Dear Dilla

Dear David (2023)
F/F
G
Dear Dilla
Summary
Dilla dan ceritanya yang berakhir bahagia.
Note
Tapi bahagianya Dilla harus ketemu sama Anya dulu soalnya Laras agak brengse :((

Bagi Dilla, Laras adalah cinta pertama sekaligus patah hati pertamanya. Meski ia sendiri tidak tahu bagaimana semuanya dimulai, yang pasti di suatu hari, di satu situasi saat mereka bersama, Dilla tahu kalau dirinya berhenti menatap Laras dengan cara yang seperti biasa.

Dilla tahu semuanya perlahan berubah, detak jantungnya ketika bersama Laras, rindu yang bertambah saat jauh dari Laras, juga senangnya ketika bertemu Laras.

Dengan Laras, Dilla bisa tahu rasanya jatuh cinta.

Meski jatuhnya harus diiringi rasa sakit dan perasaan bingung, Dilla membiarkannya tumbuh menjadi rasa yang membuatnya nyaman dan merasa paling dirinya.

Tidak ada yang tahu soal perasaannya, hanya dirinya, dan harusnya Laras kalau saja dia sedikit lebih teliti, sedikit lebih sadar dari sorot mata juga perhatian Dilla untuknya, sedikit lebih peka tentang film yang Dilla lihat juga lagu yang Dilla dengar. Rasa Dilla terlalu jelas untuk Laras yang kurang memperhatikan.

Namun Dilla sendiri memilih untuk diam, mengubur rasanya sendirian biar pertemanannya dengan Laras tidak jadi berantakan, karena hanya Laras yang Dilla punya, hanya Laras yang bisa membuatnya bahagia. Laras menjadi obat saat Dilla sakit karena masalahnya di rumah, Laras menjadi orang yang paling Dilla butuhkan karena dia menawarkan rasa nyaman.

Karena mereka bisa melakukan banyak hal aneh hanya ketika mereka berdua.

***

"Dil gw tambahin ya?" tanya Laras dengan senyum isengnya.

"La aneh banget sumpah lo tuh!" Dilla merengut tidak setuju, membuat Laras semakin girang.

"aneh apaan sih kan lo suka sate!" Laras memaksakan idenya sambil mengaduk bumbu sate.

"ya lo pikir La masa mie rebus kasih bumbu sate aneh banget! Makan satu-satu aja coba ih!" Dilla dibuat makin kesal karena Laras pasti melakukan apa yang ia mau, dan dugaannya selalu benar, Laras adalah orang aneh.

"yah lo telat sendoknya dah nyemplung, lagian makan barengan aja si biar cepet" kata Laras tanpa menyesali perbuatannya, malah ia penasaran akan rasa yang baru saja ia ciptakan, Dilla hanya menggelengkan kepala nggak habis pikir dengan teman anehnya.

"nyesel gw nyuruh lo ke sini sambil bawa sate" Malah Dilla yang menyesal mengirim pesan pada si aneh untuk menemaninya.

"ya lo kenapa mau sate orang gw lagi pengen mie rebus, nih cobain nih enak ternyata!" ucap Laras setelah menyeruput kuah dari mangkoknya, Dilla harus tahu rasa yang dibuat orang jenius.

"ga mau ih!" Dilla menolak, meski ikut terkekeh karena ulah ajaib Laras.

"beneran Dildo cobainn" Laras sedikit memaksa, dibumbui panggilan sayangnya untuk Dilla.

"ga mau ih! Jangan nodai rasa sate yang gw suka ya! Orang gila lo emang" Dilla sekali lagi menolak sambil tersenyum dan melempar tusuk sate yang sudah habis, untungnya Laras bisa menghindar.

"Dilla plis satu sruput aja nanti gw janji nurutin satu kemauan lo" dan Dilla selalu luluh pada sorot mata dan janji yang diberi gadis yang membuatnya jatuh cinta. Kelingkingnya dikait sebelum apa yang Dilla mau disetujui.

"besok pagi lo harus sarapan bubur di depan gor bareng gw" itulah keinginan Dilla, dan Laras sedikit menyesal karena membuatnya harus bangun pagi.

"ah besok sabtu Dilla! Semua orang harusnya bangun siang" Laras protes.

"ya bubur di depan gor kan adanya emang sabtu doang! Lo dah janji La!" Dilla cemberut.

"oke oke, asal kalo lo rasa ini enak, lo harus jujur, ga boleh bohong, lo juga harus ikutin satu maunya gw, gimana?" Laras memberi tawaran lain ganti rugi akan jam tidurnya yang harusnya bisa diperpanjang.

"deal, lo mau apa?" Dilla menyetujui.

Dia tidak akan pernah menolak Laras, apapun keinginannya, segila apapun ide cemerlangnya, Dilla pasti kabulkan semua asal dilakukan bersama Laras. Dipenggal dari lirik 5 Seconds of Summer,

'Cause I'm just a sucker for anything that you do

***

Laras menemani Dilla mengenal dirinya.

Tidak pernah terbayang kenyataan kalau dia ternyata menyukai perempuan, terlebih menyukai sahabat baiknya sendiri.

Dan terkait hal-hal yang Dilla suka, semuanya sedikit banyak terpengaruh oleh Laras. Kesukaannya pada film dan fotografi, musik yang Dilla sering dengar, juga bagaimana dia berpenampilan. Karena Laras, Dilla menjadi dirinya sekarang ini.

"how do i look? Nggak pantes ya?" tanya Dilla sambil melihat pantulannya di depan cermin.

Laras dan Dilla kembali pada agenda mereka berdua, kali ini mereka melakukan fashion show dari koleksi baju ibu Dilla yang ditinggal pergi bekerja. Mereka mencoba berbagai jenis pakaian yang kebanyakan terlalu dewasa untuk digunakan anak usia 15 tahun.

"are you kidding me? You look hot!" Laras kagum setelah mendaratkan pandangan pada temannya, baju pada tubuh Dilla terlihat sempurna.

"am i?" Ragu Dilla meski semburat merah muncul dikedua pipinya.

"yup, dan sejak kapan lo jadi sexy gini?" tanya Laras sedikit menggoda, memang jika dibandingkan dengan Dilla pertama kali mereka bertemu, dia sangat jauh berbeda sekarang.

"gw banyak olahraga biar nggak kaya lo!" seperti biasa, jurus andalan Dilla menyembunyikan sipu dengan gurauan.

