
Bab 1
Draco Malfoy tidak pernah benar-benar menginginkan Hermione Granger untuk mati.
Bahkan pada saat tahun kedua mereka, disaat Hogwarts dihebohkan dengan kabar bahwa keturunan Salazar Slytherin telah membangkitkan monster yang ia simpan dan akan membunuh semua darah lumpur, Draco tidak pernah benar-benar menginginkan gadis itu untuk menjadi korbannya. Juga kalimat “Mudah-mudahan saja si Granger,” yang ia lemparkan kepada Goyle dan Crabbe—yang ternyata adalah Potter dan Weasley—bukanlah sesuatu yang ia harapkan akan benar-benar terjadi.
Tidak ada yang tahu betapa leganya seorang Draco Malfoy saat mengetahui bahwa Granger hanya Membatu pada saat itu, dia belum mati. Para Dewa tidak mengabulkan ucapan Draco, dan Draco sangat lega untuk itu.
Hal yang sama terjadi pada tahun lalu.
Draco Malfoy tidak pernah benar-benar menginginkan Hermione Granger untuk mati.
Dengan gadis itu disiksa di lantai rumahnya yang selalu ia bangga-banggakan, Draco berharap Granger akan selamat dari kematian. Dari peperangan. Dari kegelapan. Dari bibi Draco yang dipenuhi kegilaan.
Namun ternyata tidak.
Setiap manusia memiliki batasan, bahkan seorang darah lumpur yang selalu ia remehkan.
Suara Granger tidak pernah sesunyi ini. Tidak dengan suara yang sama dengan suara yang membuang-buang jawaban di kelas bahkan ketika profesor tidak memintanya. Tidak dengan suara yang sama yang Draco pikir itu selalu mengganggunya.
Mata yang biasa memancarkan emas itu telah mati. Mati. Senyuman yang bisa menandingi matahari di pagi hari itu telah digantikan oleh sebuah tarikan garis lurus tanpa mengeluarkan nafas lagi. Darahnya yang katanya berlumpur itu ternyata warnanya sama dengan darah yang Draco miliki.
Saat itu Draco sadar. Ia telah dibodohi dan dibohongi oleh ideologi yang selama ini ia percayai.
Katanya darah gadis itu berlumpur. Tetapi tidak. Warnanya merah. Dan itu terlihat begitu murni dan berani. Dan Draco tahu, darah itu tidak akan tumpah dengan sia-sia. Darah gadis itu akan menjadi bahan bakar baru untuk api revolusi dari sisi Terang perang.
Dengan (mantan) peri rumah keluarganya yang muncul dengan dramatis, dia menyelamatkan tahanan rumah mereka dan membawa Potter yang wajah bodohnya telah normal kembali, juga Weasley yang teriakan “HERMIONE! HERMIONE!”-nya langsung berhenti ketika ia memahami keadaan apa yang telah terjadi.
Gadis yang ia panggil-panggil namanya telah mati.
Dan kemudian mereka pergi.
Meninggalkan tubuh Granger di lantai rumah Draco seolah mereka tidak berniat untuk kembali dan membawanya bersama mereka.
Sejak saat itu, hidup Draco tidak pernah sama lagi.
***
Kejadian itu telah terjadi setahun yang lalu, namun tidak pernah meninggalkan hidup Draco sekali pun.
Ia masih dibayangi oleh hantu masa lalu.
Ditempatkan di Azkaban setelah Potter mengalahkan Pangeran Kegelapan tidak menghentikan hantu tak berwujud itu untuk mengikuti Draco.
Di dunia sihir, hantu adalah hal yang lumrah. Mereka benar-benar ada dan menghantui. Namun hantu yang ini berbeda. Kendati wujud dan rupanya tak ada, namun efeknya benar-benar nyata. Karena Draco sendiri yang merasakannya.
