Salahkan deadline yang tak kunjung ada habisnya. Salahkan workload yang bikin gila. Salahkan jadwal tidur yang berantakan. Salahkan pms yang berkepanjangan.
Salahkan tubuh dan pikiran yang sudah tidak lagi bisa berjalan normal.
Karena sekarang Treya udah nggak fokus dengerin Gwen, supervisor-nya, yang lagi presentasi di depan.
Karena sekarang Treya malah fokus ngeliatin Gwen dari ujung kepala sampe ujung kaki sambil nelen ludah.
Ngeliatin Gwen yang pake top turtleneck abu-abu gelap ketat yang mengindahkan payudaranya, dengan outer setelan blazer hitam yang longgar tapi tetap mengaksentuasikan lekuk pinggangnya, dengan rok jeans span setinggi lutut yang memperlihatkan bokong sintal dan betis sekalnya, dengan sepatu hak hitam tinggi yang makin nampilin kaki jenjangnya.
Treya mengerjap berkali-kali. Fokus Treya, fokus. Ratapnya pada diri sendiri.
Tapi mantra itu nggak berpengaruh sama sekali pada dirinya, karna sihir wanita yang ada di depannya jauh lebih ajaib.
Alunan suara Gwen yang lantang dan percaya diri memenuhi ruangan, bikin Treya makin tenggelam, karna menurutnya ada daya tarik tersendiri dari wanita itu dan kemampuan intelektualnya.
Bikin Treya basah ngebayangin sehancur apa dirinya ketika ada dibawah kuasa dan titahnya.
Wajahnya manis berseri tetapi tegas, dengan kacamata yang membingkainya. Kacamata itu sesekali turun ke ujung hidungnya dan dengan anggun kembali dinaikkan dengan jari telunjuknya.
Treya ngebayangin gimana kalo dia ngedudukin muka itu, dengan jari lentik Gwen yang nggak habis-habis menjamahnya.
Rambutnya hitam pekat, dengan pixie cut pendek namun berponi panjang. Cantik, membingkai wajah dan rahang tajamnya.
Treya ngebayangin gimana rambut itu berantakan dan basah karna peluh saat bersetubuh dengannya.
Treya udah nggak tahan dan gigit bibirnya.
Lalu tanpa Treya sadari ia bawa pulpen yang tadinya ada di genggamannya turun ke bawah meja.
Ia buka sedikit ruang di antara kedua pahanya dan selipkan pulpen itu ke bawah roknya.
Persetan dengan yang lainnya, toh Treya duduk di bangku paling belakang. Toh semua sedang menghadap ke depan. Toh ruang meeting itu tertutup dan nggak ada yang bisa lihat dari luar.
Main-main Treya arahkan pulpen itu ke tengah selangkangannya. Ia tusuk pelan hingga diberi sedikit tekanan. Ke atas dan ke bawah menyapa labianya dari luar celana dalamnya. Kembali ke atas menyentil klitorisnya menggoda, dan tusuk lebih kencang di depan lubang memeknya.
Matanya sedikit terpejam. Mencoba mencari fokus untuk bisa lebih merasakan friksinya. Ngebayangin pulpen itu adalah jari Gwen yang sedang menyentuhnya.
“Gimana Giya, Maeve, Treya? Ada tambahan?” Tanya Gwen.
“Mhmmm…”
Mampus. Desahan itu lolos dan semua mata sekarang sudah tertuju pada Treya, menunggu yang mengeluarkan suara melanjutkan omongannya.
“Mhm… nggak ada tambahan mbak Gwen.” Panas dingin menjalari seluruh tubuh Treya namun ia tetap memaksa tersenyum lebar. Untungnya ia masih bisa menjawab dengan satu kalimat komprehensif.
“Oke kalau sudah tidak ada tambahan, sekian presentasi divisi HR.” Walaupun dengan wajah kebingungan Gwen pun tetap menutup meeting hari itu.
Segera setelah meeting itu selesai Maeve langsung narik Treya untuk ngajakin smoke break di rooftop.
“Jujur gue udah capek banget anjir. Fuckk!!! Nggak pernah gue secapek ini dientot kerjaan. Mending capek dientot beneran. ArgghH!!”
Mulut asbun Maeve itu memang nggak bisa diprediksi apalagi kalau udah misuh-misuh kayak gini, sambil menghisap dalam-dalam dan menghembuskan asap rokoknya.
“Eh tapi jujur ya, hari ini mbak Gwen hot banget anjir...” celetuk Treya dengan satu hisapan panjang diambil dari pod yang ada di genggamannya.
Belum sempat ia hembuskan, justru malah tersembur karena terbatuk-batuk akibat kaget jidatnya ditoyor oleh Maeve.
“Unprovoked much? Dasar perawan mesum. Makanya otak lo tuh dipake mikir yang bener jangan cuma ngentat ngentot aja yang lu pikirin.” toyor toyor toyor toyor.
Maeve udah biasa dengerin Treya yang demen banget kebelet sama atasan mereka, jadi nggak salah kan kalo dia balas pakai toyoran betubi-tubi kaya gini? Sekali-sekali…
“Aduh! Aduhhh! Hmm… Emang napa? Emang napa? Emang napaaaa?” Bukannya malu tapi Treya malah senang mengganggu Maeve dengan tatapan mata membulat dan bibir yang dimanyunkan dengan nada sok imut, tahu cara memancing rasa kesal Maeve.
“Tolol,” satu geplakan kembali mendarat di belakang kepala Treya.
“Ah! Stop anjir, yang ada gue tolol beneran gara-gara lu pukulin mulu!” Balas Treya sambil cemberut dan mengembalikan love language physical attack-nya berupa toyoran ke belakang kepala Maeve.
“Hahaha… Abisnya down bad banget lu sama mbak Gwen. Eh tapi lo harus tau sih, gue baru inget punya teh tentang mbak Gwen.” Seringai usil pun muncul menghiasi wajah Maeve, yang dibalas dengan tatapan penuh keseriusan dan penasaran dari Treya.