"kayak gw gimana yaa?" Laras sedikit tersinggung namun senyumnya selaras dengan milik Dilla.

"lo kayak orang kurang gizi kebanyakan makan mie" setelah melempar gurau yang lain Dilla kabur menghindari pembalasan yang Laras siapkan.

"kurang ajar sini lo Dildo!!"

Dari pendapat Laras soal penampilannya hari itu, Dilla banyak mencoba hal baru untuk mempercantik dirinya, bersama Laras dia mencoba berbagai hal.

Laras memang seorang pemalu di luar sana, siswi berprestasi yang tidak mengerti hal lain selain belajar. Namun setidaknya berbeda ketika dia bersama Dilla, mereka bisa menjadi pribadi yang bebas, pribadi yang lebih percaya diri, dan Dilla lebih dari senang karena hanya dirinya yang bisa melihat Laras dalam versi yang seperti itu.

***

Kemudian ada banyak hal lagi yang Dilla suka dari Laras.

Seperti bagaimana Dilla selalu jadi orang pertama yang selalu Laras ikut sertakan dalam hidupnya, termasuk saat pertama kali Laras bisa mengendarai sepeda motor.

Sabtu itu bukan kerincing bel sepeda milik Laras yang Dilla dengar dari kamarnya, melainkan klakson motor bebek yang mengganggu dan mengharuskan Dilla keluar untuk melihat pelaku yang mengusik paginya.

"Dillaaa!" sapa Laras sambil mengayun helm yang ia gunakan, Dilla sedikit terkejut akan pemandangan Laras yang duduk diatas motor, kemudian buru-buru Dilla menemuinya.

"hai!" sapa Laras dengan cengiran khasnya ketika melihat Dilla sampai di depan.

"lo bisa bawa motor?" tanya Dilla masih sedikit tidak percaya, Laras mengkonfirmasi dengan anggukan bangga.

"dan untuk merayakannya gw mau ajak lo keliling komplek, gw masih belum berani lama-lama di jalan raya" Laras mengungkapkan tujuannya ke sini, tangannya menepuk jok belakang.

"lo yakin beneran bisa? Kita jatoh lo yang tanggung jawab ya!" Dilla memang tidak percaya dengan kemampuan Laras, namun tidak dapat dipungkiri ada rasa penasaran tentang pengalaman duduk di belakang Laras yang mengemudi.

"tenang ih gw belajarnya sama Mama. Udah cepet ambil jaket" sekali lagi yakinnya dan Dilla hilang dari pandangan menuruti mau Laras.

Hari itu jadi salah satu hari bahagia Dilla, rasa senang memeluk tubuh Laras mengubur rasa takutnya akan terjatuh. Katanya, Dilla boleh minta diantar kemana saja asal bensinnya ada dan mereka tertawa seirama.

***

Peluk Laras menjadi tempat bernaung untuk Dilla.

Saat ayah dan ibunya bertengkar, rumah Laras adalah tempatnya kabur dan peluk dari Laras menjadi obat paling menenangkan. Meredakan teriak dan caci maki yang ia dengar, meyakinkan kalo setelah ini semuanya akan baik-baik saja.

Kemudian Dilla akan lelah karena menangis, usap dirambutnya berubah menjadi mantra yang mengantar Dilla terlelap.

Dan sebelum benar-benar tertidur Dilla mendengar apa yang Laras ucap,

"nggak usah takut ya Dildo, ada gw di sini"

Kadang Dilla sebal ketika Laras memanggilnya seperti itu, tapi dalam hatinya Dilla tidak ingin Laras berhenti. Laras bisa memanggilnya dengan nama paling aneh dan Dilla hanya ingin Laras terus memanggilnya.

***
Namun semakin lama nama panggilannya semakin jarang Dilla dengar.

Kehidupan SMA membuat Laras semakin sibuk. Sibuk dengan lomba, sibuk dengan ekskul, sibuk dengan Osis tapi tidak pernah lagi sibuk untuk dirinya.

Yang sering Dilla dengar hanya kata maaf diiringi kalimat penolakan, semakin langka waktu yang mereka habiskan bersama.

Jadi Dilla harus melakukan hal lain untuk membunuh waktunya, menyibukkan diri dengan berbagai hal agar Laras tidak mampir ke pikiran.

Dilla bahkan belajar mengemudi, ia tahu tidak akan ada lagi diantar kemana saja asal bensinnya ada, jadi Dilla harus mandiri, tidak ada Laras untuk membawanya pergi.

Dilla juga banyak pergi ke gym, ikut kelas yoga, bahkan ikut kelas tari untuk mengalihkan fokusnya. Dari semua kegiatan itu Dilla jadi kenal dan dikenal beberapa orang di luar sekolah, meski kehadiran mereka tidak akan pernah menggantikan Laras.

Dilihat dari apa yang mereka posting di sosial media, Dilla dan Laras resmi menjalani kehidupan SMA yang berbeda.

***

Kemudian tidak ada lagi Dilla dan Laras. Tidak ada lagi mereka berdua ketika Laras memutuskan untuk menjauh, bersama dengan satu sekolah memandang rendah ke arah dirinya.

Semuanya berawal dari rumor yang sumbernya tidak lain adalah mulut kotor Arya, setelah ditolak Dilla dia menyebarkan berita bohong sebagai balasan malu yang ia terima.

Tapi Dilla tidak ambil pusing, Dilla tidak peduli dengan sayup obrolan yang sering ia dengar di koridor. Dilla yang paling tahu akan dirinya dan dia tidak butuh pendapat orang lain, mungkin Laras masih jadi pengecualian. Sikapnya yang semakin dingin dan menjauh perlahan membuat sakit dihati, Laras yang bisu, Laras yang tidak peduli. Hanya Laras penyebab sakit hatinya. Laras sebagai cinta pertamanya menjadi patah hati pertama Dilla juga.

Kemudian Dilla menjadi semakin tidak peduli, melakukan apa yang dia mau sebebasnya tanpa memikirkan orang lain dan kali ini termasuk Laras didalamnya.

***

Cerita Dilla bersinggungan kembali dengan Laras hanya ketika cerita porno menyebar ke satu sekolah, semua obrolan ramai membicarakan Dear David. Entah membicarakan bagaimana cerita mesum itu berjalan, atau siapa penulis cerita mesum tersebut.

Satu sekolah sibuk, termasuk Laras sebagai ketua Osis yang ditugasi mencari si penulis dan Dilla menjadi salah satu dari tersangkanya. Dilla sendiri tidak heran dirinya dituding, karena tema tentang pornografi sudah melekat pada dirinya sejak rumor itu beredar dan Dilla tidak peduli.

