telah tunai masa jabatannya. Pengalaman baru dan keajaiban fantastis adalah satu dari sekian banyak peristiwa yang menunggu.

 

Ada banyak hal yang dapat terjadi di Hogwarts.

 

Pagi itu, bunyi lenguhan kereta uap yang mengepul mengantarkan Lupin mengantri di peron 3/4, menanti gilirannya naik menuju gerbong yang hampir penuh sesak. Kereta express yang akan memboyongnya menuju tahun-tahun terakhirnya di Hogwarts tersebut berdiri kokoh diatas rel baja yang mengalur panjang; bersiap membawa para siswa ke destinasi yang selalu sama setiap tahunnya.

 

Pemuda dengan rambut kecokelatan tersebut membopong kopernya masuk, berdesakan dengan para siswa tidak sabaran; menempati bilik kosong tanpa penghuni, lantas menata tempatnya menumpang selama perjalanan. Bilik itu sepi, hanya ada dirinya yang duduk menempati. Ketiga kawannya masih belum tampak batang hidungnya. Entah kemana Black, Potter, dan Pettigrew pergi.

 

Sepasang iris sewarna zamrud miliknya kemudian menerawang keluar jendela. Bertopang dagu, Lupin menatap kosong pada hamparan siswa yang sedang mengucap salam perpisahan pada orang tuanya, berbondong-bondong seperti lautan manusia yang bergerak beriringan menuju gerbong-gerbong panjang kereta express ini. Ia nyaris membuang pandangannya ke arah lain, sebelum sudut matanya menangkap sesuatu.

 

Ada seorang gadis tengah berpamitan pada kedua orang tuanya. Sekilas, hal itu nampak biasa, seperti siswa pada umumnya, namun ada yang berbeda. Ada yang menarik perhatiannya.

 

Apa apaan rambut jabrik merah muda itu?

 

Lupin menatap lekat sosok perempuan muda yang ada di seberang sana. Selama enam tahun Ia bersekolah di Hogwarts, belum pernah sama sekali dirinya menjumpai gadis tersebut. Penampilannya yang begitu mencolok sangat menarik perhatian, bahkan beberapa siswa lainnya juga menambatkan tatapannya pada gadis itu.

 

Siapa?

 

Ia terus menatapnya lamat-lamat sampai si gadis melambai pada kedua orang tuanya, menjinjing tas bawaannya, melangkah masuk menuju gerbong. Buru-buru ia menempelkan pipinya pada jendela kaca bilik tempat mereka menumpang, mencuri pandang dengan sudut matanya sampai daksa gadis itu lenyap ditelan badan kereta—

 

“Oi, Moony, ” Sebuah tepukan pada pundaknya mengejutkan Lupin, membuat dirinya berjengit, lantas berbalik badan dan menemukan sosok kawannya sedang nyengir lebar. “Bagaimana musim panasmu?”

 

Lupin menghela nafas lega. Kukira siapa. “Biasa saja, tidak ada yang istimewa. Bagaimana denganmu, Padfoot ?”

 

Pemuda gondrong tersebut, Sirius Black, mendudukkan diri di atas bangku empuk dari bilik yang mereka tempati. Kepalanya menengadah ke langit langit bilik, menerawang dengan tatapan kosong. “Sama saja, kurasa.”

 

Yeah, tidak ada yang dapat dibanggakan di musim panas menuju tahun-tahun terakhir di Hogwarts, ‘eh?” Lupin menanggapi. “Setidaknya, ada N.E.W.T yang perlu kita persiapkan kedepannya.”

 

Black mengerang. “Ah, ya, betul. N.E.W.T,” Sebuah hela nafas panjang keluar darinya.  “Snivellus culun itu pasti sedang berusaha sekuat mungkin untuk dapat gelar Outstanding di semua subyek yang dia ambil.”

 

Lupin hanya tersenyum kecut. Ia tidak pernah menyetujui tindak perudungan yang dua kawannya itu lakukan pada Snape, pun ia juga tak mampu berbuat apapun. “Yah, kau juga jangan sampai tertinggal,” Timpalnya.

