
Hogwarts berbenah.
Perang yang memporak-porandakan seluruh sekolah, dan dunia sihir, kini hampir tak tersisa. Meski jelas sekali, memori menyakitkan ramah terpatri di benak tiap orang. Tak terkecuali Hermione Granger. Bagian dari Trio Gryffindor yang kini hanya berdiam diri di tepi Danau Hitam.
Hermione Granger hanya terdiam di sana. Tak lagi mengindahkan air berombak di Danau Hitam. Baginya sekarang, tempat itu tak ubahnya ruang kosong. Tawa sekelompok murid Gryffindor di sisi lain danau, seperti Harry dan Ron yang entah berebut apa, tidak lagi dapat meredam riuhnya isi kepala gadis itu. Hanya gerak napasnya yang nampak. Pelan dan panjang. Gerakan napas panjang dan pelan itu telah lama muncul selepas Hermione mengunjungi Kementrian Sihir.
"Maaf, Hermione." Itu adalah maaf ke sekian kali Kingsley begitu ia memasuki ruangan Menteri Sihir belakangan ini. Satu-satunya tempat yang menjadi tujuannya untuk satu masalah pelik di benak Hermione. Tentang orang tuanya, yang sempat dilemparnya menggunakan Obliviate. Mereka menghilang tanpa satu pun memori tentangnya, atau tentang Inggris. Dan, Hermione baru tahu selepas perang berakhir.
"Kumohon, Kingsley, hanya kau yang bisa membantuku," pintanya lagi. Namun, gelengan kepala Sang Menteri Sihir rasanya cukup memberinya jawaban. Kecuali, aroma apel dan peppermint yang lantas mengusik indra penciumannya. Seiring dengan pintu ruangan itu yang kembali terbuka. Hermione paham benar dengan aroma itu. Terima kasih kepada jabatan Ketua Murid yang resmi disandang mereka.
Draco Malfoy berdiri di ambang pintu. Dan, kedua mata pemuda berambut pirang platina itu tepat terarah ke iris mata Hermione. Tak ada yang lantas terjadi dari pertemuan mata yang hanya butuh waktu sepersekian detik itu. Yang Hermione ingat, ia lantas berjalan berdua dengan Draco selepas keduanya keluar dari ruangan Kingsley. Tidak lama setelah pemuda itu melaporkan beberapa hal, tentang keluarganya, hukuman dari kementrian, serta Hogwarts.
"Aku bisa saja menemukan dan mengembalikan ingatan kedua orang tuamu, Granger." Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Draco di sela-sela perjalanan mereka kembali ke Hogwarts. Ucapan yang terang saja membuat kedua alis Hermione kompak mengernyit.
"Itu hal mudah, kau hanya harus melakukan satu hal untukku."
Dan, mendengar kalimat terakhir itu mampu membuat Hermione tergeli. Yang benar saja, Kingsley saja beberapa kali hanya mengucapkan maaf, dan mustahil menemukan apalagi mengembalikan ingatan kedua orang tuanya, bagaimana mungkin Draco yang dengan terang tak pernah berbuat baik padanya itu mampu? Hermione berhenti. Senyum culas kini terpampang jelas di wajahnya. Seiring dengan langkah kaki Draco yang juga terhenti, dan gerak pelan punggung pemuda itu menghadapnya, Hermione melihat raut kebingungan di wajah pucat itu.
"Malfoy, kukira perang sudah berakhir dan kita semua memutuskan damai, bahkan kau dan Harry juga tak lagi terlibat masalah. Tapi, penawaranmu begitu konyol. Sudahlah, aku―"
"McGonagall tidak bisa menolongmu, Kingsley juga sama. Kupikir kau sudah sangat putus asa agar kedua orang tuamu kembali, Granger," Draco melangkah, mempersempit jaraknya dengan Hermione. Menguarkan aroma apel dan peppermint hingga lagi-lagi mengusik indra penciuman gadis di hadapannya. "Kau tahu kemampuan Malfoy dan masih menyia-nyiakannya?"
Draco hanya mengatakan satu kalimat sebelum lantas kembali melangkah. Meninggalkan Hermione yang masih sibuk mencerna aroma "khas" Draco, sekaligus kalimat terakhir yang diucapkan pemuda itu. Segala keputusan ada di tanganmu, Granger. Sekiranya demikian, kalimat yang lantas membuat Hermione hanya mampu terduduk lemas di tepian Danau Hitam. Tak mengindahkan gelak tawa Ron dan Harry, apa lagi Ginny dan Luna yang entah membicarakan apa.
Hermione bangkit. Tak sempat menyapu roknya yang sedikit kotor dengan rerumputan. Pun tak sibuk berpamitan dengan benar kepada teman-teman se-Gryffindor-nya. Kini, hanya ada satu orang yang ingin dituju oleh gadis itu. Draco Malfoy. Pemuda pucat sekaligus keponakan penyihir yang hampir membunuhnya di salah satu tempat di kediaman Malfoy.
Tak susah bagi Hermione menemukan Draco. Kembali ke Hogwarts dalam keadaan yang, tentu saja tidak sebaik dulu, pemuda itu hanya memiliki tiga tempat favorit. Sebuah pohon rindang dan cabang kuat di bagian terpencil di tepi Danau Hitam, di asrama Ketua Murid yang mereka tempati, atau di bangku paling sepi di perpustakaan Hogwarts. Dan, Hermione menemukan Draco tengah menikmati sebuah apel dengan buku setebal 800 halaman di dahan pohon di bagian terpencil tepi Danau Hitam.
"Malfoy, aku ingin menerima penawaranmu." Hermione masih belum sempat mengatur napasnya dengan benar. Namun, jelas itu mampu membuat Draco memerhatikannya. "Apa syaratnya?"
Draco yang merasa ada seseorang yang mengajaknya berbicara, dengan kecepatan kilat langsung turun dan menghadap Hermione yang setengah tersentak karena ulahnya. Berusaha menyembunyikan ekspresi, toh, nyatakan seringai tetap tercetak di wajah Draco.
"Menikahlah denganku."
♡♡♡
"Menemukan dan memulihkan ingatan orang tua Miss Granger adalah perkara mudah, Draco. Namun, kau mungkin akan menemui banyak hal rumit ketika menikahinya."
Narcissa mengabaikan cangkir teh yang masih sedikit mengepulkan asap. Sensasi hangat dari teh hitam bercampur lemon dan bergamot itu bahkan tak lagi mengusiknya. Sedari tadi, pikirannya hanya berkutat pada fakta yang baru saja dibawa oleh sang putra tunggal, Draco Malfoy. Anak yang sudah ia lindungi di era pertempuran baik dengan janji semati dengan Snape hingga mempertaruhkan nyawa lewat Harry Potter itu memberinya kabar mengejutkan. Draco menawarkan perjanjian dengan Hermione Granger, dan sosok musuh dari kubu mereka itu mengiayakannya dengan sekali ucap.
"Aku tahu, Mother," Draco menatap mantap kedua mata sang ibu, "tolong bantu aku sampai ingatan kedua orang tua Hermione kembali."
Narcissa bukannya tidak tahu dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Draco. Cara sang putra menyebut nama depan sosok Miss Know It All dari Gryffindor, caranya menyatakan permintaan tolong, wanita itu tahu penyebabnya. Dalam ingatannya, Draco yang baru berumur 11 tahun mengoceh panjang lebar selepas libur pertama Hogwarts dimulai. Tak hanya membicarakan putra James dan Lily Potter. Namun, turut pula menyebut-nyebut tentang sosok gadis muggle yang lantas ia ketahui bernama Hermione Granger. Granger ini, Granger itu, Granger yang merebut posisinya sebagai murid terpandai, dan sosok Hermione yang ditangisi Draco ketika di tangannya, tanda kegelapan resmi muncul.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ia pun ketar-ketir dengan jawaban yang mungkin akan ia lontarkan. Draco memang berubah, keluarga yang ia banggakan juga masih tak sebaik dulu. Setidaknya selepas perang berakhir dan Lucius kini mendekam di Azkaban, keluarga yang kini dalam pimpinan Draco juga masih belum terlalu membaik. Masih ada satu hal yang wajib diselesaikan sebelum Draco resmi mengambil alih posisi Lucius. Dan, nahasnya keputusan itu hanya dapat dilakukan Lucius.