Dilla hanya bingung ketika satu siang seseorang memanggil namanya dari balik pintu, dari suara yang sangat Dilla kenal yang dulu bisa setiap hari dia dengar.

Dan sosok Laras benar berada di depannya, setelah sekian lama tidak menginjakan kaki di tempat ini, Dilla dibuat bertanya apa tujuan gadis itu. Gesturnya canggung, tangannya menyodorkan benda yang paling Dilla suka, sebuah kamera.

Dilla tidak tahu maksud pemberian tersebut jadi tangannya mergeming pada gagang pintu, masih menebak mau apa gadis itu. Mungkin tujuannya kemari karena iba, mungkin tujuannya kemari karena apa yang terjadi pada Dilla di sekolah menggerakkan hatinya. Jadi Laras kemari, hadir untuk Dilla lagi.

Namun apa yang diucap Laras kemudian membuatnya muak. Dilla kira Laras sudah memahaminya, ada di sini karena dia sudah mengerti mau apa. Namun bagian dari kalimat Laras membuat Dilla ingin tertawa,

'gw minta maaf kalo gw ada salah'

Dilla menutup pintu tanpa mendengar hal lain dari gadis itu.

Meski sejujurnya Dilla rindu, Dilla tidak ingin merasa asing melihat Laras berdiri di depan pintunya seperti tadi. Dan memori tentang mereka mengalir dalam ingatan tanpa ia minta, tangannya bergerak membuka rekaman video berisi Laras yang diganggunya saat tidur. Hanya bahagia terdengar dari tawa mereka, nama Dilla juga masih dipanggil Laras dengan cara aneh yang Dilla suka.

***

Interaksinya dengan Laras tidak berakhir pada pintu yang ditutup, Laras masih mencoba bicara dengan Dilla. Memberhentikan langkahnya kabur saat seminar soal edukasi seks akan berlangsung. Bagi Dilla itu semua hanya omong kosong yang sangat mungkin memojokkan dirinya, jadi Dilla pergi. Sebelum langkahnya terhenti oleh suara yang paling ia rindukan.

Karena nyatanya Dilla memang masih menaruh rasa, sebagian besar hatinya meminta Laras untuk bisa kembali seperti dulu. Maka Dilla bisa dengan mudah melupakan segala hal yang pernah terjadi di antara mereka asal Laras kembali menghabiskan waktu bersamanya.

Kemudian mereka kembali melakukan hal aneh yang hanya bisa dilakukan ketika mereka berdua, untuk pertama kali sebagai siswa teladan Laras mengabulkan permintaan bolos bersama Dilla.

Perlahan Dilla merasakan bahagianya kembali, senyumnya tidak pudar meski diguyur hujan, hadir Laras nyatanya masih bisa menghangatkan. Perjalanan di atas motor bebek milik Laras menjadi satu dari sekian hal yang paling Dilla rindukan, rasanya seperti mimpi karena bisa merasakan semuanya kembali. Dilla dan Laras kembali menjadi tempat berbagi cerita.

Termasuk cerita yang sebenarnya dari dulu ingin Dilla sampaikan, tentang kebenaran rumor di sekolah terkait dirinya, tentang bagaimana satu sekolah percaya akan hal itu dan menertawakannya, tentang Laras yang tidak hadir untuk Dilla.

Akhirnya mereka membicarakan hari di mana mereka saling pergi menjauh, membicarakan awalnya mereka berubah menjadi dua orang yang asing. Dan mendengar cerita tersebut hanya menambah daftar panjang bagaimana Laras menyakiti perasaan Dilla.

Laras menyesali apa yang ia lakukan pada Dilla dulu, dan sekarang Laras sadar bagaimana dia telah berubah menjadi semakin jahat untuk Dilla. Namun karena bukan Laras yang jatuh hati pada Dilla, maka yang ada dalam pikiran Laras hanya dirinya sendiri.

***

Yang jatuh hati adalah Dilla, maka dia bisa dengan mudah memberi maaf, dia bisa kembali menjalin hubungan pertemanan dengan orang yang pernah meninggalkannya. Dalam istilah sekarang Dilla adalah bulol, budak cinta tolol, yang tidak memahami maksud tersembunyi mengapa Laras dekat dengannya lagi.

Karena tidak lama setelah mereka bersama, hadir orang lain selain Dilla dan Laras. Muncul seorang David.

Bagi Dilla, David adalah teman sekelas, yang juga ia ketahui dekat dengan Laras karena satu gereja, di samping itu Dilla tahu David menyukainya. Maka Dilla sedikit terganggu ketika David ada diantara Dilla dan Laras.

Gangguan David ada saat mereka belajar bersama, kemudian ada saat Dilla ingin pergi berdua hanya dengan Laras. Dilla semakin dibuat bingung dengan kehadiran David diantara mereka. Laras seperti menjodohkannya dengan David, namun Laras sendiri terlihat suka dengan laki-laki itu.

***

Belum cukup dirinya terganggu dengan manusia David, masalah di sekolah terkait cerita fiksi David juga menambah hal yang harus Dilla hadapi. Bu Indah memanggilnya ke ruang guru dan meminta Dilla untuk mengaku jika dia adalah penulis cerita fiksi itu.

Katanya perbuatan Dilla sudah tidak bisa disangkal dengan dukungan bukti yang sebenarnya ingin Dilla tertawakan. Namun niatnya urung karena keputusan sudah ditetapkan, sudah tidak dapat diganggu gugat, hukuman telah dijatuhkan meski bagi Dilla semuanya tidak adil.

Dan bagian yang memperparah semua ini adalah fakta jika Laras hilang lagi dalam hidup Dilla. Padahal Laras sendiri yang bilang yakin kalau Dilla bukan penulisnya, tapi Laras tidak hadir untuk sekedar membela.

Panggilan dan teksnya dihiraukan Laras dengan alasan sibuk razia, sibuk mengurus pertandingan dan segala macam. Dilla mengenal betul semua tanda ini, rasanya seperti dejavu. Jika dibiarkan Dilla tahu kemana semuanya akan berakhir, maka Dilla melakukan hal yang dulu tidak dia lakukan.

Menggunakan segala cara untuk mendapat perhatian Laras dan caranya adalah dengan menggunakan David sebagai alat.

