
Listen to this while reading <3
💫
“in every reality, mr. weasley. in every reality”
✨
Tahun kelima, aku ingin tahu apa yang akan terjadi di tahun ini. Apakah akan dihajar oleh tugas-tugas sialan untuk “persiapan O.W.L” (baca dengan nada mengejek) atau akan sedikit menyenangkan? Terjadi kejadian yang besar di sekolah? Guru baru di pelajaran terkutuk itu (kau tentu tahu pelajaran apa)? Aku tak tahu pasti, tetapi yang jelas saat ini aku masih di rumahku yang nyaman di 13th Grimmauld Place. Oh, sistem penomoran di kompleks ini aneh. Masa setelah nomor 11 langsung nomor 13? Aku menghabiskan liburan natal kemarin bermalas-malasan di rumah setelah menghajar diri sendiri dengan setumpuk esai dan buku-buku materi yang dibebankan oleh berbagai profesor. Menulis secara manual itu sangat melelahkan. Sungguh, terkadang aku ingin sepenuhnya menjadi muggle saja, mengetik esai super banyak menggunakan microsoft word di komputer tampak sangat menggiurkan.
Bulan depan sudah Juni dan aku akan menghadapi ujian sialan itu. Oh, demi apapun, O.W.L, ujian itu jauh dari kata “ordinary”, persiapannya saja sudah di luar nalar, bagaimana dengan ujiannya nanti. Aku ingin menghilang saja rasanya, tetapi aku sudah terlanjur masuk ke dalam dunia sihir ini dan menghabiskan seluruh hidupku di sini. Tetapi, aku juga akan merasa sangat kesal jika aku tidak mampu meraih predikat ‘outstanding’ atau minimal ‘exceeds expextations’. belum lagi di tahun keenam akan ada N.E.W.T yang aku yakin akan sangat nasty, sesuai dengan namanya. Pelajaran mantra adalah pelajaran yang paling membebani, tetapi ini cukup mudah sebenarnya, mungkin karena aku menyukai pelajaran ini. Pertahanan dari Sihir Gelap juga cukup mudah dipahami. Sepertinya aku tidak akan lulus O.W.L Ramuan, aku sudah merelakan pelajaran tersebut. Semua murid Hogwarts tahu bahwa sangat sulit untuk bahkan mendapatkan predikat ‘acceptable’ di pelajaran ini. Aku sudah tak terlalu peduli dengan kegiatan meramu ini. O.W.L ini membunuhku, sungguh aku tak sabar untuk lepas dari ujian gila ini.
Also, akhir-akhir ini aku merasa sarapan dan makan siangku agak aneh. Sudah seminggu ini sebenarnya. Seperti ada yang memperhatikan gerak-gerikku di great hall. Jujur, ini terasa aneh, tetapi aku terlalu malas untuk memperhatikan sekitar sengan seksama, ada O.W.L yang harus aku lalui.
“Hey, Arista,” ujar seseorang di sebelahku. Cho, aku hafal dengan suaranya.
“Ya?” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari buku. Cho mendekatkan posisi duduknya denganku untuk memberi tahuku sesuatu.
“Arah jam 1,” ucapnya singkat, sesuatu pasti terjadi di arah jam 1 tersebut.
Aha! Ketemu. Pria ber-rambut agak panjang warna oranye, memiliki freckles, dan di sebelahnya ada seseorang yang wujudnya sama persis dengan pria itu. Weasley, yang kembar. Ketika aku menatapnya, ia bahkan tak tersentak atau kaget sedikitpun, malah mempertahankan tatapannya dengan ekspresi yang tak bisa kubaca. Lomba menatap antarasrama ini selesai ketika saudara kembar dari pria tersebut menepuk bahunya.
“Fred Weasley,” Cho memberi tahuku nama pria itu.
“Dia ada masalah sama aku?” aku menanggapi informasi yang sedikit berguna itu dengan pertanyaan.
“Aku bahkan baru tahu namanya setelah sekolah 5 tahun di Hogwarts, hari ini!” tambahku dengan agak panik.
Ya ampun, sepertinya aku tidak pernah bersosialisasi selama aku sekolah, aku hanya tahu mereka adalah seorang Weasley yang kembar. Jujur, ini bukan saat yang tepat untuk memiliki masalah dengan anak asrama sebelah, apalagi dengan salah satu dari anak kembar itu. Mereka tampaknya mampu melakukan hal apapun terhadap semua orang, they’re quite famous here for their pranks, they’re lowkey genius, that makes them scary.
“Sepertinya tidak, kalau kamu ada masalah dengan mereka, pasti hari ini kamu sudah minum teh dengan rasa yang agak asin atau hal-hal di luar nalar lainnya,” Cho berusaha menjelaskan.