"Bagaimana pertunanganmu dengan Miss Bulstrode?" Narcissa kembali berujar. Sorot matanya meredup dan tepat terarah ke iris biru Draco.
"Bukankah semua akan dibatalkan jika aku menikah?"
"Ya, tapi keputusan itu hanya ada di tangan ayahmu, my dear, aku cemas jika―"
"Jangan cemas, Mother, Lucius tidak bisa menentukan nasibku sekarang. Aku tahu pertunangan sialan itu batal jika salah satu dari kami menikah," Draco menentang kilat api dari perapian. Tangannya mengepal, "atau pernah bercerai setelahnya."
"Baiklah, aku akan membantumu."
♡♡♡
Tak perlu waktu lama bagi Draco dan Hermione berdiri bersisian di hadapan Kingsley. Dihadiri oleh McGonagall dan Narcissa, pernikahan keduanya digelar sederhana di taman belakang Malfoy Manor. Kendati tanpa persiapan apa pun, Hermione yang berbalut gaun putih selutut menerima ketika jari manisnya terpasang oleh cincin permata berwarna hijau dari Draco. Begitu pun sebaliknya, cincin serupa dengan desain lebih sederhana turut tersemat di jari manis pemuda berambut pirang itu.
Narcissa yang sadar dirinya tengah ditatap lembut oleh McGonagall, lantas menoleh. Kepala sekolah Hogwarts itu memberinya seulas senyum tipis, sebelum tanpa mengatakan apa pun, meninggalkan tempat itu sejurus kemudian. Tepat selepas Kingsley mengumumkan Draco Malfoy dan Hermione Granger resmi menjadi pasangan.
"Mrs. Malfoy, terima kasih telah menerimaku di sini," ucap Hermione. Ia telah kembali dengan celana panjang dan sweater cokelat tua yang membalut kaosnya.
Narcissa tersenyum. "Kau bisa memanggilku Narcissa, dear."
Hermione tersenyum. Meski jelas melangkahkan kaki, kembali, di Malfoy Manor bukan rencana awal dari perjuangannya menemukan dan mengembalikan ingatan Tuan dan Nyonya Granger. Namun, image Narcissa, keluarga Malfoy, dan penawaran Draco menggodanya. Toh, pernikahan ini hanya sampai kedua orang tuanya kembali. Ya, benar. Hanya sampai mereka menemukan orang tuanya dan mengembalikan ingatan mereka.
"Terima kasih ... err, Narcissa?" Hermione berucap terbata. Beruntung, ia berhasil menghadirkan sebersit senyum di bibir wanita itu. Juga tangan hangat Narcissa yang menyentuh kepalanya lembut.
"Mari kita makan malam, kurasa Ollie akan keberatan jika kita tidak segera menyantap masakannya."
Hermione hanya memandangi punggung Narcissa yang menjauh. Langkah kakinya terhenti selepas melihat Draco menuruni tangga. Pemuda itu sudah berubah. Memang tidak lagi mengenakan tuxedo hitam dan rambut tertata rapi ketika upacara pernikahan mereka berlangsung. Namun, tetap saja, warna kemeja yang kini ia kenakan tetap jauh berbeda.
"Come, Granger, kita akan segera kembali ke Hogwarts esok, kuharap kau segera makan dan tidur."
"Well, kuharap kau juga tidak sampai mengatur jam tidurku, Malfoy," Hermione memutar bola matanya, "aku bukan anak kecil!"
♡♡♡
"Ugh, aku merindukan Manor."
Kedua alis Draco kompak menukik, meski jelas terdapat sedikit binar dari kedua sorot matanya. "Kita baru kembali dari Manor tadi malam, Granger, dan kau sudah merindukannya lagi?"
"Aku tidak harus mengerjakan tugas-tugas ini di Manor," Hermione meletakkan tongkat yang sedari tadi digunakannya untuk menggerakkan pena bulu, "tapi, lihat! Di sini aku harus bekerja begitu keras."
"Well, kau bisa meminta tolong pada suamimu, kau tahu?"
"Tidak perlu! Aku bisa mengerjakan semuanya sendiri!" timpal Hermione. Ia kembali meraih tongkatnya yang teronggok di atas meja di depan perapian asrama Ketua Murid. Terima kasih kepada nyala api yang masih bertahan. Draco mungkin tidak akan mendapati ekspresinya berubah.
"Pipimu merah, Granger," celetuk Draco. Ia lantas bangkit seraya tergelak. Meninggalkan Hermione yang berusaha keras mengabaikan. Namun, sejurus ia berbalik, sekilas ia dapat melihat gadis itu tengah berusaha menahan malu. Hampir tiga bulan pernikahan mereka, telah mudah baginya melihat sisi lain gadis itu. Hermione yang mulai salah tingkah dengan segala hal jika menyangkut pernikahan mereka.
Draco memasuki kamarnya. Ruangan pribadi yang bersebelahan dengan ruangan Hermione. Kamar ketua murid laki-laki. Tak banyak berubah dari ruangan yang telah ia tempati beberapa bulan belakangan ini. Kecuali, bebasnya ia maupun Hermione untuk sama-sama masuk ke ruangan ini. Terkadang, ia yang membuat gadis itu tidur di kamar ini, atau Hermione yang akan dengan bebas melenggang sekadar untuk mencuri gel Draco untuk merapikan rambutnya.
"Benar-benar ruanganmu," celetuk Hermione suatu malam. Tepat setelah keduanya kelelahan mengerjakan perkamen sepanjang tiga meter dari McGonagall. Tak lupa gadis itu menunjuk warna dinding berwarna kelam dengan perpaduan warna hijau gelap. Juga minimnya barang, cukup lemari, meja belajar, dan sebuah hiasan berbentuk ular melingkar dengan warna silver mengilap di atas nakas.
Draco yang telah setengah terpejam hanya tersenyum. Begitu tipis sampai mungkin Hermione tidak menyadarinya. "Well, Granger, aku tidak menghiasi kamar ini dengan lukisan Nyonya Gemuk."
Keduanya terkikik. Hermione menarik selimut berwarna pekat hingga menutupi setengah badannya. Sebelum lantas memutar tubuh. Menghadap sosok Draco yang sudah hampir tenggelam dalam tidur. Ia hampir-hampir tidak mempercayai ini. Seranjang dengan seorang Draco Malfoy, mantan pelahap maut, dan bagian dari musuh besarnya semenjak dulu. Fakta bahwa ia kini adalah "istri" dari pewaris keluarga penyihir Pureblood paling berpengaruh di era perang Hogwarts, mantan anak buah Voldemort yang selama beberapa dekade namanya tak boleh disebut. Hermione mendadak terdiam.
"Hei ... Draco?" Hermione terdiam begitu suaranya tak digubris Draco. Justru hanya embusan napas teratur yang keluar-masuk bersama naik-turunnya dada pemuda itu lah yang ia dapati. Mencoba mengatur napas, ia kembali berucap, "kenapa kau menikahiku? Kenapa kau kini baik kepadaku? Apa ini benar karena kau ingin menolongku atau karena kau hanya ingin mempermainkanku?"
Hermione terpaku memandang wajah di hadapannya. Sosok Draco yang terlelap. Diamatinya gerak teratur napas Draco. Pemuda berkulit pucat itu kini tertidur damai di sampingnya. Menghadapnya dengan rambut berantakan dan wajah polos itu, Hermione tidak yakin ia tengah berhadapan dengan seorang mantan Death Eater. Kecuali, fakta bahwa tanda kegelapan di tangan Draco masih nampak di balik lengannya yang terbuka bebas. Satu yang ia tahu, Draco tidak pernah menutupi tubuh bagian atasnya ketika tidur.