 

Mendengarnya, Black terkekeh dengan nada setengah merendahkan. “Tentu. Aku pasti tidak akan kalah dengan si Snivellus itu.”

 

Kereta uap kembali melenguh panjang, menginterupsi percakapan hangat keduanya. Bunyi roda berputar dan gerbong yang bergerak menjadi tanda perjalanan mereka dimulai. Perlahan, Lupin dapat melihat pemandangan diluar jendela berkelebat dengan cepatnya; bermula dari dinding stasiun, gedung-gedung perkotaan, sampai pemandangan hijau yang luas penuh rerumputan. Tahun keenamnya di Hogwarts dimulai.

 

“Omong-omong, apa yang kau lihat barusan?” Black mengoyak sunyi yang menyergap keduanya. “Kelihatannya antusias sekali.”

 

“Bukan apa apa,” Lupin menyanggah cepat.

 

“Ada gadis yang kau suka, ya?” Berniat menjahili kawannya, Black tersenyum penuh makna.

 

“Sudah kubilang, bukan apa apa…”

 

“Katakan saja, tidak perlu sungkan.”

 

“Apa yang perlu kukatakan?”

 

“Siapa namanya?” Alis Black naik turun berulang kali, bertopang dagu, semakin jauh mengusik temannya.

 

Padfoot ,” Nada suara Lupin berubah serius. “Hentikan.”

 

“Kalian sedang membicarakan apa?”  Tiba-tiba, pintu bilik yang mereka tempati dibuka, menunjukkan dua orang tengah membawa barang bawaannya. Salah satu yang berkacamata menatap heran, “Kedengarannya serius sekali.”

 

Prongs, Wormtail !” Black tertawa hangat, menyambut keduanya; lantas membantu mereka untuk menata barang-barangnya. “Kalian tahu, Moony dari tadi memperhatikan sesuatu sebelum aku datang menyapanya.”

 

Padfoot… ” Lupin hendak menyanggah, namun kalimatnya terhenti; tidak dihiraukan begitu saja.

 

“Sepertinya dia sedang memperhatikan seorang gadis,” Sambung Black. Pettigrew tergelak kecil mendengarnya, diikuti Potter yang terbahak sambil menepuk pundak kawannya itu berkali-kali. “ Moony kecil kita sudah dewasa, rupanya,” Ia berkata.

 

Lagi-lagi, Lupin tersenyum kecut. “Sudah kubilang, bukan apa apa.”

 

Perjalanan menuju Hogwarts itu menjadi perjalanan yang panjang bagi Lupin. Bukan perihal jarak; Ia selalu sama setiap tahunnya, tetap dan tidak pernah berubah. Akan tetapi, ketiga kawannya yang sibuk menyudutkan dirinya-lah yang menjadi masalah besar.

 

Maka, Ia putuskan untuk membuang pandangannya keluar jendela, berlagak tidak peduli.

 

“Anak-anak baru lewat sini!” Sosok tinggi besar dengan janggut menjuntai dan rambut keriting lebat berantakan mengarahkan siswa yang berduyun duyun keluar dari badan mereka setibanya di tempat tujuan. Itu Hagrid, juru kunci Hogwarts. Senja telah ranum, cahaya jingga keemasan yang menelisik dari rapatnya pepohonan perlahan meredup; berganti posisi dengan pendar bulan yang menggantung indah diatas sana.

 

Lupin melangkah keluar kereta, membiarkan barang bawaannya dibawa petugas, lantas menyusul ketiga kawannya yang sudah duluan. Pemberhentian mereka, seperti biasa, penuh sesak dengan para siswa yang tidak sabaran untuk menunggu jamuan di aula utama.

 

“Anak barunya banyak,” Pettigrew berkomentar setibanya Lupin disebelahnya, “Sepertinya lebih banyak daripada yang tahun lalu. Apa setiap tahunnya memang begitu?”

 

Lupin hanya mengedikkan bahunya, tidak tahu.