Treya itu anak baru, belum genap dua bulan di sini. Sementara Maeve udah mau masuk tahun ke-dua. Maeve masuk nggak lama setelah Giya, senior mereka.
Tapi kedekatan Treya sama Maeve udah kayak sahabat yang kenal dari jaman sekolah. Seperti sekarang, mereka sering nyebat dan nyambat berdua.
Maeve yang seneng ketemu sobat seperjuangan kaya Treya nggak mau menyia-nyiakan waktu untuk nyebarin semua bahan gibah yang ada di kantor mereka.
Mulai dari OB hot yang jadi giliran manager-manager kantor mereka. Maeve yang punya fwb dari hampir semua divisi, tapi fwb-an nya nggak saling tahu satu sama lain. Sampai atasan mereka yang selingkuh, sampe hamil dan keluar dari kantor.
Semua yang Maeve tahu dia bagiin ke Treya layaknya anak didiknya.
Jadi Treya kaget ketika Maeve malah masih punya gosip tentang mbak Gwen yang nggak dibagiin ke dia. Padahal jelas-jelas Maeve tahu seberapa tertariknya Treya sama Gwen.
“Apa?” Treya jawab dengan nada sedatar mungkin padahal jantungnya sudah berdegup kencang.
Jujur aja dari pertama kali lihat mbak Gwen waktu Treya di-interview, Treya udah tertarik banget sama mbak Gwen.
Memang orang yang nggak kenal akan menilainya sebagai orang yang galak dan tegas, tapi nyatanya nggak sama sekali.
To say she is an amazing woman is an understatement. Karna buat Treya, menurutnya dia nggak lebih dari remahan roti bahkan kerikil atau debu, yang nggak ada apa-apanya dibanding permata kaya mbak Gwen. Maafin Treya nya jadi alay kalo masalah kayak gini.
Tapi hal itu nggak bikin Treya kecil hati. Kenal orang dengan segudang ilmu kaya mbak Gwen bikin Treya makin semangat belajar.
Tiap ada kesempatan dia selalu mencoba ikut semua event atau project yang di-arrange mbak Gwen, improve dari feedback yang dikasih mbak Gwen. Intinya, mbak Gwen jadi penyemangat buat dia.
Belom lagi kenal sama tim yang supportive banget sama Treya. Walaupun belum lama di sini, bukan cuma deket sama Maeve, tapi Treya juga kenal deket sama mbak Giya yang suka dengan hal-hal manis.
Mulai dari rekomendasi dessert places, trinkets, sampai kata-kata penyemangat manis Treya terima dari mbak Giya.
Mereka sama-sama suka kpop dan nggak jarang mereka pergi bareng setelah jam kerja atau di akhir pekan buat pocadate sambil nyobain tempat-tempat dessert baru.
Foto-foto yang manis buat di-upload ke instagram. Sampai tas Treya sekarang penuh sama bag charms dan meja kantor dengan trinkets warna-warni yang direkomendasikan mbak Giya.
Mbak Giya juga selalu jadi yang terdepan untuk mastiin Treya selalu sehat dan nggak stres sendirian dengan sesimpel ngajak dia minum teh hangat di pantry sambil nyemangatin Treya pakai kata-kata manis.
Buat Treya, mbak Giya bener-bener personifikasi dari kata ‘manis’ itu sendiri.
Jadi jangan salahkan Treya kalau sekarang mulutnya udah menganga terlampau lebar dan kalau bisa malah kayaknya air liur udah mengalir sederas air terjun dari kedua ujung bibirnya, ketika Treya mendengar perkataan yang keluar dari bibir Maeve.
“HAH!? gimana? gimana maksudnya?” Nggak tahu udah berapa kali Treya nyebut “Hah” “Heh” “Hoh”, macam penjual siput tapi sekarang Maeve tetap ulangi pernyataannya tadi.
“Iya…. Jadi lu inget kan…. Mbak Rika yang udah resign, yang posisinya lu gantiin sekarang ini? Dia pernah mergokin mbak Gwen sama mbak Giya ciuman di tangga darurat.”
Jujur saja Maeve puas dengan reaksi yang diberikan Treya sambil memainkan rokok yang dijepit diantara kedua jarinya. Menunggu yang satunya kembali dari kesadarannya dan memberikan reaksi yang lengkap.
“Oh and I bet it’s moreee than just kissing. Mereka nggak sadar kalau ada mbak Rika, jadi dia buru-buru balik nutup pintu lagi. Mana mbak Gwen sama mbak Giya nyantai banget lagi pas balik. Gue kalo nggak diceritain juga nggak nyangka waktu itu” kekeh Maeve.
“Tunggu… TUNGGU. Jadi…. selama ini ada sesuatu antarambak Gwen sama mbak Giya?” tanya Treya.
“Nggak ada yang tahu persis, sih. Tapi coba aja kalo lu perhatiin lagi, mereka kan emang suka ngilang bareng? Kadang suka pulang bareng berdua juga, kan?” sahut Maeve.
“Ya tapi gue kira selama ini karna emang searah aja?” jawab Treya linglung.
“Searah gimana orang yang satu Jaktim satu Jakbar.”
Setelah percakapannya dengan Maeve, Treya jadi lebih ekstra perhatian dengan gerak-gerik Giya dan Gwen. Dari observasinya ia menyadari, Giya memang sering menunjukkan keakraban dengan sering mendatangi meja Gwen dan memberikan pijatan di pundak hingga leher Gwen. Wajar, pikirnya.
Ada satu kali Treya melihat Gwen dan Giya sedang berdiri ingin melewati gang sempit antara meja kerja keduanya.
Tubuh mereka sempat bersinggungan, Gwen dengan natural memegang lekuk pinggang Giya supaya tidak saling bertabrakan.