Hermione mengingat, selama tiga bulan pernikahan rahasianya dengan Draco, mereka masih bersikap selayaknya murid Hogwarts biasa. Draco membantunya dalam mata pelajaran tertentu, dan begitu pun dirinya yang selalu menjadi alarm "tugas" bagi Draco. Keduanya tidak pernah memberikan sinyal aneh selama bertemu di kelas, di aula, maupun di lorong-lorong Hogwarts. Draco masih menjadikan pohon di sisi paling sepi Danau Hitam sebagai rumah kedua-nya di Hogwarts setelah asrama ketua murid. Dan, Hermione masih terus bersama dengan Harry, Ron, Ginny, dan sahabat Gryffindor-nya.
Singkat cerita, tidak ada yang berubah kecuali kian terbukanya mereka. Draco akan dengan bebas berkeliaran di tempat ini tanpa atasan, dan Hermione akan dengan bebas mengambil jersey bertuliskan "Malfoy" yang bahkan sering ia gunakan untuk tidur. Seperti sekarang ini. Namun, jelas Hermione merasakan perubahan lain.
"Kau tidak pernah lagi berkata kasar padaku, dan ibumu juga selalu tersenyum padaku. Kau tahu, aku seperti terobati dengan kehadiran Narcissa, meskipun aku tahu, ia hanya akan menjadi ibuku sementara saja," monolog Hermione.
"Aku bersyukur untuk bantuanmu, tapi aku juga berusaha keras untuk tidak menaruh banyak harapan."
Hermione memang paham benar dengan kalimat yang ia ucapkan. Hanya, ia tak sampai menyadari bahwa Draco sama sekali tak terlelap dalam tidur kendati kedua matanya tertutup.
♡♡♡
"Apa ada yang menarik di meja seberang, Drake?" Blaise berujar. Cukup sukses untuk membuat Draco akhirnya berhenti memandangi meja Gryffindor, tempat punggung Hermione yang menghadap meja Slytherin.
Pansy Parkinson yang duduk tepat di sebelah Draco mengalihkan pandangan. Ikut mengarahkan iris mata menuju ke meja para singa, sebelum lantas mengalihkan pandangan sekejap setelahnya. "Well, Drake, aku juga penasaran. Apa Granger membuat masalah denganmu?"
"Kurasa tidak," Theo menaruh sendoknya disusul menenggah jus labu dari pialanya, "Granger dan Draco sudah benar-benar seperti rekan sesungguhnya."
"Aku juga yakin Granger tidak berbuat apa pun."
Draco memutar mata malas mendengar ucapan terakhir Blaise. Tangan pucatnya meraih jus labu yang sedari tadi hanya ia anggurkan. Memandangi punggung Hermione yang menghadapnya cukup berhasil membuat Draco tak sadar. Ia menghabiskan beberapa saat untuk mengabaikan jus labu berikut piring berisi kentang tumbuk dan daging panggang. Namun, baru saja ia akan segera menyuap makan malamnya, Draco dengan begitu jelas mendapati lirikan tajam tak jauh dari tempatnya, atau Blaise, atau Pansy duduk. Millicent Bulstrode.
"Ada masalah dengan gadis Bulstrode itu? Sepertinya tadi siang aku juga melihatnya hampir adu mantra dengan Granger," celetuk Blaise tiba-tiba. Yang tentu saja berhasil mengalihkan sekejap perhatian Draco.
"Bulstrode dan Granger?"
"Apa ini berhubungan dengan pertunanganmu dengan gadis itu?" sambung Blaise. Walaupun tak lebih dari sekadar bisikan, toh, nyatanya Blaise berhasil membuat Theo dan juga Pansy kompak mengarahkan mata dan telinga ke arah mereka.
Draco memutar bola matanya jengah. Diliriknya Theo dan Pansy bergantian. Dua makhluk yang sekarang ini akhirnya terpancing juga untuk mendengarkan kisah pertunangan Draco Malfoy dan Millicent Bulstrode. Tidak tahu kah mereka sosok yang membuat "kisah" itu ada masih mendekam di Azkaban.
"Lebih baik kalian cepat kembali." Draco bangkit.
Tak lama baginya segera menarik perhatian beberapa orang di aula sebab menjadi yang pertama membuka pintu. Mengakhiri makan malam yang bahkan belum sepenuhnya berakhir. Ia masih menyisakan beberapa suap sekaligus jus labu yang baru dicecap beberapa kali saja. Namun, jelas Draco tidak tertarik lagi dengan kentang tumbuk atau daging panggang. Atau bahkan memedulikan wajah-wajah kecewa Blaise, Theo, dan Pansy. Ia jelas hanya penasaran satu hal, untuk apa Millicent bertemu dengan Hermione?
"Drake!"
"Draco!"
"Draco Malfoy!"
Langkah kaki pemuda itu terhenti. "Berhenti meneriaku, Bulstrode! Kurasa kau tidak berhak!"
Draco menatap nyalang gadis berambut coklat di hadapannya. Jubah Slytherin yang dikenakan gadis itu berhenti berkibas seiring dengan langkahnya yang juga terhenti. Sebaliknya, kini tatapan nyalang yang dilayangkan kepada Draco sepanjang makan malam, berubah kian kelam. Atau, well, seperti itu yang mencoba ditampilkan Millicent sekarang ini. Di hadapan pemuda yang nahas sekali kini menjadi mantan tunangannya sebab pernikahan terkutuk itu.
"Kau tidak bisa melakukan ini kepadaku, Draco," Millicent melangkah, memperpendek jaraknya dengan pamuda di hadapannya ini. "Aku masih tunanganmu."
Draco mulai membaui parfum kuat dari Millicent yang mempersempit jarak mereka. Ia juga dapat melihat dengan jelas kilat mata yang sama dengan yang ditujukan gadis itu di aula tadi. Kilatan mata yang kian tajam seiring waktu. Seiring dengan perjanjian di antara Lucius dengan keluarga Bulstrode memudar. Pertunangannya dengan Millicent. Perjanjian yang batal jika salah satu dari mereka menikah.
"Kurasa tidak lagi, Bulstrode," kaki Draco melangkah hingga jaraknya dengan Millicent kembali terkikis. Sudut bibirnya terangkat, "karena aku sudah menikah."
♡♡♡
Hermione melangkah cepat. Menyusuri setiap jengkal rerumputan sembari sesekali menoleh ke belakang. Malam di Hogwarts memang telah muncul beberapa jam lalu. Ia pun sudah kenyang menyantap kentang tumbuk dan daging panggang. Menu makan malamnya. Walaupun, ya, jelas saja masih ada satu hal yang kurang. Ia tidak bisa menemukan sosok Draco Malfoy, suaminya, di asrama ketua murid.
Apakah ini berhubungan dengan si Bulstrode? Semoga bukan. Bisik Hermione.
Udara Hogwarts malam ini harusnya sudah cukup membuat Draco meringkuk di kamarnya. Atau sekarang menghabiskan waktu sembari mengganggunya di depan perapian common room mereka. Terlebih musim gugur yang segera berakhir ini sukses membuatnya harus merapal mantra demi terus merasa hangat. Namun, jelas sekali bahwa sosok pirang yang kini berada di pinggir Danau Hitam tidak merasakan itu semua.
"Sudah puas merenung?" celetuk Hermione. Tak menunggu jawaban, gadis itu duduk di samping Draco yang hanya meliriknya. Pemuda itu bahkan berhenti mengunyah sebuah apel hijau yang telah habis setengah.
Hermione menoleh. Kompak mengangkat alis begitu yang dilakukan Draco hanya memandangnya lurus. Dengan mata biru yang tertuju pada hazel irisnya, Hermione tak bohong dengan degup jantung yang mendadak sibuk bertalu. Apalagi gerak tak diduga Draco yang disambutnya dengan diam.
Hermione hanya mampu merasakan sisa-sisa aroma apel hijau ketika bibir Draco menyambutnya. Aroma manis dan sedikit asam yang lantas memenuhi mulut gadis itu. Belum dengan gerak pelan tetapi lembut yang menghanyutkannya begitu mudah. Ia bahkan tak ingin sibuk mengira, seberapa cepat kelopak matanya menutup.