Sebagai orang yang memperhatikan gadis yang ia suka, Dilla tahu jika perhatian Laras tidak tertuju padanya. Sorot mata yang Laras berikan, sama seperti yang Dilla berikan untuk Laras, tidak tertuju pada dirinya. Sorot mata penuh kasih itu tertuju pada orang baru di antara mereka, dan tawa renyah serta bahagia Laras hadir karena orang lain dan itu bukan Dilla.

Maka Dilla menggunakan orang yang paling Laras perhatikan, langkahnya penuh percaya diri menuju lapangan di mana pertandingan sedang berlangsung, dan saat melakukan aksinya Dilla bisa melihat dari ekor mata jika Laras berlalu pergi.

Dia hanya mewujudkan apa yang selama ini Laras tuju.

***

Dilla kira semuanya sudah berakhir ketika tujuan Laras tercapai. Dilla sudah tidak peduli akan masalahnya karena Dear David dan jika semua orang menganggap dia adalah sang penulis maka Dilla adalah penulis yang berhasil karena bisa mewujudkan cerita fiksinya sendiri, meski sekali dua kali pikirannya malah lari kepada sosok gadis yang membuatnya melakukan semua ini.

Namun ternyata kenyataan yang lebih menyakitkan datang pada suatu malam, bukan ketika David berkata bahwa dia sudah tidak lagi tertarik dengan Dilla, kenyataan itu datang dari sebuah pesan teks di hp David yang tertinggal. Tertulis pesan dari Laras, tertulis bahwa dia lah orang yang membuatnya merasakan semua derita yang Dilla alami.

Laras adalah sahabat terburuk yang tidak pernah Dilla bayangkan, hatinya hancur berantakan.

Maka keesokan harinya Dilla hanya melakukan apa yang harus dia lakukan, mengungkap kebenaran. Melimpahkan semua akibat pada seseorang yang seharusnya menanggung semua ini.

Rasanya puas setelah membalas apa yang dilakukan Laras padanya, tidak ada rasa bersalah karena seharusnya Dilla merasa seperti itu. Dilla tidak memiliki kewajiban memikul akibat yang dibuat temannya sendiri.

Dilla tidak peduli apa yang terjadi pada Laras setelah ini, sekarang hanya ada Dilla dan dirinya sendiri.

***

Namun ketika Dilla ingin beranjak melupakan, Laras datang lagi di depan gerbang dengan penyesalan. Dilla sudah menyuruhnya untuk pergi, namun si bodoh itu malah memanjat pagar berakhir dengan lutut yang berdarah.

Tidak ada pilihan bagi Dilla untuk tidak mengobati sebelum menyuruhnya pergi lagi. Namun Laras adalah orang paling keras kepala dan menyusahkan sedunia bagi Dilla dan Dilla sendiri masih menjadi bulol yang selalu menuruti apa maunya Laras, jadi ketika Laras minta untuk diantar maka Dilla akan mengantar.

Perjalanan menuju rumah Laras menjadi satu-satunya momen di mana mereka bisa bicara dan Laras adalah orang yang harus memulai pembicaraan.

"gw bukan temen yang baik buat lo Dil" katanya, kemudian ada jeda sebelum akhirnya Laras melanjutkan.

"gw jahat"

Laras butuh semua ini sampai akhirnya dia sadar, jadi Dilla harus mengatakan langsung di depan wajahnya seperti apa Laras sebenarnya, dia lebih dari jahat.

"lo jahat, lo nyusahin, lo bego" Dilla kehabisan kata untuk menerangkan seperti apa Laras setelah apa yang dia lakukan.

Menjodohkan Dilla dengan David padahal dirinya sendiri yang menyimpan rasa, menjadikan Dilla kambing hitam atas apa yang ia perbuat, semua hal bodoh yang Laras lakukan berakhir dengan Dilla yang sakit hati.

Ternyata masih kurang sakit hati Dilla dari Laras karena perasaannya yang tidak terbalas sampai dia harus menjalani semua ini.

Dan malam itu, untuk yang pertama kali, ketakutan yang selama ini Dilla pendam akhirnya ia bagi. Karena jika harus merasakan semua sakitnya sekarang, biarlah jadi sakit semua sekalian.

Dilla bercerita soal apa yang selama ini ia rasakan untuk Laras, semua sayang yang tidak berbalas dalam konteks sayang bukan sebatas teman. Dari raut muka Laras setelah mendengar hal itu dia terkejut, Laras memang tidak sadar soal perasaan Dilla barang sedikit.

"kenapa nggak bilang dari dulu?" Laras bertanya, sama seperti orang terkejut lainnya perkara ini, dan Dilla lebih dari mengerti jika Laras tidak pernah bisa menebak alasannya.

Sederhana takut kehilangan, namun hal itu adalah ketakutan Dilla yang paling besar. Dilla tidak bisa membayangkan Laras menjauh dengan perasaan tak sudi ingin dekat dengannya lagi. Jadi Dilla bungkam dan menahan perasaannya sendirian.

Namun untungnya ketakutan Dilla itu tidak jadi nyata, meski perasaannya memang tidak berbalas, Dilla tahu ini sejak awal, namun mengetahui bahwa ia diterima, kini Dilla bisa bernafas lega, hanyut dalam pelukan Laras. Dilla tahu setidaknya dia tidak sendirian mulai saat ini, dan Laras memang jadi orang yang paling Dilla butuhkan.

"gw bakal nemenin lo Dil" bisik Laras di telinga Dilla ketika mereka berpelukan.

"gw tau gw brengsek banget, tapi gw bakal bayar semua kelakuan jahat gw dengan berusaha jadi teman yang baik buat lo mulai sekarang" mendengar itu Dilla hanya bisa mengangguk senang.

***

Mereka kembali menjadi Dilla dan Laras, bedanya sekarang tidak ada lagi rahasia.

Meski harus menjalani tahun terakhir SMA di tempat yang berbeda, setidaknya mereka berdua bisa menjalani kehidupan sepulang sekolah bersama. Laras ada di rumah Dilla bukan jadi hal yang asing dan begitu pula sebaliknya. Mereka berdua jadi pundak untuk satu sama lain dalam menjalani hari-hari di depan mereka. Meski hubungan mereka tidak sempurna, namun Laras menepati janjinya berusaha menjadi teman yang baik untuk Dilla. Maka ketika mendengar temannya itu sedang dekat dengan seseorang, Laras menjadi orang yang paling senang. Dilla bahkan muak sendiri mendengar berbagai macam pertanyaan terkait Anya yang belum lama dekat dengannya.