Yang lebih muda juga dengan refleknya menautkan jemarinya di lengan Gwen, mencari pegangan. Kebetulan, memang setahu Treya, Gwen nggak mudah memegang orang lain, tapi kalau nggak dipegang seperti itu dia dan Giya bisa tabrakan, kan?
Hingga suatu malam, ketika lampu kantor sudah hampir seluruhnya padam kecuali di atas meja mereka, semua orang sudah pulang kecuali mereka, Gwen, Giya dan Treya terpaksa masih harus lembur di kantor akibat ngurus deadline buat gajian. Maeve saat itu tidak ada karena sedang kurang enak badan dan izin untuk WFH.
Jujur Treya udah ngantuk setengah mampus dan kerja di kantor di jam segini nggak membuatnya lebih produktif juga dibanding kerja dari rumah dengan suasana yang lebih nyaman. Beberapa kali ia menguap dan merenggangkan tubuhnya, ketika dikagetkan dengan tepukkan Gwen di pundaknya.
“Treya, aku tinggal ke toilet dulu ya sebentar,” ucap Gwen. “Oh iya mbak, silahkan,” jawab Treya. “Nih jangan lupa minum yang banyak juga, udah aku isiin botolnya” sahut Gwen sambil meletakan botol minum di meja Treya.
Giya yang duduk di meja seberangnya sontak berdiri dan menghampiri Gwen “Akhirnya ada yang mau ke toilet juga!!! Giya ikut! Huhu dari tadi takut kalo sendirian.”
Giya pun meraih pergelangan tangan Gwen, berpegangan erat seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya. “Dasar penakut, ayo.” Gwen hanya bisa tersenyum sambil menepuk puncak kepala Giya melihat tingkah lucunya yang sudah biasa mereka lihat ini.
Setelah menenggak habis air putih yang diberikan mbak Gwen. Di sela-sela waktu itu tadinya Treya mau menggunakan kesempatan untuk memejamkan mata sejenak. Ia tangkupkan kedua tangan di atas meja, kemudian menaruh kepalanya.
Namun sialnya, bukannya merasa tenang, tapi otak Treya malah mengoveranalisis, mulai mengeja satu per satu ekuasi dari kejadian yang baru saja terjadi di depan matanya.
Satu, mbak Gwen pergi ke toilet. Dua, mbak Giya dengan manja minta ikut ke toilet sambil geleyotan di tangan mbak Gwen. Tiga, kalau Treya nggak salah perhitungan dengan rumor ‘hubungan gelap’ mereka, di kantor yang sudah sepi dan toilet yang penuh privasi buat dua wanita itu bisa-bisa…..
If two plus two is four, and five plus five is ten, what the fuck is this?
Hasilnya Treya mengendap-ngendap masuk toilet setelah mendengar suara desahan yang masih belum jelas berasal dari Gwen atau Giya.
“Ahh.. Mhmn! Mwahh.. Ngnhh-hh.. Ahh..”
“Ah!.. Shhhs—Pelan-pelan..”
Yang jelas dari semua bilik toilet yang ada masa yang tertutup cuma satu?
Ditambah suara desahan dan kecupan sebasah itu?
Apa salah kalau Treya jadi makin penasaran sama kegiatan yang dilakukan kedua wanita itu di dalam sana?
Hasilnya Treya sudah ada di dalam satu bilik toilet tepat di sebelah mereka.
Treya duduk di atas toilet seat yang sudah ditutup. Kedua kaki diangkat ke atas, ditekuk di depan dada, supaya kakinya tidak bisa dilihat dari luar.
Membungkam mulutnya dengan tangannya supaya suara napasnya tidak terdengar.
Menempelkan telinganya pada dinding tipis yang memisahkan mereka.
Hasilnya tanpa harus melihat pun semua orang yang bisa berpikir jernih pasti juga bisa menyimpulkan kegiatan kotor apa yang Giya dan Gwen lakukan di sana.
“Mhnnn… Ah! Pelan-pelanh Gwen-hhngg..” kata Giya sambil sedikit cemberut ke arah Gwen di sela-sela ciuman panas mereka.
“Ah— maaf. Abis-shh kamu sih buru-buru narik aku ke sini-hh” jawab Gwen sambil kembali menarik dagu Giya.
Ia bawa Giya dalam pagutan yang lebih dalam dan basah. Secara bergantian memagut bibir atas dan bawahnya. Giya julurkan lidahnya yang dibalas dengan kuluman dan hisapan dari yang lebih tua. Jarak di antara keduanya sudah terkikis habis, begitu pula dengan napasnya.
Posisi keduanya berdiri, dengan Giya yang meyandar di tembok bilik toilet itu dan Gwen di depannya. Kedua tangan Gwen menyokong pinggang Giya, sementara kedua tangan Giya melingkar di belakang leher Gwen.
Satu kaki Gwen berada di antara selangkangan Giya. Paha yang lebih tua dijadikan dudukkan oleh yang lebih muda, dijadikan sebagai sokongan sekaligus untuk gesek-gesek alat kelaminnya.
Giya gesekin vagina yang basah dan masih terbalut celana itu ke paha Gwen, napasnya berantakan, nggak sabaran. “Ah…. Ah… Hngghhh… Enak… Mau lebih….. Memek aku udah basah….” lirih Giya sambil pandangi Gwen penuh nafsu.
Gwen bisa rasakan basahnya vagina Giya yang merembes dari celananya itu di pahanya, “Nggak sabaran banget sih, cantik. Udah nggak tahan, ya?” Jawab Gwen sambil mengelus lembut kepala Giya dan menyampirkan helaian rambut yang menutupi muka Giya ke belakang telinganya.
Gwen pun memundurkan kakinya, membuat yang lebih muda kecewa kehilangan mainan yang membantu stimulasinya.
“Aaaah! Belom puasssss… Mau lagiii….” mulutnya kembali cemberut, rengekan kembali muncul dari yang lebih muda, tahu kalau yang lebih tua suka dengan Giya yang manja dan needy seperti sekarang ini.