 

Setelah langkahnya seiringan dengan ketiga kawannya, Lupin sekali lagi tidak sengaja bertemu pandang dengan sosok berambut jabrik merah muda tersebut. Ia tersandung batu kecil, menatap batu itu kaget, lantas buru-buru kembali ke kerumunan tempatnya berasal.

 

Tak sadar, sebuah senyum tipis mekar di bibir pemuda pemilik sepasang iris zamrud tersebut. Gadis kikuk, batin Lupin.

 

“Oh, yang itu rupanya,” Black menyikut kawannya, tersenyum mengejek, lantas tergelak kecil. “Bingo.”

 

Senyum Lupin mendadak masam, ditatapnya pemuda gondrong itu sinis. “Sok tahu sekali kau,” Cibirnya setengah setengah mengomel.

 

“A-Ha! Tebakan ku ternyata benar,” Tidak menghiraukan ucapan Lupin, Black malah balas merangkul kawannya. “Jangan lupa kenalkan pada kami, ya.”

 

Lupin hanya memutar bola matanya malas. Tidak akan ada habisnya jika Black diladeni terus terusan begini.

 

Mereka tiba lebih dulu di aula utama, sementara para siswa baru mendapatkan instruksi singkat perihal seleksi asrama. Lupin duduk di samping Black dengan tangan tertaut satu sama lain di atas meja. Lilin-lilin yang menggantung tanpa penyangga bertebaran, cahayanya berkeredep samar diterpa angin yang hilir mudik; Langit-langit yang seolah olah tak bertudung menampilkan suasana malam dengan awan kelabu dan bintang bertabur.

 

Duduk di depan sana, seorang pria lanjut usia sehat bugar dengan rambut ubanan panjang menjuntai dan janggut putih panjang; penuh wibawa, penuh kharisma. Beliau duduk tepat di tengah tengah singgasana para profesor. Beliaulah kepala dari Hogwarts, Albus Dumbledore. Lupin sesekali mencuri pandang kepadanya yang duduk diantara para profesor, sementara ketiga kawannya sibuk tertawa dan bercengkrama.

 

Namun, hal itu tidak bertahan lama. Tatapannya dialihkan oleh pintu yang mendesak terbuka, diikuti oleh Profesor McGonagall yang memimpin barisan para siswa.

 

“Harap tunggu dan buat barisan horizontal,” Wanita yang seusia dengan Dumbledore tersebut menapaki undakan menuju kursi dan topi seleksi ditempatkan. “Sebelum kita mulai, Profesor Dumbledore akan memberikan sedikit pembuka.”

 

Lupin menatap pria yang tengah bangkit dari duduknya itu. Dumbledore memandang satu persatu siswa baru yang ada di hadapannya, berdehem, kacamata separuh lingkaran yang ia kenakan melorot sampai ke pucuk hidungnya. “Saya punya pemberitahuan di awal semester, harap diperhatikan supaya tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan.”

 

Lupin sudah hafal apa yang akan beliau sampaikan. Tatapan matanya menerawang sekeliling, mencari sesosok gadis di antara gerombolan siswa yang membentuk garis lurus; mendengarkan ceramah kepala sekolah dengan hikmat.

 

Black bersiul panjang begitu mengerti kawannya senyum senyum sendiri. “Ada yang sedang kasmaran,” celetuknya.

 

“Orangnya yang mana, sih?” Potter berbisik, membalikkan badannya untuk melihat kerumunan siswa baru, dilanjutkan Pettigrew yang ikut ikutan penasaran.

 

“Itu, yang rambutnya pendek, warna pink terang,” Black memberikan lirikan sugestif, Potter lantas tersenyum penuh makna sesaat ia menangkap sosok yang dimaksud.

 

“Itu, ya?” Potter membetulkan kacamatanya sembari menaik turunkan alis, menggoda. “Kelihatannya dia keren.”

 

Entah keberapa kalinya dalam satu hari ini Lupin dibuat tersenyum masam oleh ketiga kawannya. “Kalian ini… bisa berhenti mencampuri urusan orang lain, tidak?”