"dia beneran penyelam yang kita foto bareng sama David juga? Iya nggak sih?!"

"yang kita bertiga ke akuarium waktu itu?"

"gimana caranya lo ngobrol sama dia?"

"kok bisa lo deket sama dia?!"

"eh tapi lo yakin dia juga, you know, kok lo bisa tau??"

Dilla harus menutup telinga dan menyesal bercerita soal Anya, kini temannya itu lebih berisik dari gonggongan anjing tetangga.

"gw mau pulang aja bye!" Dilla beranjak pergi.

"jangan bikin gw penasaran bangsat! cerita sekarang!"

****

Mereka, Anya dan Dilla, berkenalan ketika Dilla mengunjungi akuarium pada suatu siang seorang diri. Siang itu bukan pertemuan pertama mereka karena samar dalam ingatan Dilla, dia pernah melihat gadis itu di tempat ini.

"Hai" sapa Dilla dan tebakannya benar, saat menoleh dia adalah penyelam yang Dilla lihat waktu itu.

"Hai" balasnya dibarengi senyum.

"Gimana rasanya berenang bareng ikan ikan ini?" tanya Dilla pada gadis di sampingnya, terakhir kali Dilla melihat gadis itu memakai setelan hitam untuk menyelam, berenang bersama makhluk-makhluk kecil di belakang kaca.

"Rasanya kayak terbang bareng ikan-ikan" gadis itu menjawab, senyumnya terbit membayangkan apa yang ia lakukan setiap hari di dalam sana bersama kawan-kawannya.

"Terbang?" Dilla dibuat bingung dengan jawaban gadis itu, namun senyumnya ikut terbit.

"Iya" senyumnya makin lebar.

"Gw Anya" yang bernama Anya memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan.

"Dilla" ucap Dilla menyambut uluran tangan tersebut.

"Gw inget muka lo waktu terakhir kali gw kesini, sempet foto lo juga waktu di dalem" Dilla melanjutkan percakapan, membawa ingatannya soal Anya dan kunjungannya terakhir kali.

"Gw juga inget muka lo" balas Anya, ada jeda sebelum ia melanjutkan. Anya juga pernah melihat gadis di sampingnya suatu hari.

"pretty face hard to miss i guess" mendengar itu Dilla hanya terkekeh dan menggelengkan kepala.

"Eh kemana dua temen lo yang lain? Mereka udah jadian?" Anya mengalihkan topik, soal sesuatu yang sedikit ia ingat ketika Dilla kesini.

"...."

"Kan, Laras emang tolol jelas banget suka sama orang" ada diam sebentar sebelum kalimat Dilla, sedikit kaget karena pertanyaan Anya terkait dua temannya.

Anya terkekeh melihat respon gadis itu, sepertinya dia bisa membayangkan apa yang terjadi kepada ketiga orang yang pernah datang kemari.

"Dari raut lo juga bisa keliatan kali" kata Anya bercanda.

"Emang iya?" Dilla kaget.

"Nggak sih cuma nebak, yang tadi juga nebak" Anya tersenyum lebar karena berhasil menggoda Dilla.

"ih kirain" Dilla dibuat sebel, Anya cuma bisa tertawa

"Jadi kenapa kesini sendiri?" Anya mengubah topik lagi, senang dengan teman ngobrolnya sekarang.

"Emang lagi pengen pergi" jawab Dilla, pergi ke akuarium jadi pilihannya untuk menjernihkan pikiran, melihat ikan berenang bebas. Tapi itu tidak menjawab apa yang Anya tanyakan, jadi dia bertanya lagi untuk konfirmasi.

"Pergikan? Bukan karena pengen sendiri?" Anya hanya ingin memastikan jika kehadirannya itu tidak mengganggu Dilla dan membuatnya tidak nyaman.

Dilla hanya menjawab dengan mengangguk, kemudian tersenyum.

"Oke gw temenin, shift gw kebetulan udah kelar" Anya bernafas lega, dari percakapan ini keduanya mulai dekat.

 

***

Dilla berkunjung ke akuarium lebih sering, dan kebanyakan adalah waktu sialnya karena ketika Dilla kemari Anya sedang sibuk bekerja, meski yang Dilla lihat Anya sedang bermain bersama gerombolan ikan.

Tujuannya kemari memang untuk bertemu Anya, namun dirinya masih belum berani bilang ingin bertemu secara sengaja, jadi Dilla hanya mengandalkan keberuntungan. Keberuntungan kalau-kalau Anya sedang senggang dan bisa mengobrol bersamanya seperti hari pertama, namun seperti yang sudah disampaikan kebanyakan dari kunjungannya adalah nasib sial. Mungkin sampai tuhan berbaik hati, maunya akan terkabul.

"HUA!"

"AAK!!" Dilla kaget kemudian refleks menutup mulut mengingat akuarium sedang ramai orang, dirinya tidak mau jadi pusat perhatian, namun pelaku yang membuatnya terkejut hanya tertawa.

"Anya ih!" Dilla dibuat sebal karena perbuatannya.

"Lagian kesini kenapa nggak bilang, nggak hapus nomor gw kan?" tanya Anya setelah tawanya mereda.

"Gw kesini bukan mau ketemu sama lo" ucap Dilla terdengar seperti kebohongan dibarengi nada kesal.

"Aak! Aku sakit hati" Anya pura-pura sakit memegang dadanya, namun senyumnya itu tidak bisa ia sembuyikan.

"Alay! Gw kesini mau liat Leo" ucap Dilla lagi, terdengar seperti kebohongannya lain dan masih dibarengi nada kesal. Anya hanya makin senang dibuatnya.

"Leo?" tanya Anya bingung soal nama yang di sebut Dilla, seingatnya tidak ada karyawan di akuarium ini dengan nama tersebut.

"Itu" tunjuk Dilla ke arah kaca di depannya, seekor ikan pari berenang melintasi mereka, menjawab siapa Leo.

"Seenak jidat namain ikan sembarangan!" Anya dibuat takjub.

"Terus siapa namanya?" tanya Dilla ingin mengoreksi jika si ikan sudah punya nama dan bukan Leo.

"Ya nggak ada? Ngapalin jenisnya aja gw udah pusing jangan sampe mereka dikasih nama satu-satu deh" jawab Anya mengenai topik nama-nama ikan ini. Namun dia belum berhenti dibuat senyum karena Dilla.

"Huh dasar nggak sayang" Dilla masih konsisten perihal kesal pada Anya sepertinya.