Terdesak oleh gerak lincah lidah Draco, Hermione membuka mulutnya. Membuka gerbang baginya dan juga pemuda itu untuk saling menyatukan ludah. Mengabsen satu per satu gigi masing-masing. Draco kian melesatkan lidahnya. Sementara Hermione menyambut dengan suka cita. Hingga di tempat itu, tak hanya gerak pelan angin malam musim gugur yang senyap terdengar. Namun juga kecup-kecup lembut selepas puas keduanya merasakan lidah masing-masing.
Puas merasakan paduan manis dan sedikit masam dari apel di mulutnya, Draco menarik napas putus-putus. Dipandanganya iris mata cokelat Hermione yang nampak indah. Sementara tangannya kini sibuk menyusuri leher lembut Hermione. Membawa tengkuk gadis itu mendekat. Menyecap, lagi, dengan gerakan pasti bibir yang telah lama ia rindu. Hingga lantas gerakan itu berhenti tak lama kemudian.
"Draco, aku butuh bernapas." Hermione tersengal. Itu adalah kalimat yang pertama kali diucapkan gadis itu.
Bukannya menjawab, Draco justru menimpali dengan cara lain. Ia memilih merebahkan kepalanya di pundak Hermione. Membuat gadis itu, untuk sekali lagi, hanya terdiam. Terpaku dengan gerak tiba-tiba Draco. Sementara si empunya kepala pirang itu justru menikmatinya. Menikmati aroma manis yang menguar dari tubuh Hermione. Dan turut pula mengamati naik turunnya gerak napas Hermione. Bibirnya perlahan terangkat. Begitu mengetahui bukan hanya dirinya yang sulit mengatur degup jantung.
"You okay?" ucap Hermione lagi. Cukup lama ia menunggu hingga puas pula gadis itu hanya mendengar desah berat napas Draco.
"Oke, enough!"
Hermione mendorong pundak Draco susah payah. Kompak menatap nyalang ke arah pemuda itu seraya berusaha keras menghalau sensasi aneh yang belum juga reda. Dan, seperti yang telah ia kembali duga, Draco lagi-lagi hanya menimpalinya dengan embusan napas keras.
"Berhenti seperti itu dan lekas katakan apa yang terjadi!" Hermione menekan tangannya, "jangan bilang ini karena Bulstrode."
"Apa dia melakukan sesuatu padamu? Kudengar kalian bertemu."
Hermione melepas tangannya. Ia memilih memandangi langit malam yang menyelimuti mereka. "Yeah, dia menemuiku. Berbicara tentang semacam kau dan dia yang bertunangan, dan-"
"Dan kau memberitahunya ini hanya sementara?" sergah Draco.
Gadis itu hanya terkekeh. "Tentu saja tidak, dasar bodoh!" Hermione berdiri seraya menggenggam tangan Draco, membuat pemuda berambut pirang itu mau tak mau juga akhirnya berdiri. Agak meringis begitu merasakan udara malam ini kini benar-benar mengusiknya.
"Tidak perlu cemas, Draco, semuanya akan baik-baik saja. Kau telah membantuku dengan menemukan kedua orang tuaku, aku juga akan membantumu. Bagaimana? Bukankah ini win-win solution?" Sudut bibir Hermione terangkat.
"Ya, win-win solution," ulang Draco.
Tak kembali bersama, Hermione memilih untuk berjalan seorang diri menyelusuri lorong Hogwarts. Sementara Draco menunggu beberapa lama hingga keduanya dapat kembali ke asrama Ketua Murid tanpa perlu dicurigai. Ya, semacam "trik" bagi keduanya untuk membuat semua orang percaya bahwa tidak mungkin Granger dan Malfoy berjalan bersama meskipun mereka Ketua Murid. Dan, trik yang cukup berhasil setidaknya hingga beberapa bulan pernikahan mereka. Walaupun terang saja, tak semua orang tidak menaruh curiga kepada keduanya. Misalnya, seorang gadis Slytherin yang kini lebih memilih berbalik, tak ingin susah payah melihat "tunangannya" berusaha menyembunyikan hubungan dengan istri tercintanya.
♡♡♡
Draco terdiam di depan cermin. Buliran air masih kompak menjadi satu-satunya benda yang melekat di tubuhnya. Ia kembali tak lagi memedulikan sensasi dingin selepas merasakan guyuran air panas tadi. Pun Draco tak memedulikan bahwa tubuhnya sama sekali tidak ditutupi. Kendati dirinya yang menjadi satu-satunya sosok di tempat itu. Namun, ia seolah melihat dua orang di hadapannya. Terpantul oleh bayang cermin. Ada Hermione yang bersisian dengan Lucius di sana. Dengan sepasang mata cerah dan kilatan kejam yang saling berlawanan. Satu milik Hermione, sedangkan satu lagi dipunyai Lucius. Pria ―yang sialnya adalah ayah kandungnya― itu memberinya tatapan bengis mematikan. Persis seperti yang terakhir kali diberikan Lucius Malfoy ketika ia temui di Azkaban.
"Wow! Sungguh mengejutkan. Sudah cukup bermain dengan Mudblood, Draco?"
Draco yang segan untuk berdiri hanya menggertakan gigi. Sementara Lucius duduk di hadapannya dengan mata cekung dan bibir kering. Kontras dengan penampilan perlente yang dulu kerap menjadi ciri khas pria itu. Terlebih dengan rambut pirang panjang yang kini nampak tak terurus. Berada di Azkaban sejak hari itu, membuat Lucius jauh dari kata bangsawan terhormat seperti yang dulu melekat padanya. Ia kini hanya tahanan penjara paling kejam di dunia sihir.
"Aku tidak datang ke sini untuk mendengar ucapan kotor tentang Hermione dari mulutmu, Lucius," gertak Draco. Pemuda itu bahkan melayangkan sengatan mata tajam. Sungguh bukan Draco yang bertahun dikenal Lucius sebagai Si Anak Penurut.
Tangan Draco bergerak. Menggumamkan mantra hingga muncullah secarik kertas usang yang jelas sekali ditulis oleh sihir. "Perjanjianmu dengan Bulstrode batal," sambungnya.
Kertas itu terbakar dengan api sihir. Bersama dengan debu yang mengganti pemandangan surat perjanjian di antara Malfoy dan Bulstrode senior. Lucius melayangkan tatapan bengis kepada pewaris tunggal Malfoy tersebut. Putra yang paling ia banggakan itu mencorengnya. Tidak hanya dengan pernikahan hingga membatalkan pertunangan, sekaligus ikatan kerja sama, Malfoy dan Bulstrode. Namun, juga dengan tercorengnya nama Malfoy lewat nama Darah Lumpur yang masuk ke ranting pohon keluarga mereka.
"Kau telah melemparkan lumpur ke wajahku, Draco. Kuharap kau bukan putraku!"
Kendati dengan suara rendah, Draco paham benar dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Lucius. Ditatapnya kembali mata bengis sang ayah. Sosok yang begitu ia kagumi bahkan ketika pertama kali dirinya berani menaiki sapu terbang keluaran terbaru. Atau ketika ia bersaing dengan Harry Potter di lapangan Quidditch. Atau bahkan ketika ia dengan jelas akhirnya menerima bahwa nasib seorang Draco Malfoy juga bakal berada di tangan Voldemort bertahun-tahun silam.
"Aku juga berharap tidak pernah memiliki darahmu," Draco bangkit. Sekilas mengamati tangan Lucius yang kompak terborgol sebelum kembali berucap, "Pernikahanku dengan Hermione tidak ada hubungannya denganmu."
"Jangan kira aku tidak tahu, Draco. Kau hanya menggunakan si Darah Lumpur untuk membatalkan pertunanganmu dengan Millicent!"