Satu tangan Gwen arahkan ke depan mulut Giya supaya ia dapat melumat jarinya. “Emut dulu yang bener. Basahin.”
Dengan serampangan tangan Gwen satunya ia gunakan untuk membuka kancing cardigan merah yang dikenakan Giya.
Kancingnya nggak dia buka sampai bawah, hanya cukup sampai menampilkan bra berenda di dalamnya. Dan dengan satu tangan itu juga ia keluarkan kedua bongkah buah dada Giya asal hingga menyembul keluar.
Seperti yang disukai Giya, meskipun sedang terburu-buru, Gwen tetap sempatkan waktu untuk teasing dan foreplay terlebih dulu. Nyiapin dirinya sampai bener-bener basah sebelum mulai permainannya.
Gwen kecup dan jilati dari telinga Giya dengan sensual, basah kecupnya itu memenuhi ruangan, dan membuat Giya nggak berhenti mendesah dan merinding sebadan-badan.
Leher hingga dada dan sekitar payudara Giya juga nggak luput dari perhatiannya, sengaja di lama-lamain, sampai Giya mulai bergerak gelisah, makin terangsang.
Ia tiup-tiup pelan kedua puncak payudaranya sambil tetap mendongak biar menjaga kontak mata sama wanitanya yang lagi asik ngelamotin jarinya.
Hingga akhirnya seperti bayi yang kelaparan Gwen tangkup seluruh areola Giya ke dalam mulut hangatnya, mengitarinya dengan lidahnya yang lihai, kemudian menggigitnya.
Sontak Giya pun kaget dan membuka mulut yang tadinya menghisap jari-jari Gwen. “Bwah! Gwen-h!”
Namun Gwen memaksa jarinya kembali masuk hingga Giya tersodok “EughH…Argghhh…Mmmmhh…” bukannya marah, Giya malah lebih beringas ngelamotinya.
Di dalam hisapan Gwen pada payudara Giya, ada lidahnya yang ia putar-putar dan tekan pada putingnya.
Hmmph… slurpp… nyanghhh… Suara-suara basah erotis dibuatnya.
Payudara yang kiri pun demikian, diberi perhatian yang sama, dipilin, ditarik, digaruk kasar dengan kukunya.
“HmhhhHH…. Iyaahh…. Terush-hh… Kaya gituh enakh-hh…” Saat dirasa sudah cukup puas, ia tinggalkan bercak-bercak merah di kedua payudara itu.
Gimana dengan Treya?
Di sisi lain wanita yang lagi nguping sambil ngintip dari celah kecil itu bener-bener udah pusing, udah nggak kuat, udah nggak bisa tahan lagi.
Memeknya gatel banget dan nggak berenti cengap-cengap ngeluarin cairan minta dijamah.
Gimana nggak, denger langsung semua desahan atasannya, sambil ngintip doang yang bikin nggak bisa ngasih visual yang jelas, malah berbuah imajinasi yang makin liar.
Jadi Treya sibak roknya sambil merutuk dalam hati, “fuck, fuck, fuck, maafin gue mbak Gwen, mbak Giya.”
Treya longgarkan celana dalamnya hingga menggantung di pangkal kakinya. Sandarkan duduknya di toilet itu dan lebarkan kakinya sebisa mungkin dan kucek itilnya cepat.
Dia mau ngedesah kenceng tapi takut ketauan jadi cuma bisa bekep mulutnya pakai tangannya makin kenceng.
Yang malah bikin Treya makin pusing karna nggak dapet banyak pasokan oksigen.
Bikin dirinya makin melayang karna otaknya makin kopong dan cuma bisa dipake buat mikir gimana caranya cepet-cepet bucat.
Biji klentitnya makin keras dan mulai kerasa nggak enak, tapi ia nggak berhasil-berhasil juga capai puncaknya.
Butuh yang lain. Butuh jari-jari tebal mbak Gwen buat rojokin memeknya contohnya. Butuh diciumi sepanjang leher dan dihisap kencang sampai meninggalkan cupang sama mbak Giya contohnya.
Fuck Treya makin napsu. Treya makin deketin kupingnya ke bilik itu buat dengerin lebih jelas kelakuan atasannya di sebelahnya.
Sedang di sana, Gwen bawa dirinya semakin ke bawah, sambil mempertahankan kontak mata dengan empunya, menciumi torso, menggigiti perut, menjilati pusar, hingga batas celana Giya.
Gwen menekuk lututnya, bersimpuh memuja di antara kedua kaki yang lebih muda. “You’re so pretty…. I’ll never get tired of you…. And this view….”
“Mhmh? Tell me more….” yang dibalas dengan raut yang memerah dari wanita di atasnya. Giya elus pelan rambut wanita dibawahnya, penuh adorasi.
“Mhm…Wanna lick you off until you cum on my face. Mau lamotin memek kamu, sampe kebas…. Sampe tolol nggak bisa ngomong karna keenakan…” Nggak ada jawaban dari yang satunya.
Dan dengan satu hentakan Gwen tarik turun seluruh celana Giya, kasar, menampilkan memeknya yang merah dan mengkilap akibat cairannya. Terekspos dan tersaji tepat di depan wajah Gwen.
“How’s that sound? You’d like that, wouldn’t you?”
Fuck. Fucked. Giya rasanya mau gemetar sebadan-badan, bucat cuma dari kata-kata dan tatapan sayu Gwen yang sambil menjilati bibirnya seductive.
Gwen tuntun kaki dan tangan Giya ke dalam posisi yang lebih nyaman. “Angkat kakinya, cantik. Siniin tangannya buat pegangan.” Sekarang satu kakinya sudah bertengger di atas toilet, dengan tangan kanan menumpu di bahunya Gwen.
Kedua tangan Gwen masing-masing di paha dalam Giya. Dengan jarinya ia ratakan cairan yang membasahi lubang Giya ke seluruh permukaan memeknya, sambil terus tatapi muka keenakan si cantiknya.