"Hah?" Anya makin dibuat pusing.

"Kalo sayang harusnya dikasih nama" oh, Anya baru mengerti maksud Dilla.

"Kaya gimana? Kaya Didi? Dilla jelek?" Anya menggunakan topik yang dibawa Dilla untuk menggodanya.

"Gw sebel sama lo" ucapannya seperti kebohongan karena sipu di pipinya tidak bisa disangkal.

"Gw juga sebel sama lo, sedikit, jadi masih nggak apa" Anya menyukai setiap obrolannya dengan Dilla, karena senyum yang terbentuk ketika bersama gadis itu tidak pernah luntur.

"Sana ih lo ga kerja" kata Dilla mengusir, gesturnya juga mendorong bahu Anya pelan untuk pergi, tapi Anya tahu kalau Dilla ingin dirinya tetap di sini.

"Yang karyawan bukan gw doang" Anya menjawab dengan senyum, badan yang Dilla dorong-dorong pelan itu selalu kembali ke tempat asal, kemudian tangannya menggenggam tangan milik Dilla untuk berhenti.

Dilla berhenti, namun detak jantungnya malah bergerak lebih cepat.

"Lo makan gaji buta" seperti biasa, jurus andalan Dilla adalah menyembunyikan sipu dengan gurauan.

"Asal ga makan ati" dan Anya tidak pernah kehabisan jawaban untuk meresponnya.

***

Setelahnya mereka, Dilla dan Anya, sering bertukar cerita lewat teks, sesekali menelepon jika Dilla sedang malas mengetik pesan atau ingin mendengar suara gadis di seberang sambungan, yang mereka tukar hanya cerita-cerita sederhana soal bagaimana hari mereka berjalan, namun intensitasnya membuat mereka semakin dekat.

Kata Anya di suatu waktu, dia bilang pada Dilla kalau dia sebel.

"Gw sebel karena bisa senyaman ini ngobrol sama orang, tapi gw suka kalo harus sebel kayak gini lama lama" Anya menahan geli setelah mengatakan ini, Dilla yang mendengar di seberang sambungan juga sama merasa gelinya.

"geli banget tau nggak!!" tapi mereka tertawa bersama, kemudian terus bertukar pesan dan kabar karena hal itu menjadi sesuatu yang mereka tunggu.

Kadang Dilla juga ingin bertemu, jadi sering kali dia mengunjungi akuarium meski tau Anya sedang sibuk dengan tugasnya.

"3 kali dalam minggu ini" ucap Anya setelah menemukan Dilla sedang melihat-lihat, wajahnya disinari warna biru akibat pantulan air. Dilla menoleh kemudian tersenyum ke arah orang yang sedang bicara padanya.

"sorry kalo lo bosen ketemu gw" ucap Dilla meski tidak ada rasa bersalah dalam nada kalimatnya. Karena Dilla tau, mereka berdua sama-sama ingin bertemu.

"nggak lah, gw malah seneng ada temen ngobrol, ngobrol sama ikan gw dicuekin mulu" ucap Anya menyangkal pernyataan Dilla soal bosan dirinya, Anya malah senang.

"Lo ngobrol apa sama ikan?" Dilla menanggapi topik pembicaraan pertama Anya hari ini.

"Diskusi harus makan siang apa, sekalian sama makan malem juga" jawab Anya serius, mengingat perbincangan bersama kawan-kawan di akuarium, Dilla tersenyum.

"Meski nggak ada jawaban?" tanya Dilla meski tidak penasaran.

"Yup, meski nggak ada jawaban" Anya mengkonfirmasi, wajahnya dipasang muka sedih karena tidak diwaro ikan-ikan yang ia anggap kawan.

"Oke kalo gitu gw saranin makan siang burger, terus malemnya lo makan sate" Dilla memberi saran.

"Enak sih, tapi boleh minta tolong makannya ditemenin sama lo juga nggak?" Anya memancing.

"Boleh" Dilla menerima umpan.

***

Setelah makan siang mereka kembali ke akuarium untuk jalan-jalan, sebenarnya Anya harus kembali bekerja, namun tidak ada lagi yang harus dikerjakan, jadi mending Anya menghabiskan waktu bersama Dilla yang sebelumnya sudah gadis itu setujui.

"Lo mau tau nggak gimana ceritanya gw berakhir di sini?" tanya Anya, sekarang mereka berhenti di depan kaca yang paling luas di akuarium ini, di dalam kacanya berenang teman-teman Anya dengan bebas. Mendengar pertanyaan, Dilla jawab dengan mengangguk.

"Lo tau nggak series I Told Sunset About You? Jadi intinya si pemeran utama, namanya Teh sama Oh-Aew, mereka pindah dari pantai indah Phuket ke ramai kotanya Bangkok" ada jeda di cerita Anya, kemudian matanya menemukan Dilla sedang hanyut mendengarkan.

"Nah cerita gw juga kurang lebih sama. Gw bosen sama berisiknya ombak, gw mau denger suara riuh yang lain, jadi setahun lalu setelah lulus SMA gw langsung pindah. Meski nyatanya gw nggak bisa lepas dari apa yang gw suka, jadi gw di sini, terbang bareng ikan ikan" Dilla tersenyum membayangkan cerita Anya.

"terus gw selalu mikir tiap kali kita lagi ada di depan akuarium kayak gini, itu mirip banget sama satu scene di episode satu season dua series itu" Anya selalu mengingat adegan itu ketika berada di sini bersama Dilla, dan jantungnya selalu berdegup lebih cepat.

"kenapa? Lo mau reka adegannya?" tanya Dilla penasaran, ia tidak pernah menonton series itu dan akan menontonnya sepulang nanti karena penasaran, Anya menggeleng.

"belum, belum waktunya. Lo nonton aja dulu" Anya bisa berantakan jika hal itu jadi kenyataan.

"Lo sendiri gimana? Apa yang lo suka?" jadi Anya mengalihkan pembicaraan.

"Gw suka film dan fotografi, dan kayaknya gw bakal seriusin bidang itu nantinya" Dilla menjawab hal yang dia suka.

"Kenapa lo bisa suka?" Anya jadi lebih penasaran lagi.

"Waktu pertama kenal Laras gw ditunjukin fotonya pas dia masih bayi, dia bilang meski nggak pernah ketemu ayahnya dia bisa tau rupanya gimana lewat satu foto itu, hal itu bikin gw sadar berharganya momen yang diabadikan, foto bisa jadi bukti masa yang udah berlalu" cerita Dilla mengenai alasannya kenapa menyukai hal tersebut, jika tidak salah Dilla bahkan tidak pernah menceritakan hal ini pada Laras.

