Laku-Liku Belanja Bulanan

Aespa (Band)
F/F
G
Laku-Liku Belanja Bulanan
Summary
Lebih baik belanja bareng bayi di bawah tiga tahun atau bareng istri yang teledor? Lebih baik sendiri deh. Pusing!

Pagi minggu tiba merayap-rayap melalui celah-celah tirai yang tersibak sedikit, membangunkan rumah kecil sebab terciprat cahaya hangat mentari.

Di dapur ada aroma kopi yang bersatu padu dengan aroma roti yang baru dipanggang. Bocah kecil mengambil tempat di ruang keluarga, meringkuk di sofa seketika ia dikeluarkan dari ranjang tidurnya. Rambutnya masih acak-acakan dan berdiri seperti dedaunan di atas buah nanas, jemari mungilnya mulai beri kehidupan di atas kertas buku sketsa yang masih putih bersih.

Tadi malam, Winter duduk di meja makan dengan segelas susu hangat, sibuk sekali menulis daftar belanja di selembar kertas kecil. Nama-nama sayuran, buah-buahan, dan beberapa merk makanan ringan ditulis di sana. Tidak lupa ia tambahkan pula bahan-bahan untuk membuat permainan sensorik ala rumahan yang rutin dilakukan putrinya tiap hari rabu dan sabtu.

“Kenapa ngga ditulis di iPad?” usul Karina yang tengah menyeruput susu hangat di atas meja milik istrinya.

“Ngga bisa dipegang dong, kegedean,” jawab Winter sambil terus menulis daftar belanja mereka.

“Bisa ditaruh di troli, sayang.”

Winter sebentar tinggalkan pulpen dan kertasnya untuk menatap wajah Karina yang kebingungan. “Elara kan besok ikut. Mau duduk dimana anakmu, alphaku sayang?”

“Oh.”

 


 

Usai Elara makan siang dan tidur sebentar, ada beberapa kegiatan kecil yang tersisa di rumah mereka sebelum pergi. Kini Winter duduk di lantai menyilangkan kaki, tangannya cekatan mengikat rambut Elara yang baru digantikan baju. Dengan sabar ia menyisir setiap helaian rambut putrinya yang lebat, sesekali membisikkan pujian ketika Elara mulai mengacaukan rambutnya, entah karena risih atau memang rewel saja.

“Elara, anak mama yang cantik, dikuncir rambutnya biar ngga acak-acakan, ya? Masa keluar rambutnya jabrik?”

Sementara itu, Karina sibuk dengan misi lain, memasukkan barang-barang penting ke dalam tas ransel berukuran sedang. Mereka tidak bawa banyak barang, hanya beberapa barang penting; sebotol air, tisu basah dan tisu kering, popok bayi, camilan Elara, dan tentu saja daftar belanja yang ditulis Winter malam sebelumnya. Winter sendiri hanya menyampirkan tas selempang kecil, cukup untuk menampung dompet dan ponselnya.

Kira-kira mereka tiba di kawasan perbelanjaan pukul satu siang, ketika matahari masih setia bertengger di atas kepala. Seperti kebiasaannya, begitu mobil berhenti Karina akan keluar lebih dulu, bergegas membuka pintu untuk istrinya. Senyum manis hiasi wajahnya yang mungil seperti telur.

Sang alpha selalu lontarkan pertanyaan; apakah perjalanan mereka nyaman atau ada sesuatu yang mungkin mengganggu Winter karena cara menyetirnya, lalu Winter akan mengecup pipi Karina seolah mengatakan, “terima kasih sudah mengantar kami dengan selamat.”

Selepas bermesraan sebentar, barulah Karina membuka pintu belakang, tempat di mana kursi anak terpasang dengan aman. Elara masih duduk tenang di sana. Wadah camilan berwarna biru masih digenggam erat oleh tangannya yang gemuk, meski isinya tak lagi terlihat. Tidak perlu bertanya ke mana perginya lingkaran-lingkaran kecil berbentuk bunga itu pergi, sudah pasti telah mendarat di perut Elara.

Karina melirik sekilas ke perut putrinya yang buncit lalu terkikik lucu. Winter juga ikut terkikik setelah melihat Karina menunjuknya. "Kayaknya dia ngga mau lepasin tempat camilannya tuh walau sudah kosong. Lihat, kencang banget pegangannya,” ucap Winter keheranan.

“Kayak kamu, doyan jajanan.”

“Ngga ngaca nih yang habisin donat setengah lusin!”

Sang alpha kembali memastikan tidak ada barang yang tertinggal sebelum benar-benar meninggalkan mobil. Matanya menyapu bagian dalam mobil. Tas sudah berada di punggungnya, Elara aman digendongnya seperti koala, dan untuk kesekian kalinya ia menoleh ke arah Winter. “Sudah semua, ya? Aman? Jangan ada yang ketinggalan!”