Kemudian jari-jarinya itu membelah dan membuka kedua labianya. Berikan akses untuk lebih mudah merojoki lubang kawin yang lebih muda dengan lidahnya nanti. Fokus Gwen masih dengan menatap Giya lamat-lamat, sengaja menunggu yang lebih muda mengatakan kata-kata favoritnya.
“Nghh… Gwen-hh cepetan masukinn-hh… Memek aku udah gatel banget, nggak tahan… Please…” dengan muka yang erotis Giya goda wanita di bawahnya, ia makin dekatkan memek itu ke arah mulut Gwen, dan tanpa menunggu lagi Gwen langsung lahap memek tembam itu.
Lidah tebal itu tak henti-henti naik turun dari klitoris hingga lubang pipis Giya, basah dan hangat, berikan stimulasi tanpa henti namun masih belum cukup dan membuat Giya semakin tidak sabaran, menggeliat seperti cacing kepanasan karena liangnya belum diisi.
Lidahnya ditekan-tekan, keluar-masuk, atas-bawah, tanpa ampun. Seperti orang kelaparan, yang akhirnya memakan makanan favoritnya.
Di saat yang bersamaan Treya juga denger semua kecipak basah dari mulut atas Gwen yang lagi asik lamotin mulut bawah Giya, yang bikin dia ikutan jadi makin basah.
Dia kencengin tempo jarinya keluar masuk di lubang kawinnya yang mulai mengetat. Dinding memeknya sengaja dia gerakin membuka-menutup, menyedot masuk jari-jarinya makin dalam.
Sekarang bajunya udah keangkat sambil digigit, branya udah dilonggarkan, jadi tangan satunya bisa ia gunakan untuk mencubit-cubit sendiri putingnya. Ngasih rangsangan lebih.
Sumpah Treya setengah mati nahan buat nggak ngedesah dan nggak bikin terlalu banyak suara.
“Gwen-HH plis… J-jari kamu… Ja-ri kamu-uuu rojokin-hh memek aku… huhuhu…” Giya udah frustasi sama semua rangsangan yang diberikan Gwen.
“Bucat dulu.” Tapi Gwen tetep masih mau denger Giyanya ngerengek dan mohon-mohon kayak gini.
“Nghhh… Nnhggh-nggak mau Gwenh.. Aku maunya pake jari kamu…”
“Nggak.”
Final.
Kalau Gwen sudah bertitah seperti itu apalagi yang bisa Giya lakukan?
Jadi Giya cengkeram surai Gwen agar mukanya masuk lebih dalam di memeknya. Ia goyangkan pinggulnya berlawanan arah dengan rojokkan lidah Gwen di dalamnya hingga stimulasinya lebih dalam.
Giya pakai muka itu buat ngentotin memeknya. Sampe hidung Gwen berulang kali mengenai klitoris Giya. Bibir basahnya menabrak labianya, dan lidahnya tertancap dalam di memeknya.
Cairannya tak henti-henti keluar dan diseruput habis sama Gwen. Nikmat untuk keduanya, hingga Gwen turut menggeram menikmati santapan tersebut, yang membuat memek Giya ikut bergetar “Gwenhh-hh.. Ah! Minggir aku mau bucat! Awaaass!!” Suara Giya melengking dan ia pun akhirnya kehilangan akalnya dan muncrat seketika itu juga di muka Gwen.
Cairan itu dicoba Gwen untuk ditangkap dan ditelan seluruhnya. Namun saking banyaknya, tetap menyembur keluar dari sisi-sisi bibirnya, hingga membasahi dagu hingga leher Gwen.
Belum juga Giya turun dari puncaknya. Gwen mundurkan kepalanya, dan mulai masukin dari satu, dua, hingga tiga jarinya. Keluar masuk dengan tujuan yang presisi.
Menggaruk dinding vaginya Giya pada titik manisnya.
“GWEN! AH! Tunggu aku masih sensitif… Huhu.. Ahh!!!”
“Katanya tadi mau jari aku?” Gwen goda wanita di atasnya dan dengan puas melihat muka panik, kewalahan sekaligus keenakan dari Giya.
Ia tambahkan kecepatannya hingga Giya overstimulasi.
Sinting. Tapi itu yang Gwen suka, wanita cantiknya pipis-pipis, deras, hingga menyembur kemana-mana, bergetar hebat, sampai ambruk dan nggak bisa lagi berdiri tegak sendiri, tanda puas dengan service-nya. Dan hal itu juga yang disukai Giya.
Nggak pernah di fantasi terliarnya Treya membayangkan coworker-nya lagi ngewe di toilet kantor? Dan Treya yang malah ngumpet-ngumpet buat berusaha ngintip sambil nguping? Apalagi Treya ikut sange, anjing?!
Celana Treya beneran basah. BASAH. Gimana nggak selama nguping tadi ya Treya jadi ikutan mastubasi, lah. Mana tahan denger dua atasannya saling goda, desah, dan makan satu sama lain.
Walaupun tetap ada perasaan mengganjal di hatinya, karena Treya merasa kompas moralnya sedang diuji.
Rasanya sange bukan main, nikmat, ngebayanginnya aja udah bikin Treya bucat, apalagi ngerasain langsung main bertiga, EH?
Emang harus hati-hati kalo mikir, karena saking Treya keasikannya ngobelin memeknya sendiri, sampe nggak sadar kalau di toilet itu udah nggak ada suara sama sekali. Yang artinya Gwen dan Giya udah keluar dari toilet.
Jadi Treya buru-buru ngelap bersihin sisa-sisa pelepasan di tangannya, memeknya, pahanya. Sambil merutuk dalam hati dan berpikir ekstra keras alasan apa yang harus dia bilang ketika Giya dan Gwen nggak lihat Treya di meja kerjanya.
Baru aja pelan-pelan Treya ngebuka pintu toiletnya. Ia langsung disambut dengan Giya dan Gwen yang udah senyum timpang dan puas mergokin Treya.