Sampai hari ketika ia hanya berdiam di kamar mandi selepas menghabiskan malam panjang dengan Hermione di pinggir Danau Hitam, Draco masih tidak menjawab Lucius. Ia tidak menimpali kalimat terakhir yang diucapkan pria itu beberapa waktu lalu. Yang dilakukan Draco saat itu hanya terus melangkah. Meninggalkan Azkaban bahkan mengabaikan Lucius Malfoy yang terus berteriak, "Kau tidak bisa pergi dariku, Draco! Kau tidak bisa pergi dari Pangeran Kegelapan! Si Mudblood itu sama sekali tidak akan pernah menerima tanda di lenganmu!" dan sebagainya sayup-sayup ditangkap telinganya.
"Draco!"
"Hey, Draco Malfoy!"
"Malfoy! Aku juga ingin menggunakan kamar mandi, cepat keluar!"
Tersenyum mendengar teriakan serta gedoran pintu dari Hermione, Draco buru-buru mengenakan handuk yang sedari tadi ia anggurkan. Benar saja. Pemuda itu menemukan sesosok gadis tengah menatapnya bengis. Tak lupa dengan secarik handuk yang dipeluknya erat. Walaupun, jelas Draco tidak menyadari satu hal. Kemunculan semburat merah yang berangsur kian pekat seiring waktu di kedua pipi Hermione.
"Minggir, kau!" Hermione menyingkirkan Draco. Menutup pintu kamar mandi yang ditunggunya lama itu.
♡♡♡
Hermione menyelinap masuk ke dalam selimut hijau gelap di kamar Draco. Tak lama selepas satu-satunya penghuni kamar itu tak mengindahkannya. Telah berulang kali gadis itu memanggil nama pemuda pirang itu. Namun, hanya dengkuran halus yang didapatnya. Padahal, Hermione membawa kabar gembira: Narcissa mengirimnya surat tentang kemajuan pencarian kedua orang tuanya yang menghilang. Burung hantu Eurasia milik keluarga Malfoy lah yang membawanya.
Memilih untuk tak langsung terpejam, Hermione memilih mengamati wajah terlelap di hadapannya. Sebelum lantas, pandangannya turun. Mengamati beberapa luka sayat yang berada di sepanjang dada pemuda itu. Sectumsempra. Mantra kutukan dari buku milik Snape yang diberikan oleh Harry Potter kepada Draco.
"Narcissa bilang, kedua orang tuaku hampir ditemukan. Mereka telah mempersempit pencarian," Hermione mengamati gerak jemarinya sendiri. Yang bergerak dari luka di dada Draco hingga tanda kegelapan di lengan yang sama sekali tak tertutup itu. "Katanya, pencarian telah dipersempit ke Australia. Padahal kukira kedua orang tuaku masih di Eropa. Ini benar-benar menjadi hadiah Natal terbaikku." Hermione terkekeh.
"Aku tahu kau tidak tidur, Draco," sambungnya.
Perlahan, pemuda di hadapannya membuka mata. Gadis itu tersenyum ketika pandangan mereka bertemu. Draco menggerakkan lengannya, mendekap Hermione. Kembali membaui aroma yang telah berhasil mengusiknya sejak lama. Bukan hanya dari ciuman pertama mereka di pinggir Danau Hitam. Namun, hari pertama semenjak keduanya resmi dilantik menjadi Ketua Murid. Dari sofa common room, di kamar mandi, di lorong-lorong Hogwarts yang mereka lewati, di kelas yang mempertemukan Slytherin dan Gryffindor.
"Selamat karena telah mendapat hadiah Natal, Hermione, aku turut bahagia untukmu," gumam Draco. Ia merasakan gerak tangan Hermione di punggungnya.
"Terima kasih, berkatmu."
Hermione mendongak. Merasakan gerak pelan jakun Draco yang menggelitik ujung hidungnya. Seraya membaui aroma mint bercampur apel hijau khas pemuda ini. Sosok yang di tahun pertama mereka di Hogwarts tak lebih dari sosok bocah nakal. Hingga mereka dipertemukan dalam perang di dua kubu berbeda. Lengan yang tengah mendekapnya adalah bukti. Tato ular melata di lengan Draco yang tidak akan pernah hilang cukup menjadi pembuktian itu. Namun, ada satu hal yang perlahan mengubah pandangan Hermione tentangnya. Tentang pemuda yang kini ia dekap dan mendekapnya erat.
♡♡♡
Hogwarts telah dipenuhi dengan ucapan "Selamat Natal" dari para profesor hingga para murid. Ini adalah Natal perdana selepas Dunia Sihir terbebas dari Voldemort. Tak heran, suasana gegap gempita langsung terasa begitu salju perdana turun beberapa hari lalu. Termasuk di aula utama yang sekarang ini dipenuhi oleh para murid. Sebagian dari mereka membicarakan tentang rencana sepanjang libur Natal. Tak terkecuali di meja Slytherin, tempat Draco ―seharusnya― menikmati sarapannya dengan nyaman. Namun, terima kasih kepada Blaise dan Pansy yang sedari tadi tidak membiarkannya menyendok isian piring di hadapannya dengan tenang.
"Aku telah mendengarnya dari Bulstrode sendiri, jangan lagi coba menyembunyikan apa pun dariku."
"Kami," sergah Blaise. Ia berhasil membuat wajah Pansy dipenuhi ekspresi masam begitu kalimatnya dipotong paksa.
"Ya, ya, ya. Jangan lagi coba menyembunyikan apa pun dari kami, Draco."
Yang dimaksud hanya memutar mata malas. Kabar pernikahannya dengan Hermione telah diketahui oleh Blaise dan Pansy, beruntung ia mampu mengancam keduanya untuk bungkam. Terima kasih kepada Bulstrode yang rupanya masih menyimpan dendam kepadanya. Gadis itu juga nampak sekali perlu diberi peringatan untuk tidak lagi mengganggu Hermione. Ngomong-ngomong tentang Hermione, Draco hanya mampu mendapati gadis itu dari kejauhan. Gadis berambut brunette yang nampak hanya tersenyum, sementara Harry tengah entah membicarakan apa di meja Gryffindor.
"Aku hanya memberimu saran, mate," Blaise menoleh ke kanan-kiri. Mencari celah aman kemudian menggeser duduk. Ia merangkul Draco. "Aku tahu kau sudah menyukai Granger sejak dulu."
"What- aku tidak!"
Tak peduli Draco yang tergagap sendiri, Blaise kembali melanjutkan. Walaupun jelas sekali ia akhirnya merasa jengkel juga begitu kalimatnya dipotong dengan paksa. "Kau terlalu transparan untukku, Drake."
Sementara Blaise mengangguk mantap, Draco memincingkan mata. Pemuda berkulit pucat itu memilih untuk bangkit. Enggan untuk menyentuh piringnya sama sekali. Ia memincingkan mata ke arah Blaise dan Pansy yang dengan wajah-tanpa-dosa mereka, hanya memberinya tatapan sendu. "Aku tidak percaya berteman dengan kalian!" desis Draco.
Meninggalkan Blaise dan Pansy yang kompak berteriak, "Lebih baik kau mencari kado Natal untuknya" dan sebagainya, Draco memilih untuk mengabaikan. Beruntung suasana Natal tengah memenuhi antusiasme setiap orang. Membiarkan pemuda pirang itu untuk bergegas menjauh dari Blaise dan Pansy tanpa perlu mendapatkan pandangan penuh tanya dari siapa pun. Well, meskipun, toh, nyatanya Draco gagal mendapatkan yang terakhir. Salah satu mata dari meja Gryffindor sukses memandanginya bahkan ketika mata dingin Draco terarah kepada Blaise dan Pansy.
Draco terus melangkah hingga ia akhirnya tiba di Menara Astronomi. Saksi bisu masa kelamnya ketika itu. Menghilangkan benak pedih itu, Draco berjalan hingga tiba di tepi tempat itu. Memandangai warna putih yang menutup Hogwarts pagi ini rupanya tidak seburuk yang ia kira. Sebelum lantas ia memilih untuk merogoh saku celana hitamnya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang dan permata berwarna hijau kini mantap berada di tangannya. Benda yang sekarang ini sukses membuat pemuda pirang itu mendesah panjang.
"Hermione, Selamat Natal, ini untukmu."
"Oy, Granger! Ini untukmu, buang saja kalau tak mau."
"Selamat Natal, Granger."