Ketiganya kemudian pergi menuju lift. Pusat perbelanjaan dipenuhi orang-orang, tentu saja karena hari ini hari minggu. Winter sempat menegur Karina untuk tidak menggendong Elara sebab alpha kecil mereka sudah bisa berjalan.

"Pokoknya jangan beli yang ngga ada di daftar, ya?" Winter agak mengancam. Pandangannya bergantian antara Karina dan Elara yang berdiri di depan alpha dewasa itu.

“Kamu ngomong ke aku atau ke Elara?” tanya Karina dengan nada menggoda. Tengil.

Winter mendelik. “Kalian berdua, lah! Kamu tuh suka nawarin Elara mainan.”

Sebelum Karina membalas, suara cadel Elara terdengar lebih dulu. “Oke! Adik yogurt,” seru Elara yang cadel. Jempol mungilnya yang gemuk teracung sempurna.

Langkah kaki mereka sudah mendekati pintu masuk supermarket ketika Winter tiba-tiba teringat sesuatu. Sang Omega menoleh ke arah alphanya yang berjalan di sampingnya. "Daftar belanjaan yang aku buat tadi malam mana, kak?" tanyanya.

Karina segera membuka tas ranselnya sambil terus berjalan. Sebelum ia mengobrak-abrik isi tasnya lebih dalam, Winter dengan cepat meraih lengannya. "Minggir dulu," perintahnya pelan. "Jangan jalan kayak gitu, nanti jatuh. Kamu ini!”

Sudah beberapa menit Winter dan Elara berdiri menunggu di depan Karina yang sibuk menggeledah tas ranselnya. Tangannya keluar masuk kantong, membolak-balik barang di dalamnya dengan penuh cemas. Di sisi lain, alpha kecilnya mulai gelisah. Elara pun menarik-narik baju kebesaran yang dikenakan Winter. "Mama, itu!" lirihnya tidak sabaran.

Winter melirik putrinya sebelum sedikit membungkuk agar sejajar dengannya. “Tunggu sebentar, sayang. Bunda lagi cari sesuatu,” ucapnya lembut sembari membelai rambut lebat Elara yang terkuncir dua.

Genggam Elara masih erat di bajunya, matanya berbinar penuh pinta. Winter tersenyum tipis, lalu mengingatkan dengan suara lembut. "Ingat apa yang mama bilang tadi pagi? Elara ngga boleh rewel kalau mau ikut,” dan seakan ingat pesan ibunya, genggaman jemari gempal Elara perlahan-lahan terlepas dari baju Winter.

“Ada ngga? Jangan bilang ketinggalan,” Winter agak jengah. Sang omega meraih Elara, menggendong bocah kecil itu agar tidak semakin rewel. Sementara Karina berhenti mencari dan menatapnya dengan wajah tengil. Senyum cengengesannya membuat Winter semakin kesal.

"Benar ketinggalan, ya?" tanyanya kembali meski sudah tahu jawabannya.

“Hehe, kayaknya gitu sih, sayang,” Karina tersenyum kikuk dengan deretan giginya yang putih terlihat jelas.

Menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata adalah cara Winter untuk tetap tenang dalam mengontrol emosinya. Ini bukan pertama kalinya Karina teledor seperti ini, tapi tetap saja, ia sudah meluangkan waktu semalam untuk menulis daftar belanja dengan rapi dan sekarang semuanya sia-sia.

"Eh, tapi aku sempat foto, sayang. Jaga-jaga kalau kelupaan, hehe," Karina langsung merogoh kantong belakang celana gombrongnya penuh percaya diri. Namun, ekspresinya berubah dalam hitungan detik.

Winter mengernyitkan dahi, tentu ia curiga. “Kenapa?” tanyanya lagi.

“Kayaknya handphone aku ketinggalan juga deh. Eh, tapi aku salin di iPad,” Karina merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan iPad, masih dengan ekspresi menyebalkan khasnya. “Tadaaa!”

Winter mengerutkan kening. "Loh, kenapa malah bawa iPad?" ucapnya kebingungan. Ini aneh. Maksudnya, Karina meninggalkan semua barang penting di rumah. Ponselnya, daftar belanjanya tertinggal semua, tetapi ia malah membawa sesuatu yang tidak penting.

Si pelaku cengengesan, tidak memberikan jawaban yang memuaskan.

Tak mau ambil pusing, Winter hanya berdecak sebelum berbalik menuju supermarket. Karina tahu istrinya masih sedikit kesal, jadi ia segera berlari kecil mengikutinya tanpa berkata-kata.

Saat melewati sederet troli, sang alpha langsung menarik salah satunya, lalu menatap Elara yang masih didekap nyaman oleh istrinya. "Ayo, sayang, duduk di sini biar mama ngga capek gendong-gendong.”