“Enak dengerinnya? Bisa sampe bucat?” Sapa mbak Gwen dengan kedua tangan disilangkan di depan dada dan tatapan tegas yang nggak bisa ditebak apa artinya.
“Treya… Treya… Nggak nyangka aku kalo kamu bisa nekat dengerin kita” tanpa basa-basi Giya tarik tangan Treya.
Jarak di antara mereka sudah terkikis habis. Dan tanpa aba-aba Giya raup rakus ranum Treya. Treya pun berontak, berusaha mendorong Giya dan menutup mulutnya, tapi kedua tangannya ditahan dari belakang oleh Gwen.
Tidak dapat dipungkiri Treya pun melenguh karena kembali dimabuk hasrat. Ketika akhirnya ada kesempatan untuk menarik mundur kepalanya, Treya cepat-cepat menjelaskan, “Ah… Hh-mbak…. Nggak gitu… Dengerin aku dulu—”
“Apalagi sih yang mau dijelasin, Treya?” sahut Gwen yang semakin mengeratkan pegangannya di pergelangan tangan Treya.
Menyibak rambut Treya hingga lehernya terekspos dan tinggalkan kecupan-kecupan basah di sana.
“Mmh-mbak mau ngapain?! A-aku nggak masalah sama sekali kalo ada apa-apa sama mbak Gwen sama mba Giya. Tapi— Ah.. a-aku minta maaf aslinya aku cuma penasaran. Nggak nyangka—” belum lagi Treya menyelesaikan kalimatnya sudah dipotong oleh Giya.
“Apa? Nggak nyangka kalo kita ngentot diem-diem? Kalau nggak ketahuan kamu bakal terus dengerin kan kaya tadi? Jujur aja Treya, kamu sange kan pengen ikutan?” Giya dengan tiba-tiba meremas selangkangan Treya dari balik roknya. Rasakan basah celana dalamnya.
“AH! IYA! Eh ngga! NGGAK!”
“Beneran udah kepalang sange jadi otak sama omongannya nggak singkron ya, Rey?” Dengan lihai Gwen putar badan Treya untuk menghadapnya, membawanya dalam pagutan panas lainnya, menggendongnya, dan mendudukkannya di atas meja vanity.
Treya merasa sangat kecil dan rapuh, digendong dan diangkat ke atas meja seperti itu oleh Mbak Gwen.
Dilebarkan kedua paha Treya yang langsung menampilkan vagina yang tercetak dari balik celana dalamnya yang basah. “Kena lo”.
Treya kaget, rasanya ingin menangis, malu. Mau ditaruh di mana mukanya besok kalau masuk kantor lagi setelah kepergok ngintip, nguping dan masturbasi sambil dengerin kedua rekan kerjanya ini?
Muka Treya merah dan panas. Rasanya ingin menangis. Dan tanpa disadari air matanya memang sudah membasahi pipinya.
“Cantik… Ngapain nangis? Nggak apa-apa, aku sama Gwen nggak marah,” ucap Giya seraya mengelus lembut kedua pipi Treya, menghapus air matanya, dan menangkupnya dalam kedua tangan hangatnya. Giya kecup pelan puncak hidung Treya.
“Nangisnya karna keenakan aja ya nanti? Treya mau kan main sama aku, sama mbak Giya juga?” Gwen mengelus pelan lutut Treya yang sedikit gemetar.
Tak ada jawaban selain anggukan dari Treya. “Coba bilang yang bener. Mau kan ngewe sama mbak Gwen sama mbak Giya, Treya cantik?”
Treya beneran pusing denger dua atasannya, berubah 180 derajat, berbanding terbalik dengan biasanya, Mbak Giya dan Mbak Gwen yang manis, sopan dan ramah, sekarang dengan kata-kata dan perlakuan kotor dan frontal yang mudah lolos dari keduanya.
Kedua pasang mata itu kini tertuju ke arahnya. Treya tatap lamat-lamat satu persatu Giya dan Gwen. Kedua raut wajah yang masih sama seperti Treya lihat biasanya, tadi pagi, dan malam ini. Penuh perhatian, pengertian dan sayang? pada Treya.
Treya mau mbak Gwen. Treya mau mbak Giya. Jadi dengan mantab iya anggukan lagi kepalanya dan jawab, “Mau… Mau banget dienakin mbak Giya sama mbak Gwen…”
Jackpot.
Itulah yang Gwen dan Giya harapkan. Mereka bertatapan dan tersenyum, puas karena berhasil memancing Treya ke dalam situasi ini.
Gwen dan Giya memang sudah lama menjadi friends with benefit atau lebih? Kedua orang itu nggak ada yang bisa pastiin juga persisnya.
Yang mereka tahu mereka sama-sama tertarik sama perempuan. Tertarik satu sama lain. Punya hasrat yang sama. Jadi, apalagi sih yang perlu dipastikan dan ditunggu kalau bisa langsung saling muasin satu sama lain.
Dan jujur saja, baik Gwen dan Giya sama-sama tertarik sama Treya. Giya yang modusnya ngajakin Treya banyak ngobrol dan jalan-jalan. Gwen yang modusnya ngajakin Treya untuk ngerjain banyak hal bareng dengan dalih ‘belajar’.
Gwen dan Giya sebenarnya sama-sama dominan, jadi ketika melihat sikap Treya, mereka merasa Treya kayaknya akan jadi kombinasi yang pas buat ngelengkapin mereka.
Jadi, waktu Giya mergokin Treya diam-diam lagi mainin pulpen di memeknya dari bawah meja waktu Gwen presentasi, Giya nggak buang waktu lama untuk menyampaikan hal itu ke Gwen dan jelas disambut baik oleh perempuan satunya, menganggapnya sebagai lampu hijau. Apalagi sudah dapat persetujuan dari Treya seperti ini.
Kali ini Gwen kembali mencium Treya. Berbeda dengan sebelumnya, ciuman ini lebih penuh kehati-hatian dan penghayatan.