"Wow that's deep" respon Anya kagum, tidak menyangka akan alasan gadis itu suka memotret dan merekam sesuatu.

"Sori ya kalo gw kebanyakan cerita soal laras" Dilla sebenarnya ingin membungkam diri, karena sepertinya nama Laras selalu ada di setiap cerita yang ia bagi pada gadis yang sekarang dekat dengannya.

"Nggak apa, dia kan bagian dari diri lo. Temen lo sendiri" Anya memberi pengertian, ia sadar jika Laras seringkali ada di cerita milik Dilla. Namun yang paling penting orang yang ada di samping Dilla sekarang adalah dirinya.

***

Hari itu Dilla habiskan bersama Anya dari siang sampai malam. Dilla menepati janji untuk menemani Anya makan malam dengan menu rekomendasinya.

Dilla juga sengaja memilih tempat yang biasa ia kunjungi dengan Laras, alasannya karena disinilah sate ayam yang paling enak menurut Dilla.

Kemudian lagi-lagi, Dilla tanpa sengaja menyebut Laras ketika bercerita tentang warung sate langganannya, Dilla merasa salah bicara.

Anya yang melihat Dilla lagi-lagi merasa tidak enak kemudian menyuruhnya untuk menepi, kebetulan ada tempat di pinggir jalan yang bisa digunakan untuk parkir.

"Dil gw mau ngomong dulu deh" kata Anya setelah mobil berhenti, badannya kini menyamping menghadap Dilla, semua perhatian hanya berfokus padanya. Tangan Dilla diambil untuk ia genggam.

"Dilla, gw kan udah bilang nggak apa kalo lo cerita banyak soal Laras, selama ini orang yang nemenin lo kan dia, jadi ya wajar" ucap Anya mengutarakan hal yang sepertinya diresahkan Dilla.

"sorry, gw cuma takut ngasih kesan kalo gw belum move on" baru pertama kali Dilla bisa nyaman berkata jujur pada seseorang.

"lo takut gw cemburu?" goda Anya dengan bertanya.

"Anya ih" Dilla cemberut, padahal dia sedang sangat serius sekarang, namun Anya selalu bisa menemukan celah untuk menggodanya.

"iya maaf, tapi beneran gw nggak apa Dilla" ucap Anya memberi penghiburan, supaya Dilla nggak kepikiran lagi. Kemudian ada hening yang cukup lama setelah itu, seperti Dilla akan mengatakan sesuatu.

"gw cerita semua soal Laras aja kali ya?" Dilla menawarkan, mungkin setelah jujur bebannya jadi bisa sedikit ringan. Karena kali ini Dilla tidak ingin lagi sembunyi dengan perasaannya.

"lo yakin? Kalo iya gw boleh denger, pasti gw dengerin" tanya Anya mengkonfirmasi, takutnya Dilla belum siap untuk bercerita segala hal dan hanya terpaksa karena masalah tidak enaknya sekarang.

Namun Dilla percaya dengan Anya dan selagi Dilla bercerita Anya mendengarkan semua hal dengan penuh perhatian. Soal Laras, soal David, sampai masalah Dear David dan bagaimana hubungan mereka bertiga sekarang. Semuanya terdengar sangat rumit, Anya sampai tidak bisa membayangkan jika dirinya menjadi Dilla. Jadi Anya hanya menggenggam tangan Dilla berusaha menguatkan, menyalurkan setiap rasa bangga karena Dilla bisa melewati itu semua.

Selesai bercerita Anya mengusap air mata Dilla yang turun ke pipi, kemudian tangannya bergerak membelai rambut Dilla sambil berterima kasih karena sudah membiarkannya mendengar cerita.

Anya tidak tahu lagi dirinya sudah jatuh sedalam apa karena gadis ini.

"gw boleh gantian cerita?" setelah beberapa lama terdiam, sekarang tinggal giliran Anya yang mempercayakan ceritanya pada Dilla. Dilla hanya mengangguk siap menjadi pendengar.

"gw juga punya Laras versi gw di Karimun, tempat asal gw sebelum kesini. Kita temenan dari kecil, terus pas awal SMA gw sadar kalo gw suka sama dia. Banyak hal gw lakuin karena dia termasuk gimana ceritanya gw bisa diving" Dilla mengeratkan genggam tangan mereka.

"gw juga sama kaya lo ke Laras Dil, gw nggak pernah bilang. Sampai suatu hari kita mau lulus, dia bilang mau pindah, jadi sebelum itu gw bilang suka sama dia sebelum telat" ada jeda, Dilla tau Anya sedang mempersiapkan diri, dan Dilla bisa memberikan waktu sebanyak yang Anya mau, Anya juga bisa berhenti jika tidak ingin, namun kemudian cerita Anya kembali dilanjutkan.

"sayangnya respon dia nggak terlalu baik, apa yang gw takutin akhirnya kejadian. Dilihat aneh sama orang yang gw sayang" Anya tidak bisa lagi memalsukan senyum, air matanya jatuh mengingat debur ombak ketika gadis itu meninggalkannya.

Untuk itu Anya pergi, karena berisik pantai hanya mengingatkan dia pada hari itu. Jadi Anya mencari riuh yang lain dan riuh ramainya kota membantu Anya melupakan sakitnya dia dihari itu.

Dilla segera memeluk tubuh Anya, menghelai rambutnya dan membisikan kata-kata penghiburan. Apa yang dilakukan Dilla membantu, karena Anya sekarang tau kalau dia tidak lagi sendiri. Anya jatuh hati bersama dengan orang di dalam dekapannya.

"sekarang lo punya gw ya Anya, gw sayang sama lo" Kedepannya suara berisik kendaraan hanya akan mengingatkan Anya pada momen ini.

 

***

Terlalu sering menghabiskan waktu bersama Anya membuat Dilla hampir benar-benar lupa dengan Laras, jadi temannya itu harus banyak mengirim pesan dan melakukan teror dengan menelepon Dilla berkali-kali.

"lo stress apa ya?! berisik banget gw lagi mandi" cerca Dilla segera setelah teleponnya tersambung.

"heh harusnya gw yang marah lo nggak ada kabar" Laras di seberang sana tidak terima.

"gw sibuk, lupa sama lo" senyumnya terbit mengingat hari yang ia habiskan bersama Anya.