“Benar juga.”
🎇
“Camkan ini ya, saudara se-Weasley-ku, jika kamu hanya mengamatinya dan memandanginya tanpa melakukan tindakan apapun, ia hanya akan menganggapmu sebagai laki-laki creepy,” ceramah George dimulai.
“Okay?” aku menanggapi sambil lalu.
“Kemampuanmu bicara dengan perempuan menurun drastis ketika kamu benar-benar menyukai perempuan tersebut. Aneh sekali,” George tampaknya akan memulai pertikaian, bukannya ceramah.
“Bagaimana tidak menurun, pikiranku ini malah menjadi kacau dan tidak fokus. Kemarin, saat aku mencoba berkenalan dengannya baik-baik, ia malah tampak was was,”
“Itu karena kamu tidak setampan aku, Freddie,” George berseloroh sambil tertawa-tawa. Koran Daily Prophet di tanganku melayang ke kepalanya.
Jujur aku tidak tahu bagaimana caranya untuk kenal dengan anak Ravenclaw itu.
✨
“Fred Weasley, ‘kan?” sapaku dengan kikuk pada pria berambut oranye yang tempo hari mengajakku berkenalan dengan cara yang agak creepy.
“Oh, hai, Arista.. Hai,” bagus, dia salah tingkah.
“Mengagetkanku saja,” ujarnya sambil merapikan rambutnya yang panjang.
“Let’s just get this straight, alright, Mr. Weasley. What do you want?” kataku tajam sambil menatapnya dari ujung rambut hingga kaki.
Tinggi, wajah tengil, senyum yang menyebalkan dan tampak menyimpan rencana jahat, mata warna hazel, dan seragam acak-acakan. Cute, lowkey, but dangerous.
“Huh?” Fred malah bingung.
“You can’t keep your bloody hazel eyes off of me, can you? What did I do to you?” aku menjadi tidak sabar.
Fred Weasley? Ia malah terkekeh, “O.W.L membuatmu mabuk kah, love?”
Aku semakin emosi, kemarin adalah hari terakhir O.W.L dan stress yang ada masih tertinggal di pikiranku sampai sekarang. Aku tidak perlu satu hal lagi untuk menambah tingkat stress dan memperpendek sumbu kesabaranku.
“Apa yang kamu mau, Weasley?” ucapku tajam dan dengan susah payah mendongakkan kepalaku karena ia tinggi sekali.
“A-aku cuma mau minta maaf, kemarin–“ Fred terdengar agak tercekat. Aku hanya memberikan isyarat dari gerakan mata agar ia melanjutkan kata-katanya.
“Maaf telah membuatmu ketakutan, beberapa hari yang lalu, tapi aku sangat ingin mengenalmu. Arista Huntington, ‘kan? Ravenclaw, tahun kelima, baru selesai O.W.L,” ia bicara agak cepat, mungkin panik.
“Ya–“
Fred kemudian menarik nafas panjang lalu mengajak bersalaman, “Fred Weasley, Gryffindor.”
“Di mana ada keramaian, di situ ada kalian. Semua juga tahu siapa itu Si Kembar Weasley-”
“But anyway, nice fireworks. pretty,” aku mengakhiri ocehanku yang agak satir tentang Fred (dan George, mungkin) dengan sedikit pujian untuk mereka.
Fred belum sempat menjawab, aku sudah mengatakan sesuatu lagi, “Aku tahu kalian suka menyelundupkan banyak hal yang mencurigakan ke sekolah ini. Kalian punya rokok? Apapun.”
Ekspresi wajah pria itu bingung, mungkin ia tak menyangka ada seorang murid yang tak terlalu dikenal membuka “rahasia kecil”nya di malam hari yang lumayan panas dan di pinggir koridor, tempat orang berlalu-lalang
“Aku beli, berapa galleon pun,” aku mencoba meyakinkan Fred.
Ia mengeluarkan cigarette case tipis dari dalam saku celananya. Kotak dari logam berhias lukisan bunga Poppy dengan gaya lukisan seperti milik Claude Monet disodorkan padaku.
“Anything for my favourite lady,” ujarnya dengan kalem dan diliputi senyum.
“Gratis?”
“Tentu.”
Aku tersenyum simpul kemudian berlalu meninggalkan Fred sambil mengucapkan, “Thank you, handsome!”
Sejujurnya aku sudah tahu bagaimana menghadapi murid laki-laki seperti Fred Weasley ini. Murid yang tahu bahwa ia tampan dan memanfaatkan wujud mereka untuk menjadi tengil dan berbuat semaunya. Mereka merasa semua perempuan akan jatuh hati. Fred Weasley, murid laki-laki yang kali ini kurang mujur dalam memanfaatkan parasnya. Selamat bersenang-senang di permainan ini.