Treya bisa rasakan rasa manis dari mulut Gwen yang sebelumnya menjamah memek Giya.
Disapanya bibir Treya bagian atas, ia pagut hingga puas dan beralih ke bilah bawahnya. Ini pertama kalinya untuk Treya, jadi dia coba untuk ikuti ritme Gwen.
Lama-kelamaan Treya mulai nyaman dan menautkan tangannya disurai yang lebih tua, meremasnya penuh hasrat.
Perlahan Treya buka mulutnya, beri akses yang lebih tua untuk menjamahnya lebih dalam. Lidah mereka bersatu, beralun dan bergantian menyapa mulut satu sama lain.
Treya pun akhirnya tersenyum dan Gwen bisa merasakannya. Gwen buka matanya untuk melihat mahakarya di depannya, Treya dengan bibirnya yang merah dan bengkak, menggoda dan mengkilap.
Dilihat lamat-lamat seperti ini oleh mbak Gwen tentu membuat Treya salah tingkah. Jantungnya berdegup kencang dan sebelum ia ciut lagi setelah terpantik seperti ini, langsung saja ia tarik dagu mbak Giya untuk ikut berciuman dengan keduanya.
Bibir mereka bertiga bertemu di tengah. Awalnya sedikit amatir dan kikuk. Bibir mereka bertabrakan asal begitu pula dengan hidungnya, dan sesekali mereka tertawa.
Tertawa karna ide gila dan kekikukan mereka dengan satu sama lain.
Tangan mereka saling merangkul dan menggerayangi satu sama lain. Treya pun sudah tidak tahu lagi tangan siapa yang meremas bokong sintalnya, yang meraba punggung hingga payudaranya. Ia biarkan.
Ketika mereka sudah mulai menemukan ritmenya, ciuman itu berubah semakin rakus, berantakan, dan basah.
Tidak tahu lagi apa yang ia raup entah bibir, hidung atau dagu, mereka lahap habis dalam pagutan panas itu.
Treya mulai mengamati Giya yang memang berisik kalau sedang seperti ini, yang mendesah tanpa henti, ciumannya lembut tapi juga basah.
Sedangkan Gwen lebih banyak menggeram rendah, lebih tidak sabaran, dan sesekali menyalurkan nafsunya dengan menggigit bibirnya.
Treya suka, suka dengan kombinasi ketiganya, jadi dia terima, terima, terima dan mulai turut mendesah keenakan.
Bibir ketiganya saling memagut, lalu lidahnya saling bergelut, betulan seperti bintang porno, dan ketika mulai kehabisan udara, ketiganya sama-sama memundurkan kepala dan untaian saliva menghiasi bibir ketiganya. Fuck, seksi banget. Treya masih nggak nyangka ada di situasi ini.
Giya merangkak naik ke meja vanity dengan punggung yang bersandar di dinding kaca, kakinya dilebarkan dan isyaratkan Treya untuk duduk di depannya.
Gwen membantu dengan mengangangkat kembali tubuh Treya untuk menyandar di depan badan Giya.
Gwen tarik salah satu kursi dari meja vanity itu dan duduk berlutut di atasnya. Setelah itu ia lebarkan kaki Treya dan kembali tampilkan selangkangan basahnya. Di saat yang bersamaan, Giya sedang membuka kancing kemeja Treya satu per satu.
Treya malu dilihat seperti ini, jadi ia penjamkan saja matanya rapat-rapat dan gigit bibirnya. Berusaha nikmati apa yang akan dilakukan Giya dan Gwen padanya.
Tiba-tiba ia rasakan jari-jari hangat menyentuh bibirnya. “Hey, look at me cantik…” Jadi Treya buka kembali matanya.
Di hadapannya kini sudah ada Gwen yang melepaskan kacamata dan blazernya. Ia menyelam dan menenggelamkan kepalanya di antara selangkangan Treya.
“Ngh.. M-mbak.. I-ini pertama, Treya..” muka Treya panas dan pastinya merah, malu-malu mengakui ini kali pertama ia akan ngeseks sama orang lain.
Giya dan Gwen pun langsung paham dan tunjukkan perhatiannya, “nggak apa-apa,” sahut Giya dan “iya sayang aku pelan-pelan,” Gwen bersamaan.
Perlahan Gwen gigit dan tarik turun celana dalam Treya. Mulai dari sisi kiri lalu lanjut ke sisi kanan, secara bergantian, ia tarik sampai pangkal kakinya, hingga tanggal seluruhnya.
Desiran darah mulai terasa semakin nyata dalam tubuh Treya. Sumpah pesona mbak Gwen yang cantik dan anggun biasanya ternyata kalah jauh dengan mbak Gwen yang kepanasan dengan rambut berantakan dan peluh yang membanjiri keningnya seperti ini.
Giya di belakangnya pun tak tinggal diam, ia kecupi puncak telinga Treya, julurkan lidahnya, dan beralih ke rahangnya, ia jilati dan gigit sambil mendesah “Ah… Treya wangi banget.. Mhmhh…” Ia lanjut berikan lumatan-lumatan basah dan gigitan di lehernya.
Yang dibalas dengan dongakan leher Treya, berikan akses makin luas ke Mbak Giya.
“Mhhh… Mm-Mbak Giya… Mbak Gwen-hh… Nghh” satu tangan Treya dipakai untuk mengelus pipi Giya dan satunya untuk mengelus rambut Gwen dan menariknya makin dekat ke tengah selangkangannya.
Tangan Giya mulai berikan rangsangan di payudara Treya, ia sematkan putingnya di antara jari-jarinya yang sudah ia basahi dengan ludahnya. Tempelkan payudaranya juga di punggung Treya untuk ciptakan gesekkan antar fabriknya, yang buat putingnya menegang, begitu pula pinggulnya ia gesekkan pada bokong Treya. Tidak peduli masih ada kain yang menghalanginya.