Bocah itu cemberut, pipi merahnya menggembung. “Tuh!” telunjuknya menunjuk ke arah troli berbentuk mobil kecil yang sedang didorong oleh bapak-bapak, dengan seorang anak laki-laki duduk nyaman di dalamnya.

Karina celingukan mencari troli serupa di sekitar mereka. Namun, hasilnya nihil. Tidak menyerah, ia lantas bertanya kepada petugas yang kebetulan sedang berada tidak jauh dari mereka.

“Oh, sayang sekali, bu. Troli yang itu sudah habis,” jawab si petugas. “Mungkin sebagian masih ada di tempat parkir dan belum diangkut ke sini.”

"Kamu bisa belanja sendiri dulu ngga? Sini Elara aku gendong. Biar kami berdua cari dulu trolinya, kamu duluan ke dalam.”

Inilah yang terkadang membuat Winter kesal kepada istrinya. Bukannya benci, hanya saja Karina terlalu memanjakan Elara.

Sang alpha mudah sekali menuruti kemauan putri mereka. Winter tidak ingin Elara tumbuh menjadi anak yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa memahami batasan. Sebagai seorang ibu, ia ingin anak-anaknya belajar menerima keadaan, memahami bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginannya.

“Biarin yang biasa aja, kak," tegas Winter.

“Kata bapak satpam, troli mobilnya habis. Kalau Elara mau, harus ambil sendiri. Tapi Elara ngga bisa sendiri, kan? Pasti harus sama bunda, tapi bunda capek kalau bolak-balik loh. Memang Elara ngga kasihan sama bunda?” Elara mungkin masih kecil, tetapi Winter tahu putrinya cukup pintar untuk pahami situasi jika dijelaskan dengan cara yang benar.

"Besok lagi, oke?" Winter terus membelai rambut lembut Elara. "Kalau kita belanja lagi terus ada troli mobilnya di sini, Elara boleh naik.”

Senyum terpampang di wajah Karina, ia terima tubuh Elara yang kini mengulurkan tangannya, tanda setuju untuk duduk di troli biasa. “Anak bunda pintar banget deh!” ucapnya sebelum menggendong Elara dan hati-hati menaruhnya duduk di troli dengan bantuan Winter.

Bapak petugas yang masih berada di dekat mereka ikut tersenyum lega. Kerap kali ia melihat anak-anak tantrum di tempat umum, berteriak, menangis, bahkan berguling-guling di lantai. Pemandangan ini bukan saja mengganggu, tetapi juga membuatnya merasa kasihan kepada para orang tua si anak. Tetapi kali ini berbeda.

 


 

Tentu Elara tidak lama bertahan duduk di troli. Sekarang Elara berjalan di samping Winter dengan sandal sepatu yang berkedip-kedip tiap ia melangkah. Bocah itu tampak antusias membantu ibunya mengambil barang-barang dari rak yang masih bisa dijangkau oleh tubuh mungilnya yang setinggi delapan puluh sentimeter.

Yah, meskipun beberapa kali bocah itu memasukkan barang secara acak hanya karena dikemas dalam kemasan lucu.

Mereka sempat melewati lorong mainan anak-anak karena Winter memerlukan mainan dinosaurus baru untuk permainan sensorik Elara. Namun, setelah menyisir beberapa rak, ia tidak menemukan mainan semacam itu yang bisa diberikan untuk anak usia di bawah tiga tahun.

Bagian mainan terletak hampir di ujung supermarket. Winter ingin bertanya pada istrinya; apakah ada hal lain yang perlu dibeli atau mereka dapat langsung pergi ke bagian ikan segar untuk menyelesaikan daftar belanja hari ini, tetapi ia tidak dapat menemukan dua alphanya di belakang.

Untuk kedua kalinya, di hari ini, Winter menarik napas dalam-dalam. Pasti istri dan alpha kecilnya berhenti di bagian mainan.

"Elara mau yang ini atau itu?" Karina terlihat berjongkok memegang boneka kucing dan menunjuk ke arah boneka anjing di tangan Elara.

"Nih!" tanyanya Elara jawab penuh semangat. Tangan mungil alpha kecil itu memeluk erat boneka anjing berukuran sedang yang tampak besar dalam dekapannya.

Untuk ketiga kalinya, Winter menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah lebih dekat ke arah kedua alphanya. Dengan gerakan cepat, ia langsung menyambar boneka kucing dari tangan Karina. "Siapa yang suruh kalian beli mainan, hm?” nada rendah terdengar dingin di rungu.

Karina hampir terjatuh karena kaget. Jika keluarga mereka digambar dalam gaya kartun, mungkin kepulan asap sudah mengitari sekujur tubuh Winter, dan matanya bersinar terang seperti lampu sorot tanpa bola mata yang terlihat.

Si alpha besar melongo ketakutan sebelum meletakkan boneka ke tempat semula.