"Mother menitipkan ini untukmu."
"Selamat Natal, Granger, Mother menitipkan ini untukmu."
Draco berjongkok. Pemuda itu meremas rambutnya gemas. Merasa tidak memiliki satu pun kalimat yang tepat untuknya utarakan. Sementara kalung berliontin bintang, yang belum lama diantar oleh burung hantu keluarga Malfoy, itu digenggamnya erat oleh tangan yang kini mulai kebas dan berkeringat. Pemuda pucat itu bangkit, menggosok tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Menatap benda di tangannya untuk beberapa lama sebelum kembali memasukkan benda itu ke dalam saku.
"Oke, sekarang atau tidak selamanya," putus Draco.
Sementara itu, Hermione juga tengah dihadapkan dengan dilema. Gadis itu terpaksa kehilangan Draco yang berbelok ke arah Menara Astronomi. Sesosok pemuda dengan jubah Gryffindor-nya menghentikan langkah kaki Hermione. Beruntung koridor ini cukup sepi sekarang ini. Ia hanya menjumpai beberapa murid yang berisik membahas hadiah Natal mereka. Hermione sendiri nampaknya akan segera mendapatkan "hadiah Natal"-nya dari sosok pemuda yang jelas sekali dikenalnya sebagai Derek Hooper.
"Selamat Natal, Hermione," Derek mengulurkan sebuah kotak beludru berwarna merah hati. Tidak lupa dengan hiasan pita yang tercetak cantik di sana.
Hermione hanya melirik. "Thanks, Derek, tapi aku sedang terburu-buru."
Belum sejangkah Hermione melangkah, tangan murid Gryffindor yang memang satu angkatan dengannya itu kembali berucap.
"Hermione Granger, aku menyukaimu sejak tahun pertama. Kuharap kau menerima hadiah Natal dariku!"
Hermione menoleh ke arah tangga Menara Astronomi. Tidak ada seorang pun di sana. Embusan napas panjang Hermione jadi satu-satunya yang terdengar sekarang ini. Sebelum lantas ketukan sepatu gadis itu beberapa kali. Hermione berdiri tanpa menunjukkan ekspresi berarti.
"Maafkan aku, Derek, tapi aku menyukai orang lain. Terima kasih, tapi kurasa aku harus pergi sekarang." Hermione tersenyum tipis. Sekelebat, ia dapat melihat upaya Derek menyembunyikan semburat merah pipinya.
Sosok bernama Derek Hooper itu akhirnya tersenyum. "Kalau begitu, bolehkah aku mendapat sedikit pelukan?"
"Kurasa kita tidak terlalu akrab, Derek."
"Untuk teman?"
Hermione mengedikkan bahu. Ia mendekat dan memberi Derek sebuah pelukan singkat. Bahkan tak butuh lima detik sebelum gadis itu melepas pelukan tersebut. "Thanks dan maafkan aku," pungkasnya.
Gadis itu tak lagi menoleh sebab satu tujuan Hermione saat itu hanyalah Menara Astronomi, tempat terakhir kali ia melihat Draco berada. Hari ini, ia memutuskan untuk bertandang ke rumah keluarga Weasley. Narcissa memang telah menyuruhnya pulang ke Manor. Namun, pernikahan rahasianya dengan Draco sama sekali tidak diketahui oleh Harry maupun Ron dan lainnya. Memutuskan untuk memberi tahu Draco alih-alih membiarkan pemuda itu seorang diri adalah keputusan bulat Hermione. Walaupun, tidak ada seorang pun di Menara Astronomi saat ini. Hanya embusan dingin udara musim dingin dan pemandangan derasnya hujan salju.
♡♡♡
"Draco, ke mana saja kau!" Hermione mengekori Draco yang baru saja kembali ke Asrama Ketua Murid mereka. Semester terakhir menjelang mereka NEWT hampir tiba. Namun, tingkah laku Draco yang dikenalnya gemar bersaing tidak lagi terasa. Selepas Natal, pemuda itu bahkan hanya beberapa kali ia lihat.
Sementara Hermione masih menunggu jawab seraya memberi lirikan tajam kepadanya, Draco bahkan tak repot memberi wajahnya ekspresi berarti. Ia memilih untuk masuk ke kamarnya tanpa permisi. Tak memberi satu kalimat pun yang sukses membuat gadis di belakangnya itu berang. Hermione bahkan membuka pintu kamar Draco dengan keras.
"Damn it, Granger!" pekik Draco. Ia kembali mengenakan jersey-nya.
Hermione duduk di ujung tempat tidur Draco. Masih bersedekap dengan wajah yang jauh dari kata ramah. Walaupun jelas nampak, ia berusaha keras mengatur muka. Beberapa orang sukses menyebutnya kesulitan mengatur emosi, setidaknya tidak di hadapan Draco. "Kenapa kau membolos?" Itu adalah kalimat pertama yang dilontarkannya selepas mengembuskan napas panjang.
"Bukan urusanmu."
"Itu urusanku, karena kita adalah Ketua Murid. Sudah sewajarnya kita memberi contoh yang baik untuk murid lainnya. Kalau Ketua Murid-nya saja membolos, bagaimana dengan yang lain?"
Draco melirik Hermione sekilas. "Bukan aku yang menawarkan diri untuk posisi ini, dan kau sama sekali tidak berhak mengaturku!"
Itu adalah kalimat panjang terakhir yang didapat Hermione dari Draco. Tidak hanya hari itu, tetapi untuk beberapa hari kemudian. Draco hampir jarang kembali ke Asrama Ketua Murid. Hermione bahkan hampir tidak melihatnya berkeliaran di mana pun. Tidak di pinggir Danau Hitam, tidak di perpustakaan, atau bahkan ketika Slytherin dan Gryffindor berada di kelas yang sama.
Hari ini adalah pertandingan Quidditch terakhir Harry dan Ron sebagai satu tim. Pertandingan pamungkas sebelum tahun angkatan mereka melaksanakan NEWT. Slytherin sukses menjadi lawan Gryffindor hari ini. Membawa nostalgia tahun perdana Harry berhasil meraih Golden Snitch untuk pertama kali. Kini The Boy Who Lived kembali menjadi harapan bagi tim Gryffindor untuk sekali lagi mendapatkan poin tertinggi. Sementara dari kubu lawan, Draco ditemukan berada di antara beberapa murid Jubah Hijau lainnya. Ia dengan Nimbus keluaran terbaru dan wajah tanpa senyum.
Draco langsung melesat begitu peluit dibunyikan. Ia melihat Harry Potter terbang rendah sebelum lantas meletas ke atas. Tak dapat dipungkiri, sosok rival sekaligus penyelamat keluarganya itu melihat Golden Snitch. Bola kecil yang gagal ia dapatkan dulu melesat jauh ke tribune Gryffindor. Tempat matanya adu tatap dengan Hermione yang berada di sana. Duduk tidak jauh dari sosok pemuda yang tepat sebelum libur Natal dilihatnya berada dalam dekapan gadis itu.
"Sial!" desis Draco.
Ingatan hari itu kembali. Pernyataan cintanya yang gagal karena toh nyatanya Hermione memeluk mesra seseorang yang lantas ia ingat sebagai Derek Hooper. Murid Gryffindor yang berada setingkat dengannya. Tidak banyak yang diingat oleh Draco akan sosok Derek. Namun, jelas sekali, memori ketika Hermione, istrinya, memeluk Derek beberapa waktu lalu akan tetap terngiang. Bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa pernikahannya dengan Hermione hanya sementara. Draco bahkan mengingat hal selanjutnya yang ia lakukan. Bukan membuang kalung yang memang ia desain khusus untuk Hermione. Namun, bertandang menemui Narcissa tanpa berencana memberitahu Hermione.
"Mother, tolong percepat pencarian orang tua Hermione." Hanya itu. Kalimat pertama dan terakhir yang ia ucapkan di hadapan Narcissa selepas tiba di Malfoy Manor. Tanpa memberi kalimat lanjutan, yang dilakukan Draco hanya mengurung diri. Diam seribu bahasa hingga hari ketika masa libur Natal telah habis.