Gwen di bawah sana pun masih sabar, kecupi pangkal paha dalam Treya, tinggalkan gigitan-gigitan kecil, yang diberi rangsangan pun makin basah dan mulai bergerak tidak sabar.
Lalu Gwen julurkan lidahnya dan seret lidah itu sepanjang labia Treya dengan tempo painfully slow. “Ahhh!! Ngghhh.. Enak banget lidahnya.. Mbak Gwen-hh… Mhmm… Treya basah banget…”
Diberi semangat seperti itu Gwen pun semakin tertantang. Kini dia arahkan lidahnya ke lubang pipis Treya, buat gerakan melingkar dengan sangat amat lambat.
Biarkan Treya rasakan tiap sapuannya, seperti dentuman yang berdetik.
Sangat lambat, stimulasi yang Treya nggak tahu sebelumnya bisa membuatnya sampai sangat sensitif, naik turun karna lidah itu mengenai dan menghindar titik sensitifnya.
Tak lama Gwen kembali gerakan lidahnya dari atas ke bawah. Basahi dan ratakan seluruh cairan itu ke memek Treya. Buat Treya menggelinjang keenakan dan pahanya makin maju mengejar lidahnya.
Lidah itu bergerak melingkar di luar lubang kawin Treya. Buahkan suara basah dan lubang yang cengap-cengap. Satu tangan Gwen ia sampirkan di selangkangannya, menyapa memeknya yang ikutan lembab, beri dirinya sendiri rangsangan.
Dengan tempo yang sama dengan jari Gwen di liangnya sendiri, ia gerakan lidahnya keluar masuk liang kawin Treya.
Dorong masuk dan keluar cairan yang ada di dalamnya. Dan bibirnya berikan stimulasi di labianya. Ia hisap kencang hingga pipinya ikut kempot.
Giya pun turut tahan kedua kaki Treya untuk tetap melebar dengan kedua telapak kaki di depannya. Satu tangan masih memberikan stimulasi di puting Treya yang kini sudah menegang sempurna, dari tarikan-tarikan kencang di sana. Satu tangan ia gunakan untuk turun ke vagina Treya. Kucek klitorisnya yang tidak terjamah lidah Gwen.
Treya hanya bisa merintih, berganti-gantian memanggil “Mbak Gwennhh.. Hhhngg!! Enak banget terus mbak kencengin-ngghh!! Mmmh-Mbak Giya.. kucekin terus itilnya pelan-pelan enak banget-hh! Hnggh! Treya-hh suka…”
Treya palingkan mukanya untuk menghadap Giya, dan disambut dengan ciuman dari wanita satunya. Giya lahap semua desahan-desahan Treya dalam mulutnya, yang dibalas dengan desahan yang sama.
Treya mulai bisa memimpin ciumannya, ia gerakan lidahnya untuk bertaut dengan lidah Giya, lamotin bibir perempuan itu dan tinggalkan gigitan saat Gwen kenai titik manisnya dengan lidahnya.
Desahan Treya makin melengking, isyaratkan kedua wanita lainnya kalau ia akan segera capai puncaknya.
Yang dibalas dengan lidah Gwen yang kini tergantikan dengan jari-jarinya, dirojok lebih dalam, hingga mengenai titik manisnya.
“Ah!! Gwen–hh!! HHNGG!! M-MBAKK!! Mauu– TreyA- Ahhh!!!” akhirnya Treya sampai putihnya. Matanya juling ke belakang, rasakan nikmat rojokan jari Gwen yang masih belum berhenti dan kucekan Giya di itilnya yang belum juga melambat.
Treya banjir, dan di saat sudah merasa tidak ada lagi cairan yang bisa keluar, perutnya kembali menggelenyar yang rasanya seperti ingin pipis. “Mm-mbak! Huhuuu… Uudahhh!! Hngg!! Treya kaya mau pipiss! Aaa ini kenapaa??!!”
Giya tempelkan bibirnya di telinga Treya berikan kata-kata penenang, “shhss.. gapapa Treya keluarin aja…” tapi kepala Treya tetap menggeleng-geleng menolak, dan coba dorong kepala Gwen menjauh
Namun Gwen malah semakin dekatkan wajahnya ke depan memek Treya. Tekan tubuh Treya tepat di depan kantung kemihnya berada. Yang hasilkan Treya squrting- pipis yang mengalir deras dari lubang Treya dan dilahap habis oleh Gwen.
“Pinter… cantik cup cup cup” Giya terus tenangkan dan kecupi pipinya. Treya mendesah menangis sejadi-jadinya, dadanya naik turun, meraup oksigen supaya kembali mengisi tubuhnya, badannya masih bergetar dan tidak dapat dikontrol.
Hingga Treya kembali dari puncaknya dan membuka matanya, ia melihat Gwen yang sudah basah kuyup sambil menjilati bibirnya, Treya merasa bersalah, tapi Gwen tanpa terlihat jijik malah terlihat sangat menikmatinya.
“D-did I just squirt?” tanya Treya terbata-bata. “Yes, you did cantik, good girl… wanna taste?” jawab Gwen sambil elus bibirnya.
Yang dijawab dengan anggukan dari Treya, dan kecupan mendarat di bibirnya. Treya bisa rasakan manis cairan kentalnya yang masih tertinggal di mulut Gwen, bercampur dengan ludah Gwen, dan rasa amonia dari pipisnya sendiri. Semua itu ia raup beserta mulut Gwen.
“Giya mau juga!” lalu Giya langsung maju dan ikut dalam pagutan bertiga. Giya jilati ujung bibir hingga pipi Gwen untuk mendapatkan seluruh sisa-sisa rasanya, “Mhh!! You taste sooo gooddd Treya”
Yang dipuji hanya bisa blushing dan tersenyum, masih tidak menyangka pengalaman pertamanya berjalan seperti ini.
Mereka masih larut dalam pagutan panas, hingga Gwen memecah ciuman mereka dengan berkata, “round two at my place?”