✨
Pertengahan Juli, Musim Panas dimulai. Aku tak pulang ke 13 Grimmauld Place
Hari ini adalah hari yang sangat nyaman untuk tidak melakukan apapun. Hanya duduk-duduk di area taman, menikmati bunga-bunga yang bermekaran dan menunjukkan beragam warna yang cantik adalah perayaan kecil yang kulakukan. Aku mendapatkan 10 predikat ‘exceeds expectation’ di O.W.L dan 1 predikat ‘outstanding’ di pelajaran mantra. Tentu saja aku tidak lulus O.W.L pelajaran ramuan dan arithmancy, untunglah, tak perlu berurusan dengan Yang Mulia Baginda Severus Snape yang sarkastik nan banyak mau itu.
Di tengah kegiatan “tidak melakukan apapun” yang sedang kulakukan, muncul kembang api kecil di depanku dengan tulisan “Hi”. Lucu sekali, pasti ini si "Weasley penyelundup rokok". Aku menengok ke arah belakang dan benar saja, Fred berdiri di tepi taman sambil melambai-lambaikan tongkatnya. Aku mengisyaratkan padanya untuk bergabung denganku dalam kegiatan “tidak melakukan apapun”.
“Keren tidak?” ia bertanya sambil memposisikan dirinya duduk di sebelahku.
“Brilliant, cocok untuk menjadi pembuka kata kalau kamu mau berkenalan dengan seseorang,” aku menanggapi dengan sedikit rasa kagum. Aku tahu, Fred dan saudara kembarnya mendapatkan predikat yang memuaskan di O.W.L pelajaran mantra. Dalam hal ini, Fred memang keren dan berbakat.
“Bagaimana hasilnya?”
“10 exceeds expectation dan 1 outstanding, mantra,” ucapku sambil memandang Fred. Ia tampak berseri-seri. Ia memberi tahuku bahwa pelajaran mantra adalah satu-satunya pelajaran yang ia sukai dan mendapatkan predikat ‘outstanding’ di O.W.L pelajaran tersebut.
“Tidak hanya tampan, tetapi juga pintar ya,” jujur, aku hanya ingin melihat Fred yang terkenal tengil dan penuh percaya diri menjadi salah tingkah ketika kuberi pujian. Tak lupa aku memberikan headpat padanya karena ia menjadi anak pintar dengan mendapat predikat ‘outstanding’ di O.W.L.
Mata Fred berbinar, pipinya merah padam, dan aku yakin ia tidak sadar bahwa iya sudah tersenyum dengan sendirinya atau kalau kata George “senyum bego”.
“Aku… pintar… kata Arista,” gumam Fred yang masih dalam keadaan berbunga-bunga.
And there you go, folks, the most popular Weasley in this generation started to giggle and smile happily. Cukup mudah sebenarnya untuk membuatnya menjadi menggemaskan dan tidak setengil biasanya.
“Kamu tidak pulang ke Burrow?” aku mengalihkan topik.
“Besok, aku akan packing nanti malam.”
“Must be good, huh,” gumamku sedikit iri. Fred pasti akan menghabiskan musim panas dengan keluarganya yang sangat dekat antara satu sama lain dan cenderung ramah kepada teman-teman dari anak-anak mereka.
“Kamu tidak pulang? Ke rumahmu yang di Islington itu?”
“Tidak, di rumah tidak ada siapa-siapa. Di Hogwarts ramai, I can always do something here,” aku memalsukan senyum. Jujur, rasanya menyebalkan ketika seharusnya aku pulang ke rumah dan bertemu kedua orang tuaku, mereka malah berlibur ke Maladewa berdua saja, tanpa memberi tahuku terlebih dahulu.
“Kamu boleh ke Burrow! Kita bisa main quidditch di halaman belakang. Kita bisa piknik seperti ini juga!” Fred menawarkanku untuk menghabiskan musim panas di rumahnya dengan nada bicara bersemangat. Aku tidak bisa main quidditch, tapi aku suka menonton pertandingan quidditch.
Memang, niat awalku hanyalah bermain-main dengan perasaan Fred saja dan ini menyenangkan. Tetapi, aku juga tidak menampik bahwa munculnya Fred di kehidupan Hogwartsku cukup menyenangkan. Aku suka mengobrol dengannya yang banyak tahu tentang mantra dan (secara mengejutkan) band-band rock muggle. Fred selalu tahu aktivitas menarik apa yang bisa dilakukan, ia selalu memiliki ide. He’s just a really fun guy to hang out with and definitely to do mischief together (kebanyakan membantuku absen kelas arithmancy dan menyelundupkan rokok untukku).