Draco masih berada di atas Nimbus keluaran terbarunya. Mencoba mengejar Snitch walaupun yang muncul di hadapannya hanya bayang Hermione. Sosok yang berhasil membuatnya bahkan kehilangan Golden Snitch sekarang ini. Shit! Draco mengumpat dalam hati. Hampir menabrak tribune Hufflepuff, Nimbus itu dihentikan dengan paksa. Menerima lirikan penuh kemenangan Harry, pemuda itu kembali melaju. Begitu cepat hingga ia tidak mendengarkan pekik keras Hermione dari arah tribune.
"Draco!"
Bug!
Untuk sekilas, yang diingat Draco kala itu hanya dentuman keras yang mengenai punggungnya. Berubah menjadi nyeri menjalar dan keseimbangannya yang berkurang. Sayup-sayup ia melihat benda bulat hitam legam yang berhasil membuatnya melemah. Sementara Nimbus miliknya nampak lebih tinggi ketimbang posisinya sekarang. Draco merutuk dalam hati ketika ribuan benda terang kompak mengerubungi pandangan matanya. Atau dengung layaknya serangan ribuan lebah mengusik telinganya.
Arresto Momentum!
"Draco!" Hermione berteriak kalap. Segera ia turunkan tongkat sihirnya sebelum lantas turun dari tribune Gryffindor. Tak memedulikan matanya yang memanas atau murid Gryffindor yang kompak menatapnya, gadis itu bergegas. Menyambut Draco yang sebentar lagi akan kompak mencium tanah.
Hermione membelah kerumunan petugas medis dan juga beberapa tim Quidditch Slytherin. Diraihnya tubuh Draco yang telah terkapar di tanah. Tak memedulikan gerak di sekelilingnya yang terpaku, Hermione mendekap erat tubuh pemuda itu. Menumpahkan rasa panas di matanya sementara bola Bludger sukses menghantam tubuh Draco beberapa saat lalu. Mencoba memanggil nama sosok yang bertahun-tahun lalu dikenalnya sebagai Si Ferret Menyebalkan ini.
"Oh, Draco, bagaimana ini," ratap Hermione.
Pertandingan Quidditch itu sukses berhenti bukan karena salah satu pemain mereka kini terkapar terkena hantam Bludger. Namun, arena itu terpaku melihat adegan yang diperlihatkan Hermione. Bahkan Rolanda Hooch ternganga cukup lama sebelum berhasil membawa Draco menjauh dari kerumunan. Termasuk memisahkannya dari Hermione yang kini mengekornya. Membawa tubuh pemuda itu menuju Hospital Wings. Sementara dari arah tribune, McGonagall hanya tersenyum. Kontras dengan ekspresi Harry dan Ron, yang masih berada di atas sapu mereka, yang kompak memasang wajah dengan alis menukik tajam.
♡♡♡
"Well, kurasa kalian ke sini karena ingin mendapatkan jawaban." Pansy berucap. Bersama Blaise, ia mendapati Ginny, Harry, dan Ron berada tepat di pintu masuk ruangan tempat Draco masih terlelap. Di dalam sana, sudah dapat ditebak, bahwa Hermione Granger, bagian dari Trio Gryffindor, masih terisak di samping ranjang Draco.
Ginny yang terlebih dahulu berucap. "Sekarang katakan, apa yang kalian ketahui."
"Draco dan Granger sudah menikah," Pansy mengangkat tangannya. Memberi isyarat kepada ketiga murid Gryffindor itu untuk diam. "Ya, kami juga belum lama tahu. Dan, kurasa Granger juga cukup cerdas menyembunyikannya dari kalian."
"Tapi, bagaimana mereka berdua sampai menikah?"
Giliran Blaise yang mengedikkan bahu. "Entahlah, Bulstrode hanya menyebar rumor di Slytherin bahwa Draco dan Granger menikah, lalu kami menemui Narcissa dan dia bilang bahwa rumor itu benar."
"Kenapa? Kalian bertiga menentangnya?" Blaise membuka pintu ruangan tempat Draco dirawat. Memperlihatkan Hermione yang tidak lagi terisak di pinggir ranjang pemuda pirang itu, melainkan tengah berbaring di samping Draco. "Kurasa percuma."
Blaise menutup kembali pintu itu. Membawa Pansy pergi dari tempat itu adalah pilihan terbaik kali ini. Terlebih melihat wajah Ron Weasley yang jelas tidak terlalu nampak bersahabat. Well, siapa pun pasti akan terkejut mendengar berita pernikahan Granger dan Malfoy. Terlebih untuk sosok yang bertahun lalu dikenal sebagai kekasih Hermione. Walaupun, tak berselang lama, Ron juga memilih pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Harry dan Ginny yang terdiam untuk beberapa lama dalam diam sebelum kompak berlalu.
Sementara di dalam sana, Hermione tak terlelap. Kedua mata hazelnya bahkan kompak memandangi siluet wajah Draco. Beberapa luka parut tercetak di sana. Beruntung Arresto Momentum darinya berhasil memperlambat waktu. Membuat cidera yang harus diterima pemuda itu tidak terlalu parah. Namun, tetap saja. Semenjak jatuh dari Nimbus-nya siang tadi, Draco belum juga terbangun. Bahkan hingga malam mulai menyelimuti Hogwarts. Membawa Hermione ke dalam rasa kelam dan juga dingin yang tiba-tiba menyergap.
"Aku mencemaskanmu, Draco, cepatlah bangun," bisiknya. Dengan pelan, tangan Hermione menyusup ke dalam selimut tipis yang membungkus sebagai tubuh pemuda itu. Merasakan detak jantung dan gerak pelan napas Draco.
"Hermione?"
Gadis itu berjingkat. Buru-buru ia bangkit begitu mendengar suara lembut menyapanya pelan. Ia turun dari atas ranjang itu. Menyambut Narcissa yang tersenyum ke arahnya. Wanita Pureblood itu mengelus kepalanya lembut sebelum lantas beralih kepada Draco.
"Terima kasih telah menjaga Draco, my dear," Narcissa menggenggam lembut tangan sang menantu. "Aku sebenarnya ke sini tidak untuk melihat keadaan Draco, ini bukan kali pertama ia jatuh dari sapu terbang," kekehnya.
"Ah, kudengar juga dari McGonagall, kau juga yang menyelamatkan Draco," terabas Narcissa, tidak membiarkan Hermione membuka mulut.
"Itu bukan apa-apa."
"Tentu saja itu apa-apa, berkatmu Draco tidak terlalu terluka."
Hermione menunduk. "Kurasa, Draco terluka karenaku. Walaupun aku tidak tahu yang terjadi, tapi setelah libur Natal, Draco berubah."
"Benarkah?" Narcissa mengangguk mengiyakan, terutama ketika sekelebat bayang Draco ketika libur Natal tiba memang tidak terlalu baik. "Kurasa karena berhubungan dengan kedua orang tuamu."
"Ada apa dengan mereka? Apakah ada kabar buruk yang terjadi?" Hermione berucap cepat. Jelas sekali raut wajahnya diselimuti raut cemas.
Narcissa menggeleng pelan. Diraihnya wajah Hermione dengan lembut. "Tidak, Hermione, mereka sudah ditemukan. Di Australia. Dan, ingatan mereka telah kembali."
Tidak ada yang dilakukan Hermione selain menghambur memeluk Narcissa. Merasakan kehangatan seorang ibu yang diam-diam begitu ia rindukan. Tak lupa, mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Sementara Narcissa hanya menepuk-nepuk punggungnya lembut. Sebelum lantas wajah cerah Hermione kembali terganti dengan mendung. Dari balik punggung Narcissa, ditatapnya wajah Draco yang terlelap dengan mata sendu. Hermione tersadar, waktunya bersama Draco hampir berakhir. Ya, tentu saja, waktu pernikahan mereka.
"Ada apa, Hermione?" Narcissa bersuara. Melepas pelukan mereka hingga nampaklah wajah murung gadis di hapapannya ini.