"emang lo tu babi Dil" maki Laras, percuma ia khawatir jika terjadi sesuatu karena jarang sekali Dilla tidak mengganggu ruang chat mereka.

"gw beneran sibuk sama Anya" makian Laras tidak pernah sampai di telinga Dilla karena dia sedang terlalu bahagia.

"sibuk, sibuk. Emangnya lo udah jadian?" seingat Laras Dilla belum bercerita soal jadian, karena ia yakin jika hal itu sudah terjadi maka Dilla akan berisik bahkan mendatangi rumahnya untuk memberi tahu secara langsung.

"ya belum sih, tapi tuh masa La" Dilla memang menyayangkan bagian itu, namun ada sesuatu yang harus Dilla ceritakan meski senyumnya menghalangi dia bercerita.

"kenapa anjing?" Laras dibuat penasaran.

"jadi tuh ceritanya masa Anya random banget" Dilla memulai cerita, mengingat kejadian siang tadi yang membuatnya sangat senang, Laras di seberang mendengar dengan sabar.

"kemarin Anya random banget dia nanyain ada lahan buat bikin api atau enggak di rumah gw, kan gw bingung ya ditanyain begitu" Laras cuma berkata terus-terus agar Dilla lanjut cerita.

"ya terus gw jawab ada kan, halaman belakang agak luas gitu, terus hari ini dia dateng dong! sambil bawa segala peralatan dan bahan buat bakar sate!" cerita Dilla bersemangat, bahagianya dia meski hanya mengulang cerita.

"jadi dia ke rumah lo? terus bakarin lo sate? Karena lo suka sate?" tanya Laras mengkonfirmasi agar cerita yang Dilla sampaikan dengan apa yang Laras dengar masih sejalan.

"iya gitu anjir! Manis banget nggak sih?!"

Laras mengakui apa yang dilakukan Anya sangat berarti untuk Dilla, pikirnya semakin langka orang melakukan grand gesture seperti itu. Membandingkan dengan dirinya, mungkin Laras tidak akan pernah melakukan hal sejauh itu untuk orang yang ia suka, atau mungkin belum. Namun ia ikut senang mendengar cerita bahagia milik Dilla.

"manis, manis banget sih. Usahanya keliatan buat menangin hati lo" kata Laras setuju dengan Dilla.

"padahal dia nggak perlu ngapa-ngapain loh La biar dapet hati gw" Dilla menjadi hiperbola karena sedang jatuh cinta.

"alay lo najis" Laras mencibir tingkah sahabatnya.

"sebelum kenal Anya, ternyata selama ini gw adalah orang tolol yang suka sama orang tolol" kata Dilla membayangkan masa lalunya, sengaja ngajak Laras ribut.

"Dih lo yang naksir sama gw, gw yang dikatain tolol"

"ya memang kan lo tolol, siapa coba yang dikeluarin dari sekolah?" tanya Dilla terus ngakak.

"asu asu" Laras nggak bisa bales apa-apa lagi.

"tapi beneran La, Kenapa rasanya gampang banget suka sama Anya" Dilla kembali melow dengan perasaannya setelah merasa puas meledek Laras.

"Ya karena Anya juga suka balik sama lo?" respon Laras menebak.

"Ya emang" Dilla setuju dengan hal itu.

"Lah terus masalahnya apaa bangsat??" Laras kesal sendiri.

"Masalahnya kenapa selama ini gw taunya suka sama lo doang, kenapa gw nggak ketemu Anya dari dulu" suka sama Laras untuk waktu yang cukup lama menjadi satu hal yang Dilla sesali.

"Sialan lo ya Dildo emang ga bersyukur, gara-gara gw juga kan lo ketemu sama dia" kesabaran Laras setipis tisu.

"Aku menyesali seluruh hidupku cinta padamu~" Dilla membuat nada asal ketika mengatakan kalimatnya, perasaannya dulu kini bisa ia buat sebagai gurauan.

"Najisss! Yaudah sisa hidup lo seterusnya lo pake tuh puas-puas cinta sama Anya" Laras sudah lelah menanggapi orang yang sedang kasmaran.

"ya memang lah, kan sekarang gw sudah tidak tolol" Dilla memaki untuk yang terakhir kali sebelum notifnya berbunyi.

"Fak! bye La Anya bales chat gw" buru-buru Dilla mengucap perpisahan karena Anya baru saja mengirim pesan.

"Bye bucin!"

***

Suatu pagi di hari minggu Dilla mendengar suara kurir perempuan berteriak, karena kata paket yang ia teriakkan, namun suaranya terlalu familiar di telinga Dilla, jadi buru-buru Dilla keluar rumah untuk mengecek orang itu.

Anya terkekeh melihat raut terkejut Dilla melihatnya.

"hai" sapanya santai.

"ngapain?" Dilla dibuat heran dengan kedatangan Anya sepagi ini, dan Dilla dibuat lebih heran lagi karena Anya muncul di depan pagarnya berpenampilan seperti tukang pos, seragam berwarna coklat, topi, dengan tas samping penuh dengan kertas, setidaknya begitu lah gambaran tukang pos yang dia tahu lewat film, dan hal itu didukung sebuah benda yang Dilla yakini sebagai surat karena dibungkus dengan amplop berwarna coklat.

Dilla masih memasang wajah bingung ketika menerima amplop tersebut, sedangkan Anya hanya tersenyum dari tadi, mungkin karena merasa kejutannya berhasil.

"ini dibuka sekarang?" tanya Dilla merujuk pada benda di tangannya, Anya mengangguk setuju.

Kemudian kertas itu dibukanya, pada kalimat pertama tertulis 'Dear Dilla' dengan tulisan tangan yang rapi. Dilla menatap Anya yang masih tersenyum sebelum membaca semua isi surat itu, dan Anya mempersilahkan Dilla untuk kembali membaca. Kemudian Dilla larut.

***

Dear Dilla,

Gw bukan penulis, karenanya gw nggak jago ngerangkai kata-kata. Satu yang pasti, gw selalu pengen liat lo bahagia.

Dilla dalam senyum terbaiknya, Dilla yang menjalani hari dengan suka cita.

Kemudian gw, Anya, sangat berharap bisa jadi orang dibalik senyum dan hari bahagia punya lo, karena dengan kehadiran lo di akuarium waktu itu jadi awal dari hari-hari bahagia punya gw.

Gw jatuh cinta Dilla, sama lo, dan lo nggak salah baca.

-Love, Anya.