Draco sadar apa yang ia rasakan bukan hanya perasaan bersalah semata, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang selalu ia takut untuk suarakan. Sesuatu yang selalu ia sembunyikan. Sesuatu yang tidak ia harapkan. Sesuatu yang ia coba untuk dihapuskan.
Cinta.
Ternyata ditempatkan di Azkaban memberikannya banyak waktu luang untuk berpikir apa yang ia rasakan selama ini.
Tak ada yang pernah mengajari Draco soal cinta. Ayahnya selalu mengajarkannya apa arti kemurnian darah, betapa pentingnya hal itu, dan bagaimana mereka menjadi lebih baik dari keluarga penyihir lain karena garis keturunan mereka yang dijaga bersih. Dia juga mengajarkan Draco untuk membenci darah lumpur dan Muggle. Selalu untuk membenci. Tidak pernah untuk mencintai.
Draco juga tidak pernah percaya cinta. Ayah dan ibunya menikah bukan karena saling mencintai, melainkan karena harus memenuhi tuntutan keluarga yang telah dilimpahkan kepada mereka. Draco juga sadar bahwa suatu hari nanti ia akan menikah dengan cara yang sama seperti yang dilakukan orang tuanya. Bukan karena cinta.
Satu-satunya bentuk cinta yang pernah Draco jumpai hanyalah cinta Ayah Baptisnya kepada ibunya Potter yang dimana dia adalah seorang darah lumpur juga. Dari situ Draco mengerti, bahwa cinta adalah perasaan obsesif yang mematikan. Karena, bagaimana bisa Ayah Baptisnya tetap mencintai orang yang sudah mati? Bahkan hingga kematiannya sendiri. Hal ini terungkap di persidangan, dimana Potter mencoba membersihkan nama dan mengungkapkan peran Ayah Baptis Draco dalam perang.
Dari situ Draco belajar, cinta itu nyata adanya. Dan berperan besar dalam kehidupan.
Kembali ke saat ini, hidup Draco tidak pernah sama lagi.
Bahkan tidak setelah ia keluar dari Azkaban dengan rahmat yang Potter berikan. Siapa yang dapat menyangka bahwa Harry Potter akan memberikan pembelaan untuknya di pengadilan?
“Terima kasih, Potter. Aku berhutang kehidupan padamu.” Draco berucap pelan, namun efeknya menghentikan langkah Anak Laki-Laki Yang Bertahan Hidup.
Mereka masih berada di luar ruangan persidangan, Draco baru saja dibebaskan dan akan membersihkan selnya untuk pulang, sedangkan Harry Potter juga akan melanjutkan kembali kehidupan apa pun yang ia jalani setelah perang.
“Sama-sama, Malfoy.” jawab Potter. “Aku juga berhutang kehidupan padamu. Kami bertiga tahu, saat itu kau tahu bahwa itu adalah aku.”
Kami bertiga. Seolah-olah Trio Emas masih utuh.
“Ya.” Hanya itu yang Draco berikan sebagai balasan.
Draco mengira percakapan mereka telah selesai, dan seharusnya memang begitu, tidak ada lagi yang perlu mereka ucapkan. Tapi alih-alih langsung pergi untuk berbenah barang, Draco tetap tinggal. Ia berpikir rasanya tidak sopan untuk meninggalkan duluan orang yang sudah mengeluarkannya dari kehidupan Azkaban yang mengerikan. Ia pun mempersilahkan Potter untuk pergi duluan.
Namun Potter tetap tinggal.
Saat itu Draco sudah tahu, akan ada sesuatu yang janggal lainnya yang harus ia pecahkan.
“Hiduplah lebih baik, Malfoy.” ujar Potter.
Draco mengangkat kepalanya dari bebatuan di Kementerian, tertuju pada laki-laki di hadapannya yang memasang ekspresi tenang.
“Aku tahu, dalam tragedi itu, ada dua orang yang mati.”
Tanpa menjelaskan maksudnya, Potter berjalan pergi.