Mencoba tersenyum, Hermione justru merasakan matanya memanas. Meloloskan air mata yang telah ia tahan kuat-kuat. Sekuat tenaga ia mencoba untuk menghentikan tangisnya. Namun, yang terjadi justru lain. Hermione bahkan sukses membuat Narcissa diliputi cemas. Wanita itu berusaha keras untuk mengembalikan senyum di wajah Hermione.
♡♡♡
"Jadi, orang tuamu telah kembali?"
Draco masih sibuk memasang satu per satu kancing kemeja begitu ia kembali ke Asrama Ketua Murid. Melewati ratusan pasang mata yang menatap keduanya penasaran ketika mereka keluar dari Hospital Wings. Berusaha mengabaikan tetapi jelas wajah si pirang itu berkata hal lain. Berulang kali ia menoleh ke arah Hermione yang memapahnya. Berusaha mengingat memori terakhir sebelum tubuhnya jatuh menghantam tanah kemarin. Akhirnya ia tersadar, bahwa sosok yang meneriakkan namanya adalah Hermione.
Hermione meletakkan cangkir cokelat panas di atas meja. Sementara perapian ruangan itu masih menyala. Menyebar hangat dan juga siluet merah menggoda. Ia memutuskan untuk duduk di salah satu sudut. Menggenggam cangkir cokelat lain. "Ya," jawabnya singkat.
"Aku turut senang untukmu." Giliran Draco yang kini duduk dan meraih cokelat panas itu. Menyesapnya pelan seraya memerhatikan percik api di hadapan mereka.
"Mengenai pernikahan kita," tangan Draco meremas cangkir itu. "Kita bisa menyelesaikannya."
Hermione tersentak. Ia memerhatikan siluet wajah Draco yang kini juga memantulkan warna merah api. "Bagaimana jika aku tidak ingin mengakhirinya?"
Gadis itu tak lagi mencari. Alasan ia bertemu dengan Draco selepas bertandandang menemui Kingsley. Tentang kedua orang tuanya yang menghilang dan kini telah kembali. Tentang mantra Obliviate yang sempat ia lempar dan menghapus seluruh memori Tuan dan Nyonya Granger akan dirinya, akan putrinya yang rupanya seorang penyihir hebat. Hermione sempat tak memahami alasan ia menangis pilu di pundak Narcissa tempo hari. Bukan karena buncah bahagia sebab kedua orang tuanya kini telah kembali. Namun, karena sosok pucat yang belum lama ia tangisi selepas hilang kendali sebab terjatuh dari atas sapu terbangnya.
"Bagaimana jika aku tidak ingin mengakhirinya, Draco?" ucap Hermione lagi. Kali ini tak lancar sebab kerongkongannya tercekat.
"Bagaimana jika aku tidak ingin pernikahan kita berakhir, Draco?"
Bukan jawab yang diterima oleh Hermione, tetapi sebuah kecupan lembut yang lantas larut menjadi ciuman panjang malam itu. Draco mengabaikan cangkir cokelatnya yang masih tersisa setengah. Mengambil cangkir lain di tangan Hermione. Membiarkan dua benda itu terabaikan di atas meja. Bersama gemerisik api, dua benda itu menemani decap lidah Hermione yang bertemu dengan milik Draco.
Hermione mengikis jarak mereka. Meraih tengkuk pemuda di hadapannya itu. Merasakan untuk sekali lagi, aroma yang dikenalnya begitu merasuk selepas ciuman pertama mereka di pinggir Danau Hitam. Ia memilih menutup mata. Sementara lidahnya sibuk menjelajah isi mulut Draco. Menyesap aroma cokelat yang tertinggal di dalam sana. Sebelum lantas harus menghentikan kegiatan itu selepas menyadari paru-parunya protes minta diisi.
"I love you," bisik Draco.
Tersenyum. Hermione meraih wajah Draco. Merasakan rambatan hawa hangat darinya. Untuk sekali lagi, mengecup lembut bibir pemuda itu. "I know. I love you, Draco."
♡♡♡
Hermione meledak dalam tangis begitu ia kembali bertemu dengan kedua orang tuanya di Stasiun King's Cross hari itu. Tak lama selepas ia dan murid Hogwarts di tahun terakhir menyelesaikan NEWT. Tentu saja, bintang paling bersinar itu meraih posisi pertama. Diikuti oleh Draco yang berada di posisi nomor dua. Berbicara tentang Draco, pemuda berkulit pucat itu sedari tadi berusaha untuk menata wajah di hadapan Tuan dan Nyonya Granger.
"Mom, Dad, perkenalkan ini kekasihku, Draco Malfoy," Hermione menepuk lembut bahu Draco. Berusaha untuk menghilangkan gugup yang sedari tadi tidak hanya dirasakan oleh pemuda di sampingnya ini. Namun, juga dirinya. "Draco juga membantuku menemukan kalian," sambungnya.
"Selamat siang, Sir, Madam." Tangan Draco terjulur.
"Nyonya Malfoy telah menceritakan banyak tentang kalian berdua ketika kami bertemu di Australia," Tuan Granger menyalami tangan pucat pemuda di hadapannya ini. "Kurasa kita bisa mengobrol lagi sore ini," pungkasnya seraya tersenyum. Tak lupa turut melirik leher Hermione yang kini dihiasi kalung berliontin bintang dengan permata hijau di sana. Cukup puas ketika melihat senyum merekah di wajah sang putri.
Draco dan Hermione berjalan beberapa langkah di belakang Tuan dan Nyonya Granger. Saling menggenggam seraya mengamati beberapa hal yang ditemui di sepanjang jalanan muggle London. Sementara Draco banyak bertanya tentang ini dan itu, Hermione sibuk menjelaskan panjang lebar.
Selepas malam itu, Draco dan Hermione memang tidak perlu kembali saling mengungkapkan cinta. Seluruh Hogwarts telah mengentahui mengenai 'hubungan asli' Ketua Murid Pria dan Wanita mereka. Walaupun jelas saja, tidak ada detail lain yang tersebar. Millicent gagal menyebar rumor, yang memang benar, tentang pernikahan Draco dan Hermione. Walaupun aksi dramatis Hermione ketika Draco terjatuh dari sapu terbang juga menjadi salah satu pertimbangan. Beruntung konsentrasi mereka akan NEWT yang dihadapi perlahan mengubur hal itu.
"Kau ingkat besok kita diundang makan malam oleh Molly, kan?" Hermione bersuara, sekadar memastikan.
"Kau sudah mengingatkanku 35 kali hari ini."
"Aku hanya tidak ingin kau kabur," Hermione mengeratkan genggaman tangan mereka. "Seperti waktu itu."
Draco memincing. "Hei! Aku tidak kabur! Aku hanya terkejut?"
"Kau terkejut sampai merajuk lama, Draco, berhenti berbohong," timpal Hermione seraya menggeleng. Kembali mengingat tingkah laku Draco yang rupanya bersikap kasar sebab memergokinya memeluk Derek Hooper tempo hari.
Draco memutar bola mata malas. "Ya, ya, ya, aku kabur karena hatiku sakit melihat gadis yang kucintai memeluk orang lain, kau puas sekarang?"
Tidak menjawab, Hermione hanya tersenyum. Melepas genggaman tangan Draco sebelum lantas memberi kecupan lembut di kedua pipi dan bibir pemuda itu. Ia berlari riang menyusul kedua orang tuanya. Menggamit masing-masing lengan mereka dengan penuh kerinduan. Sementara Draco yang berada tak jauh di belakang ketiganya hanya mampu tersenyum. Kedua orang tua Hermione kembali, dan pernikahan mereka tidak berakhir. Walaupun, ya, Hermione baru berani mengakui Draco sebagai kekasih bukan suami.
Namun, jelas sekali, tidak lama setelah itu, Tuan Granger lah yang menggamit lengan Hermione. Membawa gadis itu menemui Draco di ujung altar pernikahan secara resmi.
♡♡♡
thank for reading ♡♡♡
jangan lupa pencet kudosnya ya teman teman hehe atau bisa kasih review juga boleh hehe terima kasih ♡♡♡