“Memangnya orang tuamu mengizinkan?” tanyaku bingung sambil memandang Fred, menantikan jawaban dengan segera.
Fred menghela nafas panjang, mengalihkan pandangannya ke langit biru berawan, “Oh, Arista, hanya jika kamu tahu betapa bosannya Mum ketika aku menyebutkan namamu atau berbicara tentangmu dalam surat yang aku kirimkan kepadanya.”
That was shocking. Fred Weasley, kita baru kenal selama sebulan lebih?
“I can come to the Burrow?” aku memastikan sekali lagi agar aku benar-benar diizinkan untuk menghabiskan libur musim panasku di rumah keluarga Weasley yang hangat itu. Aku tidak sabar! Akhirnya, liburan dengan suasana berbeda yang tidak membosankan, tidak hanya tidur-tiduran di kasur dan mengunjungi cafe.
“Aku mau bawa gitar, apakah boleh, Fred?” tambahku dengan mengharap.
“Tentu saja boleh dan bawa gitarmu. Kita bisa bernyanyi bersama sembari duduk mengelilingi api unggun!” Fred terdengar sama antusiasnya denganku.
“Alright, Freddie. I’m gonna go back to my dorm and pack my bags!” aku beranjak dari tempat duduk.
“I’ll see you tomorrow then at 8 A.M,” balasnya.
✨
Fred sudah duduk-duduk di ruang rekreasi Ravenclaw sendirian. Ruang rekreasi yang biasanya dipenuhi siswa yang belajar, membaca buku, ataupun menikmati cemilan, sekarang sangat sepi. Agak mengejutkan Fred Weasley dapat masuk ke ruang rekreasi ini. Ia mampu menjawab teka-teki yang memusingkan dari pengetuk pintu berbentuk elang yang terbuat dari perunggu. Aku mulai mempercayai pikiran yang terlintas di benakku beberapa kali bahwa Fred sebenarnya cerdas dan banyak akal, tetapi ia lebih suka memanfaatkan kecerdasannya untuk hal-hal lain di luar urusan akademik dan “menjadi siswa beprestasi yang ambisius”.
“Elang di pintu itu sedang berbaik hati padaku. Sepertinya ia tahu bahwa ada seorang murid Ravenclaw yang manis memujiku pintar kemarin,” ujar Fred sambil cengar-cengir penuh rasa bangga. Ia seperti bisa membaca pikiranku. Kupikir ia mampu menjadi seorang legilimens.
“Kamu kan memang pintar, Fred,” aku menanggapi sambil tersenyum. Senyum bangganya bertambah lebar.
“Kita berangkat sekarang?” tanyaku semangat.
“Tentu saja. Kita pakai portkey untuk ke rumah.”
Aku tahu tentang portkey dan cara kerjanya. Ini buruk, setahuku banyak penyihir yang menjadi sakit atau kesehatannya menurun selama beberapa saat setelah menggunakan portkey. Agak tidak benar rasanya baru sampai di rumah orang lain malah sakit karena bepergian menggunakan portkey. Aku hanya bisa mengeluarkan cengiran palsu dengan berucap “hehe” dan “okay” lemah.
Fred membawakan tote bag-ku dan kami berjalan ke luar asrama. Tak jauh dari asrama Ravenclaw, sudah ada George yang menunggu kami. Ia cengar-cengir usil sambil mengedip ke arah Fred. Aku tahu mereka merencanakan sesuatu yang tidak-tidak atau sedang berkomunikasi menggunakan telepati. They are definitely up to no good.
“Diam, George. Aku sedang tidak ingin berduel denganmu. Aku sedang bersama murid paling cerdas dan cantik di sekolah ini,” Fred berdecak kesal.
“Oh, hai, aku George Weasley! Kembaran Fred, cuma aku lebih tampan!” George mengenalkan diri dengan bangga. Aku sudah tahu siapa ia, tetapi aku belum pernah berinteraksi dengannya secara lebih intens. Hanya “say hi” beberapa kali.
“Bisa tidak, tidak usah flirting?” ujar Fred dengan super sinis. Ini lucu sekali, mereka berdua mulai saling roasting dan menyindir satu sama lain.
“Oh, aku bawa kamera muggle dan gitarku nanti ke Burrow. Apakah tidak apa-apa?” tanyaku terakhir kali untuk memastikan.
“Keren, keluarga kami juga memakai beberapa peralatan muggle kok,” George menjelaskan sedikit.