 

“Orang lain siapa? Kau ‘kan teman kami. Urusanmu urusan kami juga,” Potter melanjutkan, ia menyeringai lebar. “Jangan lupa dikenalkan ya.”

 

Lupin hanya menggerutu sebagai responnya.

 

“Terima kasih,” Dumbledore menyudahi pidatonya, kemudian kembali mendudukkan diri. Profesor McGonagall lantas membuka perkamen yang digenggamnya, lembarnya yang panjang mengalur sampai lantai. “Baiklah, yang namanya disebut silahkan maju ke depan.”

 

Satu per satu siswa dipanggil. Seleksi asrama selalu menjadi momen mendebarkan bagi semuanya, membuat degup jantung tak karuan; tak hanya bagi siswa baru, namun juga para penghuni lama. Professor McGonagall memanggil salah satu nama, lantas seorang anak laki-laki dengan hidung mancung menaiki undakan.

 

Hmm.., Benar. Benar, begitu. Bagus sekali. ” Topi seleksi itu bergumam sendiri, seakan sedang menyeringai bangga, kemudian mengerutkan alis imajiner miliknya. Si anak yang sedang di seleksi memejamkan matanya erat-erat, gugup.

 

Ravenclaw !” Sorakan dan tepuk tangan lantas memenuhi aula utama setelah topi seleksi tersebut menyerukan nama asrama yang terpilih. Anak itu menghela nafas dengan raut wajah lega, lalu beranjak menuju tempat para penghuni asrama ravenclaw duduk.

 

Selanjutnya, dan selanjutnya, siswa baru terus disortir. Satu per satu sudah mulai bergaul dengan kakak tingkatnya, menyesuaikan diri dengan kondisi dan mengobrol ringan. Sesekali, Lupin ikut bertepuk tangan kala nama gryffindor disebut, menyambut anak baru dalam naungan asramanya, dan menanti gadis itu mendapat gilirannya.

 

“Nymphadora Tonks.”

 

Panggilan Profesor McGonagall membuat gadis itu memfokuskan pandangannya, lalu berjalan menaiki undakan. Ia duduk di atas kursi dan membiarkan profesor meletakkan topi seleksi di kepalanya.

 

Sepasang iris sewarna zamrud milik Lupin berkedip dua kali. Jadi, itu namanya.

 

Loyal… Berhati mulia, pekerja keras…, ” Lagi lagi, topi seleksi itu bergumam sendiri. Alis imajiner miliknya kembali bertaut, seakan berpikir keras, “ Hanya ada satu tempat yang pas untukmu, anak muda.

 

Entah mengapa, meski bukan Lupin yang duduk disana, ketegangan yang mampir justru membuat denyut nadinya tak karuan. 

 

Dimana?

 

Dimana gadis itu akan ditempatkan?

 

Hufflepuff !” Seruan topi seleksi disambut sorakan meriah penghuni asrama yang identik dengan kuning hitam tersebut. Tonks menyunggingkan sebuah cengiran bangga, lantas berjalan—yah, tersandung sedikit—menuju tempat para hufflepuff duduk.

 

“Anak hufflepuff, ‘eh,” Potter tersenyum, sekali lagi, ada makna tersirat didalamnya. “Kutarik kata-kataku. Dia memang keren.”

 

“Terserah,” Lupin memutar bola matanya malas.

 

Lambat laun, seluruh siswa baru akhirnya telah mendapat asramanya masing masing. Suasana kembali senyap ketika Profesor Dumbledore kembali berdiri, merentangkan tangannya ke udara. “Makan malam, dimulai.”

 

Hanya dalam sekejap mata, berbagai macam hidangan tersaji di hadapan mereka secara otomatis, membuat para siswa baru terkesiap dengan senyum terkembang lebar di wajahnya. Lupin mencuri pandang pada tempat Tonks duduk bersama kawan-kawannya; melihatnya tertawa sembari menikmati sajiannya, lantas, tak sengaja, kedua pasang iris berbeda rupa mereka bersitatap.

 

Bola mata itu, gelap seperti malam, berpendar indah dalam pandangan Lupin.