✨
Nyonya Weasley menyambut kami dengan hangat. Beliau benar-benar ramah dan tampaknya baik-baik saja terhadap kehadiranku, bahkan setelah aku melakukan tindakan bodoh dengan bergegas menuju kamar mandi untuk muntah-muntah dengan dramatis setelah menggunakan portkey. Sungguh, aku tidak merasa perilaku beliau “palsu” dan tidak pula muncul perasaan tidak enak hati ketika di Burrow ini.
“Rumah kalau ramai begini rasanya menyenangkan dan hangat. Hidup menjadi tambah berwarna,” ucap beliau yang duduk di sebelahku sambil sibuk merajut sesuatu.
“Benar, Auntie. Di rumah saya sepi, orang tua malah liburan ke Maladewa, tanpa memberi tahu saya lagi,” aku menanggapi dan malah memberikan too much information pada beliau.
“Oh, auntie, saya selalu diajari ayah untuk memanggil seseorang yang lebih tua dengan sebutan ‘Auntie’ atau ‘Uncle’ agar sopan,” aku menjelaskan tanpa perlu diminta karena aku sekilas melihat ekspresi bingung dari wajah beliau.
“Tidak apa-apa, Arista. Aku tahu maksudmu baik,” beliau tersenyum.
Kami melanjutkan bercakap-cakap membicarakan tentang kehidupan sekolahku di Hogwarts dan kelakukan si kembar yang agaknya sudah di luar nalar karena segala macam kemarahan Auntie Weasley sendiri saja sudah tidak mempan bagi mereka.
“Yah, walau mereka memang suka berbuat yang tidak-tidak, mereka, terutama Fred adalah teman yang baik. Ia mengajariku berbagai macam mantra yang berguna dan hanya dapat dirapalkan oleh penyihir yang punya kemampuan tinggi,” aku sedikit membela Fred, tapi hal ini memang sesuai fakta.
“Setidaknya dia berguna bagi orang lain, walau hanya 1 orang,” Auntie Weasley menyahuti sembari terkekeh kecil.
Rumah tempat Fred tumbuh adalah sebuah rumah yang hangat, penuh manusia yang saling menyayangi satu sama lain. Fred beberapa kali mengingatkanku untuk tidak menaruh ekspektasi apapun dengan The Burrow karena menurutnya kondisi tempat ini berbanding terbalik dengan rumahku di 13 Grimmauld Place. Ia juga sempat khawatir bahwa aku tidak akan bisa bertahan menginap di The Burrow dalam waktu yang lama. Maksudku, memang aku adalah orang yang pemilih dalam hal makanan, aku tidak suka tidur di malam hari tanpa mandi terlebih dahulu, aku juga tidak suka tidur dengan satu bantal saja, aku tidak suka tidur dengan orang lain dalam satu kamar, dan berbagai macam ketidaksukaan lainnya. Tetapi, aku ingin melakukan sesuatu yang baru, bahkan melakukan hal yang tak aku sukai seperti sekarang, aku memutuskan untuk menerima tawaran Ginny untuk sekamar dengannya. Aku suka sekali dengan suasana rumah yang “ramah” ini.
Malam ini aku bertandang sebentar ke kamar si kembar untuk melihat proses membuat daydream charms–mantra melamun. Mantra ini sangat berguna bagi seseorang yang bosan dan lelah di tengah belajar. Melarikan diri sejenak dari kenyataan. Diperlukan keahlian yang sangat tinggi dalam membuat suatu produk sihir yang belum pernah ada sebelumnya. Aku semakin yakin si kembar sebenarnya adalah 2 pria cerdas yang tidak suka diatur-atur oleh institusi sosial bernama sekolah.
Aku memperhatikan mereka bekerja dengan serius sembari memakan pain au chocolat buatan Auntie Weasley. Mereka sebenarnya dapat menjadi super fokus, teliti, dan ambisius saat mereka memang ingin menjadi demikian, terutama dalam mengerjakan hal-hal yang ingin mereka lakukan, bukan hal yang merupakan perintah dari orang lain. Aku hanya diam memperhatikan. Bisa kusimpulkan, Fred adalah seorang inisiator sekaligus eksekutor, sedangkan George adalah seorang perencana. Semua prank dan benda-benda nyeleneh yang mereka temukan berdasarkan ide dari Fred yang realisasinya direncanakan oleh George, dan rencana tersebut dieksekusi oleh Fred. Secara teori, mereka adalah tim yang kuat.