 

Buru-buru pemuda itu menundukkan wajah, memotong interaksi tidak langsung mereka, lalu ikut menyantap makanan yang terhidang di depannya.

 

Tidak perlu dipikir terlalu serius, batinnya.

 

Keesokan harinya, mata pelajaran mantra menunggu untuk dihadiri. Langkah panjang Lupin menuruni anak tangga melingkar sambil mendekap buku dan tongkat sihir membawanya menuju kelas yang ia maksud. Ia hendak melanjutkan perjalanannya, namun kakinya terhenti kala pemandangan diluar jendela begitu menarik perhatian.

 

Lapangan hijau yang terhampar luas menjadi tempat pembelajaran kelas terpenting untuk wizard pemula; terbang menggunakan sapu. Siswa kelas satu sedang berbaris membentuk dua garis horizontal sejajar, berhadapan satu sama lain, sapu-sapu terbang tergeletak di samping kaki mereka.

 

Lupin menghentikan langkahnya, mendekat pada jendela untuk melihat lebih jelas. Tonks kelihatan jelas di bawah sana, memperhatikan profesor dengan seksama, lantas mengangguk kecil. Ia tampak berbeda dari yang semalam ia temui. Rambut jabrik merah mudanya lenyap, digantikan potongan rambut bob sewarna kayu cendana.

 

Sepasang iris zamrud pemuda itu keheranan. Apa dia seorang metamorphmagi ?

 

Niatnya, Lupin masih ingin mencuri pandang lebih lama lagi, namun sebuah siulan panjang yang Ia dengar dari belakangnya membuyarkan niat tersebut. “Ada yang intip intip,” Black terkikik kecil, lantas berjalan menjauh. “ Secret admirer ?”

 

Lupin menghela nafasnya kasar. “Bisakah kau berhenti menguntitku?”

 

“Oh, ayolah, Moony ,” Sambung Black. “Profesor Flitwick tidak akan membuat kelasnya menunggu untuk agenda kencan dadakan.”

 

“Siapa yang kencan?” Lupin mendengus, mempercepat langkahnya, berjalan melewati kawannya tidak peduli.

 

Black hanya tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Ckck, anak muda.”

 

Besoknya, bahkan besoknya lagi, dan seterusnya; pikiran Lupin selalu dipenuhi gadis manis itu. Setiap ia berpapasan di lorong sekolah, atau di aula utama saat waktu jamuan makan tiba, ia tidak bisa menatap wajahnya lama-lama. Aura yang dipancarkannya begitu hangat dan bersahabat. Namanya tersohor di antara siswa Hogwarts sebagai salah satu yang terbaik dari jajaran siswa baru, menambah pesonanya.

 

Sejujurnya, lama kelamaan candaan Black dan Potter terhadapnya jadi kenyataan.

 

Sesekali, Lupin ingin memberanikan diri untuk menyapa, hanya sebuah panggilan singkat dan ucapan ‘ hai ’ sederhana. Niatnya batal seketika melihat ketiga kawannya tersenyum licik dengan ekspresi jahil dari kejauhan, alis naik turun, menggoda. Sekarang, Ia mengerti seperti apa rasanya jadi bahan bulan bulanan Black dan Potter. Menyebalkan .

 

Tanpa sadar, Lupin menyukai semua sisi Tonks. Kepribadiannya yang ramah; sesekali kikuk dan suka gelagapan, ketangkasannya dan keahliannya dalam mengendalikan sihir meski masih terbilang muda, kemampuan metamorphmagus —yang baru baru ini Lupin tahu itu adalah sebab dirinya mudah mengubah model rambutnya— dan senyumnya.

 

Ya, senyumnya.

 

Senyum itu elok, seperti bulan sabit sempurna yang bersinar keperakan diantara taburan bintang gemintang di angkasa raya. Manis dengan tambahan tawa renyah di setiap candaan yang gadis itu lontarkan bersama teman temannya. Ditemani oleh sepasang iris hitam gelapnya; kombinasi itu adalah representasi langit malam yang kelam.