✨
Sepertinya ini malam musim panas kedelapan di sini. Fred mengajakku untuk ke kota terdekat menggunakan mobil ayahnya yang dapat terbang. Ini juga merupakan pengalaman pertamaku menaiki alat transportasi yang dapat terbang, tetapi bukan pesawat atau helikopter. Kita akan membeli pizza untuk satu keluarga Weasley. Malam kedelapan liburan musim panas di sini, aku akan mentraktir mereka dengan dana yang Mommy berikan padaku 1 minggu yang lalu, tentu saja dana berupa uang muggle yang masuk ke dalam rekening bank muggle juga. Aku sempat menelepon ke nomor ponsel Mommy menggunakan telepon yang dimiliki oleh keluarga Weasley. Aku memberi tahu bahwa aku akan menghabiskan musim panas di rumah keluarga Weasley. Mommy bilang beliau akan mengirimkan surat pada keluarga Weasley.
“Kita akan bayar pakai uang muggleku dulu saja,” ujarku sambil merogoh tote bag mencari-cari dompet.
“Sungguh, kamu tidak harus melakukan ini, Arista,” ucap Fred tak enak hati. Ia memandangku dengan mata berbinar, bersamaan dengan munculnya senyum yang lebar dan tulus.
“Ini bentuk terima kasihku terhadap keluarga Weasley yang telah menerimaku berlibur bersama mereka tahun ini.”
Fred tersenyum senang. Selama menunggu pizza jadi, kami sibuk berceloteh tentang apapun yang terjadi di Hogwarts. Mulai dari para profesor, pelajaran, gosip-gosip yang beredar di kalangan murid, dan tentu saja rencana cerdas untuk absen kelas arithmancy. Sepertinya aku cocok dengan orang-orang cerdas, tetapi tidak terlalu taat aturan seperti Fred ini. Kami juga memiliki selera musik yang mirip di spektrum lagu-lagu rock dan semacamnya. Satu hal lagi yang aku kagumi dari Fred, ia memandang kondisi hidupnya dari sisi positif, ia secara tak langsung mengajariku untuk menjadi lebih peka terhadap orang-orang dan segala hal baik yang ada di sekitarku. Ia tampak selalu berterima kasih dan bersyukur atas segala hal baik yang datang padanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, tetapi aku merasa senang bercengkerama dengan Fred dalam waktu yang lama.
Aku lama-lama menyadari bahwa aku sangat suka memandang mata Fred yang lebar dan berbinar ketika ia membicarakan sesuatu yang menurutnya menarik atau menyenangkan. Selain itu, Fred memiliki senyum yang tampak menyenangkan saat dipandang. Melakukan berbagai aktivitas dengan Fred terasa seperti menjadi pemeran utama di dorama Jepang bergenre romance sekolah menengah atas yang sering kutonton di rumah melalui laptopku setiap liburan. Rasanya sangat menyenangkan, carefree, dan memberiku kesan “begini ya rasanya menikmati masa remaja”.
Setelah acara makan pizza bersama selesai. Aku dan Fred ke halaman belakang rumah yang super luas. Kami bercengkrama di sana sambil memandangi langit yang cerah tanpa awan dan tampak banyak sekali bintang. Fred menyukai stargazing, ia memiliki beberapa buku muggle tentang bintang dan planet. Kami memandang bintang-bintang sambil menikmati strawberry lemonade buatan pria dengan mata hazel berbinar itu.
Aku mulai memainkan gitar yang kubawa dari sekolah ke Burrow, menemani stargazing malam ini. Aku tahu Fred suka Queen, jadi lagu pertama yang akan kumainkan adalah ‘Good Old-Fashioned Lover Boy’. Sebenarnya lagu ini lebih asik jika dimainkan di piano, tetapi kupikir dimainkan di gitar juga akan lebih terasa seperti di perkemahan musim panas yang menyenangkan.
“Ooh, love. Ooh, lover boy,” aku sampai pada chorus.
“What're you doin' tonight, hey, boy?”
“Stargazing, with a pretty girl,” Fred menjawabku yang sedang bernyanyi. This, ladies & gentlemen, my kind of people. Menjawab lirik! Baiklah, kami memiliki selera humor yang mirip.
“Write my letter,” lanjutku.
“Definitely,” sahutnya sambil tetap memandang langit.
“Feel much better. And use my fancy patter on the telephone.”
Aku menurunkan kekuatan petikan karena bagian setelah ini nadanya mulai melambat dan tidak se-bersemangat chorus, “When I’m not with you, think of you always.”
Fred langsung menyahuti dengan suara baritonnya yang ternyata tak buruk, “I miss those long hot summer nights.”
“When I'm not with you. Think of me always,” lanjutku yang hampir sampai ke akhir dari bagian yang sedang kunyanyikan.
“Love you,” jujur aku berharap Fred menyahutiku untuk bagian ‘Love you’ yang kedua dengan nada yang lebih tinggi.
“Love you~!” Fred menyanyikan bagian ‘Love You’ yang kedua dengan nada yang lebih tinggi. Entah mengapa itu membuatku senang.
Setelah lagu selesai, Fred menunjuk ke arah langit sambil berkata, "Itu Neptunus". Aku menyipitkan mata untuk melihat dengan lebih fokus ke arah yang ia tunjuk.
“Hah?” aku masih bingung mencari sesuatu yang ditunjuk oleh Fred.
“Itu, cahaya biru yang kecil jauh di sana,” Fred berujar lagi sambil memegangi kepalaku agar menengadah tepat ke arah sesuatu yang dia tunjuk.
Aku menemukannya, benda langit yang tampak seperti titik cahaya yang berwarna biru jauh di sana. Memandanginya dengan pikiran yang malah melayang-layang memikirkan hal lain. Aku hanya ingin menghentikan waktu, menikmati momen bersama dengan Fred melakukan stargazing di malam musim panas yang hangat dan berangin, main gitar, dan menyanyikan lagu-lagu bertemakan cinta selama yang aku bisa. Aku tidak ingin hal ini segera berakhir.
Senar-senar gitar kupencet lagi untuk membunyikan kunci G, mengawali lagu ‘Put Your Head on My Shoulder’ karya Paul Anka, lagu yang sering diputar oleh ayah di rumah. Aku sangat ingin menyanyikan lagu ini untuk seseorang, tetapi selama ini aku tak tahu akan menyanyikannya untuk siapa. Mungkin, saat ini, lagu ini untuk Fred Weasley, pria tampan yang bermata seindah bintang.
Kurasakan rambut panjang Fred menyentuh bahuku. Ia benar-benar mengikuti lirik lagu yang ada, “Put your head on my shoulder”. Ia menyandarkan bahunya padaku yang sedang melanjutkan lagu ini.
“You and I will fall in love.” Fred, dengan suara 2, memadukan suaranya denganku di lirik tersebut. Aku memandangnya sekilas, ternyata ia sudah memandangku sejak tadi. Fred tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang sangat rapi, ia selalu tampak manis dengan senyuman itu.
Pada lirik “Whisper in my ear, baby. Words I want to hear, baby.” Fred membisikkan sesuatu yang agak mengejutkan, “Fred loves you, darling”. Aku hampir tersedak. Kulihat Fred hanya nyengir senang sambil menyuruhku untuk lanjut menyanyikan lagu sampai selesai.
Fred kemudian mengajakku berdiri, ia memandangku sebentar lalu mengusap kepalaku sebentar.
“Do you know this song? By Harry James,” Fred menarikku ke dalam pelukan. Aroma yang sangat familiar akhir-akhir ini tercium. Campuran antara aroma kembang api setelah meledak, cherry, bunga saffron. Terdapat pula aroma woody yang dominan. Aroma yang unik, manis yang memiliki ciri khasnya tersendiri. Wangi yang membuatku langsung mengasosiasikannya dengan Fred Weasley.
“Kiss me once and kiss me twice,” Fred mulai menyenandungkan lirik lagu ‘It’s Been a Long Long Time’. Lagu tahun 1945 yang selalu mengingatkanku pada akhir Perang Dunia kedua dan sepasang kekasih yang berhasil bertemu kembali. We now slow dance to this song under the stars, in the middle of a summer night.
“You'll never know how many dreams I've dreamed about you,” senandung Fred seperti bisikan yang lembut dan terdengar manis walau dengan suara yang dalam.
“Or just how empty they all seemed without you.”
Aku berjinjit untuk mencapai pipi Fred. Mungkin aku akan menyesal di kemudian hari, tetapi hal ini tidak akan terjadi untuk kedua kalinya di hidupku. Slow dancing di bawah langit penuh bintang, mengalami momen seperti yang ada di film. Aku memberi kecupan pada pipi Fred beberapa kali mengikuti lirik yang ia nyanyikan, “Kiss me once, kiss me twice, and kiss me once again”. Sepertinya aku memang menyukai Fred.
“Sudah larut, sebaiknya kita masuk ke rumah dan tidur,” kami mengakhiri slow dance dengan Fred yang mengajakku untuk kembali ke Burrow.
Setelah mencuci gelas yang dipakai untuk mewadahi strawberry lemonade, kami langsung naik ke lantai dua.
“Fred,” aku memanggilnya sebelum ia bergegas ke kamarnya di lantai tiga. Ia tidak jadi menapakkan kakinya di anak tangga pertama.