 

Bulan… dan malam. Seperti deja vu. 

 

Sebuah kebetulan, namun tak sepenuhnya begitu.

 

Malam itu, Lupin tidak bisa tidur nyenyak. Ini memang belum tanggal bulan purnama; saat saat krusial yang membuatnya sekarat , tapi ada sebuah dorongan untuknya pergi menatap langit yang bertabur bintang-bintang. Pikirannya penuh sesak. Ada banyak hal yang perlu diutarakan, meski tak terucap.

 

Diam-diam, Ia mengintip peta yang dibuatnya bersama kawan-kawannya, melihat jejak para penjaga malam berjalan mengitari kastil. Waktu hampir menunjukkan tengah malam, sebentar lagi jadwal mereka usai. Tak lama kemudian, jejak kaki itu terhenti dan pudar. Para penjaga malam telah beranjak menuju tempat istirahat mereka.

 

Bagus, ini kesempatannya.

 

Tak perlu banyak waktu bagi Lupin untuk bergegas keluar dari asramanya, menuruni tangga dan menyusuri lorong; menuju tempat favoritnya untuk berdiam diri.

 

Malam itu, langit bersih tidak ada awan sedikitpun. Bintang gemintang yang bertabur dengan indahnya nampak jelas, begitu pula bulan sabit yang berkilau keperakan diatas sana. Sepasang iris zamrud milik Lupin memandang ke angkasa; mengamati kerlip yang berpendar saling sahut-sahutan, lantas balas menatap telapak tangannya yang terbuka, seakan tidak yakin.

 

“Mau ditemani?” Suara dari belakangnya kala Lupin memejamkan mata membuatnya terdiam untuk sesaat, lantas menghela nafas panjang. Ia kenal betul siapa sang pemilik suara.

 

“Silahkan.”

 

Mendengar itu, Black melangkah sampai berdiri bersisian dengannya. “Ada sesuatu yang mengganggumu?”

 

“Tidak banyak,” Kata Lupin, “Yah, ada beberapa.”

 

“Katakan saja. Aku siap mendengarkan.”

 

Sunyi sejenak. Semilir angin yang berhembus sepoi sepoi menerbangkan dedaunan gugur di sepanjang area yang mereka tempati,  menggoyangkan dahan-dahan pohon dan membelai helai rambut keduanya.

 

“Tentang Tonks,” Lupin melanjutkan. “Kau tahu? Aku… beberapa waktu belakangan ini sering memikirkannya.”

 

“Itu sih rahasia umum, kawan,” Black menimpali dengan kekehan, disambut sebuah senyum kecut oleh Lupin. “Lupakan. Lanjut.”

 

“Dia hebat,” Pemuda dengan sepasang iris zamrud tersebut bergumam, “Hebat sekali. Kemampuan metamorphmagus yang dimilikinya begitu menakjubkan.”

 

“Kau benar, dia keren.” Black mengangguk setuju.

 

Lupin menatap pemandangan di depannya nanar, kelopaknya lantas berkedip beberapa kali sebelum menyambung kalimat. “Dia itu seperti malam dan bulan bagiku. Aku… menaruh hati padanya, sekaligus khawatir,” 

 

“Aku khawatir kondisiku yang seperti ini, kau tahu maksudku , ketika bulan purnama datang dan…” Ia mengacak rambutnya setengah frustasi. 

 

Black tahu kemana arah percakapan ini bermuara. “Manusia serigala,” Suaranya tidak lebih kecil dari sebuah bisikan.

 

“Yah, begitulah,” Lupin menghela nafas pasrah. “Aku khawatir diriku akan melukainya. Aku terlalu berbahaya, terlalu penuh resiko untuk didekati.”

 

Pemuda gondrong itu menatap kawannya dengan alis terangkat, “Tapi kalian mirip, kurasa. Sama sama punya kemampuan berubah, yah, meski kami juga bisa; tapi kami perlu beberapa waktu untuk menguasainya, ‘kan.”

 

“Jelas saja kami berbeda!” Lupin menyanggah cepat, nadanya naik satu tingkat. “ Metamorphmagus adalah sebuah anugerah, sementara manusia serigala adalah kutukan. Tidak ada seorangpun yang sudi menjadi manusia serigala, Padfoot.

 

Black terdiam mendengar respon Lupin.

 

“Dia sungguh seperti bulan. Indah, sekaligus menakutkan. Aku takut akan membuatnya dalam bahaya. Siapa yang sudi bersanding dengan seorang manusia serigala?”

 

“Apapun bisa terjadi di Hogwarts, kawan.” Black menyela, menepuk pundak kawannya dua kali untuk membesarkan hatinya. Memang tidak biasanya Ia berkata bijak, tapi perkataan sang kepala sekolah yang agung menginspirasinya berkata demikian.

 

“Apapun bisa terjadi.”

 

Lupin menatap pemuda gondrong tersebut dengan alis mengernyit keheranan. “Seperti bukan dirimu saja.”

 

Sekali lagi, Black tergelak, lantas merangkul Lupin untuk kembali ke asrama mereka. “Ayo, jangan lama-lama diluar. Kau tidak mau melihat Profesor McGonagall mengomel dalam wujud kucing garong, ‘kan?”

 

Malam itu, mereka kembali ke asrama tanpa seorang penjaga malam pun tahu bahwa mereka menyelinap. Setidaknya, Lupin lega keresahannya telah tersalurkan.

 

Keesokan harinya, kelas pemeliharaan makhluk gaib bersama Profesor Kettleburn mengantarkan Lupin dan teman yang satu angkatan dengannya menuju hutan terlarang. Mereka berjalan sampai pada sebuah tepi danau, dinaungi pohon ek besar yang rindang, menunggu instruksi sebelum berbuat lebih jauh.

 

Lupin mengedarkan pandangannya ke pohon-pohon dan dedaunan gugur sebelum sebuah bisikan memanggil namanya membuat Ia menoleh. Seorang kawannya, gadis dengan jubah dan syal hitam kuning ciri khas hufflepuff, melambai rendah kepadanya dengan cengiran lebar. Lupin tidak mengerti mengapa gadis berambut oranye panjang itu tiba tiba menyapa. Toh, mereka tidak pernah sama sekali berinteraksi sebelumnya.

 

Sapaan balasan yang dilontarkannya terkesan sungkan. Lupin balas melambai pada si gadis dengan senyum setengah-setengah, tidak mengerti harus bereaksi seperti apa. Namun, senyum itu mendadak pudar melihat wajah si gadis tiba tiba terdistorsi, seakan kena pukulan; penyok sana-sini, sampai akhirnya membentuk sosok lain yang ia kenal betul siapa.

 

Itu Tonks. Menyamar menjadi salah satu teman seangkatannya.

 

Shht, ” Gadis itu berbisik, telunjuknya mendarat persis di bibirnya yang mengerucut. “ Jangan bilang bilang, ya.

 

Lupin hanya mengangguk kikuk melihatnya, disambung dengan sebuah acungan jempol canggung, membuat Tonks kembali nyengir lebar sebelum mengubah parasnya lagi. Semuanya benar benar normal seakan tak terjadi apapun. Akhirnya, Profesor Kettleburn memulai kelas, berceramah tentang makhluk berwujud setengah kuda setengah elang yang disebut Hippogriff .

 

Sebuah degup aneh bin ajaib seketika mampir jauh di dalam benak Lupin. Sepanjang kelas, Ia tak henti hentinya senyum-senyum sendiri, membuat ketiga kawan akrabnya; terutama Black dan Potter, saling kode untuk menjahili Lupin kemudian hari.

 

Lupin paham betul perihal kondisinya sebagai manusia serigala yang berbahaya. Ia juga tidak berharap lebih atas hubungannya dengan Tonks untuk kedepannya. Tidak apa. Bukan masalah besar. Setidaknya, Ia ingin mengagumi gadis itu meski tak dapat memilikinya.

 

Tapi, bukankah kita semua tahu ada banyak hal yang dapat terjadi di Hogwarts?