“Good night, Freddie!” ujarku riang kemudian memberikan kecupan singkat di bibir Fred. Dengan secepat kilat aku langsung masuk ke dalam kamar Ginny. Ginny, sedang sibuk membaca buku sambil memakai masker wajah yang sempat aku bawa dari rumah.
Fred? Mungkin dia akan senyum bego sampai kamar.
💫
Hawa panas menyusup ke kamarku yang seharusnya tidak sepanas ini. Apakah seseorang menyusup ke kamarku dan mematikan pendingin ruangan yang ada? Tentunya bukan mamaku karena aku yakin beliau sudah berangkat bekerja hari ini. Benar, aku masih tinggal serumah dengan mama karena kesehatan beliau mulai menurun dan aku pikir apa salahnya tinggal di rumah tempatku tumbuh (setelah 4 tahun aku tinggal di negara lain) bersama seseorang yang membesarkanku. Yah, mungkin hari ini memang panas luar biasa sehingga pendingin ruangan pun sudah “menyerah”.
Benar, hari ini memang super panas dan menjadi hal yang lumayan tipikal mengingat perkiraan cuaca yang aku baca di Twitter tadi. Baiklah, aku akan berada di rumah saja menikmati teh hijau dingin. Jatah working from home aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Aku dapat bersantai sedikit, menyelesaikan pekerjaan di atas kasur sambil masih mengenakan piyama. Kali ini aku agak malas untuk melakukan di co-working space. Aku hanya memiliki satu pekerjaan yang memerlukan kerja emosional agak berat di hari ini, melakukan wawancara. Aku akan mewawancara seorang kandidat yang melamar di posisi Senior Data Analyst. Jika dilihat dari curriculum vitae yang ia kirimkan, menurutku ia adalah kandidat yang cukup “kuat”. Pengalaman kerjanya banyak dan prestasi kerjanya cemerlang. Aku harap wawancara berjalan lancar sehingga dapat memenuhi target perusahaan untuk berhasil men-hire seseorang untuk mengisi posisi ini. Cukup sulit mencari seorang data analyst yang benar-benar sesuai dengan kualifikasi perusahaan ini. Interview akan dilakukan online. Semoga kandidat yang bernama Fred Weasley ini sesuai dengan harapanku.
“Selamat pagi, Mr. Weasley. Perkenalkan nama saya Arista Huntington, saya akan mewawancara anda terkait pekerjaan yang anda lamar sebagai Senior Data Analyst,” aku memperkenalkan diri dengan cukup ramah.
Sosok pria dengan rambut warna oranye terang, bermata warna hazel, dan memiliki freckles di area hidung dan pipinya tampak sangat tidak asing. Aku berusaha menepis pikiran-pikiran yang tak masuk akal tentang pria ini.
“Untuk Mr. Weasley, tolong perkenalkan diri anda,” ucapku lagi dengan senyum yang agak terpaksa, sibuk sengan pikiran yang terlintas di benakku terkait kandidat ini.
“Selamat pagi, Ms Huntington. Saya Fred Weasley–“ pria itu mulai memperkenalkan dirinya sambil tersenyum ramah dan percaya diri. Senyum manis itu sangat familiar, aku pernah melihat senyuman itu dengan jelas. Aku tidak tahu di mana dan kapan, mungkin aku lupa.
Cepat-cepat aku kembali menyuruh otakku untuk fokus memperhatikan kata-kata kandidat yang sedang aku wawancara ini.
Setelah wawancara selesai, aku memutuskan untuk mampir ke kedai mie yang dikelola oleh seorang perempuan paruh baya dari Taiwan. Mie buatan beliau adalah yang terbaik! Oh ya, sudah beberapa kali aku melihat angka 1 dan 4 bersebelahan setelah wawancara usai. Aku mulai merasa tak enak.
“Kamu nanti akan bertemu dengan teman lama, Anak Manis,” Auntie pemilik kedai mie itu berkata dengan tiba-tiba, mengajakku mengobrol.
“Oh, ya? Wah, teman lama ya,” jawabku sekenanya. Teman lama, angka 1 dan 4? Apa maksud semua ini?
“Mungkin malah kamu sudah bertemu dengannya,” beliau menambahkan dengan nada bicara tenang yang membuatku semakin bingung. Aku hanya dapat nyengir terpaksa sambil cepat-cepat menghabiskan mie-ku dan segera pulang
Terdapat sebuah amplop kecil warna cokelat tergeletak tepat di lantai depan pintu masuk. Kubuka cepat-cepat, siapa tahu ini sebuah pertanda tentang “teman lama”. Terdapat surat singkat dengan tulisan tegak bersambung yang sangat rapi,
“Bahkan di setiap realitas yang ada, di setiap dunia yang ada, kita selalu memilih satu sama lain.
-F W”
💫